A rose scent flows in the breeze

And my sorrowful sigh scatters in the air


Steve Rogers

Sebenarnya, bukan sesuatu yang hal yang aneh jika Steve Rogers terbangun dari tidurnya dan menemukan tidak ada satu orang pun di rumah. Hal ini sudah sering terjadi. Setiap hari, selama bertahun-tahun. Steve yang selalu terbangun sekitar pukul 8, terkadang, masih merasa janggal. Ketika Ia membuka mata, ia masih harus berpikir beberapa saat. Ya, ia sendirian di rumah.

Tapi, Steve tidak tinggal sendiri di rumah yang cukup besar ini. Ia tinggal dengan Bibi Margareth, adik dari ibunya. Bibi Margareth merupakan dokter spesialis bedah senior serta dosen di Rumah Sakit Universitas Wisconsin. Bibi Margaret atau Steve suka memanggilnya dengan Bae, memiliki jadwal yang cukup padat di pagi hari. Bae biasanya berangkat sangat pagi, ketika Steve masih tertidur pulas. Steve sendiri merupakan guru seni di salah satu sekolah dasar di Waunakee, Wisconsin. Sungguh aneh bukan, seorang yang dulunya merupakan Kapten di Angkatan Darat, malah menghabiskan waktu menjadi seorang guru seni di sekolah dasar.

Seperti biasanya, Steve menyadari bahwa hari ini akan menjadi hari yang biasa saja, Ia berjalan malas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat giginya. Setelah berpikir sejenak, Steve memutuskan untuk mandi. Ia jarang sekali mandi di pagi hari. Tapi, entah kenapa ia tiba-tiba ingin mandi pagi ini. Dan setelah selesai, ia turun menuju dapur dan terkejut melihat Bibi Margareth sedang tersenyum sambil menghirup teh. Apakah hari ini dia libur?

"Aneh sekali aku melihat wanita tua tersenyum pada segelas teh pagi ini."

Bibi Margareth terkejut melihat Steve lalu tersenyum dan mendekati Steve yang berjalan menuju kitchen island.

Bibi Margareth hanya terpaut usia dua tahun dari ibu Steve. Meskipun begitu, perawakan Bae dan Ibu Steve sangat berbeda. Margareth Wilson mempunyai mata hijau bening dan rambut lurus berwarna coklat kemerahan alami, sedangkan Ibu Steve bermata biru dengan rambut pirang kecoklatan, yang mana kedua aspek tersebut diturunkan kepada Steve. Bae akan menginjak 50 tahun pada bulan November nanti, namun dia tidak terlihat seperti wanita pada usianya. Orang-orang akan tahu kalau wanita ini memang sudah tua ketika mereka mengenal baik wanita ini.

"Aku punya alasan untuk itu Steve," kata Bae lalu duduk di depan Steve.

"Kenapa kau masih di rumah? Aku kira kau sudah berangkat tadi."

"Kita akan kedatangan tamu hari ini Steve. Aku sudah pernah cerita padamu beberapa hari yang lalu," kata Bae senang. Tanpa ia sadari, Steve mengernyitkan dahinya, membentuk huruf V menggunakan kedua alisnya.

"Tamu? Tamu siapa?" tanya Steve bingung. Ia lalu berdiri menuju kulkas untuk mengambil apel.

"Seorang wanita akan bekerja di Sullivan Nursing Home. Wanita yang sangat manis dan dia akan tinggal di sini untuk sementara waktu."

Steve tersedak apel dan menatap bingung Bae. "Kau tidak pernah cerita padaku soal itu."

"Aku memberitahumu beberapa hari yang lalu," jawab Bae sambil lalu. Ia berdiri mengambil segelas air dan memberikannya pada Steve.

Steve tidak mengalihkan tatapannya dari Bae dan mengabaikan segelas air tersebut. Ia merasa bibinya tidak pernah bercerita soal ini. Seorang wanita asing akan tinggal di sini? Bagaimana mungkin?

"Tapi mengapa aku tidak mengingat hal ini sama sekali?" tanya Steve protes sambil terbatuk-batuk karena apel tadi.

"Coba kau ingat lagi dear. Seseorang akan bekerja sebagai juru masak. Aku sudah memberitahumu," kata Bae tegas.

Bibi Margareth memang bercerita soal itu. Beberapa hari yang lalu. Sullivan Nursing Home adalah panti Jompo yang berdiri di atas tanah milik keluarga Steve. Karena hal tersebut, Bae bisa dikatakan sebagai pemilik begitu juga dengan Steve. Namun, mereka berdua tidak terlalu banyak mengambil alih dalam proses kegiatan serta manajemen di panti jompo itu.

Bae mengatakan bahwa akan ada Kepala Juru Masak baru di Sullivan Nursing Home dan ia berasal dari San Francisco. Hanya itu. Bae tidak memberitahu lebih rinci mengenai hal tersebut.

"Tapi, kau tidak memberitahuku kalau itu wanita."

"Well, aku rasa, aku lupa memberitahumu soal itu," kata Bae acuh.

Steve sudah menduga kalau bibinya sengaja tidak memberi tahu dirinya soal hal tersebut. "Bibi Margareth, ayolah! Bagaimana mungkin kau membiarkan orang lain tinggal di sini?"

"Dia tidak punya tempat untuk tinggal. Sedikit membantunya tidak akan membuat kita kekurangan ruangan kan Steve."

"Bukan itu yang aku maksud." kata Steve mengerang kesal.

Sudah hampir 5 tahun Steve dan Bibi Margareth tinggal hanya berdua di rumah ini. Sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya, ia merasa sangat tidak adil jika Bibi Margareth tidak berdiskusi mengenai hal ini. Rasanya akan sangat aneh jika orang lain hadir di antara mereka. Terlebih, seorang wanita. Apa yang terjadi dengan bibinya?

"Kenapa kau tidak memberitahuku soal itu?" protes Steve sekali lagi. "Aku pikir kau akan memperkerjakan seorang juru masak laki-laki. Kau juga tidak menyebutkan bahwa dia akan tinggal di sini."

"Baiklah, aku minta maaf," jawab Bae sambil menghembuskan napas. "Tapi, aku tidak bisa mengusirnya."

"Dia bisa tinggal beberapa hari di sini setelah ia menemukan tempat tinggal yang cocok untuknya."

"Oh, tidak ada tempat seperti itu di sini Steve."

Bae kemudian keluar dari dapur dan segera menuju kamarnya untuk mengambil tas dan segala keperluan lainnya setelah ia tersadar bahwa ia harus segera berangkat ke rumah sakit.

"Bisa saja ada jika dia ingin mencari. Kau bisa meminta salah satu teman gerejamu mencarikan tempat tinggal. Kau juga bisa membiarkan dia tinggal di panti. Ada banyak kamar kosong di sana. Kenapa harus repot-repot memintanya tinggal disini?"

Steve mengikuti Bae menuju kamar. Ia berhenti di depan pintu dan bersender pada kusen pintu kamar Bae sambil menyilangkan kedua tangannya. Huruf V di dahinya semakin jelas dan mata biru bening miliknya tidak melepaskan tatapan dari Bae.

"Akan jauh lebih baik jika dia tinggal disini Steve. Dia berasal dari San Francisco dan dia tidak kenal satu orang pun disini."

Bae berkeliling di kamarnya, mengambil tas tangan berwarna putih, memegangnya dengan tangan kanan dan beralih ke meja kerja di seberang ruangan untuk mengambil tas ransel yang berisi laptop dan berkas-berkas lainnya. Bae lalu berjalan menuju pintu, memberi isyarat pada Steve untuk bergeser karena ia akan mengambil jas dokternya di balik pintu.

"Lebih baik? Tolong, lebih baik dari segi apa?" kata Steve yang masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang.

"Segi kemanusiaan."

Steve mendengus kesal. "Kau pasti bercanda Be. Kau tidak memikirkan aku."

Steve berdiri sambil memberikan ekspresi protesnya. Ini adalah situasi yang sangat langka. Jarang sekali ia berdebat dengan Bae. Terlebih di Jumat pagi yang cerah.

"Aku memikirkanmu, karena itu lah aku melakukan ini," kata Bae lembut setelah menautkan jas dokternya di tangan kanan.

"Memikirkanku? Melakukan apa? Membuatku terkejut di pagi hari?"

Bibi Margareth lalu keluar dari kamar dan berjalan menuju garasi mobil. Steve mengekori Bae sambil terus berdecak kesal.

"Kau akan melihatnya nanti. Sore nanti dia akan tiba dan aku akan menjemputnya di bandara."

"Jesus!" kata Steve kesal. Ia tidak percaya pada sosok laki-laki yang baru saja ia sebut namanya. Tapi, sepertinya menyebut namanya sangat cocok untuk situasi saat ini. "Aku akan membuatnya tidak nyaman tinggal di sini Bae. Lihat saja nanti."

Steve meninggalkan Bae dalam keadaan marah. Ia tidak dapat membayangkan kalau akan ada orang lain tinggal di sini. Bibi Margareth pasti sudah menjadi gila.

"Kau bukan anak kecil lagi Steve," teriak Bae dari bagasi.

"Aku akan menjadi anak kecil jika harus Bae," kata Steve acuh.

Steve kembali ke dapur. Ia kesal dan lapar. Pagi ini Bae membuat sandwich tuna dan salad. Steve menghela napas lalu berdecak kesal lagi. Kalau diingat-ingat lagi, Bae tampak senang beberapa hari terakhir. Sekitar 2 minggu yang lalu, ia bercerita kalau akan ada juru masak baru di panti jompo. Setelah hampir 2 tahun tidak ada yang mau mengambil pekerjaan itu. Semua pelamar merasa gaji yang ditawarkan terlalu kecil dan juga fasilitas yang diberikan tidak begitu memuaskan.

Steve tak henti merasa kesal akan hal ini. Selama 5 tahun, ia bahkan hampir tidak pernah bertemu orang asing. Waunakee bukanlah pilihan Steve ketika ia memutuskan untuk keluar dari Angkatan Darat. Steve dulunya tinggal Brooklyn, tapi, setelah kehidupannya berubah, ia tahu bahwa ia tidak akan bisa kembali ke sana. Tidak hanya Brooklyn tapi juga New York secara keseluruhan. Tapi, Steve tidak punya pilihan. Keluarga yang ia miliki hanya Bibi Margareth dan dia sudah tinggal Waunakee sepanjang hidupnya.

Tidak ada yang berubah selama 5 tahun. Juga, tidak ada perbedaan hidupnya, 5 tahun yang lalu dan hari ini. Ia hanya merasa semakin tua. Anehnya, ia tidak merasa bosan. Ia bersyukur bahwa hingga hari ini, setidaknya, ia masih dapat hidup.

Steve menghembuskan napasnya lalu mengambil sandwich, memakannya secara perlahan. Tidak menyadari kalau Bae sudah berangkat, Steve tetap berpikir, apa yang terjadi dengan bibinya?


Hari Jumat adalah hari libur bagi Steve. Ia beruntung karena pihak sekolah menyanggupi permintaannya untuk mengajar hanya pada hari Senin sampai Kamis. Sebenarnya Steve tidak pernah ingin menjadi guru. Bibinya lah yang meminta Steve untuk membantu sekolah sesekali. Awalnya, Steve hanya datang seminggu sekali untuk menjadi guru tamu klub seni di sekolah dasar tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, pihak sekolah meminta Steve untuk mengajar. Mereka menyukai cara mengajar Steve yang bisa membuat para siswa tertarik pada seni. Steve sama sekali tidak membutuhkan pekerjaan setelah ia keluar dari Angkatan Darat dan pindah ke Waunakee. Warisan dan aset milik keluarganya sudah lebih dari cukup untuk kehidupannya sampai tua nanti. Namun, ia tidak ingin menyia-nyiakan waktunya. Sudah 3 tahun ia menjadi guru. Pihak sekolah sudah pernah menawari Steve untuk menjadi guru tetap sehingga nantinya Steve akan mendapatkan jaminan dari pemerintah. Steve menolak dan lebih memilih sebagai guru honorer, meskipun upah yang ia terima tidak besar.

Menjadi guru tentu saja mempunyai pengalaman yang berbeda jika dibandingkan dengan menjadi tentara. Tentara adalah impiannya sejak lama, sejak kecil. Steve kecil tumbuh di keluarga dokter. Kakek dari pihak ibunya adalah seorang kardiolog dan neneknya merupakan psikiater. Ibunya seorang dokter anak dan kakak ibunya, Bibi Margareth seorang dokter bedah. Ayah Steve sendiri merupakan dokter spesialis mata dan anak tunggal dari pasangan dokter gigi. Steve tidak ingin menjadi dokter, begitu pun dengan adik perempuannya. Mereka beruntung karena kedua orang tuanya tidak pernah memaksa. Steve dan adiknya bebas memilih apa yang ingin mereka lakukan.

Pikiran Steve masih berkecamuk. Ia sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi. Sejak selesai sarapan tadi, ia kembali ke kamar dan memutuskan untuk menggambar. Steve berniat ingin mengumpulkan semua gambar yang pernah ia buat dan akan dijadikan satu sebagai pengingat dan kenangan atas ingatannya. Steve tidak menggambar menggunakan perlatan gambar elektronik, meskipun ia bisa mengoperasikannya. Ia memilih pensil hitam dan menggambar apa pun sehingga gambarnya pun lebih terlihat seperti sketsa.

Steve menyenderkan punggungnya di kursi sambil memijat kepalanya dengan kedua tangannya. Ia melirik jam digital kecil berbentuk bulat di pojok meja kerjanya. 03.45 PM. Hari sudah semakin sore dan Steve rasa, ia sudah cukup untuknya menggambar hari in.

Steve bangkit dari duduknya dan membereskan hasil karyanya, memasukannya ke dalam map plastik berwarna biru lalu meletakan map di rak buku. Ia keluar dari kamar dan turun menuju dapur. Ia melewatkan makan siang, pantas saja ia merasa sangat lapar. Sandwich buatan Bae masih tersisa satu. Steve mengambil mangkok kaca kecil, menaruh sandwich di dalamnya dan memasukannya ke dalam microwave. Sembari menunggu, Ia mengeluarkan beberapa batu es dari dalam freezer, menaruhnya ke dalam gelas enamel polos berwarna ungu muda dan menambahkan air putih serta sirup melon ke gelas tersebut. Steve harus cukup puas dengan makanannya hari ini. Seharusnya, ia bersyukur karena hari ini ia masih bisa berkonsentrasi menggambar. Tapi nyatanya, ia tidak puas. Tidak dengan berita pagi yang disampaikan Bibi Margareth tadi.

Belum sempat Steve berpikir jernih, ia mendengar ada suara mobil yang memasuki halaman rumahnya. Steve bangkit dari duduknya dan sempat meletakan piring kotornya ke dalam wastafel.

Steve lalu keluar dari rumah dan bersandar pada tiang porch sambil memasukkan tangan ke saku celana jeansnya. Steve mendapati sebuah taksi berhenti agak jauh dari pintu depan. Pintu supir terbuka terlebih dahulu lalu pintu penumpang terbuka dan Steve melihat Bae keluar dari taksi tersebut. Belum sempat ia bertanya pada dirinya sendiri, seorang wanita keluar dari pintu yang sama dengan Bae dan menutup pintu taksi. Kenapa Bae naik taksi? Di mana mobilnya?

Bae dan wanita tersebut menghampiri supir taksi yang sedang mengeluarkan sebuah koper besar berwarna kuning dan satu koper kecil berwarna sama.

"Steve!," seru Bae yang pada akhirnya menyadari bahwa Steve sedang memperhatikannya. "Apa yang kau lakukan di sana? Bantu aku membawa koper ini ke dalam."

Steve memang masih kesal tapi ia tetap membantu. Tanpa berniat menyapa tamunya, Steve mengeluarkan pegangan koper kuning besar dan menyeretnya menuju rumah. Ia membiarkan koper besar itu berada di dekan kursi rotan di teras depan, sedangkan Steve kembali bersandar pada posisinya semula.

Steve tidak dapat mendengar apa yang Bae dan tamunya katakan pada supir taksi. Tapi, supir taksi itu kembali ke dalam mobil tanpa meninggalkan rumah sedangkan Bae dan tamunya, yang menarik koper kuning kecil, berjalan menuju rumah. Steve lagi-lagi mengernyitkan dahi, bingung.

Ketika akhirnya mereka tiba di teras, Bae tersenyum pada Steve.

"Terima kasih sudah membantu."

Bae menarik koper besar masuk ke dalam rumah. Wanita yang bersama Bae mengikutinya. Sebelumnya, wanita itu juga tersenyum. Tersenyum sangat sopan kepada Steve, padahal Steve yakin ekspresinya sama sekali tidak menunjukkan keramahan sama sekali.

Bae dan tamunya berhenti di depan tangga dan saat Steve menghampiri mereka, keduanya memandang Steve.

"Steve, aku kenalkan kau, Rosemary Kearney," kata Bae tersenyum pada Steve. Ia beralih ke Rosemary, "Dan ini Steve, keponakanku."

"Selamat datang Miss Kearney," sapa Steve sopan.

"Rosemary saja. Terima kasih."

Steve menaikkan alis kanannya. Terkejut. Bae mengatakan bahwa wanita ini berasal dari San Francisco tapi baru saja Steve mendengar sebuah aksen asing dari suara Rosemary. Sama sekali tidak terdengar seperti San Francisco.

"Steve, tolong bawa koper ini ke atas dan juga tolong aku tunjukkan kamar Rosemary. Aku harus segera kembali ke rumah sakit. Sepertinya aku akan pulang malam sekali. Jangan tunggu aku untuk makan malam, kalian bisa makan bersama."

Steve mendengus pelan tanpa disadari kedua wanita di dekatnya. Jadi, Bae meninggalkan mobilnya di rumah sakit dan menjemput Rosemary di bandara menggunakan taksi.

"Rose, maaf sekali aku harus segera pergi. Kau bisa beristirahat sejenak. Jika kau butuh sesuatu, aku yakin sekali Steve akan senang hati membantumu."

Untuk kesekian kalinya, Steve mengernyitkan dahi dan menatap heran Bae. Steve yakin sekali, Bae tahu bahwa Steve tidak sedang hatinya.

"Terima kasih Dokter Wilson," kata Rosemary sopan. "Aku akan berusaha untuk tidak merepotkan siapa pun di rumah ini."

Dan Steve kembali menaikkan alis kananya. Suara dan aksen Rosemary terdengar lembut di telinganya. Untuk sejenak, Steve membiarkan dirinya memperhatikan Rosemary. Dia berpakaian sangat casual, menurut Steve. Turtleneck hitam berlengan panjang yang dipadukan dengan straight jeans berwarna biru. Rambutnya ikal sebahu dan warnanya... Astaga! Rambutnya berwarna perak dan ungu. Steve tidak yakin bagaimana menyebutnya, tapi di matanya, rambut itu berwarna perak dan ungu.

"Aku sudah sangat terlambat. Sampai jumpa."

Bae pamit setelah mencium pipi Steve dan tersenyum pada Rosemary. Meninggalkan Steve dan Rosemary.

Tanpa menunggu lama dan tidak ingin suasana menjadi canggung, Steve langsung naik ke lantai dua dengan koper kuning besar di tangan kanannya. Ada sesuatu yang tidak Steve ketahui. Bae tidak memberitahu kamar yang mana yang akan ditempati Rosemary?

Ketika keduanya sudah di lantai dua, Steve beralih pada Rosemary dan berkata,

"Kau bisa tunggu di sini sebentar. Aku akan mengecek kamar mana yang sudah disiapkan Bae untukmu."

Pertama, Steve menuju kamar di serong kanan tangga yang berhadapan langsung dengan ruang santai di lantai dua. Steve mendapati kamar tersebut penuh dengan barang-barang Bae yang sudah tidak pernah digunakan lagi. Steve keluar dari kamar tersebut dengan hembusan napas yang terasa begitu berat. Hanya ada satu kamar yang tersisa.

Steve kembali pada Rosemary yang masih menunggu.

"Kamarmu ada di sebelah sana," Steve menunjuk ke arah seberang tangga. Ada pintu di pojok lorong kecil. "Itu kamarmu dan pintu satunya lagi adalah kamarku. Ada kamar mandi di dalam kamar dan aku yakin Bae sudah merapikan kamar itu."

"Terima kasih Steve," kata Rosemary sopan.

"Jika kau butuh bantuan, kau bisa memanggilku. Jika aku tidak ada di kamar, mungkin aku ada di ruangan lain di rumah ini."

Lagi-lagi Steve melihat Rosemary tersenyum sopan padanya. "Kau sangat baik. Aku rasa, aku akan istirahat sebentar."

Steve mengangguk. "Selamat beristirahat."