Pangeran Gagak
Haikyuu FurudateHaruichi, aku menulis cerita ini hanya karena aku mencintai Libero Mungil yang bernama Nishinoya Yuu.
Warning : OOC AF, POV 1, ini cerita manis-manis doang, Kerajaan karena aku lagi seobses itu sama cerita kerjaan, jadi kemungkinan banyak yang salah, karena aku nggak pernah bikin cerita nobleman. Cerita ini bisa membuat norang sakit mata, jadi mohon siapin lem G, eh bukan obat mata di sebelah anda.
Pairing : Atsumu x Nishinoya (Thanks requestnya dari Indonesian Otaku. Aku nyediain request nggak, ya, enaknya.)
Summary
Nishinoya adalah satu-satunya gagak yang tersisa. Semua orang menganggap keberadaannya merupakan pembawa sial dan mulai mengucilkannya. Namun dia bukan Gagak lemah yang menyedihkan. Bila mereka menganggap dia adalah pembawa sial, maka dia tak segan membagikan kesialan itu. Hingga akhirnya dia tidak sengaja membawa kesialan itu pada Miya Atsumu. Rubah mengerikan yang tidak segan membunuh orang yang tak disukainya.
Happy Reading
Mereka bilang, aku adalah pembawa sial. Selama lima tahun terakhir aku berusaha mati-matian untuk membuktikan semua itu tidak benar. Akan tetapi, pada akhirnya, mereka semua tetap berpegang teguh pada keyakinan mereka. Bahwa aku adalah pembawa sial, pengantar pesan kematian, makluk terkutuk yang tak seharusnya ada, keberadaan yang menjijikkan, dan keturunan iblis. Nyatanya, aku bertanya-tanya, apakah benar akulah keturunan iblis itu, atau mereka lah yang memelihara iblis di dalam hati mereka. Disangkar ego dan arogansi yang disepuh emas.
Aku tidak pernah melupakan penghinaan mereka terhadapku di setiap pesta kaum bangsawan. Pun mereka selalu mengirim undangan-undangan untuk mempermalukanku, karena tahu betul aku tidak diperkenankan menolak setiap undangan mereka. Sebagai satu-satunya garis keturunan gagak yang tersisa.
"Kenapa kau melakukan itu?" kata Sugawara, kepala pelayan yang lebih seperti ayahku sendiri. Dialah yang menemaniku selama lima tahun terakhir setelah pembantaian malam itu. Tidak ada yang benar-benar mengerti siapa yang membunuh garis keturunan gagak. Dulu aku berhasil selamat karena tengah pergi menemui Oikawa Toru. Si kecil aku pun tidak mengerti dan hanya menyalahkan orang-orang dan bersikap menyedihkan. Baru setelah aku berusia 17 tahun dan cukup besar untuk mengerti, Sugawara memberi tahu tentang orang-orang yang membenci keturunan Gagak hanya karena mereka dianggap pembawa sial.
Setelah mengetahui semua sejarah itu—yang orang tuaku sembunyikan rapat-rapat hingga akhirnya aku hanya bisa menangis ketika mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari mereka—aku berhenti menjadi makhluk cengeng yang menyebalkan. Sebagian besar perubahanku juga merupakan campur tangan kakek dari pihak ibu, yang sekarang mengatur kehidupan keluarga Gagak, dan menjadi kepala keluarga hingga upacara kedewasaanku—yang artinya tahun depan—yang bukan merupakan garis keturunan para gagak. Beliaulah yang mengajariku untuk menjadi pribadi penuh percaya diri. Meskipun pelajarannya memelintir jauh dari ekspentasinya. Bukan hanya menjadi pribadi yang penuh percaya diri, aku berubah menjadi biang masalah, pembuat onar, makhluk liar, dan ditakuti.
Nah, bukankah itu sudah sesuai dengan kriteria gagak yang mereka harapkan? Kenapa sekarang mereka ketakutan ketika menyadari aku bertindak sesuai ekspentasi bohong mereka?
"Mereka yang menganggapku pembawa sial, aku berbaik hati untuk menyebarkan kesialan yang mereka tempelkan padaku. Apa yang salah dengan itu?"
Sugawara menghela napas. "Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Suatu saat kau akan salah memilih targetmu."
Aku tidak tahu kenapa Sugawara harus membesar-besarkan hal itu. Takeru memang pantas mendapatkan sedikit masalah, dan cara terbaik untuk membalas semua perlakuannya yang menyebalkan adalah dengan mengganggu adiknya. Lagipula, aku tidak melakukannya seburuk itu. Aku hanya menakuti anak kecil itu dengan kadal di dalam tasnya, bukan sebuah candaan yang bisa melukai siapa pun.
Wakuman selalu membesar-besarkan sesuatu. Entah kasih sayang pada keluarganya, atau rumor yang mereka sebarkan kemana-mana. Sejujurnya, tidak adil untuk adik Takeru, tetapi anak itu memang harus belajar, tidak ada yang adil di dunia ini.
"Nah, Sugawara, siapkan kereta kuda untukku. Aku perlu menemui Oikawa."
Sugawara bergeming. "Apakah Tuan Iwaizumi akan menemani kalian?"
Ah ... Iwaizumi. Satu-satunya orang yang tidak peduli—dan bahkan membelaku dari rumor-rumor itu—dengan kepala dingin. Dia adalah teman masa kecil Oikawa, kesatria, sekaligus orang yang akan menemani karirnya—lebih seperti orang yang akan memegang tali pengekang bagi Oikawa yang seenaknya saja—untuk menjadi duke di masa depan. Aku bukannya membenci Iwaizumi, tetapi orang itu selalu mengganggu rencana-rencanaku dengan alasan aku seharusnya bersikap lebih menyerupai bangsawan daripada kaum barbarian. Nah, memangnya apa yang dia ketahui tentang kaum barbarian?
"Entah," jawabku sambil nyengir. "Kami kan hanya ingin bermain. Kenapa harus ditemani Iwaizumi?"
"Karena permainan terakhir kalian hampir membuat putra mahkota menjatuhkan hukuman pada kalian."
"Nah, Pangeran Wakatoshi memang tidak bisa diajak bercanda."
Sugawara menghela napas. "Yu, kau harus menghentikan semuanya. Kau bukan lagi anak kecil. Reputasimu semakin hancur dan itu tidak akan ..."
"Sugawara," kataku dingin. "memang ada bedanya, bila aku tidak melakukan hal itu?" Sugawara menunduk. Dengan bijak memilih tidak melanjutkan pembicaraan ini. "Lupakan tentang kereta kuda. Kau bisa pergi sekarang!"
"Nishinoya -."
"Haruskah aku mengulangi ucapanku?"
Sugawara menunduk, kemudian pamit undur diri. Sebenarnya aku mengerti dia hanya khawatir padaku. Namun akankah kekhawatirannya membawa hasil? Kebencian mereka padaku bukan karena aku melakukan hal-hal menyebalkan seperti mengganggu mereka di pesta dansa, mempermalukan mereka di pacuan, atau hal-hal remeh lainnya. Mereka membenci garis keturunanku.
Dia membenciku karena aku adalah seorang gagak, yang berarti mereka membenci eksistensiku.
Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu membenci gagak. Apa karena kami adalah penyihir hitam yang diberi gelar bangsawan dan wilayah oleh raja terdahulu? Atau karena kami adalah orang-orang yang bergelut dengan sihir kematian sehingga mereka takut kami akan menyebar kematian-kematian itu? Apa mereka serius berpikir semua kematian aneh adalah ulah dari para gagak?
Betapa menggelikan.
Mereka selalu berpikir keberadaan mereka jauh lebih baik dari kami, tetapi pada akhinya mereka bukanlah apa-apa. Kamilah yang turun dalam perang, dan salah satu perang itu menewaskan dua saudaraku. Daichi dan Asahi. Sebagian besar yang lain, termasuk si kecil Hinata dan anak bibi dari ayahku, Kageyama. Bahkan kesatria yang menemaniku sejak kecil, Tanaka. Seluruh pembantaian itu, terjadi hanya karena mereka membenci kami, padahal kami tidak pernah melakukan apa pun pada mereka. Tidak pula menyentuh ujung jemari atau helai rambut mereka. Dan orang-orang itu masih berkeliaran, sementara tragedi keturunan Gagak itu hanya diingat sebagai karma yang pantas kami dapatkan.
Dan di atas semua itu, tidak ada hal yang bisa kulakukan. Penyelidikan tidak berjalan baik. Aku bukanlah orang dewasa yang bisa meminta penyelidikan secara resmi. Apalagi ketika kerajaan menutup semua akses itu. Aku hanya bisa menyewa satu dua informan yang tidak memiliki informasi berarti bahkan ketika aku memberikan koin-koin emas atau permata. Seluruh penyelidikan itu selalu berakhir di jalan buntu.
Aku berharap dengan membuat onar, orang-orang itu akan bergerak dan tahu bahwa ada keturunan Gagak yang mereka lewatkan. Akan tetapi mereka tidak terpancing, tidak mencoba membunuhku, atau bahkan melukai. Atau fakta bahwa aku adalah keturunan gagak cacat membuat mereka berpikir aku tidak cukup bernilai untuk dilenyapkan? Bahwa keturunan Gagak akan tetap lenyap baik ada atau tidaknya aku untuk meneruskannya?
Setiap kali pemikiran itu muncul, aku ingin segera bertemu wajah-wajah mereka dan menyaksikan bagaimana wajah penuh arogansi itu memucat, karena keturunan gagak terakhir yang mereka remehkan. Hanya itu satu-satunya hal yang membuatku terus bertahan selama ini.
"Aku tidak sabar menunggu upacara kedewasaanku."
Siang itu, aku menerima surat dari salah satu informan yang kubayar. Aku tidak yakin informasi yang mereka miliki cukup bernilai, tetapi aku meraih jubah hitam, belati, dan topeng. Meski aku tidak yakin mereka akan terkelabuhi. Lagipula mereka pasti sudah tahu siapa aku, tetapi tidak ada salahnya menyembunyikan identitas.
Kakek melarangku mencari tahu tentang peristiwa malam itu—dan itu membuktikan beliau memiliki informasi tentang peristiwa itu dan memilih untuk menyembunyikannya—dan melarangku pergi tanpa penjaga. Akan tetapi, satu, tidak ada penjaga atau kesatria, yang mampu mengimbangi gerakanku, dan dua, mereka lebih lemah daripadaku, jadi bagaimana mereka bisa melindungiku?
Sekalipun tidak bisa terbang, dinding itu tidak cukup tinggi untuk menghentikanku. Kakek membangun dinding ini untuk membuatku berhenti menyelinap, itu berfungsi selama dua tahun, tetapi tidak pernah cukup lama untuk membuatku tetap diam. Tetapi beliau bahkan tidak tahu aku bisa memanjatnya, dan aku berniat untuk terus membuatnya berpikir demikian.
Setelah memastikan tidak ada orang, aku melompat keluar dinding, melewati jalanan, dan dengan cepat melesat diantara pohon-pohon. Sekalipun keluarga bangsawan, wilayah kami lebih didominasi oleh hutan-hutan dan satu desa yang agak jauh dari kediaman keluargaku. Aku perlu pergi ke wilayah para rubah untuk mendapatkan informasi, karena merekalah yang terbaik di antara seluruh makhluk. Meskipun begitu, tidak ada yang pernah benar-benar bertemu putra pertama dari keluarga rubah.
Miya Atsumu. Dia adalah informan terbaik, prajurit bayangan terbaik, sekaligus pembunuh terbaik bahkan sebelum dia mencapai usia kedewasaan. Dia telah ikut berperang dihari pesta kedewasaannya, sehingga hanya meninggalkan Miya Osamu di sana. Aku pernah bertemu Tuan Osamu beberapa kali, dia bukan orang yang jahat, tetapi bukan pula orang ingin kujadikan sekutu. Tidak pernah ada yang bisa menebak jalan pikiran rubah, dan aku tidak berniat meniti tali untuk menyebrangi jurang.
Lagipula, aku tidak akan berurusan dengan mereka kecuali sebagai perwakilan dari keluarga Gagak. Itu pun kalau mereka menganggapku sebagai perwakilan.
Kegelapan malam bukan gangguan untukku, bahkan bila bulan tidak sedang bersemangat bersinar. Berjalan di kegelapan sama seperti berjalan di bawah terik matahari. Pohon-pohon yang kulewati tidak terlihat mengerikan—mereka akan menjadi mengerikan jika Oikawa ada di sekitar mereka, selain itu mereka hanya akan diam—dan hewan buas tidak akan menentang perintahku.
Hanya saja, sudah cukup lama aku tidak pergi dengan portal teleportasi, dan melupakan di mana tepatnya aku menyimpan lingkaran sihir itu. Kalau saja sihir hitam yang kugunakan tidak bisa dirasakan oleh orang-orang lain, aku pasti akan menyimpan portal itu di kamar, atau mungkin tidak. Portal ini cukup lemah sehingga semua orang yang mengetahui mantranya bisa menggunakannya. Menyimpan benda ini di kediaman Gagak sama seperti memberi jalan masuk bagi para penyusup, dan seperti yang kukatakan di atas, yang ingin memenggal kepalaku tidak hanya ada satu atau dua.
"Ada." Portal itu kutemukan di balik batu dan dua pohon yang berdempet. "Aku menyembunyikannya dengan baik."
Aku menyayat tanganku dan membiarkan darah itu menetes di portal sembari membaca mantra.
"Dengan darah ini aku memerintahkanmu membawaku ke portal yang telah kusiapkan di desa rubah."
Sihir itu meledak, dan dalam satu kedipan mata seluruh tubuhku terasa seperti dilontarkan dengan meriam. Yah, memang tidak ada kenyamanan saat menggunakan sihir hitam, tetapi aku tidak bisa pilih-pilih. Sedetik kemudian aku bisa merasakan sekelilingku berubah. Kepalaku masih berdenyut-denyut, sehingga aku tanpa sadar memeganginya. Mataku buram, perlu beberapa saat untukku menyatukan semua itu.
"Siapa kau?" Aku terkesiap. Suara dingin di belakang kepalaku, terasa lebih mengerikan daripada dinginnya besi yang menempeli leherku. Aku bisa merasakan dia tidak sabar ingin mengiris leherku saat itu juga. "Bagaimana kau bisa memasang portal sihir hitam di kediamanku?"
"Aku ... apa?"
Belati itu semakin kuat menekan hingga aku bisa merasakan darah mulai menetes dari sana. Sial, aku tidak bisa menggunakan portal itu dalam sekali jalan. Perlu waktu tiga jam untuk portal ini siap digunakan. Jadi, melarikan diri dengan portal ini sama sekali tidak mungkin.
"Aku tanya siapa kau?"
Nah, sekarang bagaimana aku menjawabnya? Aku melirik, tetapi belati itu terlalu menekan leherku.
"Hanya pengelana," jawabku. "Sepertinya ada yang salah dengan sihir yang kugunakan. Aku tidak bermaksud menyelinap."
Itu bukan jawaban yang tepat, karena belati itu semakin mengiris leherku dengan tidak sabar. Sial, bagaimana aku menjelaskan tentang luka ini pada Sugawara besok?
"Pengelana," dengusnya. "Aku tidak pernah bertemu pengelana yang menggunakan sihir hitam, jubah, dan topeng. Katakan! Siapa yang ingin kau bunuh di sini?"
"Tidak seorang pun." Aku mencoba menenangkan diri sembari menggumpulkan mana. Aku juga tidak bisa berteriak karena pada akhirnya aku hanya penyusup di sini—meski tidak bermaksud melakukannya—dan siapa pun orang di belakangku tidak ragu membunuhku sekali aku membuat gerakan yang salah. "Aku berniat untuk melewati portal di desa."
"Bagaimana kalau kau mulai jujur, karena aku tidak memiliki kesabaran sebanyak saudara kembarku."
Aku terbelalak. Saudara kembar, aku bisa mengenali suara Osamu, tetapi ini bukan dia, dan satu-satunya kembar di desa rubah adalah Miya bersaudara. Yang artinya, orang ini adalah Atsumu. Betapa sialnya aku hari ini.
"Miya Atsumu," gumamku. Tidak kurasa ini bukan kesialan. Kalau aku memang menginginkan informasi berharga, Atsumu adalah orang yang paling tepat untuk kutanya. Meskipun itu artinya aku harus mempertaruhkan nyawa. Aku meneguk ludah susah payah. Tidak. Ini mungkin satu-satunya kesempatanku. "Aku Nishinoya Yu. Kau pasti sudah mengenalku sebagai Keturunan Gagak yang tersisa."
"Nishinoya Yu?" tanya Atsumu bimbang. "Aku mengetahui tentangmu. Apa yang kau lakukan di desa rubah?"
"Aku sedang mencari informasi tentang peristiwa itu," jawabku dengan ketegasan terbaik yang kumiliki. "Salah satu informan yang kusewa mengatakan dia memiliki informasi baru."
Tanpa kuduga, Atsumu tertawa keras. "Bangsawan pembuat onar dan kekanakan seperti Nishinoya terpikirkan untuk menyewa informan dan mencari orang yang membunuh keluarganya? Jangan membuatku tertawa! Katakan siapa kau?"
"Kau bisa membuka topengku kalau kau mau."
Atsumu diam sebentar, kemudian pisau itu menjauh. Belum sempat aku bereaksi, dia telah memutar bahuku, dan memaksaku menghadapnya. Aku mempertahankan keseimbangan karena gerakan tiba-tiba itu dan mendongak hanya untuk menatap sepasang mata topaz itu berkilat dengan kebengisan sekaligus wibawa yang mengagumkan. Rambutnya yang pirang tampak berkilau di bawah cahaya bulan. Rahangnya tampak mengagumkan meski dia memiliki bekas luka di pipi kanannya. Bekas luka itu bukannya mengurangi ketampannya, malah memberikannya kesan liar yang menggoda. Aku bukan orang yang mudah jatuh cinta—meskipun aku tidak mempedulikan jenis kelamin, dan pernah berkencan dengan baik pria maupun wanita—tetapi lelaki ini memiliki sesuatu yang membuat siapa pun terpesona.
Dia begitu mirip dengan saudaranya, tetapi ada sesuatu di auranya yang membuat Atsumu bisa berdiri sebagai Atsumu. Yang menjadi identitas diri baginya. Tatapan lelaki itu seolah mencoba menembus kepalaku, dan tanpa kusadari dia telah menarik pergi topeng, dan mendorong tudung jubahku. Meninggalkan aku yang mematung, dan dirinya yang membuka mulutnya, tetapi menutupnya lagi seolah tidak kuasa mengatakan apa pun.
"Kau tahu apa yang terjadi pada keluargaku, kan?"
Matanya melembut. Apa yang membuatnya demikian?
"Berhenti mencari tahu," katanya pada akhirnya. Dia menjauhkan diri, dan memasukkan belatinya ke dalam sarung di pinggangnya. "Pulanglah! Aku akan menganggap kau tidak pernah ada di sini."
"Katakan padaku!" bentakku. Dia benar-benar tahu apa yang terjadi, tetapi berani-beraninya dia memintaku berhenti mencari tahu. "Apa yang terjadi?"
Bukannya menjawab, lelaki itu berbalik pergi. Aku menggertakkan gigiku marah, dan mencoba menyerangnya. Akan tetapi, lelaki itu dengan sigap mengangkap pergelangan tanganku, memiting dan mencengkramnya cukup kuat hingga mau tak mau, aku menjatuhkan belati itu. Sebelah tangannya yang lain melingkari pinggangku, lantas sebagian bobotnya terasa berat di punggungku. Dia berbisik di telingaku.
"Berhenti mencari tahu kalau kau masih ingin hidup." Dia melepaskan tanganku begitu saja. "Pulanglah, lupakan tujuanmu. Tetaplah menjadi bocah kekanakan yang suka mencari masalah bodoh dengan bangsawan lain!"
Aku tertawa pedih.
"Terlambat." Aku menatap Atsumu tepat di matanya. "Aku tidak pernah berniat untuk berhenti."
Mana yang kukumpulkan cukup untuk membuat ledakan asap. Seketika itu juga seluruh wilayah itu terkepung asap yang membutakan, akan tetapi Atsumu tidak bergerak. Seolah dia tidak pernah berniat untuk menangkapku sejak awal. Bahkan saat aku melompat pergi melewati dinding-dinding yang tinggi sementara para pengawal berteriak di belakangku, aku tidak melihat Miya Atsumu mencoba mengejarku.
Jantungku berdentum kencang. Sial, sebaiknya aku tidak memikirkan orang itu, juga melupakan ekspresi penuh kesedihan yang seolah berkata, dia ada dipihakku.
TBC
Jadi gini, ini nggak panjang(Udah berapa kali aku bilang gini, tapi ternyata ceritanya jadi panjang?) Eh aku serius. Paling mentok lima chapter, kok. Ya ... paling mentok lima chapter, nggak akan panjang-panjang. Kalo panjang-panjang nanti aku nggak bisa bikin novel sendiri. Hiks ...
Anyway so ini deh AtsuNoya, dan karena aku berjanji ini nggak panjang jadi ya nggak panjang. Oke, udah, gini aja. Love u. Sampai jumpa di chap depan. (Kalau bisa sih besok)
