Berkah

JJK Fanfic

"Some children are simply born with tragedy in their blood"

.

.

Megumi tau kalau hidupnya tidak akan benar-benar tenang. Dia tau sejak mulai bisa berpikir, dia tidak akan punya kehidupan yang sama seperti kebanyakan orang di luar sana. Meski kakak tirinya ikut tinggal satu rumah dengannya, dia tau kalau dia terlalu berbeda dan mustahil bisa sama seperti sang kakak. Megumi, sebagai seorang anak kecil yang terbiasa diam memperhatikan, tidak pernah bertanya detail kepada pria dewasa yang dia panggil "ayah". Barang kali terlanjur tidak peduli atau terbiasa dengan rutinitas ayahnya yang suka menghilang selama berbulan-bulan. Sekalinya pulang juga selalu terluka entah ringan atau berat. Ayahnya tidak banyak bicara dan terlihat selalu menyibukkan diri dengan apapun yang dikerjakannya itu.

Selama ini, Tsumiki yang selalu bertanya. Tsumiki selalu yang memberanikan diri menanyakan apa pun pada sang ayah. Meski hanya dapat jawaban pendek dan ala kadarnya, Tsumiki tampak sangat puas.

"Setidaknya dia bicara pada kita, Megumi."

Katanya seperti itu dengan wajah ceria. Tsumiki memang luar biasa. Luar biasa polos dan baik. Dia menerimanya dengan senang hati dan mengatakan bahwa itu adalah berkah. Megumi tak paham. Tidak paham dengan dua anggota keluarganya yang (menurutnya) abstrak ini.

"Besok, ikut ayah ke suatu tempat. Ada yang ingin ayah tunjukkan."

Dan lagi, sebagai anak yang baik, Megumi tidak bertanya. Dirinya menatap agak lama wajah sang ayah yang juga menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan sebelum akhirnya mengangguk patuh. Setelah beberapa kali menghabiskan waktu dengan sang ayah, Megumi benar-benar tidak mendapatkan kehidupan yang tenang.

…..

Toji bukanlah ayah yang baik.

Mana ada orang tua yang tega menelantarkan anaknya sendiri, pergi berbulan-bulan sampai lupa rumah sendiri, dan suatu hari ketika akalnya membaik, dia pulang ke rumah setelah pergi berbulan-bulan tanpa beban. Mengabaikan kedua anaknya dan melakukan kesibukan sebagai seorang pria dewasa lalu memikirkan pekerjaan macam apa yang akan dikerjakan agar masih bisa bertahan hidup.

Toji lupa dia punya seorang putra yang punya teknik kutukan –yang bisa dikatakan langka- dari darah keluarganya, Zenin. Teknik yang sangat berguna dan muncul kembali setelah seratus tahun hilang. Teknik yang diincar keluarganya sendiri, Zenin, yang mungkin akan diperalat sedemikian rupa agar tujuan busuk mereka tercapai. Meski sebenarnya memanggil mereka dengan sebutan "keluarga" membuatnya ingin muntah, namun sayangnya, darah lebih kental dari air. Pada akhirnya, Toji akan menjual anaknya sendiri ke mereka yang sudah membuat hidupnya menderita dari kecil.

Menjual. Hm.

Sudah dipastikan kalau Megumi akan ditunjuk sebagai pewaris keluarga Zenin, tanpa diragukan lagi. Dengan teknik kutukan yang bisa menggunakan sepuluh shikigami dari bayangan, tentu menjadikannya harta paling berharga yang dimiliki keluarga Zenin. Keluarga yang isinya hanya orang-orang tak beradap yang membuat Toji menderita. Nekat kabur dari neraka itu dan membuat hidupnya sendiri. Toji tidak pernah berpikir akan memiliki keluarga sendiri. Tidak pernah sekalipun di seluk beluk otaknya yang mulai sempit karena rasa frustasi yang terus menghantui berpikir orang macam dia bisa bahagia.

Toji sudah memutuskan untuk tidak pernah menghargai orang lain dan dirinya sendiri. Itu keputusan yang dibuatnya sangat lama. Tapi rasanya, semua pendirian dan janji untuk dirinya sendiri langsung runtuh begitu saja ketika perempuan itu hadir. Dia sudah melakukan sesuatu di luar dugaan.

Dan, tunggu. Toji menyadari sesuatu. Sejak hari dimana dia bertemu kembali dengan Naobito dan memberitau tentang Megumi, perasaannya tidak pernah tenang. Apa dia khawatir? Atau tidak rela?

Toji yakin sekali yang sering mengganggunya akhir-akhir ini adalah dua perasaan itu. "Heh," Toji ingin menampar dirinya sendiri. Tidak disangka ternyata dia sayang pada anaknya. Dan jika dipikirkan lagi, kenapa dia harus menyerahkan anaknya pada mereka? Memangnya apa yang keluarganya pernah lakukan pada Toji selain menghina, menyiksa, dan memandang rendah dirinya? Tidak ada. Mereka sama sekali tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat Toji merasa bangga bisa menyandang nama "Zenin".

Kenapa dia harus menyerahkan hartanya pada mereka yang tidak pernah melakukan apa-apa untuknya? Daripada menyerahkan mereka yang melatih teknik kutukan anaknya, mengapa tidak dia saja? Toji sejatinya tidak punya energi kutukan tapi bukan berarti dia tidak bisa bertarung. Di tambah, tempat itu terlalu bahaya. Meski Megumi punya berkah yang keluarga itu mau, memangnya ada jaminan dia bisa hidup enak tanpa konflik perebutan kekuasaan?

Benar.

Jika Toji tidak bisa mengasah teknik kutukan anaknya, mengapa tidak melatih otot dan menjadikannya petarung seperti dia saja? Toh, hitung-hitung bekal di masa depan nanti.

"Besok, ikut ayah ke suatu tempat. Ada yang ingin ayah tunjukkan."

Toji tidak akan membuat Megumi sama seperti dia, seorang pembunuh shaman. Toji itu sampah dan dia tidak mau anak-anaknya menjadi sama sepertinya. Mereka punya masa depan.

"Dengar baik-baik, kau kuat. Jadi gunakan itu untuk melindungi dirimu dan Tsumiki. Cukup kalian berdua. Gunakan teknik kutukanmu sebebas mungkin. Tak apa jika kau jadi gila di pertarungan, lagi pula itu bagus. Musuhmu tidak akan tau apa yang akan kau lakukan. Buat mereka bingung dan takut. Dan berjanjilah, apa pun yang sudah terjadi dan yang kau tau, jangan katakan apapun. Paham?"

Megumi, tanpa disangka, lumayan penurut. Entah karena dia sudah tidak peduli mau seperti apa hidupnya nanti atau karena kelewat paham situasinya. Toji juga tidak pernah ingat kapan Megumi mengeluhkan sesuatu. Bahkan disaat diberi latihan berat sampai-sampai tangannya patah pun, Megumi tetap diam. Anaknya itu hanya akan diam, merenung, dan menatapnya dengan tatapan campur aduk. Pernah sekali Toji menangkap rasa benci ditatapannya itu. Hanya sekilas, sebelum menghilang menjadi kosong.

Toji tidak tau dia pantas menyesali ini atau tidak karena sudah menyeret anaknya secara langsung ke dunianya tapi dia tau cepat atau lambat Megumi juga akan masuk ke dunia ini. Lebih cepat lebih baik. Ya, kan?

…..

Tsumiki bisa dibilang adalah satu-satunya alasan kenapa Megumi masih menganggap dirinya manusia. Kakak tirinya yang kelewat baik itu selalu menegur dan mengarahkannya ke sesuatu yang asing untuknya namun tidak ke kebanyakan orang. Tsumiki berusaha membantunya untuk lebih ekspresif dan peka akan lingkungan sekitar. Megumi memang peka, tapi itu hanyalah insting bertarung yang tiap hari diasah sebagai predator bukan sebagai manusia. Sering kali gagal dan berakhir dengan tanda tanya tapi Megumi paham secara sekilas. Terutama ketika berinteraksi dengan sesama manusia, Megumi cuma harus mengikuti arus saja dan berhenti jika dia tidak suka dengan arusnya. Megumi bebas ingin seperti apa hidupnya dan ingin seperti apa dia memperlakukan orang.

Karena waktunya hampir selalu dihabiskan untuk berlatih –selain sekolah, melakukan pekerjaan rumah, dan kewajiban lain, Megumi hampir tidak pernah berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Selain tidak ada waktu juga dia tak punya niat berteman sama sekali.

Megumi menghindari pertanyaan-pertanyaan mereka, tidak lebih. Kalau ditanya apa dia ingin main dengan teman-temannya maka jawabannya 'iya'. Dia mau sekali. Tap apalah daya, Megumi harus ikut ayahnya pergi ke suatu tempat dan berlatih keras untuk menjadi kuat. Tidak masalah jika dia tidak jadi yang terkuat, bisa bertahan atau bertarung saja juga sudah cukup. Lebih dari cukup.

Megumi sendiri, terpaksa menjadi dewasa karena keadaan, tidak tau harus senang atau tidak ketika ayahnya secara tiba-tiba lebih rajin pulang dan menghabiskan waktu dengannya. Tidak dengan bermain atau jalan-jalan wajar yang dilakukan para orang tua yang sering Megumi lihat di taman, tapi setidaknya dengan lebih sering pulang, menghabiskan waktu bersama di rumah –meski hampir tidak ada percakapan hangat antara ayah dan anak. Dan yang ada malah pertanyaan basa basi, itu juga sebuah kemajuan besar. Tsumiki saja sampai kegirangan. Dia yang dasarnya murah senyum pun jadi lebih sering tersenyum bahkan saat mereka bertiga hanya kebetulan berada di satu ruangan yang sama tanpa ada percakapan sama sekali.

"Aku senang. Setidaknya dia selalu pulang dan memerhatikan kita. Tdak pergi-pergi lagi seperti dulu," Tsumiki dengan luar biasanya menerima kedatangan dan perubahan sang ayah yang agak aneh dengan tangan terbuka. Sama sekali tidak terbesit pikiran aneh atau curiga. Tsumiki benar-benar menganggap bahwa ayahnya kembali ke rumah karena semata-mata ingin merasakan kebahagiaan dengan keluarga. Meski tanpa adanya kehadiran ibu, Tsumiki merasa anggota keluarganya sudah lengkap. Ini lebih dari cukup. Tsumiki tidak meminta lebih. Dia tidak mau serakah karena serakah itu tidak baik.

Tsumiki merasa dia harus menjadi baik agar bisa bertahan hidup. Selalu berpikir yang lurus-lurus saja dan menikmati hidup dengan waktu yang ada sampai dia mati. Tsumiki percaya jika kutukan pun ada tapi tidak pernah mau mengutuk seorang pun. Malahan, dia tidak ingin semua orang yang ada di muka bumi ini bisa hidup damai dan bahagia dengan segala apa pun cara hidup yang menurutnya nyaman. Karena jika dia menyatakan hal nyaman secara spesifik, takutnya malah menyiksa sebagian orang yang tidak suka dan sepaham dengan rasa nyaman yang Tsumiki maksud.

Tsumiki selalu baik pada orang lain. Selalu memikirkan orang lain terlebih dahulu. Tipikal sifat seorang pahlawan klasik yang di sukai banyak orang. Bahkan Megumi rasa jika Tsumiki dimanfaatkan pun dia tidak akan merasa hal itu sesuatu yang salah. Baik dan bodoh itu beda tipis. Megumi muak dengan segala kebaikan dan perbuatan Tsumiki yang dilihatnya bagai seorang dewi. Barang kali karena perbedaan pandangan yang terlampau jauh hingga sering kali berselisih paham membuat Megumi makin hari makin membenci pemikiran "orang baik". Megumi sendiri juga tidak suka dengan orang jahat dan setuju dengan pemahaman "kejahatan harus dihukum" namun yang menjadi masalah untuk Megumi adalah bahwa di dunia ini terlalu banyak ketidakadilan. Daripada memikirkan harus menjadi "baik" agar mampu bertahan hidup sedangkan "baik" sendiri juga bersifat fleksibel, kenapa tidak hidup biasa-biasa saja? Kenapa tidak hidup seperti yang seharusnya dan tidak perlu mencari muka atau titel apa pun sebagai bentuk apresiasi? Kenapa butuh semua itu ketika bisa hidup saja sudah cukup?

"Aku ingin hidupku lebih bermakna," kata Tsumiki. Wajahnya murung dan matanya berkaca-kaca, hampir menangis. "Setidaknya aku ingin berbuat sesuatu yang bisa dikenang banyak orang. Aku ingin melakukan sesuatu agar mereka ingat seperti apa aku ketika hidup, seperti apa aku ketika bersama mereka. Aku ingin diingat. Meski lambat laun semuanya akan lupa tapi setidaknya aku ingin ada memori yang tersisa di kepala mereka." Tsumiki lalu menatap lekat Megumi yang menatapnya datar. "Bukankah memang seharusnya seperti itu, Megumi? Kamu tidak mau mati sendirian, kan? Bukankah lebih baik seperti itu?"

"Entahlah." Megumi yang sudah berkali-kali melihat kematian seseorang sama sekali tidak pernah berpikiran seperti itu. Baginya, jika seseorang mati maka jiwanya sudah tak ada di dunia dan yang tersisa hanyalah tubuh dingin yang akan membusuk dimakan waktu. Tidak lebih. Tidak ada yang namanya kenangan yang membekas di kepala. "Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Bagiku, bisa bernafas dan bangun pagi sampai besok adalah sebuah keberhasilan." Baginya yang sering melihat kematian seseorang, meski bukan dia yang melakukan, kenangan sama sekali tidak penting. "Aku tidak pernah merasa aku harus melakukan hal baik agar semua orang mengingatku. Maksudnya, bukankah dengan meninggalkan sebuah kenangan malah membuat kepergian kita jadi semakin menyakitkan? Lagi pula, jika berbuat baik setiap hari saja cukup, tidak ada kemungkinan mereka yang kita tolong mengingat kita dengan baik, kan? Manusia itu cepat lupa dan tidak memperhatikan detail kecil. Jika pun mereka mengingatnya, paling lama juga hanya beberapa jam atau tiga hari. Tidak pernah lebih." Untuk Megumi, yang selalu diberitau sisi lain dunia oleh ayahnya sendiri, melakukan apa yang Tsumiki percaya adalah sebuah beban. Anggaplah dia anak kecil yang terlalu egois dan tak berperasaan, hanya memandang sesuatu dari apa yang dia rasakan dan dia lihat, sampai-sampai tak paham dengan namanya perbedaan pendapat yang harus dihormati dan ditahan ketika ada sinyal merah pertanda akan adanya debat, tapi Megumi sesungguhnya hanya mengatakan apa yang ada dikepalanya. Dia kira, jika melakukan ini maka Tsumiki bisa mengerti cara pandangnya namun ternyata tidak. Atau setidaknya, yang Megumi coba pahami dari raut wajah kakaknya yang tiap kali dia mengatakan sesuatu yang mengerikan, Tsumiki berusaha mencerna pelan-pelan ucapan Megumi yang sulit dimengerti.

"Kenapa kamu seperti ini?" Megumi tau Tsumiki frustasi. Masa kecil mereka berdua yang harusnya indah dengan keluarga yang lengkap, yang harusnya penuh canda tawa dan segala sesuatu yang menyenangkan dan normal untuk sebuah keluarga yang sering Megumi lihat di televisi, selalu saja terhalang. Seperti, mereka berdua tidak diperbolehkan untuk bahagia barang sedikit pun.

"Entahlah." Megumi pun juga ingin merasakan apa yang sering dia lihat dan dengar dari orang-orang yang mengatakan bahwa keluarga mereka adalah segalanya. "Aku pun tidak tau. Mungkin… barang kali aku terlalu putus asa dan iri dengan orang lain yang selalu membanggakan keluarga mereka." Ayah mereka sudah kembali. Tapi tak ada sampai empat tahun tiba-tiba menghilang bagai ditelan bumi. Lalu berkat aksinya itu, kekosongan dan luka yang ditinggalkan malah bertambah lebih lebar. Padahal luka lama masih belum terobati dan belum terisi benar. Rasanya seperti ada pukulan berkekuatan besar yang menimpa perasaan mereka. Atau setidaknya, itulah yang Megumi rasakan.

"Aku benar-benar ingin tau bagaimana rasanya memiliki keluarga,"

Tsumiki, sebagai yang lebih tua, tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia pun sama seperti adik tirinya. Hanya saja karena dia masih merasakan kehangatan dan memori tentang ibu mereka dari masa lalu, Tsumiki masih bisa menaruh harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia punya memori indah yang masih terekam dan tersimpan rapi di kepala kecilnya yang tidak Megumi punya.

"Tolong pikirkan sesuatu yang berwarna dan kamu pasti melihat indahnya disekitarmu." Oh, Tsumiki mengatakan hal itu lagi. Lagi dan lagi sampai entah kapan, Megumi tidak tau. Kakaknya terlalu sabar mengingatkannya. Terlalu sering mengatakan sesuatu yang sebenarnya hanya untuk menenangkan dirinya sendiri. Megumi sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tau dia harus patuh dengan ucapan yang lebih tua tapi setiap nasihat Tsumiki sama sekali tidak sampai ke otaknya. Tapi, demi tidak ingin mengecewakan Tsumiki, Megumi akan tetap melakukannya. Apa pun untuk membuat kakaknya merasa diperhatikan. "Jangan pernah menyalahkan mereka yang pergi. Mereka punya alasan, apa pun itu. Kau harus menghargainya."

"Ya," Megumi tau betul bahwa percuma untuk menyalahkan sesuatu yang sudah terjadi dan menyalahkan mereka yang tega melakukan hal ini. Karena semuanya sudah menjadi bubur, tidak ada lagi yang bisa diperbaiki sekarang selain mencoba bertahan hidup dengan uang pas-pasan. "Aku tau." Tapi, meski berkali-kali menimbun perasaan kecewa yang amat sangat dan memilih menahan diri untuk tidak bertanya, tetap saja ada kalanya mereka berdua menanyakan hal yang sama di benak mereka.

Kenapa mereka melakukan hal ini?

Kenapa mereka tidak mengatakan sesuatu sebelum pergi?

Jika memang ingin terbebas dan ingin memiliki hidup yang sesuai dengan ideologi, Tsumiki dan Megumi tidak akan menghalangi, itu hak mereka, hanya saja kenapa tiba-tiba sekali?

Apakah selama ini Tsumiki dan Megumi berbuat nakal?

Megumi lalu berbaring, tepat di samping Tsumiki dan menutup mata, bersiap tidur. Memaksakan diri sekali lagi menelan bulat-bulat kekecewaan dan pertanyaan yang sama bersama Tsumiki di sampingnya. Mereka berdua lalu tertidur lelap.

…..

"Ada kata-kata terakhir?"

Oh? Ini akhirnya?

Menyedihkan. Pembunuh shaman dibunuh oleh shaman.

"Hei, aku sudah berbaik hati membiarkanmu mengatakan sesuatu untuk terakhir kalinya. Tidak mau, ya?" Kata-kata yang sering Toji dengar sejak dulu, kata-kata sombong yang orang-orang dengan kekuatan yang tidak dia punya katakan, kata-kata yang merendahkannya sebagai manusia kembali dia dengar. Sialan. Jika saja laki-laki berambut putih itu tidak menggunakan teknik terbalik untuk menyembuhkan dirinya sendiri misinya pasti berhasil. "Hei, tuan pembunuh! Dengar tidak?"

Ya, tidak buruk. Toji sendiri juga mulai muak melakukan hal yang sama berulang kali, dia ingin berhenti. Eh, tidak bisa ya? Kalau dia tidak kerja, dia tidak akan dapat uang. Kalau tidak ada uang maka…

"Sudah matikah?"

…Megumi dan Tsumiki… ketika besar nanti, akan jadi orang macam apa mereka?

'Dia belum mati, masih bernafas. Tersengal, sih. Sudah sekarat tapi tidak tumbang, mati berdiri? Hebat. Kekuatan fisiknya bukan main.' Gojo Satoru, shaman tingkat spesial, pemilik enam mata dan teknik kutukan limitless, harta karun keluarga Gojo, target atau lebih tepatnya mantan target Fushiguro Toji kali ini yang masih bersimbah darah namun semua lukanya sudah tertutup sempurna dengan mata biru cerah tanpa penutup mata menatap Toji yang sekarat dengan tatapan waspada. Gojo tau pasti lawannya ini tidak akan melakukan apa-apa lagi, tidak akan ada serangan mendadak lagi dengan tubuh hancur itu jika sejak awal saja dia tidak punya energi kutukan, tapi walau bagaimana pun juga dia tidak boleh lengah. Tidak untuk kedua kalinya.

Melihat lawannya kembali bergerak, Gojo langsung siaga. Tangannya sudah siap mengeluarkan jurus. Dia pasti bisa mengalahkannya kali ini.

"Aku punya anak. Sekitar dua atau tiga tahun lagi dia akan dijual. Lakukan semaumu. Aku tidak peduli." Siapa sangka? Kata-kata terakhir dari seorang pembunuh shaman yang brutal adalah itu. Gojo mengerutkan dahinya tidak paham. Dari sekian banyaknya kata –atau mungkin juga makian, yang ada kenapa harus itu? Aneh. Gojo menyusul ke dalam. Memeriksa apa Getou berhasil melakukan langkah terakhir atau tidak. Setelah semua ini selesai, Gojo ingin bermalas-malasan seharian.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hmmm…

Tolong jawab jujur, apakah cerita ini gaje? Dapet gk sih sedihnya?

Gini ya, entah kenapa tiba-tiba pengen aja gitu buat fanfic JJK dan emang pengen cerita si Mas Rahmat aka Megumi. Tapi, berhubung gk tau alurnya mo kek gimana, yaudah kan… nulis aja gitu, mengalir dengan sendirinya sampe jadi kek gini. Gk tau puas apa enggak ama alurnya. Tapi seenggaknya, keinginan buat cerita tentang Mas Rahmat dah terpenuhilah…

Oh iya. Buat segala timeline yang ngawur dan kata-kata terakhirnya Toji –lupa kek gimana. Pokoknya intinya dia ngomong kek gitulah, tolong abaikan aja, ya. Bagi yang udah tau alurnya dari komik, iyain aja lah ya… wkwk

Udah sih, gitu aja…

Jadi curhat gk jelas gini.

06-05-2021

22:31 WIB