Disclaimer:

© Akutami Gege

Warning!

Semi-canon, spoiler, shonen-ai

Sweet Melody Under the Blossom Tree

Angin musim gugur mengembuskan dedaunan. Suhu udara yang cukup dingin menusuk kulit setiap insan. Absennya awan pertanda tidak akan ada hujan. Ujian? Selalu menyapa dengan sebuah senyuman. Membuat siapapun merasa ditimpa oleh beban. Hanya satu hal yang membuat pikiran menjadi ringan. Nyanyian. Kelopak kegelisahan digantikan oleh mahkota kegembiraan. Siapa yang bisa membuatnya menjadi demikian?

Okkotsu Yuta. Remaja yang kini tengah dimabuk cinta. Terperangkap, membuatnya tidak akan pernah lupa. Akan apa? Perasaan yang tidak pernah sirna. Membiarkannya pergi, ia tak rela. Lelaki itu berkata, "Kau akan selalu berada di hati ini, meskipun kau berada jauh di seberang sana."

Dipetiknya senar gitar. Bibir ranumnya melantunkan melodi. Suaranya terdengar bergetar. Air mata membasahi pipi. Tidak peduli terlihat jelek, dia harus bernyanyi hingga kelar. Bernyanyi layaknya sedang berkomunikasi. "Inumaki, kenapa kau menjauh?" gumam Yuta dilatarbelakangi panorama fajar.

"Senpai … cepat masuk ke dalam. Di luar dingin," bujuk Megumi seraya merapikan piyamanya yang tampak kusut. Yang dipanggil tak kunjung menyahut. Padahal lelaki itu sudah selesai bersenandung. "Apa ini ada hubungannya dengan Inumaki-senpai?" Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Yuta yang sedang merenung.

"Apakah kau merindukannya? Jujur, aku juga." Megumi berjalan mendekati kakak kelasnya dan duduk di sampingnya. Sama-sama menikmati lautan tanpa Sang Surya. "Aku masih tidak percaya bahwa ia‒"

"Inumaki pasti kembali. Dia tidak akan betah sendirian di sana," potong Yuta.

"Okkotsu-senpai …." Megumi menatapnya kasihan.

"Aku pasti akan bertemu dengannya. Dia pun pasti ingin menemuiku," ucap Yuta dengan penuh keyakinan. Lelaki bersurai hitam legam itu tidak tahu bahwasanya dia hampir dianggap tidak waras oleh adik kelasnya sendiri. Di pikirannya hanya ada satu nama. Inumaki Toge. Dia harus menemuinya. Namun, apakah mungkin?

Tentu saja. Firasatku selalu benar, begitu katanya.

"Jika kau butuh bantuan, aku ada di kamarku. Jangan Itadori. Anak itu tidak akan bangun," tawar Megumi sambil beranjak dari tempat duduknya menuju kamar. Ia sempat terbangun karena lantunan kakak kelasnya itu.

Kini, Yuta akhirnya bisa kembali fokus menyendiri tanpa diinterupsi oleh hawa keberadaan orang lain. Hingga suatu saat, mata sayunya tidak bisa lagi menahan kantuk. Raga terbaring di teras asrama.

"Inumaki, suaramu bagus sekali! Bernyanyilah sekali lagi!"

"Nggak."

"Ayolah. Aku tidak pernah menyangka orang yang pelit bicara sepertimu memiliki suara bagai malaikat …."

"Kau mengganggu."

"Jangan pergi dulu … satu bait saja, bagaimana?"

"Kau ini memaksa sekali, Yuta-kun. Huft … baiklah." Akhirnya Toge pun bernyanyi lagi di bawah pohon sakura yang baru saja bermekaran. Surai platinumblonde ditiup sarayu yang sangat mendukung suasana saat itu. Sang vokalis tampak menawan di mata Yuta yang membuatnya diam seribu bahasa. Mulutnya menganga tak peduli ada lalat yang masuk. Yuta merasa berada di dimensi yang berbeda. Suaranya menyejukkan hati. Semua bebannya menjadi terasa ringan.

Bisakah kau terus bernyanyi untukku? batinnya.

"Yuta-kun? Yuta-kun?"

"Okkotsu-senpai?" Yang dipanggil terbangun. Mata terbelalak. Kepalanya menengok ke sana-kemari seperti sedang mencari sesuatu‒atau lebih tepatnya seseorang.

"Senpai … apakah senpai memimpikan Inumaki-senpai?" tanya Yuji dengan setelan santainya.

"Mimpi? Oh … hanya mimpi." Yuta menunjukkan ekspresi datarnya yang sebenarnya menyimpan rasa sakit.

"Cepat mandi. Kita harus pergi ke Shibuya bersama Gojo-sensei," titah Yuji sekaligus mengingatkan. Yuta lantas pergi ke kamarnya. Kali ini dia bisa menurut juga.

•••

Di perjalanan, lelaki bersurai hitam legam itu tak hentinya memikirkan sesosok yang menjadi distraksi di kepalanya. Pemuda bersurai platinum blonde, pelit bicara dan sedikit jenaka. Satu hal yang paling disukai oleh Yuta adalah suara Toge saat bernyanyi. Dia merindukan itu. Seakan-akan menenangkannya dan dapat melupakan masa lalu kelamnya. Namun, lelaki yang dipujanya itu entah di mana saat ini.

Semenjak misi terakhir, Yuta hanya mengingat bahwa Toge ditinggalkan dengan banyak darah yang bercucuran dan tangan yang buntung. Ketika semua rekan timnya mengatakan bahwa Toge sudah tewas, Yuta tidak akan pernah menerimanya dan terus beranggapan bahwa lelaki pelit bicara itu masih bisa bertahan. Namun, ada satu pertanyaan. Mengapa Toge tidak bisa pulang sendiri ke SMK Jujutsu jika ia masih hidup?

"Inumaki … lihatlah matahari itu! Sebentar lagi akan terbenam," celetuk Yuta antusias.

"Iya."

"Inumaki … apa yang kau lakukan jika di dunia ini tidak ada kutukan dan kau bisa hidup dengan tenang?" tanya Yuta yang tidak bisa lepas menatap lelaki di sampingnya. Menatap betapa paripurnanya makhluk di sisinya saat ini.

"Tidak tahu," balasnya yang masih memandang mentari di depannya.

"Jika tidak ada kutukan, maka aku tidak akan pernah melawan. Jika tidak ada kutukan, mungkin aku tidak akan pernah mengenalimu hingga sekarang. Senang bisa mengenalmu, Inumaki …," ungkap Yuta yang tanpa disadari telah membuat Toge mengukir senyumannya di balik seragamnya.

"Aku juga."

Beberapa detik sebelum matahari tenggelam di ufuk barat, Yuta memanfaatkan momen tersebut untuk mengungkapkan satu hal yang selama ini ia pendam. "Inumaki … aku‒"

"Oi, senpai … jangan diam saja! Lampu sudah hijau, kita harus menyebrang jalanan." Suara Yuji menyadarkannya dari fantasinya. Yuta menggeleng kepalanya sejenak, kemudian lanjut berjalan. Dikeluarkannya ponsel dari saku, lalu ditekan tombol power. Terpampang wallpaper yang mana Yuta dan Toge berpose dengan lucu. Yuta menaruh tangannya di atas kepala Toge dan tersenyum dengan menunjukkan giginya yang rapi. Toge berpose dengan membuat peace sign ditambah dengan wajah datarnya.

Yuta tersenyum simpul ketika melihatnya. "Aku pasti akan menemukanmu!" Tanpa ia sadari, ada tiga orang yang memantaunya bersama dengan Yuji dan Gojo dari kejauhan.

"Gojo Satoru sudah terlihat di Shibuya."

"Bagus. Kita tunggu sampai ia masuk ke perangkap kita."

"Dia sedang menuju stasiun."

"Kita akan berada tepat di belakangnya."

"Kedua muridnya itu kuat. Kita harus berhati-hati."

"Kalian saja yang urus murid-muridnya. Aku yang akan berhadapan dengan Gojo Satoru."

"Baik!"

"Yuta-kun …," panggil Toge.

"Ada apa?" tanya Yuta sembari memperbaiki senar gitarnya yang putus.

"Bagaimana … jika aku yang mati lebih dahulu?" tanya Toge sedikit ragu.

"Heh … kau ini bicara apa, Inumaki? Jangan bilang begitu!" Yuta menggoyang-goyangkan kedua bahu lelaki di depannya itu.

"Hanya bertanya saja."

"Kau ini, sekalinya bicara yang panjang, malah kayak gitu. Padahal kau bisa saja 'kan memujiku atau memintaku untuk menciummu‒"

"Mesum!" Toge melepaskan kedua tangan Yuta dari pundaknya dan sedikit menjaga jarak.

"Hahaha! Bercanda …." Yuta tertawa kaku sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kau tahu, aku memang harus meminimalisir setiap ucapanku agar tidak ada yang terkena dampak dari kutukanku, bukan karena aku malas bicara." Yuta mengangguk paham dan menunggu Toge melanjutkan kalimatnya. "Aku minta maaf jika aku harus menggunakan kekuatanku padamu suatu saat nanti."

"Tidak masalah … asalkan kau bilang 'peluk aku!' atau 'jadilah kekasihku!', hahaha!" Toge melempar botol minuman ke arah Yuta yang membuatnya mengaduh kesakitan.

•••

Gojo dan dua muridnya sudah berada di dalam Stasiun Shibuya. Tempat itu ramai pengunjung karena kebanyakan dari penduduk Jepang lebih memilih untuk menggunakan transportasi umum dan berjalan kaki ketika ingin bepergian. Seperti yang telah dijadwalkan, ketiga pria itu akan pergi ke Kyoto untuk menemui petinggi. Belum saja mereka memesan tiket, suasana mencekam tiba-tiba menghampiri.

"Gojo … Satoru." Merasa terpanggil, sang empunya surai purple-white itu mengarahkan pandangannya ke sumber suara. "Tak lama berjumpa."

Gojo diam membeku. Tak pernah ia menyangka hari ini akan datang. Pria yang memanggilnya seharusnya sudah mati. "Suguru Geto …," sebut Gojo hampir berbisik.

"Ini merupakan sebuah reuni yang tak disangka-sangka, bukan? Apa kau tidak merindukanku? Tampaknya kau tidak berubah sama sekali."

"Hm. Iya, aku masih terlihat menawan, bukan? Dan, aku masih menjadi yang terkuat," sahut Gojo diawali dengan tawaan hambar.

"Apa kau tidak ingin melepas penutup mata itu? Tidak inginkah kau memamerkan mata indahmu itu padaku? Sudah lama ku tak melihatnya," bujuk Geto sedikit menggoda.

"Lebih baik kau melihatnya dari dekat, wahai kaisar. Butuh privasi?" balas Gojo tak kalah menggoda.

"Dengan senang hati, tapi setelah kuukir namamu di batu nisan." Dalam sekejap, semua pengunjung stasiun jatuh pingsan. Sepertinya, Geto telah memulai peperangan. Tak jauh di belakang pria berpakaian kimono, ada dua kutukan yang menatap mereka datar. Gojo menitah kedua muridnya untuk mengurusi dua orang di belakang Geto. Mereka pun akhirnya berpencar.

Yuji dan Yuta sama-sama berjuang untuk mengalahkan dua kutukan yang kelihatannya bukan lawan yang mudah. Di tengah pertempuran sengit, Yuji menyarankan kakak kelasnya itu untuk memanggil Megumi. "Kau bodoh? Kamu pikir kau bisa menangani dua musuh sekaligus? Aku tidak punya waktu untuk memanggil bantuan," protes Yuta sambil menahan serangan.

Meskipun mereka sempat-sempatnya mengobrol saat bertarung, mereka masih bisa menghindar dari berbagai serangan. Hingga tiba di mana Yuji terpojok, dan Yuta tidak sempat menolongnya.

"Itadori!"

Dengan tangan dikepal, Yuji siap meninju musuh meski energinya sedikit terkuras. Serangan musuh akan mengenai dada Yuji jika ia tidak kalah cepat. Keberuntungan tidak memihak pada pemuda tanpa energi kutukan itu kali ini, atau mungkin‒

"Ototou, menghindar!" Tiba-tiba saja seseorang melindungi Yuji entah dari mana munculnya. Lelaki dengan garis hitam vertikal di batang hidungnya menangkis serangan dengan kerennya.

"Nii-san!" Yuji merasa lega dan senang akan kehadiran kakaknya itu.

"Sejak kapan kau bersekutu dengan anak itu, Choso?" tanya Mahito, lawan dari Yuji.

"Sejak kapan pula aku bersekutu denganmu?" Choso balik bertanya. Sepasang adik-kakak itu kembali melawan Mahito yang tampaknya semakin bersemangat untuk membunuh mereka. Makhluk yang memiliki banyak bekas jahitan di seluruh tubuhnya itu terlihat tidak kewalahan sama sekali ketika harus berhadapan dengan Choso dan Yuji.

"Nii-san, aku senang kau datang!"

"Aku bisa merasakan bahwa kau berada dalam bahaya …," respons Choso.

Seketika Yuji teringat bahwa Yuta sedang bertarung juga. Maka dari itu, Yuji menyarankan Choso untuk melawan musuh yang sedang dilawan oleh Yuta, dan Yuta pergi mencari bala bantuan dan mengamankan pengunjung lainnya. Idenya disetujui oleh kedua belah pihak. Yuta berlari menjauh dari medan perang seraya menghubungi Megumi.

"Fushi‒" Kehadiran musuh membuat Yuta tidak bisa menyelesaikan panggilannya.

"Ha'i, senpai. Senpai?" sahut Megumi di telepon.

"Maaf, lain kali saja," balas Yuta yang kemudian memutus panggilan sepihak. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk memainkan ponsel. Musuh di depannya memakai hoodie dan tudungnya yang membuatnya terlihat misterius. Ditambah lagi ia memakai topeng. Namun, Yuta tidak masalah dengan itu. Hanya perlu menebasnya dan kembali menelepon Megumi. Dihunuskannya pedang andalannya, kemudian langsung menyerang musuh dengan cepat.

"Tidak mungkin!" Jarang sekali ada yang berhasil menghindar dari tebasan Yuta, kecuali orang itu memanglah sangat kuat. Lelaki bersurai hitam legam itu kembali menyerang.

"Keparat," umpatnya. "Bagaimana bisa ia membaca gerakanku? Tidak ada yang bisa, kecuali‒" Yuta membeku di tempat.

"Yuta-kun, kau meleset."

"Maaf, pedang ini agak berat," jawab Yuta sembari menguatkan genggamannya pada pedang.

"Sepertinya kau harus sering berolahraga. Kau terlihat tidak sehat, lihat saja matamu."

Terkadang aku bersyukur Toge orangnya pelit bicara. Sekalinya banyak bicara, jahat banget! batin Yuta mengeluh.

"Kalau badanku berotot, sepertinya kau akan tergiur," goda Yuta diiringi tawa hambar khasnya.

"Baka!" ejek Toge sembari menendang tulang kering sang empunya netra senada dengan surainya.

"Ittai! Aku hanya bercanda …." Yuta mengusap-usap bagian yang sakit.

"Aku ingin makan salmon. Aku pergi dulu, ya!" pamit Toge.

"Tunggu! Temani aku latihan sebentar lagi …," pinta Yuta sedikit memelas. Si pemilik surai platinum blonde hanya bisa menghela napas kemudian mengiyakan. Kali ini, Yuta bisa mengendalikan pedangnya jauh lebih baik, akan tetapi teman latihannya itu masih bisa menghindar dari tebasannya yang cukup cepat. Padahal Yuta menggunakan tendangan sebagai pengalihan, tapi Toge terlalu pintar untuk membaca gerakannya.

"Bagaimana bisa kau menghindar, oi, Inumaki?" tanya Yuta yang terlihat letih.

"Entahlah. Sekarang giliranku." Yuta meletakkan pedangnya, kemudian bersiap-siap untuk menangkis serangan dari Toge. Sang empunya mata sayu itu merasa senang ketika berhasil menghindar dari sepuluh pukulan dan tendangan, tetapi ada serangan tak terduga dari sang lawan.

"Akh!" Yuta yang terlalu lama merenung membuat sang lawan mengambil kesempatan itu untuk menyerang. Yuta mengaduh kesakitan, pasalnya ia terhempas ke tembok di belakangnya. Sepercik darah keluar saat ia batuk. Apa mungkin dia adalah Inumaki? Bukankah ia sudah kehilangan tangan kirinya?

Orang itu tidak memberi jeda kepada Yuta untuk menarik napas sejenak. Dalam hitungan detik, orang bertopeng itu menyerangnya kembali. Yuta berhasil menghindar. "Kau sangat tidak sabaran, ya. Jangan sampai menyesal jika akhirnya aku berhasil mencabut nyawamu terlebih dahulu." Yuta mulai serius. Tidak ada rasa gentar dari keduanya.

Yuta berlari ke arah musuh di depannya, lalu mencoba menusukkan pedangnya ke titik vitalnya. Saking lihainya sang lawan, Yuta sedikit kesusahan menghadapinya. Dari caranya menangkis serangan, mirip sekali dengan seseorang yang menjadi pujaan hatinya. Inumaki Toge, apakah itu kau?

Manusia bertopeng itu menendang paha Yuta yang membuatnya terjatuh. Lantas orang itu memukul wajah Yuta, akan tetapi Yuta berhasil menjauh dengan cepat. Lelah menggunakan senjata, Yuta pun ikut bertarung dengan tangan kosong. Meski Yuta dijuluki ahli pedang, tapi kemampuan bela dirinya termasuk baik. Terbukti dari pertarungan ini, Yuta akhirnya berhasil mengenai fisik lawan. Tak menutup kemungkinan Yuta terkena balasannya.

Darah mengalir dari pelipis, hidung, dan mulut. Yuta babak belur, begitu juga dengan lawannya. Topengnya rusak walaupun belum sepenuhnya. Tidak menyangka bahwa ada lawan yang sesulit ini. Seakan-akan lawannya pernah berlatih bersamanya. Mengetahui pola serangan dan titik lemah.

Keduanya sudah kelelahan. Napas mereka tidak beraturan. Kendatipun, Yuta masih mencoba berdiri dan menghempaskan badan musuh hingga terkapar tidak berdaya. "Kau boleh juga. Tapi kurasa waktumu sampai di sini saja." Yuta berjalan mendekat ke arah lawan. Dengan dramatisnya, topeng yang selama ini menutupi wajahnya akhirnya lepas. Tudungnya terbuka menampilkan surai yang berantakan.

"I-nu-ma-ki …," ucap Yuta terbata-bata. Kali ini, badannya tidak membeku. Ia langsung berlari kecil menuju pria yang ternyata adalah mantan rekan setimnya.

"Terlemparlah!" jerit Toge yang membuat Toge terhempas jauh. Setelahnya, Toge bermuntahan darah dan kembali terkapar. Yuta mengeluh kesakitan. Sudah kesekian kalinya tulang belakangnya menjadi tumbal.

"I-numa-ki … me-mengapa?" Yuta tidak percaya bahwa pemuda di depannya adalah orang yang selama ini ia cari. Ditambah lagi, pemuda itu menyerangnya hingga babak belur.

"Aku … harus menghentikanmu … O-kkotsu Yu-ta." Lelaki pemilik surai platinum blonde itu mencoba bangkit lagi dengan lutut sebagai tumpuannya. Namun, ia berulang kali terjatuh. Toge dan Yuta memang sudah kehabisan energi, dan ini pertama kalinya Yuta bisa dikatakan seimbang dengan lawannya.

"Inumaki … ayo kita pulang. Di sini tidak aman. Gojo-sensei dan Itadori sedang melawan musuh di tempat lain," bujuk Yuta sambil mengusap darah di sudut bibirnya.

"Tidak."

"Tapi mengapa?" Yuta meminta penjelasan.

Hari itu, di mana Yuta, Maki, Panda, dan Toge sedang menjalankan misi. Sungguh di luar dugaan bahwa kutukan yang dihadapinya berada di tingkat tertinggi. Yuta yang dianggap kuat sekalipun masih sedikit kewalahan, apalagi dengan empat berbanding satu, mereka mengalami kesulitan. Sama halnya ketika murid kelas satu yang melawan kutukan tingkat khusus yang nyaris membuat Yuji terbunuh.

Seorang penyihir jujutsu harus mementingkan keselamatan dirinya, dan hal itu sangat ditentang oleh Yuta. Akibatnya, Toge bisa dinyatakan sekarat. Maki dan Panda menyeret Yuta untuk segera pergi dan meninggalkan Toge yang sudah bercucuran darah dan kehilangan tangan kirinya.

"Yu-ta-kun … teman-teman … ja-ngan tinggalkan … aku …," gumam Toge berharap suaranya terdengar. Pandangannya hampir gelap sepenuhnya. Ia tidak bisa menggerakan anggota geraknya. Napasnya pendek. Toge merasa jika inilah akhir dari hidupnya. Tragis. Dibunuh oleh kutukan yang kuat dan ditinggalkan teman-temannya. Toge menyesal telah menjadi lemah. Kepala sekolah berkata bahwa penyihir jujutsu tidak akan mati dengan penyesalan. Namun, bagaimana jika memang iya? Walaupun kutukan berhasil dibasmi, tapi Toge tidak bisa pulang dengan selamat. Pantaskah ia menyesal? Seharusnya tidak karena itu merupakan risiko.

"Wah, wah, wah. Sepertinya ada seseorang yang ditinggalkan." Tidak kuasa untuk melihat sosok yang bersuara, Toge memilih untuk tetap diam. Lagipula, ia memang tidak bisa berbuat apa-apa. Toge berpikir bahwa orang itu akan membantunya untuk mati lebih cepat.

"Eh, tidak dijawab. Sungguh ironi aku berbicara dengan diri sendiri," tukasnya seraya mendekatkan dirinya kepada lelaki yang kehilangan satu tangannya. "Apakah kau sudah mati?" Masih belum dijawab, orang misterius itu mengangkat dagu Toge dan memerhatikannya dengan saksama.

"Kau sebentar lagi akan mati, tapi aku takkan membiarkan itu terjadi. Ikutlah denganku dan taati perintahku." Orang itu menggunakan teknik pembalik untuk memulihkan fisik Toge. Butuh beberapa waktu hingga ia tersadar dan bisa menggunakan tubuhnya dengan baik lagi.

"Kau sudah bangun. Selamat datang di markasku!" sambut Geto, pria yang menyelamatkan hidup Toge.

"A-aku … masih hidup?"

"Kau benar-benar tidak ingat apapun rupanya. Akulah yang menyelamatkanmu," ujar Geto. "Karena kau sudah kuselamatkan, kau harus menuruti perintahku!"

"T-tapi … aku tidak meminta," balas Toge.

"Aku tidak ingin mendengar alasanmu. Kau seharusnya bersyukur karena aku sudah menyelamatkan nyawamu," timpal Geto yang terdengar absolut. "Daripada teman-temanmu yang malah meninggalkanmu sendiri, padahal kau bisa dikebumikan dengan layak."

Ucapan Geto membuat Toge mengingat momen tersebut. Dia masih memikirkan mengapa dirinya ditinggalkan. Apakah karena dirinya adalah beban bagi yang lain? Apakah memang dirinya sudah tidak bisa diselamatkan lagi? Kendatipun, Toge tidak ingin terbuai oleh perkataan pria di sampingnya ini.

"Permintaanku sangatlah mudah. Bunuh Okkotsu Yuta. Kalau kau gagal, aku yang akan membunuhmu di depannya langsung."

Pertanyaan Yuta membuat Toge terkesiap. Pasalnya, ia langsung teringat perintah dari Geto. Dua pilihan buruk dan dirinya harus memilih salah satu. Yuta yang melihat Toge belum menunjukkan pergerakan aneh, kembali mendekatinya hingga ia berhasil menyentuh pundak sang empunya surai platinum blonde.

Yuta mengangkat tubuh Toge yang sudah tidak berdaya, kemudian memeluknya. "Inumaki … aku sangat merindukanmu. Aku selalu mengkhawatirkanmu. Hanya akulah yang masih percaya bahwa kau masih hidup," kata Yuta terisak-isak. Ia pun memeluk Toge dengan erat. Ia menyalurkan rasa rindunya kepada pemuda itu. "Inumaki … aku tidak peduli dengan alasanmu yang ingin membunuhku, tapi aku ingin kau pulang bersamaku. Aku yang akan merawatmu."

Toge mulai membuka mulutnya. "Yu-ta-kun …," panggilnya lirih.

"Jangan bicara dulu, Inumaki. Kau terluka parah dan maafkan atas perbuatanku."

"Bawalah pedangmu!" Toge menitah Yuta dan ia tidak bisa menolak karena Toge mengaktifkan kutukannya. "Inumaki … untuk apa?"

"Aku … t-tidak punya banyak waktu. Yuta-kun, kuharap kau menerima keputusanku."

"Kau …." Yuta tidak bisa melepaskan pedang dari genggamannya.

Di sisi lain, seseorang yang sudah berhasil melawan musuhnya merasakan ada sesuatu yang janggal. "Gojo, sepertinya muridmu akan membunuh temannya sendiri," tukas Geto kepada Gojo yang berhasil disegel. Menyadari hal itu akan terjadi, pria berpakaian kimono itu langsung menuju lokasi di mana Toge berada.

"Dia akan datang …," gumam Toge yang terdengar oleh lawan bicaranya.

"Dia? Siapa itu?" tanya Yuta sedikit panik.

"Yuta-kun …," panggil Toge. Mereka saling bertukar tatapan. Sekitar seratus meter lagi, Geto akan tiba di lokasi mereka. Pada saat itulah, Toge memanfaatkan waktunya untuk menatap wajah Yuta dengan senyuman tipisnya. "Terima kasih." Yuta terbelalak ketika mendengarnya. Geto sudah berada lima puluh meter di belakang mereka.

"Bunuhlah aku!" titahnya. Tangan Yuta refleks menusuk jantung Toge dan tidak bisa menahannya.

"I-nu-ma-ki …." Yuta tidak bisa bergerak. Sosok yang dicintainya mati di tangannya. Yuta melemparkan pedangnya, lalu memeluk Toge. "Inumaki! Mengapa?" pekik Yuta sembari menahan tubuh Toge yang sudah lemas.

"Aishiteru, Yuta-kun." Sejak saat itulah, Toge mengembuskan napas terakhirnya. Lelaki bersurai hitam legam tidak bisa memercayai kejadian ini. Yuta yang semula menahan tubuh Toge, kini terkulai lemas. Ia meneriakkan nama orang yang baru saja ia bunuh. Matanya sudah tidak bisa membendung air matanya. Suaranya terdengar sangat penuh dengan kepedihan.

Geto yang melihat adegan ironis itu hanya bisa terdiam. Bukan karena kasihan, dia memang tidak begitu peduli. Seakan-akan ada perasaan lega. Dia sudah berfirasat bahwa akhirnya akan begini. Akan lebih seru jika membunuh Toge di depan Yuta. Geto juga sudah menyegel Gojo dan itu sudah lebih dari cukup. Mahito dan satu kutukan lain sudah terkalahkan oleh Yuji dan Choso. Kini mereka sedang mencari Yuta.

•••

Kumpulan kapas menghiasi kanvas jingga. Burung camar beterbangan membentuk pola. Semilir angin menggelitik tengkuk sebagian manusia. Dewi Malam tak lama lagi akan menggantikan Sang Surya. Seorang pemuda tengah duduk di bawah pohon sakura. Menatap lautan oranye di atasnya. Sesekali, ia memandang batu nisan di sampingnya. "Aku harap kau bahagia di atas sana."

Yuta kembali menatap langit, kemudian mengingat satu momen yang sangat berkesan. Satu momen tidak terduga dan membahagiakan.

"Bagaimana bisa kau menghindar, oi, Inumaki?" tanya Yuta yang terlihat letih.

"Entahlah. Sekarang giliranku." Yuta meletakkan pedangnya, kemudian bersiap-siap untuk menangkis serangan dari Toge. Sang empunya mata panda itu merasa senang ketika berhasil menghindar dari sepuluh pukulan dan tendangan, tetapi ada serangan tak terduga dari sang lawan.

Toge menarik tengkuk Yuta, kemudian mencium bibir ranumnya. Yuta yang terkejut, membiarkan Toge menikmatinya, kemudian membalasnya. "Aishiteru, Yuta-kun."

"Eh, kau belajar dari siapa kata-kata itu?" tanya Yuta sedikit terkesiap ketika mendengar Inumaki berucap seperti itu. Baginya, itu adalah 'sweet melody'. Lebih indah daripada nyanyiannya.

"Kau duluan 'kan yang bilang begitu saat kita sedang menikmati panorama matahari terbenam. Ingat?" Yuta terkekeh geli saat mengingatnya.

"Aishiteru mo, Inumaki."

END.