Normal POV
Kisah pertama yang muncul saat musim panas menjelang.
Ryomen Sukuna melangkah ke depan, mengabaikan beberapa pasang mata yang terkejut dengan eksistensi berupa tato yang terukir hampir di setiap sudut wajah. Ia tampak tidak peduli akan bisikan yang mengatakan bahwa dirinya adalah tahanan yang kabur dari penjara, seorang mafia yang kebetulan menikmati waktu liburan, atau pembunuh bayaran dengan tingkat kepercayaan diri yang begitu besar. Pemuda itu tidak mengacuhkan segala spekulasi tolol yang tiba-tiba terdengar dari mulut setiap orang.
— ia hanya ingin cepat sampai ke sebuah tempat untuk bertemu seseorang.
Sukuna berhenti di depan pintu kaca, berdiri tegap dengan sedikit pelototan. Ia memasukkan kedua tangan di dalam saku celana, meneliti lima belas manusia yang kebetulan ada di sana; menikmati waktu makan siang mereka sembari bercengkrama. Iris berwarna merah tampak bergerak-gerak, menjelajah; memeriksa apakah si alasan yang membuat dirinya rela melewati tiga stasiun kereta itu berada di dalam atau tidak.
Sampai ada di detik di mana Ryomen Sukuna tiba-tiba saling pandang dengan satu orang. Ia pun memutuskan untuk masuk agar bisa bertemu dengan sosok yang menjadi tujuan utama.
.
.
.
HEART ATTACK
Jujutsu Kaisen by Gege Akutami
Heart Attack by stillewolfie
Sukuna R. & Megumi F.
OOC, alternate universe, ringan, typos, etc.
(warning: too cringe, boys love)
.
.
.
Itadori Yuuji tidak akan pernah mengerti dengan maksud yang ada saat melihat Ryomen Sukuna telah datang tanpa memberi kabar.
"Apa-apaan?" Sukuna menyeringai, memiringkan kepala. Itadori Yuuji segera berhenti membersihkan meja, terkejut saat menemukan satu penampakan telah muncul di depan pintu restoran tempat ia bekerja. "Sukuna, sudah kubilang kau tidak perlu datang ke sini!"
"Aku tidak perlu izinmu untuk datang, Bocah." Yuuji berjengit saat Sukuna kembali melangkah, memasuki restoran kecil yang cocok untuk dinikmati oleh para remaja. Mereka berhadapan dengan ekspresi yang berbeda; Sukuna tetap dengan senyum mengerikan, Yuuji merengut sembari mencengkram kain basah yang ia gunakan untuk membersihkan meja pelanggan. "Dan berhenti memanggil namaku. Kau tahu kalau aku jauh lebih tua darimu."
"Itu tidak pen—hei!" Yuuji mengumpat saat sadar bahwa Sukuna telah pergi, melewati dirinya yang terdiam seperti tak tahu apa yang terjadi. Meski si bocah pelayan adalah sosok yang atletik, ia tidak akan pernah bisa mengalahkan pemuda dewasa yang memiliki tato di wajah sebagai identitas diri. "Sukuna, jangan seenaknya!"
Sukuna seolah menutup telinga, memilih untuk duduk di meja nomor delapan.
Yuuji hanya diam tak menyangka, mengumpat pelan pertanda menyerah. Ia memutuskan untuk pergi ke arah dapur karena ada hal yang perlu diselesaikan.
Sukuna melebarkan senyum saat melihat Yuuji telah menghilang dari pandangan, pergi ke belakang untuk melanjutkan pekerjaan. Mereka memiliki ikatan yang bernama keluarga, tetapi terkesan sulit untuk disebut 'sebagai' keluarga. Yuuji adalah sosok ceria yang dicinta, Sukuna memiliki kepribadian buruk tanpa celah. Meski memiliki kemiripan, keduanya tidak pernah cocok dalam hal-hal sederhana.
Sukuna memang ingin bertemu dengan seseorang. Namun, Itadori Yuuji bukanlah 'seseorang' yang ia inginkan.
"Berhenti tersenyum-senyum seperti itu," Sukuna malah melebarkan senyum, mendongakkan kepala dengan telapak tangan pada dagu. Fushiguro Megumi menahan rengut, mengabaikan suasana dingin yang mendadak muncul. "Jangan sampai saya kembali memukul anda seperti minggu lalu, Sukuna-san."
"Kau selalu manis setiap aku bertemu denganmu." Megumi mengerutkan alis saat merasakan tangan itu membelai jari-jari miliknya kala mengambil buku menu. Sukuna membuka buku tersebut, mata masih menatap si pelayan dengan binar-binar lucu. "Apa kau ingin tahu satu hal? Menurutku, makanan di tempat ini tidak pernah enak."
Megumi mengerjap dua kali, menahan emosi. "Pintu selalu terbuka untuk anda, Sukuna-san. Saya tahu masih banyak restoran di luar sana yang memenuhi selera anda."
"Hanya bibirmu yang memenuhi seleraku, Fushiguro." Megumi membulatkan kedua mata, Sukuna melebarkan seringai penuh makna. "Kau terlihat kaget seolah aku belum pernah mencium—"
"Jika anda tidak ingin memesan, saya izin pergi." Sukuna mendengus pelan, menahan tawa. Ia dapat merasakan beberapa pasang mata mulai mengintip, terlihat penasaran. Megumi pun ingin mengakhiri obrolan ini secepat yang ia bisa. "Anda bisa memanggil kalau sudah ada yang ingin dipesan. Saya permisi."
Megumi ingin pergi menuju meja nomor sebelas, tetapi terkejut saat ada lima jari yang menarik seragam kerja miliknya. Iris biru tiba-tiba melotot kesal, menoleh ke belakang dan menemukan Sukuna yang kini fokus dengan buku menu berwarna merah. "…apa yang anda lakukan?"
"Aku berubah pikiran," Sukuna kini memegang tangan Megumi begitu erat, menariknya mendekat. "Kalau kau yang meminta, akan kulakukan—" Ia menoleh pelan, tersenyum tampan. "Ada saran?"
Megumi ingin sekali mengumpat. Namun, ia memilih untuk menarik napas dan berusaha sabar. Ia ingin menarik tangan, tetapi jemari malah digenggam semakin erat.
"Saran terbaik yang bisa saya berikan adalah—" Megumi masih berusaha menarik tangan, menjerit dalam batin sekaligus kesal mengapa tenaga mereka sangatlah berbeda. "Silahkan berdiri dan pergilah dari tempat ini."
"Itu terdengar kejam, Sayang." Sukuna tersenyum lebar, masih membaca menu makanan yang tidak mengunggah selera. "Akan kupesan kalau kau yang membuat."
"…maaf?"
"Aku ingin minuman yang dibuat khusus untukku," Sukuna berkata, menutup buku menu sebagai akhir dari perdebatan. "Buatanmu."
Megumi menyipitkan kedua mata. "Saya tidak bisa bertindak seenaknya hanya karena pelanggan seperti anda. Saya adalah pelayan, Sukuna-san. Restoran ini memiliki kepala dapur bernama Todo Aoi dan dialah yang akan membuat minuman untuk anda."
Sukuna mendengus tidak suka, sedikit kesal saat mendengar nama lain telah terucap dari bibir Megumi yang terlihat begitu lembab. Todo Aoi adalah kepala dapur sekaligus koki utama dengan kehebatan dalam bidang cita rasa. Meski memiliki obsesi berlebihan terhadap Itadori Yuuji, Todo memiliki talenta yang tidak pantas dibandingkan dengan orang lain. Megumi adalah seorang pelayan dengan kesabaran tingkat spesial. Ia tidak memiliki hak untuk mengambil pekerjaan Todo hanya demi permintaan seorang pelanggan.
"Todo memang brengsek, tapi kuakui dia memang handal." Megumi lagi-lagi mengerutkan alis, tidak tahu bahwa sang kepala koki memiliki kenalan seperti Ryomen Sukuna yang disebut-sebut sebagai berandal tingkat tinggi. "Kalau begitu, kuubah saja."
Megumi menganggukkan kepala, segera melepaskan genggaman saat tahu bahwa Sukuna memberi kesempatan. Ia kembali berdiri tegap di sebelah meja, mengambil buku kecil dengan pena berwarna hitam.
"Aku ingin—" Sukuna berkata, tertahan. Iris merah tiba-tiba mengerling manja. Tangan terangkat, menekan pipi Megumi dengan telunjuk sebelah kanan. "Dirimu."
Megumi kembali dibuat menghela napas. Ia bergerak, menepis jari itu dari pipi miliknya. "Saya mohon, Sukuna-san. Berhentilah bercanda."
Megumi merasa kepalanya panas saat mendengar Sukuna langsung tertawa, cukup membahana. Kugisaki Nobara yang sedang mengantar pesanan ke meja nomor enam seketika melotot kejam, menyuruhnya untuk membuat Sukuna kembali terdiam. Namun, Megumi tahu bahwa hal tersebut takkan mempan; mengingat pemuda berambut merah jambu tersebut sangatlah keras kepala.
Mereka bertemu secara tidak sengaja.
Ryomen Sukuna memiliki kecenderungan untuk selalu mengganggu Itadori Yuuji, sepupunya, hampir setiap saat. Ketika tahu bahwa Yuuji memutuskan untuk bekerja demi menambah uang jajan, ia segera pergi ke tempat bernama Restoran Jujutsu ini hanya demi mengisi kebosanan. Pemuda itu suka melihat Yuuji menderita, mempermalukan si adik sepupu terdengar lebih menggoda dari pada harus pergi bersama Mahito ke pantai dan dipaksa untuk bermain bola di bawah cuaca yang panas.
Namun, ia malah terkena karma; karma tersebut berupa jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang remaja.
Sukuna tidak pernah peduli dengan cinta, memikirkan wanita dengan segala drama sudah membuatnya merasa bosan. Namun, ketika tahu bahwa Fushiguro Megumi adalah anak baik-baik yang berbakti terhadap keluarga, ia sadar bahwa dirinya memang tidak pernah salah dalam mencari mangsa. Sukuna tidak salah untuk melabuhkan hati kepada anak manis dengan latar belakang bersih seperti kertas.
Sukuna ingin, sangat ingin mengotorinya.
"Sukuna, apa yang kau lakukan di sini?"
"Diamlah, Brengsek. Aku tidak ingin bicara denganmu."
Restoran terlihat sepi bagaikan serpih, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Itadori Yuuji sama sekali tidak mengerti saat menemukan Ryomen Sukuna, si kakak sepupu yang selalu membuatnya menangis sejak mereka menggunakan popok yang sama, telah datang ke sana tanpa pemberitahuan. Sukuna melewati Yuuji yang masih menjerit tidak terima, memilih untuk memandang penuh harap pada Fushiguro Megumi yang sedang membersihkan lantai menggunakan kain pel ditemani dengan ember berwarna hitam. Iris biru mengerling pelan, mengerjap tak paham saat ada orang asing penuh tato telah berdiri dengan senyum mencurigakan.
Sukuna telah sampai di depan Megumi. Iris merah terlihat melotot, seketika tahu akan sebuah potensi.
Megumi menegapkan badan, kembali mengerjapkan mata. Iris biru terlihat berbinar heran, tangan masih memegang kain pel dengan ujung yang basah.
"Namaku Sukuna."
Megumi hanya mengangguk, mengiyakan.
"Megumi. Fushiguro Megumi."
Sukuna malah melebarkan senyuman.
Megumi menaikkan alis saat melihat si berandal tatoan di depannya ini tampak menyisir rambutnya ke belakang, mengerling penuh gairah; ingin menebar pesona. Ia melirik sejenak pada Yuuji yang hanya mampu menepuk jidat, bertanya-tanya.
"Ada yang—"
"Fushiguro, aku tahu kau punya potensi."
Megumi malah semakin tidak paham, mundur selangkah saat menyadari bahwa Sukuna mendekatkan tubuh mereka. Ia mendongak, terkejut karena tinggi yang sedikit berbeda. Iris biru terlihat bergetar seiring dengan kain pel yang tiba-tiba jatuh dari genggaman. Sukuna mendekatkan wajah, mengatakan satu hal. Megumi merasa dunia seketika berhenti bergerak, terhipnotis dengan satu seringai penuh tanda tanya.
"Potensi untuk menjadi pacarku."
— satu bulan yang lalu, begitulah cara mereka bertemu.
Sukuna merasa cukup puas dengan godaan sederhana, memutuskan untuk berhenti tertawa saat menyadari tatapan Megumi yang terlihat sangat kesal. Ia menarik napas, kembali mengerling bosan pada buku yang berisikan nama makanan. Megumi tak terkejut saat melihat buku tersebut tertutup dalam satu kali tepukan, seketika tahu bahwa pemuda itu telah selesai untuk memilih menu makan siang.
"Cokelat panas dan—" Sukuna menimang-nimang. "—sepiring kentang."
Megumi ingin segera mencatat, terdiam seketika. Ia tahu ada satu hal yang salah.
"…bisa diulangi?"
"Pesananku," Sukuna mendongak, tersenyum ringan. Ia tidak keberatan saat ada orang yang memintanya untuk mengulang, apalagi orang itu adalah Megumi-nya tersayang. "Aku ingin cokelat panas dan kentang goreng."
Sukuna memesan cokelat panas dan kentang goreng.
Megumi benar, ada hal yang salah di sini.
"Apa anda tidak salah memesan?"
"Memang aku sering memesan apa?"
Megumi mengumpat dalam benak, terlihat bodoh saat menyadari ada pandangan jahil yang berasal dari Ryomen Sukuna. Ia menatap tajam, mengabaikan butiran keringat yang turun dari pelipis sebelah kanan. Megumi tidak sempat menolak saat jemari miliknya kembali digenggam, dielus-elus minta diperhatikan. Sukuna langsung terlihat gencar untuk terus menggoda kala melihat pipi kesukaannya telah bersemu merah, tampak gugup karena salah tingkah.
"Anda … lebih suka es kopi," Megumi ingin menarik tangan tetapi gagal dalam satu kali coba. Sukuna tidak mengizinkan dirinya untuk bebas dalam kali kedua. "Maksud saya, ini musim panas. Akan lebih baik kalau anda memesan minuman segar yang dapat mendinginkan pikiran."
"Bertemu denganmu saja sudah membuatku segar," Sukuna berkilah, semakin semangat saat Megumi tampak ingin kabur dari sana. Mereka bahkan lupa kalau di restoran itu tidak hanya keduanya. Beberapa pelanggan tampak memperhatikan dari jauh, berbisik-bisik menggoda. Nobara terlihat bersembunyi di samping tembok, tersenyum-senyum sembari memegang ponsel untuk merekam video. "Itu hanya cokelat panas, Sayang. Jangan khawatir."
Megumi segera menghempaskan genggaman mereka sebelum kepalanya benar-benar meledak. Ia cepat-cepat mencatat agar segera pergi sembari menenangkan jantung yang menggila. "C-Cokelat panas dan satu piring kentang, segera datang."
Sukuna terkekeh saat melihat Megumi segera berlari ke arah konter dapur berada.
Megumi telah menghilang, Sukuna pun menghela napas. Ia langsung berubah dari penggoda menjadi seseorang yang mudah bosan. Pemuda itu menyandarkan punggung pada kursi berwarna cokelat, mengerling malas pada pelanggan lain yang kini sedang membicarakan dirinya. Namun, ia tidak peduli. Setidaknya, ia bisa menyampaikan pesan secara tidak langsung bahwa tidak ada yang boleh mengganggu, mengambil, apalagi menggoda seorang Fushiguro Megumi.
Sukuna tidak peduli dengan tatapan Itadori Yuuji dari kejauhan, memelototinya seolah sedang mengusir kutukan paling jahat. Ia juga tidak ingin peduli akan pandangan seorang pemuda berambut putih dengan wajah yang ditutupi masker berwarna hitam. Inumaki Toge yang ditugaskan untuk menjadi barista di Restoran Jujutsu, memandang penuh selidik pada Sukuna yang kini terduduk sambil memandang kuku-kuku miliknya yang lentik nan misterius.
— terkadang menjadi cuek itu adalah sebuah kelebihan.
Sukuna lebih memilih untuk memikirkan segala hal tentang Fushiguro Megumi. Baginya, Megumi adalah seorang lelaki yang memiliki ciri khas tersendiri. Mereka memang sama-sama pria, tetapi Sukuna bukanlah tipe yang suka menuruti peraturan. Ia menyukai Megumi, maka Megumi juga harus menyukainya. Tidak peduli akan keberadaan norma yang mengatakan bahwa sesama jenis adalah hal terlarang.
Sukuna menyukai Megumi tanpa alasan. Ia hanya suka. Itu saja.
"Ini pesanan anda, Sukuna-san." Sukuna mendongak, menemukan mata biru yang menunduk untuk meletakkan sepiring kentang goreng ditambah dengan satu cangkir berisikan cokelat panas. Megumi kembali datang selama sebelas menit setelah pemesanan. Sukuna tersenyum lepas tanpa sadar, bahagia saat kembali menemukan sang pujaan yang datang dengan pandangan datar tidak terbaca. "Silahkan dinikmati."
Sukuna memberikan senyuman tertampan yang ia punya. "Terima kasih."
Megumi mengangguk, memilih untuk mundur. Namun, mata tidak lepas dari Sukuna yang kini mencoba untuk mencicipi minuman itu. "…kalau boleh tahu, apa yang anda pikirkan?"
"Hm?"
"Saya tidak sengaja melihat anda—" Megumi berkata pelan, berbisik dengan ekspresi yang sulit diterka. "—berpikir keras seperti tadi. Apa ada masalah?"
"Aku sedang memikirkanmu," Sukuna berkata sembari meletakkan cangkir ke atas meja, terdengar spontan sekaligus tidak sopan. "Aku memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk melamarmu."
Megumi hampir tersedak ludah, mengumpat saat jantung kembali berdentum tidak nyaman. "Teruslah bermimpi. Itu tidak akan terjadi."
Sukuna tertawa, memilih untuk mengerling pada cangkir yang baru saja diantar. "Aku tidak tahu alasan kenapa menu di restoran ini tidak pernah enak."
Seketika, Megumi terdiam. "Maaf?"
"Bukankah sudah kubilang?" Sukuna menoleh pada Megumi yang masih berdiri di samping meja. "Todo memang seorang koki handal. Tapi tetap saja, cokelat panas ini termasuk gagal."
"…anda tidak suka?"
Sukuna mengangguk. "Susunya tidak kental. Terlalu manis. Bahkan aku bisa merasakan gula batu yang belum cair di lidahku."
"…separah itu?"
"Separah itu."
— dunia mendadak hening.
Megumi mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi."
— di saat itulah, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres di sini.
Sukuna adalah pemuda yang tidak akan peduli terhadap pandangan orang lain. Ia mungkin sudah bertingkah sehingga banyak orang yang kini memandang mereka berdua. Itadori Yuuji terlihat ditahan oleh Kugisaki Nobara agar tidak mengganggu dirinya dengan sang pujaan. Iris merah memicing heran, segera berdiri saat langkah menjauh mulai terdengar.
"Ada apa?"
Megumi mengerutkan alis. "Tidak ada."
"Kau marah."
"Saya tidak marah."
"Kau marah."
"Tidak."
"Ya, benar. Kau marah."
"Sukuna-san," Megumi berbalik, mencoba untuk melepaskan genggaman Sukuna yang kini berdiri. Mereka berhadapan dengan tatapan yang sulit diprediksi. "Saya tidak pernah marah, terutama pada orang dengan sikap frontal seperti anda."
"Aku hanya mengatakan yang sejujurnya," Sukuna mengedikkan bahu. "Dari dulu kau tahu kalau aku tidak pernah suka apapun dari tempat ini."
Megumi adalah pengecualian.
Megumi lagi-lagi harus menahan amarah. Entah, ia marasa harga dirinya kembali terinjak-injak kala tahu bahwa restoran tempat ia bekerja telah diberikan kritik tanpa saran yang benar. "Saya sudah mengatakan hal yang sama berulang kali—" Ia berbisik. "—masih banyak restoran di luar sana yang dapat memenuhi ekspetasi anda."
"Restoran mereka tidak ada kau," Sukuna berujar ringan, seolah berkata hal seperti ini di depan umum adalah hal biasa. "Kau ini kenapa? Aku hanya bilang kalau susu cokelat bukan seleraku."
"…"
"Es kopi terasa lebih baik."
"Es kopi dari Todo-san ternyata jauh lebih baik."
"Tentu sa—" Megumi tersenyum masam, kembali berbalik untuk menyambut pelanggan lain yang masuk dari pintu depan. Namun, Sukuna segera tersadar kala mengetahui ada sesuatu yang salah. Ia cepat-cepat melangkah, menghalangi Megumi yang sedang berjalan. Mereka kembali berhadapan, bertatap-tatapan dengan ekspresi yang berbeda. Megumi seketika terdiam, tidak menyangka. Sukuna tersenyum penuh pengharapan. "Kau tahu apa yang ada di pikiranku sekarang?"
"Saya tidak tahu dan tidak ingin tahu." Ia menjawab dengan datar, menggeser badan ke kanan untuk melanjutkan langkah. Namun, Sukuna lebih cepat bergerak. Megumi menarik napas, berusaha bersabar. Ia pun menggeser badan ke kiri, dihalangi. Ia langsung segera menggeser badan untuk kembali ke kanan, tetapi Sukuna lebih cepat dalam menebak gerakan. Iris merah bagaikan darah terlihat antusias seperti menemukan sebuah berlian. "…bisakah anda minggir?"
"Bukan Todo," Sukuna tersenyum simpul. "Tapi kau."
"Minggir, Sukuna-san."
"Kau membuatnya untukku, bukankah begitu?"
"Itu tidak penting." Megumi mendongak, menatap tajam. Sukuna malah semakin berbinar, semakin gencar untuk terus membuat masalah. "Jika anda sudah selesai, akan lebih baik apabila anda segera membayar dan pergi dari sini."
"Kau membuat cokelat panas itu—" Sukuna malah pura-pura tidak mendengar, atau ia memang tidak mau mendengar karena terlalu percaya diri akan sebuah fakta. "—untukku."
Ini hanya perihal susu cokelat, astaga!
"Suku—"
Beberapa pelanggan terkesiap, ada juga yang menjerit tidak menyangka. Itadori Yuuji sampai membeku di tempat, terkena sihir dalam satu kedipan mata. Kugisaki Nobara bahkan semakin gencar untuk merekam adegan ini agar disebarkan untuk mendapatkan uang. Inumaki Toge ikut ternganga, tidak sadar bahwa kancing seragam kerja mendadak telah terbuka; menampakkan tato aneh yang ada di sekitar sisi mulutnya.
Todo Aoi tiba-tiba mengintip dari celah dapur, sedikit heran mengapa ruangan utama berisikan para tamu tiba-tiba hening seperti tempat berhantu. Ia memegang spatula, muncul di belakang Kugisaki Nobara. "Kugisaki, kau merekam apa—"
Aoi tidak sanggup berkata-kata, mendadak spatula miliknya telah terjatuh dari genggaman tangan; menciptakan suara berisik yang mampu memekikkan telinga.
Tidak lama, satu-satunya pintu di belakang restoran langsung terbuka kencang. Gojo Satoru muncul tanpa diperintah, melotot dibalik kacamata hitam untuk menutupi rasa kantuk yang begitu kentara. "Aoi-kun! Sudah saya bilang jangan menghancur—"
Trak.
Kacamata kebanggaan milik Satoru mendadak retak.
Di sana, mereka semua melihat satu hal:
Ryomen Sukuna tampak mencium Fushiguro Megumi dengan penuh gairah; pelan tapi nyata, cepat sekaligus hebat, terlalu panas sampai ke tahap mematikan.
.
.
.
ended
.
.
.
A/N: cerita ini diketik berdasarkan kerandoman saya.
mind to review?
