Withered Flowers in Summer
by Hamonk
.
.
"Hated by Life Itself – Uchiha Sasuke"
.
Tidak bisa lagi. Sasuke kembali mendengar suara-suara dalam kepalanya, berteriak dan memerintah untuk keluar dan dibebaskan. Tapi sesungguhnya dia tak tahu apa itu. Kamarnya yang gelap dan pengap membuatnya semakin sesak, dia meringkuk sendirian di atas kasurnya yang berantakan. Musim panas membuat tubuhnya berkeringat dan dia tak peduli dengan bau badannya sendiri kecuali kecemasan berlebihan yang sedang berusaha ditaklukannya. Air matanya menetes perlahan, sementara suaranya sama sekali tak keluar. Sudah berapa lama ini terjadi, berulang kali dan membuatnya ingin menyerah.
Dadanya semakin sakit tiap kali kepalanya berpikir bagaimana caranya ingin keluar, tapi sekali lagi hanya ada jalan buntu. Sasuke, Sasuke, Sasuke. Dia ingat bagaimana orang-orang di luar sana memanggil namanya, menganggapnya sebagai manusia dan merendahkannya seenak jidat. Sasuke tahu betapa kesepiannya dia di tengah kota yang tak pernah mati, sementara semua orang juga sama sibuknya dengan dunianya. Dia ingin menyerah sekali lagi dengan memotong nadinya atau setidaknya mengikat lehernya di kamar mandi. Tapi tidak bisa.
Siang itu pukul 12 di hari Minggu, Sasuke bertanya lebih jauh pada dirinya, apa yang diinginkannya kali ini, apa yang dibutuhkannya untuk saat ini. Dia meringis, merasakan perutnya yang kosong juga tidak bisa diam. Bibirnya kering, dan Sasuke berpikir dia ingin menegak air untuk kerongkongannya, tapi badannya sama sekali tak ingin bergerak. Dia hanya terus menangis, tanpa suara, dan perasaan aneh yang merambati tubuhnya semakin kuat mengakar di setiap bagian dari dirinya.
Entah sudah berapa lama Sasuke masih dalam keadaan seperti itu, dia hanya menginginkan sedikit perasaan lega tiap kali Sasuke memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Namun hal seperti itu jarang terjadi di hidupnya, dia hanya laki-laki berumur 25 tahun yang tak mengerti untuk apa dia hidup dan untuk siapa. Orang tuanya sudah jarang menghubungi, kakak tertuanya sudah lama dikenang dengan batu nisan yang mulai berlumut. Sasuke berusaha mencari alasan untuk apa lagi dia berusaha memainkan perannya.
Apakah ini tidak cukup?
Berapa lama lagi?
Pertanyaan yang sama menghantui lagi isi kepalanya, dia tak bisa berpikir dan melakukan kegiatan produktif lainnya. Semua orang mengharapkannya melakukan sesuatu, tapi bahkan dia tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Sasuke kembali ingin menyerah, begitu saja tanpa perlawanan.
"DUK!"
Suara keras yang menghantam pintu apartemennya membuatnya sedikit tersadar, kepalanya mulai bergerak ke arah pintu dan dia mulai mendengar suara langkah kaki yang tergesa tengah mendekat ke arahnya. Bayangan seseorang terlihat dari celah pintu, cukup lama dia berdiri di sana hingga akhirnya suara ketukan di pintu Sasuke terdengar.
"Permisi, U-Uchiha-san." Suara perempuan terdengar pelan namun jelas, Sasuke tidak tahu siapa itu, dia bahkan tak pernah mendengar siapapun di sekitar sini memanggilnya dengan seperti itu. Dia harusnya melepas saja papan namanya sehingga tak ada orang lain yang menganggap bahwa ada orang di dalam kamar ini. Sasuke memutuskan tidak memedulikan perempuan di depan pintunya, namun tampaknya perempuan itu cukup keras kepala dengan kembali mengetuk pintunya.
Ketukannya semakin cepat dan nampak khawatir, entah apa yang dipikirkan perempuan itu. Bisa saja dia mengerti keadaan Sasuke sekarang, tapi itu tidak mungkin. Jadi kemudian Sasuke memutuskan untuk bangkit dari posisinya, badannya terasa kaku dan lengket. Dia membutuhkan waktu sebentar lagi untuk mengumpulkan kesadarannya. Telapak kakinya kini menyentuh lantai kamarnya yang hangat, dia mulai berdiri dan menghampiri pintu apartemennya. Dia mulai berpikir apa yang sedang terjadi di luar sana, dan matanya kini menempel dari lubang pengintip untuk melihat siapa di luar sana.
Perempuan berambut panjang tengah berdiri di depan pintunya dengan pakaian tipis yang Sasuke sudah mengira akan dikenakan semua orang di musim panas. Dia memutar gagang pintunya, dan pintu terbuka menghadirkan sosok asing yang belum pernah dilihatnya di sekitar tempat tinggalnya. Tiba-tiba saja udara musim panas yang lebih pengap masuk menimpa wajahnya yang berkeringat, Sasuke juga mencium samar-samar bau parfum perempuan di hadapannya ini.
Perempuan itu nampak terkejut ketika Sasuke muncul di hadapannya, entah dia terganggu dengan penampilannya atau tidak, tapi Sasuke tak peduli. Dia hanya ingin perempuan aneh ini segera hilang dari hadapannya dan tak pernah kembali mengetuk pintu kamarnya.
"Maaf mengganggumu! A-Aku Hinata, kamarku tepat di sebelah kamarmu. Bo-Boleh aku meminta bantuan?" Dia yang bernama Hinata membungkukkan badannya sedikit, wajahnya penuh dengan kekhawatiran yang sulit dijelaskan, tapi Sasuke yakin itu bukan hal yang besar.
Perutnya lapar dan matanya terasa berat memandang lapangan berumput di depan gedung apartemennya yang dipenuhi cahaya matahari. Dia bahkan memerlukan waktu untuk memproses suara keluar dari mulutnya untuk membalas perempuan bernama Hinata ini. Bau badannya sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Dia tahu dia perlu membersihkan dirinya, tapi hanya dnegan memikirkan hal itu saja, dia merasa tak begitu berguna.
"A-Aku baru saja pindah, jadi kurasa kerannya belum diperbaiki, aku sudah berusaha menghubungi pengurus gedung tapi mereka bilang butuh waktu setidaknya besok. A-Apa kau bisa menolongku untuk mengeceknya?" Sasuke mengernyit mendengar suara Hinata sekali lagi masuk ke telinganya, dia bahkan tidak begitu lancar mengucapkan kata pertama pada kalimat yang dilontarkannya. Masa bodoh dengan kerannya yang rusak, tapi Sasuke masih tak bisa bersuara, bahkan ketika Hinata terlihat membawa sesuatu di tangannya yang sepertinya barang itu tadi yang menghantam pintu kamarnya.
"Tunggu sebentar," ucapan Sasuke keluar begitu saja, dia lalu berbalik dan menuju kamar mandinya sendiri. Sasuke tak mengerti apa yang dilakukannya tapi dia mencuci wajahnya beberapa kali dan menatapnya sebentar di cermin. Matanya terlihat bengkak dan bibirnya pecah-pecah.
Ketika Sasuke kembali ke depan pintu, Hinata masih menunggunya di sana dan dia berusaha menuntun Sasuke menuju kamar apartemennya yang tepat di sebelah Sasuke. Seingat Sasuke, orang yang tinggal di sebelahnya adalah laki-laki yang umurnya kurang lebih darinya, dia tak pernah tau kalau ternyata sudah digantikan dengan Hinata. Ketika dia masuk ke kamar Hinata, dia bisa melihat beberapa barang masih di dalam kardus barang. Ruangan apartemen yang luasnya sama dengan milik Sasuke tidak menampilkan begitu banyak barang. Namun kasur dan beberapa peralatan yang Sasuke pikir adalah peralatan kerja perempuan ini sudah tersusun rapi di atas meja kecil.
Sasuke melangkah masuk ke dalam kamar itu dan aromanya yang segar begitu berbeda dengan kamarnya. Dia menuju kamar mandi Hinata dan memastikan keran kamar mandinya apakah sesuai dengan perkataan yang dikatakan Hinata tadi. Sasuke memutar kerannya, tapi memang airnya tidak mengalir, hanya ada suara gemuruh yang keluar dan Sasuke sudah yakin ada yang tidak beres. Tapi sejujurnya Sasuke tidak tahu apa yang harus dia lakukan, mungkin memang Hinata perlu menunggu pengurus gedung saja yang melakukan ini sampai besok. Tapi membayangkan perempuan ini tidak melakukan aktivitasnya di kamar mandi sampai besok, juga sepertinya merepotkan.
"Apa kau tahu masalahnya?" Hinata yang tampak mengerti dengan sikap Sasuke bertanya, dia sepertinya tahu Sasuke tak bisa membantu banyak.
"Kurasa kau memang perlu menunggu sampai besok," jawab Sasuke. Dia melirik wajah Hinata yang sedikit cemas, tapi perempuan itu tidak menampakkan raut wajah kecewa seperti yang diperkirakannya.
Semakin lama kini Sasuke sadar bahwa dia rasanya perlu mandi dan membersihkan tubuhnya. Dia tak tahu apa yang menyebabkan dia berubah pikiran sekarang ini, tapi melihat Hinata yang tak berkeringat meski cuaca sangat panas, membuatnya begitu iri.
"Kau— bisa memakai kamar mandiku." Sasuke melontarkan perkataan yang tak dipikirkannya dua kali. Entah Hinata mau apa tidak, dia tak peduli, bahkan sama tak pedulinya kalau wanita itu merasa jijik dengan keadaan kamarnya yang pengap dan berantakan. Dia hanya ingin melakukan apa yang bisa dilakukannya, meskipun dia tak sepenuhnya merasa ingin.
Mata Hinata melebar, dan senyumnya merekah seperti bunga di musim semi. Tapi sayangnya Sasuke tak memerhatikan itu dengan baik. "Kau tidak keberatan?" Hinata bertanya lagi dengan memastikan apakah laki-laki itu tak terganggu dengan kehadirannya.
"Oh aku akan membuatkanmu makan malam, jadi aku sangat berterima kasih dengan kebaikanmu." Hinata membungkuk singkat di hadapan Sasuke. Sasuke tak mengerti apa yang dipikirkan perempuan ini, tapi dia bisa mencium samar-samar bau sup miso yang bercampur dengan parfum di ruangan ini.
"Tidak perlu repot-repot," ucap Sasuke, dan dia berbohong.
"Kau sudah makan siang? Aku bisa membuatkanmu—"
"Kubilang tidak perlu." Sasuke memotong perkataan Hinata, dia menatap Hinata tajam dan merasa terganggu dengan sikap perempuan ini. Tapi sekali lagi tubuhnya berbohong, bunyi perutnya memecah keheningan dan membuat Hinata tersadar. Dia tersenyum tipis di hadapan Sasuke dan berbalik menuju dapur mininya.
"Maaf jika mengganggumu, tapi aku juga sedikit lapar." Kepalanya menoleh ke arah Sasuke yang mematung di depan kamar mandi. Dia bisa tahu wajah sedih Sasuke yang ditunjukkannya pertama kali sewaktu mereka bertemu tadi, dan tidak bisa dipungkiri dia cukup khawatir dengan laki-laki yang baru ditemuinya ini.
.
Sasuke kembali ke kamarnya dan membasuh tubuhnya dengan kasar beserta sabun yang cukup banyak. Hinata berjanji akan mengantarkan makan siang ke kamarnya setelah dia selesai menyiapkan makanan. Dia ingin menyesali perbuatannya tadi, seharusnya dia tak perlu repot-repot membuka pintu apartemennya untuk Hinata. Pikirannya mulai terganggu dan Sasuke semakin cepat menggosok tubuhnya dengan kuat.
Setelah dia selesai mandi, Sasuke membuka tirai kamarnya dan dia bisa merasakan perbedaan yang cukup drastis ketika cahaya matahari masuk. Dia menyalakan pendingin ruangan dan kemudian duduk di atas kasurnya tanpa mengenakan atasan. Air menetes dari rambutnya yang basah dan menuruni pipi bahkan punggungnya, dia sudah lama tak membersihkan kamarnya jadi dia tahu betapa tidak enaknya bau kamarnya ini.
Tidak berapa lama kemudian, Hinata kembali mengetuk pintunya, Sasuke membiarkan perempuan itu untuk masuk sambil membawakan nampan yang berisikan makanan untuk dua orang. Rasanya begitu aneh melihat Hinata, yang bahkan baru pertama kali ditemuinya, melakukan hal seperti ini. Tapi yang lebih aneh, Sasuke tidak merasa ini hal asing, dia tidak bisa berbohong kalau rasanya cukup akrab baginya.
Hinata menyiapkan spaghetti napolitan, salad salada dan tomat buah yang di atasnya ada saus tartar, juga jus jeruk yang esnya tampak menyegarkan. Sasuke memakai kaus tipis yang diambilnya dari lemari pakaian, dan kemudian duduk bersila di hadapan Hinata. Mereka sama sekali tak mengeluarkan kata-kata, sementara Sasuke sudah menyantap makanan tersebut dengan lahap, entah kapan terakhir kali dia bisa merasa begitu memiliki nafsu untuk makan. Seingatnya dia hanya menyantap mie instan kemarin pagi dan minum sekaleng bir. Matanya yang sedikit bengkak menatap Hinata yang tampak begitu tenang, dia seperti sudah menduga hal ini terjadi dan tak peduli dengan keadaan kamar kotor Sasuke.
"Aku biasanya mandi pukul 10 malam, apa kau tidak keberatan aku kesini pada jam tersebut?" Hinata kembali mengulangi kata-kata yang cukup sama ketika dia ingin melakukan sesuatu.
"Aku biasanya sudah berangkat kerja di jam tersebut, jadi lakukan saja apa yang kau mau," kata Sasuke.
"Oh, kau melakukan pekerjaan malam?" dan hanya dijawab dengan anggukan singkat oleh Sasuke.
Dia tak benar melakukan pekerjaan malam setiap hari, hanya sekali di akhir pekan seperti hari Minggu ini. Pekerjaan apa yang dilakukannya tidak begitu penting, dia bekerja di toko rental film, yang beberapa bulan ini dia memutuskan untuk mengambil shift pagi daripada shift malam meskipun bayarannya tidak begitu besar. Dia hanya tidak ingin pikirannya sewaktu-waktu bisa merusak apa yang harus dikerjakannya jika dia terus-menerus mengambil shift malam. Meski begitu, Sasuke berpikir ini tidak akan lama, besok dia akan kembali ke kehidupannya seperti biasa setelah pengurus gedung melakukan tugasnya. Hal tersebut juga akan berlaku pada Hinata, Sasuke akan kembali menganggap dia tak pernah bertemu dengan Hinata dan membiarkan perempuan ini mandi di kamar mandinya.
Hinata sudah kembali ke kamarnya setelah membereskan piring-piring bekas makanan tadi. Sasuke yakin perempuan itu bisa saja kembali sewaktu-waktu ke kamarnya karena dengan bodohnya sendiri dia sudah menawarkan kamar mandinya untuk perempuan itu. Sasuke tak pernah sampai berpikir harus membereskan kamarnya, tapi dia kini mulai menarik sprei tempat tidurnya dan menggantinya dengan yang baru.
Perasaannya entah kenapa jadi jauh lebih tenang, dan Sasuke beranjak mengambil sebotol bir lalu menyalakan televisi untuk memecah keheningan yang sedari tadi menunggunya. Dia tidak merokok, jadi selain bir yang menemaninya dalam lamunan sempitnya, Sasuke biasanya membiarkan suara televisi lebih kencang dari suara apapun di luar sana. Dia mulai membereskan barang-barang yang berserakan di lantai dan memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci. Wajahnya yang tampak lebih tirus kini terlihat di pantulan kaca jendela setelah hari mulai gelap.
Sudah begitu lama Sasuke tak mengenali dirinya sendiri, bahkan untuk memotong rambutnya yang memulai memanjang saja Sasuke perlu disadarkan dengan ocehan bosnya, padahal tak ada aturan dengan ukuran rambutnya di tempat kerja tersebut. Ketika hari sudah mulai sore, itu tandanya Sasuke perlu mempersiapkan apa yang perlu dibawanya untuk kerja nanti—yang sebenarnya tidak begitu banyak dan penting.
Dia sudah mulai lelah dengan aktivitas membersihkan kamarnya, jadi Sasuke merebahkan sebentar tubuhnya di atas kasur. Udara di kamarnya tak lagi pengap, dan Sasuke meski sudah merasa sedikit lega namun sesuatu kembali mengganjal ketika dia harus berbaring seorang diri dan menatap langit-langit rumahnya.
Jika saja—
Tidak, mungkin saja kalau Hinata tidak mengetuk pintunya tadi siang, Sasuke sudah akan berani berlari terlalu jauh ke jalan yang selama ini menjadi mimpi kecilnya. Jalan sempit yang Sasuke sendiri tidak tahu bagaimana rasanya, mungkin saja lebih menyenangkan atau membuatnya lebih merasa tertekan.
Tapi yang pasti, sekali lagi dia berhasil mengurungkan niatnya untuk mengakhiri dirinya sendiri di apartemen kecil ini.
.
.
Bersambung
