Sekali lagi aroma basah membangkitkan anganku. Hujan menjelang, membawa serta seberkas kenangan yang enggan terlupa. Ah, memang apa kuasaku untuk menghapusnya?
"Benang merah–"
Aku menoleh, mendapati Jumin sedang mengintip dari balik punggungku. Sinar mata kelabunya menunjukkan ketertarikan pada buku klasik yang sedang kubaca. Tanpa kusadari waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua pagi, dan sepertinya keberadaanku di dalam kamarnya telah mengusik petualangan lelaki itu di alam mimpi.
"Jumin, apa aku membangunkanmu?"
"Kau bahkan membalik halaman buku itu seperti takut mereka akan memercikkan api, Thea." Ungkap Jumin dengan nada datar seperti biasanya. "Kau tidak bisa tidur?"
Aku menggeleng. "Maksudku, kamar di penthouse ini sangat nyaman. Hanya saja kau memiliki banyak buku yang menarik, Jumin. Aku berencana meminjam satu untuk dibaca di kamarku."
"Kau yakin bukan karena hal lain yang mengganggu pikiranmu?"
Seharusnya aku cukup menyangkalnya, namun suaraku tersendat di tenggorokan. Karena bahkan tanpa aku jelaskan sekalipun, Jumin pasti sudah menyadari kalau 'hal lain' yang dimaksud itu hanya berlaku untuk satu orang.
"Jumin?"
"Hn?"
"Kau mau minum wine?"
.
.
.
MYSTIC MESSENGER © Cheritz
BENANG MERAH © Cloudsoup
.
.
.
Apa kau percaya pada takdir?
Apa kau percaya bahwa pertemuan singkat hari itu adalah awal dari sesuatu yang kekal?
.
.
.
Satu tahun yang lalu, ketika kuncup bunga sakura bahkan belum bermekaran menyambut musim semi, aku mengagumi langit senja yang menunjukkan semburat kemerahan seolah sedang tersipu mendapati aku sedang menatapnya. Angin bulan Maret berhembus lembut, membawa serta sentuhan beku dari sisa-sisa musim dingin yang warnanya mulai memudar.
Tawa mereka masih menggema di gendang telingaku. Melengking, berisik, menghakimi– terus berusaha membuyarkan lamunanku. Mereka mengerumuniku dan membuat cahaya matahari enggan untuk menghangatkan tubuhku yang menggigil akibat beberapa liter air es yang sengaja mereka siapkan untukku hari ini. Hawa dingin menggerayangi tubuhku yang hanya bisa terduduk di sisi dinding lab komputer, lagi-lagi tak melawan. Karena semakin puas mereka mengerjaiku, semakin cepat pula mereka akan mengakhirinya.
"Sepertinya mau berkali-kali pun kami memandikanmu tetap tidak bisa menghilangkan bau udik yang menempel di tubuhmu."
"Sayang sekali. Padahal wajahmu cantik, tubuhmu juga bagus. Bahkan kau berjalan di lorong kampus seolah memiliki pesona seperti Rika. Tapi udik tetaplah udik. Ahahaha…"
Mereka tertawa lepas, dan bibirku yang membeku masih saja bungkam. Lingkungan lab komputer ini cenderung sepi karena para mahasiswa tentu tidak akan mau tinggal lama di gedung paling tua di kampus. Banyak rumor mengerikan yang menyebar tentang gedung lab komputer. Namun ada satu rumor yang bisa aku jamin kebenarannya– gedung ini menjadi tempat yang sangat tepat untuk merundung seseorang. Merundung orang sepertiku.
Selama berkuliah di sini aku sempat bertanya-tanya kenapa harus aku yang menjadi target, tapi ternyata jawabannya sangatlah sederhana. Aku tidak memiliki keluarga yang bisa melindungiku. Aku sendirian.
Cahaya senja kian sirna di ufuk Barat, bersamaan dengan itu awan kelabu mulai menunjukkan eksistensinya. Udara menjadi semakin dingin. Semilir angin yang bertiup kencang turut membawa pandanganku bergulir pada sekelebat bayangan yang tampak pada salah satu jendela di lantai dua gedung lab komputer.
Merah… atau jingga? Déjà vu.
Ah, lelaki itu lagi.
Tubuhku bergidik ketika mencium bau amis di atas kepalaku. Mereka memecahkan dua butir telur di rambutku, mengatakan mereka sedang membantu menutupi bau udik yang menempel di tubuhku dengan bau telur. Namun sepertinya mereka tidak puas hanya dengan itu, karena selanjutnya mereka langsung mengguyur sekujur tubuhku dengan tepung terigu. Membuatku terbatuk karena hampir tersedak.
"Rika! Lihat, kue ulang tahunmu sudah jadi! Ahahaha…"
Mataku melirik gadis berparas seperti malaikat yang sejak tadi hanya berdiri di belakang lima orang mahasiswi senior lainnya yang sedang merundungku. Bersikap dominan, bahkan dia tidak mau mengotori tangannya sendiri dengan menyentuhku.
"Kalian sangat perhatian, teman-teman." Ucapnya sambil menutup mulutnya, menahan tawa puasnya. "Tapi ini sudah hampir hujan, aku juga ada janji dengan Jihyun nanti malam. Ayo kita akhiri sekarang. Kim Thea, terima kasih banyak sudah mau ikut merayakan hari ulang tahunku."
Rika tersenyum padaku, lantas mengajak teman-temannya beranjak meninggalkanku sendirian di halaman gedung tua ini.
Aku menghela napas, menyebabkan kabut putih mengepul di depan wajahku. Tanganku terulur mengambil kaca mata berbingkai bening milikku yang terjatuh di rerumputan. Kacanya retak sedikit. Tidak lama setelah petir pertama terdengar, hujan langsung menyapa bumi. Membasuh tubuhku yang kotor sekaligus menambah hawa dingin yang melingkupiku. Aku memeluk tubuhku sendiri, mengusapnya agar sedikit lebih hangat.
"Kau tidak apa-apa?"
Pertanyaan konyol yang sangat jarang aku dengar sejak berkuliah di sini. Aku tertawa pelan, kemudian bangkit berdiri sambil menahan nyeri pada lututku yang kram. Rekor, hari ini mereka hanya mengerjaiku selama setengah jam.
"Apa pedulimu? Kau bahkan hanya menonton." Aku mendongak, menatap sepasang iris serupa kilau senja di kedua matanya tanpa segan.
Akhirnya aku bertemu dengannya secara langsung– lelaki yang selalu menjadi sekelebat bayangan di jendela lantai dua lab komputer setiap aku diseret paksa oleh Rika dan teman-temannya ke sini. Sebenarnya aku penasaran mengapa setelah beberapa waktu telah berlalu baru sekarang dia memutuskan untuk mengajakku bicara.
"Maaf, aku tidak bisa menolongmu."
"Aku tidak berharap mendapat permintaan maaf dari orang asing sepertimu." Aku tersenyum, lantas berbalik.
Kondisiku sedang tidak baik, tubuhku menggigil dan bau, aku tidak bisa lebih lama lagi berada di sini. Tapi tubuhku tersentak ketika tiba-tiba lelaki itu menyampirkan sesuatu ke atas kepalaku. Sesuatu yang hangat dan beraroma mint yang menenangkan. Aku mengambilnya dan menyadari kalau itu adalah jaket miliknya.
"Aku tidak bisa menolongmu karena sebuah alasan yang tidak bisa aku jelaskan." Dia berhasil membuatku kembali menatapnya. "Tapi sebagai gantinya, aku akan membantumu."
Alisku berkerut. "Membantuku?"
"Aku bisa membantu menemukan Ayahmu."
Napasku terhenti sesaat. Seketika mataku terbelalak sempurna.
"Dan aku bukan lagi orang asing, Kim Thea."
Lelaki itu melangkah lebih dekat, mengeliminasi jarak di antara kami. Dengan perlahan, dia merapihkan jaketnya sampai sempurna menyelimuti tubuhku. Membuatku merasa lebih hangat.
"Panggil aku Saeyoung."
.
.
.
Suaraku menyusut bersama udara
Tak dapat bahkan sebisik pun kau dengar jeritanku memanggil namamu
.
.
.
"Alkisah ada seorang anak lelaki yang berjalan di malam hari. Dalam perjalanannya, dia melihat seorang lelaki tua yang bersandar pada sebuah pagar di bawah sinar rembulan sambil membaca sebuah buku. 'Ini adalah buku pernikahan, aku hanya perlu menggunakan benang merah dalam tas ini untuk mengikat kelingking sepasang insan dan mereka akan berjodoh' ucap lelaki tua itu menjawab rasa penasaran sang anak lelaki."
"Namun anak lelaki itu tidak mempercayainya, sehingga lelaki tua itu memutuskan untuk membawanya ke sebuah desa dan menunjuk seorang gadis muda yang ditakdirkan untuk menjadi isterinya kelak. Tapi karena masih belum mengerti makna pernikahan, anak lelaki itu malah marah dan melempar batu pada gadis itu, lantas berlari secepat yang ia bisa."
"Beberapa tahun setelahnya, anak lelaki itu tumbuh menjadi seorang pria dewasa. Ia dijodohkan oleh seorang wanita dan pernikahan mereka pun berlangsung. Ketika membuka cadar isterinya, pria itu baru menyadari bahwa ia telah menikahi seorang wanita paling cantik di desa. Namun sang pria melihat sebuah hiasan aneh di dekat alis isterinya. Wanita itu berkata sambil menunjukkan sebuah bekas luka yang tadinya tertutup hiasan tersebut, ia berkata 'sewaktu kecil ada seorang anak lelaki yang melempar batu dan mengenai wajahku, lantas batu itu membuat luka yang membekas ini'."
Mata kelabu Jumin memantulkan cahaya dari luar jendela besar yang menghiasi sisi dinding pantry. Membuatnya berkilauan indah. Sebelah tanganku mengelus bulu halus Elizabeth 3rd yang tiba-tiba ikut bergabung dan langsung tertidur di pangkuanku, sedangkan tanganku yang lain masih menggenggam gelas berisi red wine dan es.
Aku sudah setengah mabuk ketika baru meminum lima tenggak. Aneh sekali saat menyadari kalau kebiasaan mabukku adalah mendongeng. Kisah klasik yang aku baca tadi terus berputar di dalam kepalaku, berulang-ulang, membuat kepalaku sakit.
"Aku ingat pertama kali didongengi buku itu saat sedang demam ketika baru masuk sekolah dasar."
Aku tertawa. "Kau pasti anak yang sangat menggemaskan waktu itu." Satu tenggak wine dingin kembali membasahi mulutku. "Siapa yang mendongengimu, Jumin?"
"Ibuku." Jawabnya singkat, semburat kemerahan mulai tampak di pipi pucatnya ketika lelaki itu berhasil menghabiskan seluruh wine di gelasnya.
"Sepertinya hubungan kalian cukup baik?"
"Aku harus memohon padanya waktu itu, mengkambing-hitamkan demamku agar dia mau membacakan buku apapun yang ada di rak."
Jumin mengisi kembali red wine ke dalam gelasnya yang sudah kosong, namun alih-alih langsung menenggaknya, lelaki itu justru menatapku.
"Kau mempercayainya?"
Kepalaku pusing, rasanya aku sudah mulai mengantuk. Mabuk memang cara yang paling tepat untuk melawan insomniaku. Pikiranku menjadi lebih tenang. "Hm?"
"Apa kau percaya ada benang merah yang terikat di jari kelingking sepasang insan?"
Jendela besar di ruangan ini akhirnya dihiasi oleh butiran-butiran air yang mengguyur kota Seoul. Bunyi ketukannya di kaca yang bening terdengar berirama, merdu seperti lullaby. Aroma basah kembali membangkitkan anganku. Hujan deras membasahi bumi, membawa serta seberkas kenangan yang enggan terlupa. Ah, lagipula aku memang tidak kuasa untuk menghapusnya.
Jika memang di jari kelingkingku ada seutas benang merah, maka apa yang harus aku lakukan untuk memastikan siapa yang terjebak dalam ikatan takdir yang sama denganku? Apakah jika aku memohon dengan putus asa seperti yang dilakukan Jumin kepada ibunya akan sanggup membawaku pada sisi lain dari benang merah ini?
Aku hanya ingin tahu– apakah aku menyerah saja, atau harus tetap menunggu sedikit lebih lama lagi.
Dadaku sesak, rasanya sangat sulit bahkan hanya untuk bernapas. Kehadiran 'orang itu' di dalam hidupku ternyata memberi kesan yang begitu mendalam. Kesan yang indah sekaligus menyakitkan. Seperti luka yang disebabkan oleh batu yang dilemparkan anak lelaki di dalam dongeng klasik itu.
Air mata berlinang, membuat jejak hangat di pipiku. Namun sialnya, aku malah tersenyum.
"Jika benar, bukankah itu sangat indah?"
Hening, tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan lelaki di seberang meja untuk menanggapi pertanyaan retorisku. Lantas aku membiarkan diriku terjebak dalam sunyi yang sama dengannya. Aku tidak sanggup bahkan hanya untuk mendongak membalas tatapan Jumin saat ini. Pikiranku kalut, aku masih harus bersusah-payah untuk mengatur napasku. Hanya butuh waktu singkat untukku jatuh cinta pada 'orang itu', namun sama sekali tidak sebanding dengan waktu yang aku habiskan untuk melupakannya.
"Kau sendiri percaya pada hal itu?" Akhirnya aku yang memecah keheningan. Sambil menuangkan wine ke dalam gelas, aku menikmati bunyi percikannya yang mengalir merdu.
"Aku lebih percaya pada sebuah teori dibanding dongeng klasik."
Aku mendengar suara kursi yang bergeser, dan tidak lama kemudian aku menyadari kehadiran Jumin yang berada tepat di sampingku. Ia memutar kursiku sehingga tubuhku menghadapnya. Tangannya yang kekar menyentuh daguku, membawa tatapanku mengarah padanya.
"Kim Thea, mau dengar apa teori yang kumaksud?"
Api membara yang dingin dan pucat bersemayam di dalam kedua mata kelabunya, menghangatkan tubuhku yang kedinginan akibat merindu pada sinar rembulan yang terhalang oleh awan mendung di relung hatiku. Napasnya yang hangat menerpa wajahku. Aroma wine menguar dari bibirnya, membuatku merasa semakin mabuk hingga sulit untuk berpikir. Aku tenggelam di dalam tatapannya, dan seolah digiring untuk terus menenggelamkan diri semakin jauh ke dalamnya.
"Jumin…"
"Yang terbaik bagi perempuan patah hati adalah cinta yang baru."
Tubuhku lemas, bahkan jemariku tidak lagi bertenaga untuk sekadar mempertahankan gelas wine di genggamanku. Rona merah tumpah ruah membasahi meja pantry, lantas riak airnya mengiringi jantungku yang berpacu sederas hujan malam ini ketika akhirnya bibirku dapat mengenali rasa manis yang menempel pada bibirnya.
Jumin menciumku, dan aku membiarkannya.
Aku memejamkan mata, menikmati sensasi hangat yang menjalar seperti aliran listrik ke seluruh tubuhku. Sekilas, sekelebat bayangan serupa kilau senja terbersit di dalam pikiranku. Sepasang tatapan yang lembut, kadang terkesan jenaka, tidak jarang pula terlihat sangat kesepian. Aku mengenalinya– pemilik tatapan itu. Rasa rindu mendorong air mata kembali memenuhi pelupuk mataku, serta merta mengalir deras hingga membuat ciuman yang tadinya manis kini terasa asin akibat air mataku. Aku terisak, dengan lemah membisikkan satu-satunya nama yang muncul di antara keputusasaanku ini.
"Saeyoung…"
Jumin menghentikkan lumatan bibirnya. Tubuhnya membeku. Ciuman kami berakhir, digantikan oleh rengkuhan tangannya yang dengan erat memeluk tubuhku yang seketika menggigil. Elizabeth 3rd mengeong karena tidurnya terganggu, namun Jumin tetap membiarkanku terisak di dalam pelukannya.
"Jangan buat aku memohon, Thea." Bisiknya sambil membenamkan kepalanya di tengkuk leherku. Aku dapat merasakan napasnya yang hangat di kulitku. "Seperti kau yang percaya bahwa orang itu adalah takdirmu, aku juga percaya bahwa kau adalah takdirku."
Aku adalah orang yang jahat. Aku tahu itu.
Bahkan ketika aku terlalu fokus pada luka yang dibuat oleh Saeyoung, di saat yang sama aku juga telah menorehkan luka di hati insan lainnya.
.
.
.
Halo Halo, kalian! ^^)/
Terima kasih banyak sudah membaca fanfic Benang Merah bahkan sampai ke sesi blabla-ku ini awokawok
Seperti yang sudah kalian lihat, fanfic ini akan sangat berbeda dari original story dari Mystic Messenger. Aku hanya akan mengambil karakternya saja dan mengandalkan kehaluanku untuk alur ceritanya huehehehe
Saran dan kritik yang membangun sangat diperbolehkan. Semoga untuk chapter selanjutnya pun kalian bisa terhibur yaa ^.^
Semoga tersampaikan dan dapat terkenang.
Sincerely, Cloudsoup.
