"Seorang kakak bertanggung jawab atas adik-adiknya. Melindungi mereka, membimbing mereka, membela mereka, itulah tugas seorang kakak."

Begitu kata Nusantara suatu hari, saat Nesia sibuk mengadu lantaran baru bertengkar dengan Malay perkara hal kecil.

Nusantara sering memberikan nasihat-nasihat seperti itu, tetapi perkataannya tentang peran seorang kakak entah kenapa sangat membekas di ingatan Nesia, bahkan berpuluh-puluh tahun setelah Nusantara menghilang begitu saja karena masing-masing anaknya sudah menjadi negara merdeka.

Mungkin … mungkin karena Nesia sempat menemukan sosok kakak dalam diri seseorang. Mungkin karena Nesia sempat berharap agar orang itu benar-benar menjadi kakak yang patut dia andalkan.

Nesia lelah karena selalu ditunjuk sebagai kakak tertua di antara saudara-saudaranya sesama kepulauan Asia Tenggara. Entah kenapa Nusantara menyerahkan peran tersebut kepada Nesia, mungkin karena dulu pusat kekuasaan Nusantara ada di wilayah tempat Nesia berada. Yang pasti, dulu Malay sering memanfaatkan hal ini setiap kali mereka bertengkar memperebutkan sesuatu, berkata "Kau kan kakak tertua kami, mengalah dong!".

(Kalimat itu tidak menghalangi Nesia untuk kemudian menjitak kepala Malay, berujung pada perkelahian fisik yang membuat keduanya menangis dan dimarahi Nusantara.)

Intinya, Nesia capek terus-menerus ditekan untuk menjadi seorang kakak. Meskipun Nusantara selalu mengingatkan semua anaknya agar saling menjaga satu sama lain, beban tanggung jawab yang diserahkan kepada Nesia selaku kakak tertua tentu lebih berat. Melindungi, membimbing, membela mereka, itu berarti Nesia harus selalu menyisihkan waktu setiap kali para adik membutuhkannya.

Karena itulah, ketika muncul sosok lain yang lebih bisa diandalkan, Nesia mengira orang itu cocok menjadi kakaknya, mengambil peran untuk melindungi, membimbing, dan membela Nesia.

Orang itu sama sekali tidak mirip dengan Nesia. Kulitnya yang putih pucat tidak seperti Nesia yang berkulit sawo matang, matanya berwarna hijau terang dan bukanlah cokelat atau hitam, hidungnya tegak mancung dan badannya tinggi besar. Pokoknya sangat berbeda dengan Nesia.

Sebenarnya aneh kalau Nesia menganggapnya sebagai seorang kakak—terlepas dari rupa fisik mereka yang sangat jauh—karena orang itu seringkali tidak bersikap seperti seharusnya seorang kakak bersikap.

Dia kejam, keserakahan orang-orangnya mendorong dia untuk mengeksploitasi, memaksa, menyiksa rakyat kesayangan Nesia dan Nusantara.

Dia dingin dan keras, selalu memalingkan wajah tanda tidak mau tahu setiap kali Nusantara atau Nesia memohonnya untuk berhenti. Melangkah pergi dengan cueknya setiap kali Nesia mulai menangisi kesengsaraan rakyatnya yang tak kunjung padam.

(Semua terasa lebih sakit setelah Nesia menjadi Hindia Belanda, karena untuk pertama kaliya ia bisa merasakan kesakitan rakyat di setiap sudut tubuhnya, merasakan apa yang selama ini Nusantara emban seorang diri. Nesia kemudian mengerti kenapa sebelumnya Nusantara selalu enggan membagi lebih banyak tanggung jawabnya sebagai personifikasi kepada Nesia, karena sunggu penderitaan rakyatnya itu sangat menyiksa.)

Sayangnya, Nesia juga tidak bisa sepenuhnya membenci orang itu. Ada saat-saat di mana dia berlaku sangat baik, tutur katanya melembut dan dengan sabar ia membimbing juga mengajari Nesia berbagai macam hal, terkadang malah memberikan hadiah.

Memang sangat berbeda dengan Nusantara yang keibuan, tetapi meski wajah orang itu tetap memberengut pun, Nesia bisa merasakan secercah kasih sayang dan kepedulian yang terpancar dari kelakuannya di hari-hari yang baik. Orang itu sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang perhatian, tetapi aksinya seringkali menyalahi wajah dinginnya itu.

Sejak dulu, Nesia sudah mendengar bahwa dia memang memiliki dua adik di rumahnya di Eropa sana. Fakta itu sering membuat Nesia mengernyit, bagaimana bisa seseorang setega dia juga punya adik untuk dilindungi?

Kemudian Nesia baru memahaminya ketika untuk pertama kalinya ia mendatangi rapat internasional setelah berhasil memerdekakan diri. Di sana ia menyaksikan bagaimana sikap Belanda di hadapan Belgia dan Luxembourg. Tidak penuh dengan kata-kata manis dan pelukan yang hangat, tetapi memang seperti itulah seorang kakak. Menyayangi secara tersirat.

Dari situ, Nesia paham dari mana Belanda belajar untuk mengasuh orang lain meski dengan gayanya yang kaku dan canggung itu. Dia sama saja dengan Nesia, sama-sama seorang kakak yang mampu berbuat lebih demi adik-adiknya dari belakang layar.

Ada satu hal kecil yang mengganjal di hati ketika Nesia memperhatikan mereka bertiga. Ia sadar bahwa hubungannya dengan Belanda tidak akan bisa seerat itu, apalagi dengan konflik masa lalu yang membayangi keduanya.

Nesia mendengkus ketika memikirkan itu. Berharap apa dia, ingin bersikap layaknya seorang adik kepada kakak, terhadap mantan penjajahnya sendiri? Konyol.

Nesia seharusnya sudah merasa puas dengan saudara-saudaranya, karena mereka lah yang seharusnya Nesia curahkan kasih sayang sebagai kakak tertua. Benar, dia tidak mungkin melakukannya kepada personifikasi dari negara yang puluhan tahun—bahkan mungkin ratusan, Nesia sedang malas berhitung—berlaku seenaknya di atas tanah yang bukan miliknya.


Nesia baru saja mengisap rokok di tangannya ketika tiba-tiba bertatapan dengan Belanda yang muncul di balkon. Dia hampir tersedak saking kagetnya.

"Jangan tiba-tiba muncul gitu, kaget tahu," kata Nesia setelah mengembuskan asap rokok dari mulutnya.

Belanda tidak merespons, hanya berjalan mendekati Nesia dan berdiri di sebelahnya. Tangannya meraih saku jas dan mengeluarkan sebatang rokok.

Entah sejak kapan ini dimulai, tetapi mereka berdua memang sering melewatkan waktu merokok bersama setiap kali rapat internasional diadakan. Mungkin sejak waktu di mana Belanda meminta maaf kepadanya saat mereka bertemu di Swiss. Karena sejak saat itu, Nesia tidak lagi menghindarinya atau sengaja membuang muka dan mengabaikannya.

Tanpa berkata apa-apa, Nesia menyerahkan pemantik api dari sakunya kepada Belanda yang langsung menerima. Dalam keheningan, mereka sama-sama menatap pemandangan laut dari pesisir pantai Kota Oslo, kali ini tuan rumah rapat internasional para personifikasi negara adalah Norwegia.

"Tidak dingin?" Tiba-tiba suara berat Belanda bertanya.

Nesia sempat bingung maksud dari pertanyaannya sebelum akhirnya ia paham. "Enggak terlalu. Lagipula sudah mulai mendekati musim panas di sini, aku masih bisa menahannya."

Walaupun dia bilang begitu, sebenarnya jaket yang dipakainya di atas kemeja formal pun tidak cukup untuk menghalangi dinginnya musim semi di Norwegia. Namun paling tidak, Nesia bisa menahan diri untuk tidak menggigil. Tidak ada cara lain selain pergi ke balkon untuk menghindari keramaian para negara yang membuatnya pusing.

Melewati waktu bersama Belanda selalu seperti ini, lebih banyak diamnya ketimbang berbincang. Biasanya Nesia yang cerewet menceritakan apa saja hanya karena dia tidak tahan dengan keheningan yang canggung, tetapi lama-lama ia juga paham sendiri bahwa memang seperti inilah cara sang negeri kincir angin menghabiskan waktu bersama orang lain. Lagipula saat ini Nesia sedang tidak ingin banyak bicara.

"INDON LU DI MANA?!"

Nesia tersentak kaget mendengar namanya tiba-tiba diteriakkan begitu kencangnya. Siapa lagi kalau bukan Malay, hanya dia yang berani memanggil Nesia dengan nama itu. Nesia memperhatikan bagaimana Malay muncul di pintu balkon yang terbuka. Ia juga menangkap ekspresi wajah Malay yang berubah curiga dengan kedua matanya menyipit menatap Belanda, yang juga ikut menyaksikan kehebohan tersebut.

(Nesia tahu Malay diam-diam masih menyimpan rasa tidak suka kepada Belanda dan selalu waswas setiap kali mereka berdua bertemu. Sama seperti ketika Nesia melihat Malay berbincang dengan Arthur si Inggris, sifat protektifnya mendadak menjadi sangat tinggi.)

Sesuai dugaannya, Malay segera mendekati Nesia sambil terus melirik Belanda. "Bang, pergi kok enggak bilang-bilang? Dicariin dari tadi sama yang lain."

Tuh kan, bahkan panggilannya pun berubah, Nesia berusaha menahan seringai. "Ke balkon aja masa harus bilang-bilang? Deket juga sama ruang rapat."

Malay mendecak. "Rapatnya udah selesai. Filipina ngajak makan seafood di deket pelabuhan, sekalian jalan-jalan katanya."

"Ah, entar deh gua nyusul. Kagok ini tinggal sedikit lagi." Nesia mengangkat batang rokok di tangannya.

Malay terdiam menatapnya, melirik Belanda lagi, lalu menghela napas. "Ya udah, nanti dikirim lokasinya. Handphone lu masih jalan kan, Bang?"

"Masih kok, masih. Sana cepet pergi." Nesia memberikannya tanda 'oke'.

Malay pun melangkah pergi kembali ke ruang rapat setelah mendelik sekilas kepada Belanda. Keheningan kembali menyelimuti keduanya, tetapi Nesia tidak sangka bahwa hal itu tidak berlangsung lama.

"Kamu dulu juga begitu."

Tumben-tumbennya si Londo yang mulai pembicaraan, pikir Nesia sembari mengambil rokok dari mulutnya.

"Apaan?"

Belanda melirik Nesia. "Sibuk mencariku setiap kali ada yang ingin kau lakukan. Apalagi ketika harus pergi ke gudang belakang yang gelap, atau kamar mandi di tengah malam."

"Ya ampun, itu kan waktu aku masih bocah. Lagian gudang belakang itu beneran seram tahu, kamu aja enggak bisa lihat noni Belanda yang tinggal di situ," Nesia menjelaskan sembari bergidik. Gudang yang dimaksud ada di rumah tempat Belanda tinggal di wilayahnya dulu, tempat Nesia sempat dipaksa tinggal juga. "Terus, aku juga hanya mencarimu di hari-hari yang baik. Enggak mungkin di saat yang lain."

Belanda mengernyit, terlihat dari eskpresinya meminta penjelasan. Nesia hanya menjawabnya dengan lirikan sekilas, kembali menonton kesibukan di pelabuhan di bawah sana.

"Oh."

Hanya itu yang keluar dari mulut Belanda setelah menyadari implikasi yang disodorkan Nesia tadi.

"Indonesia."

"Apa?"

Tumben dia memanggil namannya dengan benar.

"Kenapa kau pernah memanggilku dengan sebutan 'kakak'?"

Nesia hampir, hampir saja, melompat dari atas pagar balkon dan terjun bebas demi menghindari pertanyaan satu itu. Karena ia tidak mau mati muda (lagipula ia tidak mungkin mati hanya karena itu, paling terluka), Nesia memilih untuk menampar kedua pipinya.

"Anjir, Belanda, kenapa harus diungkit-ungkit?!"

"Kukira kamu membenciku dari dulu, tapi aku ingat di beberapa kesempatan kamu memanggilku 'kakak', padahal tidak kusuruh."

"HENTIKAN! STOP! Malu-maluin aja, dasar Londo!" Nesia menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu mengerang frustrasi.

Entah kenapa ia bisa merasakan seringai terukir di wajah si bule, seringai yang kadang ketahuan muncul setiap kali Nesia melakukan sesuatu yang heboh.

Sementara Nesia meratapi nasibnya karena harus disudutkan dalam situasi canggung nan memalukan ini, Belanda mengisap lagi rokoknya lagi dengan tenang.

Tiba-tiba sesuatu yang hangat jatuh di atas kepalanya, membuat Nesia mendongak dan menemukan syal putih-biru yang selama ini tidak pernah absen dari leher Belanda. Ia mengernyit semakin dalam, butuh waktu untuk memproses apa maksudnya pemberian syal itu.

"Tidak masalah kalau kamu masih mau memanggilku seperti itu. Aku sudah terbiasa mengurus dua adik, tambah satu tidak akan membuatku kerepotan."

Lalu dengan seenaknya, tangan Belanda meraih kepala Nesia dan mengacak-acak rambutnya, membuat syal itu terjatuh ke pundak Nesia. Dengan santainya, seakan tidak pernah terjadi apa pun, Belanda langsung melangkah pergi sambil mematikan puntung rokok dan membuangnya ke tempat sampah terdekat, meninggalkan Nesia yang membatu di tempat.

Oh, Nesia ingin sekali menjedotkan kepalanya ke pagar balkon supaya pikirannya waras kembali.

Tidak pernah ia sangka Belanda masih mengingat—atau bahkan, mengetahui detail kecil itu. Padahal Nesia tidak pernah memanggilnya 'kakak' secara terang-terangan, biasanya ketika ia bergumam kecil, atau diam-diam ketika ia merasa Belanda tidak akan mendengarnya. Biasanya Nesia disuruh memanggilnya dengan 'Mr. Nederland' atau 'meneer'.

Jadi selama ini dia tahu, tapi hanya tidak pernah diungkit saja?! Nesia mulai menyesali perlakuannya semasa muda.

Ponselnya tiba-tiba berdering, membuat Nesia kesusahan menjaga agar suaranya stabil sebelum mengangkat telepon tersebut.

"Ya, halo—"

"INDON BURUAN KE SINI! Lelet banget, dah!"

Nesia memijat keningnya. "Iya, iya, sabar napa sih. Ini baru mau otw."

Sebelum Malay bisa mengomel lebih lanjut, Nesia mematikan sambungan telepon dan mengecek alamat restoran yang sudah diberikan Filipina sejak tadi. Sambil meregangkan tubuhnya sebentar sekaligus merapikan pakaiannya, Nesia mulai berjalan menuju lokasi para saudaranya berada. Ia berusaha menahan senyuman yang akan mengembang di wajahnya yang masih terasa panas.


Keberadaan syal putih-biru di lehernya, yang Nesia lupa lepas, menimbulkan kericuhan setibanya dia di restoran yang dimaksud. Nesia seketika menyesal dan mengutuk Belanda dengan sungguh-sungguh.


A/N:

This may not be historically accurate, aku hanya ingin menulis tentang kang indo yang menganggap ned sebagai sosok kakak :"D Oh ya, nusantara itu kuanggap 'ibu' atau pendahulu dari indo, malay, phili, singapore, timor, dan brunei, based on majapahit's era ( inspired by /nonfitria tweet about Nusantara). Dulu, kata 'Nusantara' itu memang merujuk pada mereka, cuman sekarang lebih merujuk ke Indonesia.

Adegan Belanda meminta maaf ketika mereka ada di Swiss itu ada di mini fic yang aku tulis di twitter ( /red_sky013/status/1387814990858489858) mungkin suatu saat nanti (kalau lagi niat wkwk) bakal kuedit dan post di sini.

Anyway, thank you for reading it! :DD