Reunion? Reunion!

by

Lightrress

.

.

.

Warning!

Contains harsh words and strong language

(Mengandung kata-kata dan gaya bahasa yang kasar)

Fiction, BL, AU

NamJin area

.

.

.

.

"Ayolah, Jin-ah, aku tau kau masih belum melupakanku."

Seokjin mendengus makin keras saat telinganya menangkap panggilan nama dari orang tidak tahu diri di depannya. Memutar bola mata, memandang malas pada orang yang terlihat kesusahan berdiri tegak karena mabuk. Seokjin menghela napas, tidak percaya dirinya harus berurusan dengan hal ini sekarang, sedangkan niat awal datang ke reunian hanya untuk bersenang-senang. Demi Tuhan, ia baru saja sampai di gedung pertemuan beberapa menit, sebelum orang ini menarik tangannya ke pojok ruangan, dan mulai menguji kadar kesabaran miliknya.

"Oi! Dengar ya, kau mabuk dan aku tidak punya waktu untuk ini." Seokjin berucap sedikit keras sambil mengeja kalimatnya, sedikit banyak berharap makhluk di hadapannya ini mengerti dan tidak mengganggu lagi. Yah meskipun tentu saja, mustahil, apalagi jika ditambah dengan lingkungan sekitar yang agak riuh dengan suara musik dan pembicaraan orang-orang. Seokjin menarik napas, berusaha untuk tidak terbawa emosi karena dia masih cukup waras untuk tidak berdebat dengan orang mabuk.

"Aku akan menganggap aku tidak pernah bicara denganmu malam ini." Seokjin melangkahkan kaki berniat menjauh, namun genggaman pada lengannya menahan pergerakan.

Seokjin melirik sinis, berucap memperingati, "Lepas."

Dahinya yang mulus mengkerut saat mendapati orang sinting yang tadi menahan lengannya malah tertawa mengejek. "Tidak perlu jual mahal, Jin-ah. Kau bahkan tidak memiliki pasangan lagi setelah putus dariku."

"Terus? Memangnya kenapa?" Seokjin membalas sewot. Alis menekuk tajam. Tidak habis pikir dengan logika yang berjalan pada otak udang milik orang di depannya.

"Hah!", yang ditanya malah mendengus sombong, berkacak pinggang mencecar Seokjin dengan tudingan-tudingan tak masuk akal, "Itu tentu saja karena setelah tujuh tahun pun kau masih tidak bisa melupakanku." Dengan tatapan merendahkan, orang itu terkekeh melanjutkan "Kalau kamu mau memohon, aku bisa menjadikanmu selingkuhan, penawaran yang bagus kan, benar tidak? Aku juga bisa memenuhi kebutuhanmu di ranjang, Jin-ah."

Kerutan di dahi terlipat semakin dalam. Jemari Seokjin mengepal kuat disisi tubuh. Inginnya sih langsung melayangkan bogem mentah ke rahang, kemudian disusul dengan meludahi wajah di depannya yang sekarang sedang tersenyum meremehkan. Tapi sekali lagi, Seokjin menarik dan menghembuskan napas. Seokjin mati-matian menahan diri dan berusaha mendengarkan akal sehat, dibanding emosi yang bergejolak tidak terima karena harga dirinya dicoreng oleh manusia rendahan.

Seokjin menghembus meniup poninya keras, tawanya meluncur setengah pasrah setengah tidak percaya. Pasrah karena yang di depannya sekarang adalah orang mabuk dan ia tidak bisa berbuat banyak. Tidak percaya karena tidak pernah terpikir olehnya kalau ia akan mengalami situasi semacam ini. Seokjin tahu tidak ada gunanya meladeni manusia bajingan di depannya, apalagi jika dirinya tersulut emosi dan menimbulkan keributan yang pastinya akan menarik perhatian semua orang yang ada diruangan ini.

Seokjin menatap tajam pria di depannya,"Aku benar-benar tidak punya waktu untuk meladenimu. Kau harus bersyukur aku tidak menuntutmu karena mengatakan hal-hal seperti ini padaku.". Seokjin memilih untuk berbesar hati dan sudah akan melangkah pergi sebelum lengannya ditahan lagi.

Seokjin menoleh kesal, emosinya langsung memuncak. Seokjin ingin mengumpat sebelum dia melihat sebentuk tangan lain menyentak tangan si orang mabuk dari lengannya. Matanya mengerjap melihat sosok tinggi di belakangnya, menatap Seokjin dengan senyum ramah.

Sementara itu, orang mabuk yang tidak terima mulai menggertak marah, "Hei! Jangan ikut cam-"

Kata-katanya terhenti begitu melihat jelas siapa orang yang ada di belakang Seokjin, "Di-direktur Kim, kenapa bisa?"

"Menggoda dan mengganggu orang-orang di tempat kerja masih tidak cukup, huh?" Yang dipanggil direktur mendengus remeh, "Mendapat teguran dan hampir dipecat rupanya masih belum cukup untuk membereskan tingkah lakumu, bukan begitu?"

"Ma-maafkan saya, sajangnim."

Setelah berkata seperti itu, orang tersebut langsung ngacir menghilang ditelan kerumunan tanpa banyak bicara, menyisakan Seokjin yang melongo di tempat.

Orang di belakang Seokjin memperhatikan Seokjin lalu mengulas senyum geli. Tangannya terangkat pada Seokjin yang masih ternganga. "Lama tak berjumpa, teman sebangku." sapanya.

.

.

.

Seokjin mengerjap, masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Kau…Kim Namjoon?"

Seokjin menatap pria yang tertawa hingga lesung pipinya tampak. Selesai tertawa, ia mengangkat bahu, "Sudah berapa kali kau bertanya, huh? Memangnya terlihat seperti siapa?"

"Umm…kau terlihat sangat berbeda." Seokjin berkata sambil menelusuri penampilan Namjoon. Pria itu menggunakan jas hitam dan kemeja berwarna senada di dalam untuk membungkus badannya yang telihat kekar. Kaki jenjangnya dibalut celana hitam dengan kain mahal. Seokjin tertegun memperhatikan. Meskipun penampilannya serba hitam, Seokjin tidak menampik bahwa Namjoon terlihat karismatik dan mempesona. Tubuhnya yang menjulang tinggi membuat kening Seokjin terlipat heran. Sungguh, seingatnya waktu SMA, Namjoon belum setinggi ini. Namjoon yang sekarang juga menggunakan kacamata berframe tipis, Seokjin menebak-nebak bahwa penglihatan pria itu menurun selepas mereka lulus SMA.

Namjoon yang melihat Seokjin memperhatikannya terkekeh pelan, "Bagaimana? Jadi makin tampan?" tanyanya usil.

Seokjin memutar bola mata, "Masih menyebalkan ternyata."

"Oh ya?" Namjoon menaikkan sebelah alis. Mereka kini sudah berada di dekat meja yang menyediakan minuman. Namjoon bergerak mengambil satu minuman untuk Seokjin, lalu satu untuk dirinya sendiri. "Lebih menyebalkan dari mantanmu tadi?" tanyanya sambil tersenyum miring.

Seokjin yang menyesap jus jeruk melirik sebal, "Jangan mulai. Aku datang ke reunian berniat bersenang-senang sebentar, ternyata malah ada manusia sinting yang membuat moodku hancur."

Tawa renyah Namjoon terdengar, "Kelihatan kok kamu kesal meskipun dari jauh. Tadinya aku tidak ingin bersikap seenaknya dengan ikut campur, tapi…" Namjoon menggantungkan kata-katanya dan melihat ke sekeliling. Seokjin yang mengerti maksud Namjoon pun tersenyum kecut, "Yang tadi pasti sudah menarik perhatian ya?" tanyanya.

Namjoon mengangguk singkat, "Di awal hanya aku yang memperhatikan, tapi semakin lama orang-orang mulai berbisik sambil melihat kalian, jadi begitulah." Namjoon mengangkat bahu, "Maaf karena sudah lancang, aku tahu tadi kau bisa mengurusnya sendiri, tapi aku malah ikut campur." ucapnya, meminta maaf karena merasa tidak enak pada mantan teman sebangku. Matanya memperhatikan Seokjin yang terlihat kesal karena harus mengingat kejadian beberapa menit lalu.

Seokjin menenggak habis jusnya, kemudian berujar sambil menaruh gelasnya pada meja "Tidak kok, aku justru bersyukur kamu datang tepat waktu. Aku tidak yakin bisa menahan emosi jika berlama-lama dengan orang itu. Jika tadi kau tidak datang, aku sudah ingin memaki-maki dan menghantam wajahnya, peduli setan dengan orang-orang yang memperhatikan."

Namjoon bersiul, "Garang sekali, pak dokter."

Yang disindir hanya melengos, "Tutup mulutmu."

Namjoon tertawa pelan, berjalan mengikuti Seokjin yang sekarang menjauh dari kerumunan, memilih ke area belakang karena malas berbasa-basi dengan banyak orang. Seokjin menatap ke depan, kemudian membuka suara saat Namjoon tiba di sampingnya, "Jadi, kau atasan si bajingan tadi?"

Namjoon ikut memperhatikan ke arah depan, menatap tak tertarik teman-teman seangkatannya yang sibuk bertukar kabar dan saling menyombongkan diri, kemudian menjawab, "Yah bisa dibilang begitu."

"Lalu? Kenapa dia terlihat kaget tadi? Bukannya harusnya dia tahu kalau kau itu teman seangkatannya?" Seokjin bertanya penasaran.

Namjoon menoleh ke arah Seokjin sambil mengangkat bahu tak peduli, "Entahlah, mungkin karena aku baru diangkat menjadi direktur utama di perusahaan ayah enam bulan lalu. Mungkin juga karena waktu SMA, bajingan itu tidak mau ambil pusing dengan bersusah-susah mengingat teman sebangku pacarnya sendiri. Lagipula aku bukan orang yang senang beramah-tamah sepertimu yang mengenal banyak orang di angkatan."

Seokjin manggut-manggut mendengar penjelasan Namjoon, "Kalau aku jadi kau, aku tidak akan basa-basi memecatnya." Seokjin berkelakar.

Namjoon terbahak mendengar itu, "Memecat orang karena urusan pribadi itu bukan tindak yang profesional, Kim Seokjin." Dilihatnya Seokjin yang memutar bola mata menanggapi, lalu mengulum senyum melanjutkan, "Yah meskipun aku juga sudah berniat memecat orang itu besok pagi sih."

Seokjin mencibir, "Katanya tadi tidak profesional?"

Namjoon mendengus kesal, "Dia sudah cukup membuat masalah selama ini, aku hampir memecatnya tapi karena beberapa pertimbangan, kuputuskan untuk memberinya kesempatan kedua. Tapi setelah kejadian ini, tidak ada maaf, salah sendiri mengusik orang yang kusukai." Namjoon melirik Seokjin yang kini menatapnya dengan kening berkerut tidak mengerti. "Aku menyesal kalah cepat darinya waktu kita SMA dulu."

Seokjin mengerjap bingung. Matanya memperhatikan Namjoon yang sekarang berdiri menghadapnya.

"Aku menyukaimu, Kim Seokjin." Wajah tampan Namjoon terlihat salah tingkah saat mendapati Seokjin melongo, "Aku tau ini akan terkesan cheesy, tapi dengar, aku mulai sadar kalau aku menyukaimu saat kita kelas tiga SMA. Duduk di sampingmu selama tiga tahun sangat menyenangkan dan aku tentu saja ingin menghargai pertemanan kita, tapi aku juga tidak bisa memungkiri kalau aku jatuh hati pada teman sebangku. Saat aku bimbang ingin mengutarakan perasaan atau tidak, ternyata aku keduluan si brengsek." Namjoon berdecak mengingat-ingat.

"Awalnya kalian terlihat baik, kau juga terlihat senang berpacaran dengan dia. Jadi aku berpikir bisa jadi teman dekat bagimu saja sudah lebih dari cukup." Namjoon melanjutkan, sesekali melirik Seokjin yang diam mendengarkan. "Aku baru tahu kalau kau ternyata dipermainkan oleh dia saat kalian putus di upacara kelulusan. Aku hanya tahu sedikit cerita dari gosip yang menyebar waktu itu, aku tidak berani tanya langsung karena takut kau makin terluka."

Mendengar perkataan Namjoon, Seokjin mendelik tidak terima, "Astaga", sergahnya, "Kenapa waktu itu semua orang mengira aku patah hati? Enak saja, aku tidak akan bersedih-sedih untuk manusia sampah sepertinya."

Namjoon tertawa, "Maaf, waktu itu aku lupa soal Kim Seokjin yang egonya tinggi."

Seokjin membalas kesal, "Tadi kau tidak enak ikut campur, tapi ternyata kau pernah mengasihaniku hanya karena putus dari seorang bajingan. Bahkan waktu itu aku yang memutuskan dia. Kenapa semua orang bersikap seperti aku yang dicampakkan waktu itu?"

Namjoon tersenyum geli, lalu menepuk pucuk kepala Seokjin agar ia tidak terus mengomel, "Maafkan aku, oke?"

Seokjin menatap Namjoon, kemudian mendengus kecil, "Oke, permintaan maaf diterima."

Sambil menyingkirkan tangan Namjoon dari kepalanya dan merapikan rambut yang tadi diacak, Seokjin bertanya "Lalu, kenapa kamu menghilang setelah upacara kelulusan? Aku tidak bisa menghubungi sama sekali. Beruntung kita bertemu disini, kupikir aku tidak akan melihatmu lagi."

Namjoon mengusap belakang lehernya kikuk, "Um, saat mendengar kamu putus di upacara kelulusan, aku memang berniat mengutarakan perasaan dan mengajak berpacaran, tapi setelah dipikir-pikir, waktunya tidak cocok. Kamu benar-benar baru saja putus, ditambah lagi aku akan berangkat keluar negeri hari itu juga." Namjoon melihat Seokjin mengangguk paham, lalu melanjutkan "Soal aku yang tidak bisa dihubungi, kau tau kan kalau aku ini ceroboh?"

Seokjin mengangguk lagi.

"Ponselku hilang di bandara. Ayah ibuku langsung kalang kabut membelikan ponsel baru sebelum pesawatku berangkat. Aku kehilangan semua kontak orang-orang kecuali keluargaku. Sebenarnya aku berusaha menghubungimu lewat email tapi tidak ada balasan."

Seokjin menatap langit-langit sambil berpikir, kemudian meringis "Ah maaf, aku lupa passwordnya, jadi aku membuat email baru."

"Yah sudah kuduga." Namjoon tersenyum maklum.

"Jadi, apa yang kau lakukan di luar negeri?" Seokjin bertanya.

"Tidak banyak. Kuliah, mencoba kerja sambilan, lulus, belajar mengelola anak perusahaan ayahku disana. Setelah itu, enam bulan lalu, aku dipindahkan ke kantor pusat di Korea."

"Woah kehidupan anak konglomerat." Seokjin berdecak kagum, membuat Namjoon menoleh kearahnya ingin memprotes. "Tidak mencoba berpacaran?" selorohnya memotong Namjoon yang ingin membantah ucapannya tadi.

Namjoon menghela napas pelan, "Mana bisa kalau aku masih menyukaimu." balasnya.

Seokjin menatap skeptis, "Benarkah? Bahkan setelah tujuh tahun tanpa kontak?"

Namjoon menatap Seokjin serius, tepat di mata, "Yah wajar kalau kau mungkin tidak bisa percaya, aku juga akan begitu kalau jadi kau." Namjoon kemudian melanjutkan sambil tersenyum, "Hanya saja tidak ada penjelasan lain yang lebih bagus soal mengapa aku sama sekali tidak tertarik kepada semua orang yang mendekat, tapi malah berdegup kencang hanya dengan melihatmu dari jauh untuk pertama kali setelah tujuh tahun terlewat."

Seokjin terdiam. Ia bisa merasakan dadanya berdesir dan tubuhnya memanas. Seokjin berdoa semoga Namjoon tidak menyadari wajahnya merona, atau dia akan digoda habis-habisan.

"Jadi?" Namjoon bertanya.

"Jadi apa?" Seokjin membalas gugup.

"Mau jadi kekasihku tidak?" Namjoon tersenyum dengan lesung pipi yang melekuk tajam.

Diam cukup lama sampai akhirnya Seokjin merespon dengan gumam lirih, "Aku tidak sedang dijadikan objek taruhan kan?" Matanya menatap Namjoon yang tersenyum dengan sangat tulus.

Namjoon mendengus geli, "Apa kau sedang menyamakanku dengan bajingan itu?"

Seokjin menjilat bibirnya " Well.. Tidak ada salahnya berjaga-jaga." bisiknya.

Namjoon menunduk, balas berbisik di telinga Seokjin, "Demi apapun, kau tidak sedang kupermainkan, sayang."

Seokjin berdecih mendengar itu, kemudian merengut, "Kata-katamu barusan sudah terdengar seperti bajingan penggoda."

Namjoon menahan tawa, menjentik hidung bangir Seokjin, "Aku memang berniat menggodamu, tapi aku bukan seorang bajingan, cantik" balasnya.

Seokjin terdiam, terlihat berpikir sejenak sebelum mengangguk pelan memberikan jawaban pada Namjoon yang menatapnya, "Baiklah." Seokjin mengulum bibir, "Um, aku akan berusaha jadi pacar yang baik. Mohon bantuannya." katanya sambil tersenyum manis.

Namjoon tersenyum lebar, "Harusnya aku yang bilang begitu." Namjoon kemudian membungkuk dihadapan Seokjin, tanpa mempedulikan wajah Seokjin yang memerah ,"Aku juga akan berusaha menjadi pacar yang baik. Mohon bantuannya, Jinseok."

.

.

.

.

Epilogue

"Tahu darimana kalau aku seorang dokter?" Seokjin bertanya pada Namjoon yang tampak tenang menyetir mobil di sampingnya. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke apartemen Namjoon. Pria itu bersikeras membujuknya untuk menginap setelah Seokjin mengatakan kalau ia mengambil cuti esok hari untuk berjaga-jaga jika ia pulang dalam kondisi mabuk malam ini. Seokjin yang memang tidak membawa kendaraan malam ini pun menurut saja.

Namjoon tersenyum tipis, "Waktu pulang ke Korea, aku langsung mencari tahu tentangmu. Aku sudah tahu kamu tinggal dimana dan bekerja di rumah sakit apa, tapi tidak berani menemui."

Seokjin melirik lalu berdecih, "Pengecut sekali" ejeknya.

Didengarnya Namjoon terbahak dari samping, "Aku tidak akan membantah untuk yang satu itu. Maafkan aku, sayang."

Namjoon berdeham kemudian membuka suara, "Aku tahu terlalu cepat untuk menanyakan ini, tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaran. Kenapa kamu mau jadi kekasihku?" Namjoon melirik Seokjin.

"Kenapa memangnya? Tidak mau ya?" Seokjin membalas sewot.

"Bukan begitu, cantik." Namjoon tertawa, "Hanya ingin tahu saja."

Seokjin terlihat berpikir sebelum menjawab pelan, "Hem alasan utamanya adalah aku ingin mencoba." Dirinya kemudian buru-buru melarat, "Meskipun begitu, aku serius ingin berpacaran denganmu. Seperti dirimu, aku juga tidak ingin memungkiri degup jantung yang tiba-tiba menggila saat kau mulai mengaku tadi."

Namjoon menaikkan sebelah alis, "Alasan utamanya? Memangnya ada alasan lain?"

Seokjin terdiam. Dirinya tiba-tiba ingin mengumpat emosi jika mengingat kejadian saat ia baru saja memasuki gedung pertemuan. Seokjin mendengus, "Alasan lainnya adalah aku tidak terima direndahkan oleh manusia sampah." Seokjin mulai bermisuh-misuh, "Astaga! Harusnya kupukul saja wajahnya beberapa kali. Persetan dengan profesiku sebagai dokter dan orang-orang yang melihat. Memangnya dokter tidak boleh memukul seorang bajingan?"

Namjoon tertawa pelan, membiarkan Seokjin melanjutkan, "Seenaknya bilang bahwa aku masih belum bisa melupakan dia karena aku tidak berpacaran lagi selama tujuh tahun. Yang benar saja, aku bahkan sudah tidak ingat dia ada di muka bumi ini, jika dia tidak memunculkan wajahnya di depanku lagi. Astaga, kalau dipikir lagi, aku benar-benar emosi. Kau tahu Namjoonie? Tadi dia bilang padaku, kalau aku mau memohon padanya, dia akan menjadikanku selingkuhannya dan dia bahkan berkata bahwa dia bisa memenuhi kebutuhanku di ranjang! Woah si sinting itu berpikir dia siapa sampai bisa mengatakan hal itu kepadaku? Aku-"

Ucapan Seokjin terhenti saat ia berjengit kaget karena mobil yang tiba-tiba di rem mendadak. Beruntung jalan sedang sepi, kalau tidak mereka bisa terkena masalah. Seokjin menoleh ke arah Namjoon berniat mengomeli pria itu karena hampir membuatnya terbentur kaca mobil, tapi omelannya tersangkut di tenggorokan saat melihat aura tak mengenakkan dari Namjoon.

"Dia bilang apa?" Namjoon menggeram rendah. Jemarinya mencengkeram kuat setir mobil.

Seokjin menelan ludah, melirik takut-takut sebelum berkata pelan, "Bisa pinggirkan dulu mobilnya? Kita bicara di pinggir jalan saja."

Namjoon mengusap kasar wajahnya tapi tetap mematuhi pinta Seokjin, "Astaga, kenapa kamu tidak bilang dari tadi kalau si sialan itu mengatakan hal-hal seperti itu? Aku memperhatikan dari jauh, kupikir dia sedang memohon-mohon padamu untuk balikan, ternyata…" Namjoon berdecak kesal.

Seokjin mengerjap, "Mana aku tahu, memangnya kalau aku bilang dari tadi kau mau melakukan apa?"

Namjoon menoleh dengan dahi berkerut, "Kenapa masih bertanya? Tentu saja aku akan membantumu menghajarnya."

"Lalu? Apa jadinya kalau kita berdua dilaporkan ke kantor polisi?" Seokjin membalas.

"Persetan! Lagi pula kita melakukannya atas dasar pembelaan diri, dia melecehkanmu, dan aku tentunya tidak terima. Kita bisa menuntut balik. Ada masalah?" Namjoon berujar emosi.

"Tapi dia tadi sedang mabuk, aku juga tidak ingin memperpanjang masalah meski emosiku sudah di ubun-ubun saat kamu datang tadi. Aku sudah menahan ego yang ingin memberontak, demi menuruti akal sehat. Jadi, kamu juga harus seperti itu, mengerti?" Seokjin berucap tegas, kemudian menatap Namjoon dengan pandangan melembut.

"Mari berbesar hati dan puas hanya dengan mencaci maki seperti caraku tadi. Aku bukan melakukan ini karena ingin membelanya. Aku bahkan lebih marah darimu, tapi aku tidak ingin terbawa emosi dan bertindak gegabah. Lagipula, kau bilang akan memecatnya di esok hari, jadi aku juga sudah tidak terlalu ingin membalas dendam, benar tidak Namjoonie?" Seokjin tersenyum manis menatap Namjoon yang terdiam.

"Kau benar." Namjoon menyerah, "Aku akan membuatnya kapok besok sebelum memecatnya dengan cara paling tidak hormat yang bisa kulakukan. Sekalian memasukkan namanya ke dalam daftar hitam agar setidaknya dia setengah mati mencari kerja, bagaimana menurutmu?." Namjoon menatap Seokjin dengan senyum miring yang membuat Seokjin tertawa pelan.

"Terserah anda, direktur Kim."

.

.

.

.

Hai! Apa kabar?

Um, ini adalah kali pertamaku membuat yang seperti ini. Semoga tidak mengecewakan dan kalian suka.

Ditunggu reviewnya~

Ps. Aku merasa aku sangat payah dalam memberi judul cerita :(

-Lightrress