Seorang pemuda menggeram marah sembari memukul kuat dinding di hadapannya. Tidak peduli dengan rasa sakit di tangannya. Ia hanya diam begitu darah-darah itu mengalir dari tangannya yang terluka.
"Blaze."
Panggilan dari pemuda lain membuatnya menoleh. Memperhatikan seorang pemuda bermata biru yang menatapnya iba.
"Kenapa ke sini? Mau mengatai aku monster juga?" Blaze menatap dengan enggan. Manik merahnya menatap nyalang ke arah Taufan. Taufan tidak panik, ia menggeleng samar. "Bukan begitu, kupikir kau butuh hiburan."
"Aku tidak butuh dihibur."
"Butuh."
"Nggak!"
"Butuh!"
"Ck!" Blaze tak lagi membalas. Ia memalingkan wajah dengan tangan yang masih menggenggam kuat. "Kau lebih baik pergi, monster sepertiku bisa melukaimu."
"Kau bukan monster, Blaze." Taufan sama sekali tidak mau pergi dari sana. Ia bahkan melangkah maju selangkah demi selangkah pelan-pelan.
"Aku monster! Mereka semua bilang begitu, aku hanya bisa menghancurkan." Wajah Blaze yang kesal itu menyiratkan kesedihan. Ia juga tak tahu dimana letak kesalahannya hingga dikatakan pembawa bencana.
Taufan tak menghentikan langkahnya. Kini ia sudah benar-benar berdiri di samping Blaze. "Tidak, Blaze. Kau sama sekali bukan monster."
Blaze kesal. Ia kesal dengan Taufan yang entah kenapa malah datang dan sok-sokan menghibur dirinya. Padahal Taufan hanyalah elemental dengan kekuatan yang lemah. Elemental sepertinya juga akan hancur tak lama lagi.
"DIAMLAH!"
Blaze yang kesal pun menghempaskan tangannya. Ia mengenai Taufan yang saat itu berada tepat di sampingnya dan membuatnya jatuh ke lantai karena tidak siap sama sekali. Blaze sedikit terkejut namun berusaha tidak merasa bersalah ketika membuat Taufan terjatuh.
"Elemental lemah! Seperti itu saja jatuh," ejek Blaze. Taufan hanya diam. Tidak berusaha berdiri dari posisi jatuhnya sekarang. Hanya senyap memandangi lantai dan lama-kelamaan membuat Blaze risih.
"Pergilah!"
"Kau bukan monster, Blaze." Lagi-lagi Taufan mengatakan hal itu. Sebenarnya kenapa Taufan bersikeras mengatakan hal itu padanya. Lagipula apa, bahkan seluruh pulau mengakui bahwa elemental api sepertinya sangat berbahaya dan seperti monster.
Blaze, tidak mengerti sama sekali dengan cara pikir elemental angin ini.
Memangnya apa yang ia dapatkan dengan menghiburnya seperti ini?
Blaze berjongkok, menahan dua tangan Taufan dilantai dengan kasar dan membuatnya terbaring dengan posisi Blaze di atasnya.
"Akh!" Taufan terkejut karena tiba-tiba di hentakkan di atas lantai dengan posisi Blaze di atasnya. Blaze menatapnya dalam diam, seolah manik merahnya itu menelusup masuk ke manik biru pemuda di hadapannya ini.
"Kenapa? Bukankah kau adalah elemental ceria? Kenapa malah ada disini?" Blaze berbicara dengan nada penuh penekanan. Taufan di hadapannya hanya terdiam sambil meneguk ludah.
"Kenapa menurutmu aku bukanlah monster?"
"Pfft—hahaha!!"
"Huh?" Blaze tak habis pikir. Kenapa orang ini malah tertawa? Sebenarnya apa yang lucu dari pertanyaan Blaze?
"Uh, serius seperti ini bukan seperti kau saja." Taufan memasang senyum lebarnya itu. "Kenapa galau sih? Nggak kayak Blaze yang kukenal tau!"
Blaze langsung melepaskan Taufan dari cengkramannya sambil cemberut. "Apa sih? Aku serius tau!"
"Haha!! Iya deh serius banget sih." Taufan mengelap air matanya yang menetes karena tertawa. Blaze semakin cemberut melihat tingkah Taufan yang sepertinya sangat suka menjadikan hal ini sebagai lelucon.
Blaze terus memperhatikan Taufan tanpa ia sadari. Manik merahnya menatap terpesona pada kehadiran sang pemuda ini. Entah kenapa, kekesalannya barusan seperti menguap begitu saja. Ia memang tidak begitu dekat dengan elemental angin satu ini. Tapi memang pada dasarnya Taufan mudah dekat dengan siapa saja dan bisa berteman bahkan sekali berjumpa.
Tanpa Blaze sadari, muncul perasaan lain terhadap sang elemental di hadapannya ini.
"Kau dekat dengan Halilintar ya?"
"Hm?" Taufan menghentikan kegiatannya tertawa dan menatap bingung lawan bicaranya. "Tidak juga, dia cuek banget. Ada apa?"
"Benar-benar gak dekat?" tanya Blaze sekali lagi.
"Ah ada apa sih? Biasa aja kok, kayak dekat sama yang lain."
Blaze membuat senyum kecil yang membuat Taufan semakin bingung. Lalu ia memalingkan wajah, "Baguslah kalau begitu."
"...hah? Apa sih?"
"Kalau aku jadi monster beneran, masih mau dekat denganku?"
"Tentu saja, dan kau bukan monster tau!" Taufan tidak tahu Blaze tengah memakai ekspresi apa saat ini. Taufan sama sekali tidak mengerti kenapa ia terus-menerus berkata soal monster. Atau pertanyaan-pertanyaan yang tak ada hubungannya sama sekali.
"Disini kau rupanya, Taufan."
Mereka berdua kompak menoleh saat pemuda lain bermanik ruby mendekat. Taufan memasang wajah cerianya. "Oh, Hali! Ada apa?"
"Yang lainnya mencari kalian berdua. Cepatlah, hari sudah sore," ujarnya cuek lalu berjalan lagi hendak pulang. Taufan menarik-narik Blaze agar ikut berdiri. "Ayo pulang, Blaze!"
"Duh iya!" Blaze berdiri lalu mereka berdua menyusul Halilintar yang entah kenapa jalannya sangat cepat. Taufan sesekali melempar candaan. Meski Blaze menanggapi dengan tertawa, tidak ada reaksi sama sekali dari Halilintar. Ia hanya sesekali memperhatikan Blaze yang tak jarang melihat ke arah Taufan. Dahi Halilintar berkerut, entahlah, ia juga sama sekali tidak mengerti.
Cerita "MONSTER night" oleh DarkRuru
Ini hanyalah fanfiction
Semua karakter di dalamnya adalah milik Monsta studio
.
.
.
selamat membaca
"BR*NGS*K!!"
Suara penuh amarah itu muncul dari Blaze yang dengan kuatnya juga memukul dinding dengan tangan kosong hingga dinding itu retak. Terlihat sedikit api di sekelilingnya.
"Tenangkan dirimu, Blaze. Taufan pasti bisa kita temukan."
Sudah seminggu lamanya Taufan menghilang tanpa jejak begitu saja ketika saat itu sedang bertugas mengawasi bandar dari atas. Saat mereka berkumpul dan hendak bersatu, disitu mereka menyadari bahwa Taufan tak kunjung kembali. Pencarian terus dimulai tapi mereka tak bisa menemukan Taufan dimana-mana.
Halilintar hanya diam dan terus-terusan pergi keluar, namun tetap saja tidak membuahkan hasil. Gempa yang kewalahan mengurus Blaze yang bisa mengamuk jika ditinggal sebentar saja. Blaze juga terlihat kesal sekali karena tidak menemukan Taufan dimana-mana. Ice hanya memperhatikan situasi, lebih tepatnya memandang Blaze dengan pandangan yang sulit di artikan. Duri dengan Solar kadang juga melakukan pencarian dan bertanya kesana-kemari. Atau biasanya mengontak teman diluar angkasa atau menyelidiki alien yang mencurigakan seperti adudu. Namun adudu bahkan sama sekali tidak tahu mengenai keberadaan Taufan dan tidak pernah menculiknya.
"Blaze!"
Blaze berlari pergi begitu saja tanpa memperdulikan teriakan Gempa. Ia berjalan dengan kaki yang dihentak-hentakkan dan wajahnya yang mengeras.
"Taufan dimana? Dimana?!" Ia bergumam tidak jelas. Membuat orang-orang memandangnya aneh.
Langkah Blaze terhenti. Dengan gerakan cepat, ia memukul orang di belakangnya dengan tangan berapi. Membuat orang tersebut terpental beberapa meter darinya.
"Siapa kau? Apa maumu denganku?!" gertak Blaze marah. Orang itu berdiri dengan kepayahan dan menatap Blaze intens. Orang asing yang sama sekali tidak diingat oleh Blaze.
"Apa kau mencari salah satu elemental?" tanyanya. Membuat tubuh Blaze menegang seketika. "Kau... Tau?"
Orang itu tertawa sekilas. "Tentu saja aku tau. Tapi, aku takkan memberitahukannya padamu."
Blaze langsung mengamuk ketika mendengar itu. Tangannya berapi dan ia mulai menghajar orang tersebut. Orang itu bukannya kesakitan, justru tertawa.
"Monster."
Dahi Blaze berkerut. Tangannya terhenti seketika. "A-apa maksudmu?"
"Kau itu monster, Blaze. Apa kau pikir elemental angin itu akan bahagia dengan monster sepertimu?" ujarnya dengan tawa mengejek. Blaze memcengkram kerah baju orang itu dengan kuat. "Apa maksudmu, hah?"
"Kau tahu tidak? Menurutmu apa yang terjadi padanya selama seminggu?"
Mata Blaze membulat sempurna. Yang tahu mengenai hilangnya Taufan harusnya hanya teman-teman dan anggota Tapops. Namun justru kenapa orang asing ini mengetahui detailnya?
"Apa? Apa yang kau lakukan padanya?!"
Ia menyeringai. "Apa ya? Menurutmu apa yang enak dilakukan untuk seorang simbol ceria?"
Tubuh Blaze kaku. Ia sama sekali tidak ingin memikirkannya. Namun hanya hal itulah yang terpikirkan olehnya. "Membuatnya tak ceria lagi."
"Bingo! Kau cepat belajar!"
"Apa?" Api-api mulai menjalar di seluruh tubuh Blaze. "Apa salahnya hingga kau begitu padanya?"
"Bukan hanya dia. Tapi kalian semua, aku akan menghancurkan kalian semua dimulai dari elemental angin tersebut."
"Dimana?! Dimana kau sembunyikan Taufan?!!" Blaze mengguncang-guncang tubuh orang itu.
"Eh aku?"
Orang itu tersenyum menyeringai. Wajahnya yang asing itu mendekat hingga Blaze yang harus mundur.
"Bukannya hanya kau yang mengetahui lokasi Taufan berada?"
Sejenak, pikiran Blaze mendadak kosong. "A-apa?"
Suasana rumah kosong yang sunyi itu mendadak ramai saat dipenuhi oleh polisi. Bukan hanya itu, para elemental juga ada di sana dengan jantung berdebar. Bunyi sirene polisi membuat banyak datangnya warga lain karena penasaran.
Tak lama, keluar polisi sambil menggontong seseorang dengan tandu. Gempa langsung menghampiri tandu tersebut, lalu menangis kencang begitu mengetahui bahwa orang itu benar-benar adalah Taufan.
Yang lain juga langsung menghampiri. Blaze menatap tak percaya dengan apa yang ada dihadapannya. Seorang yang hilang selama seminggu ini hingga membuatnya hampir gila. Kini ternyata selama ini Blaze tahu dimana tempatnya berada.
Taufan dimasukkan ke dalam ambulans dan diikuti oleh para elemental yang lain.
Awalnya Blaze tidak percaya dengan perkataan orang asing itu. Mana mungkin ia mengetahui lokasi dimana Taufan berada sementara dirinya terus mencari kesana-kemari. Namun, orang asing itu mengatakan jika Blaze harus benar-benar memikirkan hal itu lalu menghilang begitu saja.
Tepat saat itu, sebuah memori masuk di kepalanya dan menunjukkan bahwa ia pernah datang ke sebuah rumah kosong dipinggir kota. Dan disana, samar-samar ia seperti melihat orang lain tengah duduk terikat di tengah ruangan. Tidak sadarkan diri.
Blaze merasa ia gila saat itu. Bagaimana mungkin ia bisa begitu saja mengetahui lokasi dimana Taufan berada. Meski ia merasa gila, ia tetap memberitahukan kemungkinan Taufan berada disana kepada Gempa dan yang lain. Awalnya ia tidak dipercayai. Namun Gempa tetap memaksa untuk pergi dan mempercayai Blaze. Hingga Solar mengusulkan untuk menelepon polisi buat berjaga-jaga jika ini adalah jebakan.
Hingga ia tahu bahwa Taufan benar-benar ada di sana dan ia sama sekali tidak mengetahui alasan dirinya mengetahui hal ini. Lalu siapa orang asing yang mengatakan hal tersebut padanya?
"Blaze?"
"Uh, iya Duri?" Lamunan Blaze menjadi buyar saat kedua mata hijau zamrud itu berada tepat dihadapannya.
"Kenapa Blaze melamun? Ayo kita lihat Tau—"
Prak!
Bunyi pecah kaca membuat Blaze dan Duri cepat-cepat berlari ke kamar inap Taufan. Dan menemukan Taufan sudah sadar namun dalam keadaan yang memprihatinkan.
Disini, mereka bisa melihat Taufan tengah tersedu-sedu sambil memeluk erat tangan Gempa. Tubuh Taufan bergetar hebat dan membuat tangan Gempa mengelus punggungnya untuk menenangkannya.
Sedangkan Halilintar, berdiri tak jauh dari mereka dengan darah yang mengalir dari luka di pipinya. Dan sebuah vas bunga yang pecah di bawah dekat kakinya.
"A-apa yang terjadi?" tanya Blaze.
Solar kembali dengan dokter dan terkejut dengan keadaan ini. Sang dokter langsung memeriksa Taufan sedangkan Halilintar dipindahkan ke ruangan sebelah untuk diobati.
Mereka semua keluar, meninggalkan Taufan yang kembali tak sadarkan diri akibat obat bius.
Mereka semua—kecuali Taufan—kini berkumpul di ruang Halilintar yang berada tepat disebelah kamar Taufan. Ice akhirnya membuka mulut, "Sepertinya, Taufan ketakutan ketika melihat seseorang dengan mata merah."
"Hah?!" Blaze terlihat tidak terima.
"Kau lihat tadi? Awalnya baik-baik saja saat Gempa mendekat, tapi saat Halilintar yang mendekat. Taufan langsung terkejut dan melemparkan vas bunga itu!" jelas Ice, berusaha membuat Blaze mengerti. Namun sepertinya Blaze tidak mau menerimanya. "Apa-apaan? Mungkin dia hanya tidak suka dengan Halilintar, kan?"
"Ck! Memangnya apa yang kulakukan sampai ia harus melemparkan vas bunga itu?" Halilintar berdecak kesal. Ia juga tidak terima disalahkan langsung seperti itu.
"Bisa saja kau yang menculik Taufan dan melakukan hal-hal aneh padanya kan?" tuduh Blaze begitu saja tanpa bukti apapun. Wajah Halilintar sudah tampak marah, "Apa maksudmu? Bukankah harusnya kau yang dicurigai karena tiba-tiba mengetahui lokasi Taufan?"
Mata Blaze membulat. "Apa? Bisa saja aku dihipnotis oleh orang asing itu."
Halilintar menyeringai. Meremehkan Blaze. "Oh ya? Lalu untuk apa orang asing itu memberitahukan lokasinya kepadamu? Lagipula hal yang kau katakan itu tidak ada buktinya sama sekali."
Kau—" Blaze hendak memukul. Namun Gempa buru-buru menghentikan. "Jangan ribut! Bukan saatnya kita bertengkar disaat-saat seperti ini!"
"Menurutku sedikit masuk akal." Solar memperbaiki letak kacamatanya. "Blaze tidak punya bukti jika ia benar-benar bertemu dengan orang asing. Maksudku, lihatlah, ia bahkan baik-baik saja untuk ukuran orang yang berkelahi."
"Solar—"
"Ya, aku juga sependapat dengan Solar." Ice menyahut begitu saja. Membuat atmosfir tidak tenang di antara mereka. "Ice, kau juga?"
"Ck! Terserah!" Blaze berlari keluar, tidak memperdulikan Gempa yang memanggil namanya. Langkah Blaze langsung membawanya masuk ke dalam kamar inap Taufan. Tanpa basa-basi, ia langsung mendekati Taufan yang tertidur di ranjang.
"Padahal kau bilang takkan takut denganku!"
"Padahal kau bilang tetap akan bersamaku!"
Blaze kesal, ia ingin sekali menjitak kepala Taufan. Tapi ia sadar diri bahwa Taufan sedang tertidur.
"Tapi kenapa kau malah takut denganku?"
Akibat suara Blaze yang cukup besar itu. Ia mengusik Taufan dari tidurnya dan membuat Taufan terbangun. Melihat mata merah Blaze yang melihat ke arahnya, tubuh Taufan langsung menegang.
Blaze tidak ingin Taufan menjauhinya. Tangan Blaze langsung menarik cepat Taufan dalam dekapannya. Membuat Taufan memberontak dengan tubuh bergetar.
"Kenapa? Kenapa malah takut?" Blaze bersuara dengan lembut. Setidaknya tidak ingin membuat Taufan makin ketakutan. Tangan Blaze bergerak untuk membelai surai coklat milik pemuda angin itu dengan lembut. Suara halusnya lagi-lagi terdengar, "Kumohon, jangan takut padaku."
Perlahan, Blaze bisa merasakan bahwa Taufan sudah tidak memberontak lagi. Melainkan menangis hingga Blaze merasakan bahunya yang basah. Blaze masih mendekap Taufan dan mengelus kepalanya. Taufan sudah tenang, tidak seribut yang tadi.
Blaze melepas pelukannya pada Taufan dan menatap dalam manik biru itu. Bisa ia lihat bahwa Taufan benar-benar ketakutan melihat matanya yang berwarna merah. Namun Blaze berusaha tidak mengancam Taufan sama sekali.
"Kau tahu siapa aku?"
"B-blaze..."
"Apa kau takut padaku?"
Jeda cukup lama dari Taufan hingga ia menggeleng samar.
"Sstt, jangan menangis." Blaze membersihkan air mata yang terus keluar dari pelupuk mata Taufan. Taufan berusaha tidak menangis dengan menyedot ingusnya. Membuat Blaze sedikit terkekeh.
"Blaze."
"Ya?"
Bukan perkataan lain yang ia dapatkan dari Taufan. Justru Taufan malah mengulang-ulang panggilannya.
"Blaze! Blaze! Blaze!"
"Ada apa?"
Taufan menggeleng. Lalu memeluk Blaze lagi hingga Blaze hampir saja terjungkal jika ia tidak siap.
"Blaze... Blaze..."
"Ya Taufan? Ada apa sih?"
Selanjutnya, Taufan kembali diam.
Kekehan terdengar dari mulut Blaze saat melihat kelakuan Taufan yang seperti anak kecil. Ia melepas Taufan dari pelukannya lalu menangkup wajah Taufan dengan gemasnya.
"Kamu gapapa kan? Apa ada luka waktu disekap begitu?" tanya Blaze dengan khawatir. Taufan menggeleng, "Nggak ada."
"Jangan bohong."
"Nggak ada kok!"
"Beneran? Coba sini buka bajumu," jahil Blaze dengan menyeringai. Taufan langsung memposisikan tangannya menyilang di depan dada dengan pose seperti hendak dilecehkan. Lagi-lagi Blaze tertawa kecil.
"Pasti ada sesuatu tuh? Ayo sini buka~"
"Nggak! Nggak ada! Gamau!"
Blaze menarik paksa Taufan yang berjuang mempertahankan bajunya.
Disisi lain, pintu terbuka dan membuat mereka berdua membatu di posisinya. Terlihat Gempa dan yang lain juga tercengang melihat adegan ini. Sementara Blaze hanya bisa pasrah saat dirinya berada di atas ranjang bersama Taufan dengan posisinya yang memaksa membuka baju milik Taufan.
"A-aku bisa jelaskan!"
"BLAZE! KELUAR SEKARANG!!"
"Hahaha makanya, kasian deh kena marah sama Gempa." Taufan menertawakan Blaze. Saat Blaze disuruh menjelaskan tentang kejadian saat itu. Kejadian yang membuat salah paham itu. Awalnya ia hendak marah, namun melihat Taufan yang sepertinya tidak takut lagi pada Halilintar membuat Gempa memaafkannya.
Katanya, mereka akan kembali bergabung besok saat Taufan sudah pulih. Mendengar hal itu dan mengetahui bahwa hal seperti ini—maksudnya keadaan berpisah dan saling bercengkrama antara elemental—Blaze memutuskan untuk pergi diam-diam ke kamar Taufan untuk berbincang sebelum mereka tak bertemu lagi karena misi.
"Jangan tertawa, padahal itu juga salah Taufan."
Taufan berhenti tertawa, menatap Blaze yang tampak lesu disampingnya. "Hehe iya iya, gak ketawa lagi kok."
"Omong-omong, pasti ada sesuatu dibalik tubuhmu kan? Pasti ada luka, makanya kau sembunyikan, ya kan?"
"Nggak ada kok," sanggah Taufan.
"Aku tetap nggak percaya."
"Ish, ya udah nih kukasih lihat." Taufan membuka kancing bajunya satu persatu lalu memperlihatkan tubuhnya yang benar-benar mulus tanpa adanya luka. Setelah itu Blaze baru percaya, "Lalu kok kamu segitu takutnya dengan orang bermata merah?"
"Um itu..." Taufan menggaruk pipinya. "Dia hanya seram sih, mengatakan hal-hal yang mengerikan hingga tanpa sadar aku begitu. Sepertinya aku terhipnotis deh?" lanjutnya.
Blaze mengangguk mengerti. "Tapi..." Blaze kembali melihat ke arah tubuh Taufan dimana bajunya belum dikancingkan kembali. "Kok tubuhmu bisa semulus itu sih? Aku iri!"
Taufan menjulurkan sedikit lidahnya. "Iya dong, begini-begini aku tuh dulunya juara satu elemental paling imut. Meski sekarang sudah diambil alih sama Duri sih," kekeh Taufan. Seolah mengatakan bahwa hal seperti itu memang biasa saja. Sedangkan dirinya, Halilintar atau bahkan Solar tetap saja merebutkan gelar yang paling kuat diantara mereka.
"Berarti yang mukanya imut itu badannya mulus?" tanya Blaze lagi. Taufan mengangguk, "Sudah tentu."
"Kalau misal nggak mulus lagi gimana? Masih imut gak?"
"Masih dong, kan tidak mempengaruhi keimutan," ujar Taufan bercanda. "Ya enggak dong! Aku mana imut, aku ini gan—akh!"
Blaze menindihnya di atas kasur. Membuat Taufan tidak bisa bergerak karena kedua tangannya di tahan di atas kepala. "Blaze?" cicitnya.
"Hm? Kenapa? Katanya meskipun gak mulus lagi, gak mempengaruhi keimutan kan?"
"K-kau mau apa Blaze?"
Di kamar yang hanya diterangi cahaya bulan itu. Taufan bisa melihat mata merah Blaze yang terang. Lalu, Blaze menyeringai senang.
"Apalagi? Tentu bermain, kau tidak merindukan permainan malam kita, darling?"
The end
A/n:Halo, udah lama aku ga publish apa apa di akun ini.Ini cerita udah agak lama di akun wattpadku, tapi aku pindahin ke sini deh.walaupun agak jarang, mungkin untuk cerita cerita one shot bakal ku publish disini.sekian.oh, dan boleh kuminta review? :D
