"Payah! Anak kayak kamu buat apa hidup!" Orang itu menendang-nendang tubuhku sedari tadi. Menertawakanku yang terbaring lemah di lantai. Diikuti tawa orang dibelakangnya, suara mereka menggema di gang sempit ini. Sepatunya yang kotor itu terus menginjak-injak tubuhku dengan seringaian di wajahnya. Aku diam, hanya pasrah dengan perlakuan mereka kepadaku.
"Nggak seru!"
"Pecundang!"
Setelah puas bermain denganku. Mereka pergi begitu saja dengan tampang tidak puas. Dan disini aku, sendirian di dalam gang sempit ini.
Seluruh tubuhku terasa sakit. Aku yakin akan banyak lebam nantinya. Baju seragamku lagi-lagi kotor. Padahal aku sudah susah payah mencucinya hampir setiap hari karena mereka selalu mengotorinya.
Aku tidak sanggup berdiri. Dalam diam, aku menangis. Merasa sakit atas takdir yang telah menimpaku ini. Sebenarnya apa salahku pada mereka? Sejak kapan hal ini terjadi? Selalu dipermalukan setiap saat hingga rasanya aku ingin bunuh diri. Namun, aku bahkan terlalu takut untuk bunuh diri.
Bahkan aku berharap, ada seseorang yang menolongku. Mengulurkan tangannya padaku dan selalu bersamaku. Sebuah impian yang bahkan tidak bisa dicapai meskipun aku berusaha.
Aku ingin mereset semuanya!
Tak lama, terdengar langkah kaki berjalan ke arahku. Ia berjongkok lalu mengulurkan tangannya. Ia membuatku duduk lalu menggendongku di punggungnya. Mataku terlalu sakit hingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Ia lalu berjalan membawaku keluar dari gang sempit.
"Rumahmu dimana?"
Aku sebenarnya sudah muak dengan sekolah. Setiap hari, menit bahkan detik. Aku bisa merasakan tatapan-tatapan tidak senang ke arahku. Kata-kata cacian yang selalu mereka lempar ke arahku.
"Si pembunuh itu kok masih sekolah disini sih? Kepala sekolah kita gila ya?"
"Dia beneran membunuh? Ih seram."
"Kok bisa ya dia setega itu?"
Ingin aku ludahi wajah mereka satu-persatu dan berteriak kencang di wajah mereka. Bahkan apa yang mereka lakukan sekarang, seharusnya aku yang menanyakan hal itu. Sebenarnya disini aku yang tidak waras atau mereka?
"Woe! Kudengar ada anak baru ganteng banget di kelas kita."
Suara mereka makin riuh. Kemudian guru masuk sambil membawa seorang murid laki-laki yang tampaknya tidak asing. Mulai terdengar bisik-bisik dari para perempuan mengenai wajah murid baru itu.
"Namaku Fang. Aku pindahan dari SMA kuala lumpur. Salam kenal."
Mataku membulat. Aku kenal pasti suara ini. Dia, laki-laki yang mengantarku kerumah saat itu.
Baru saja lonceng istirahat berbunyi. Dan si anak pembully yang tidak pernah absen untuk membully ku kini sudah datang. Sepertinya dia sedang dalam mood yang tidak baik karena kedatangan murid baru yang super tenar itu.
Baru hitungan detik. Ia melemparkan sampah ke kepalaku. Kemudian mereka mulai tertawa. Menganggapku makhluk tak bernyawa yang bisa mereka mainkan sesuka hati mereka.
Dia kemudian menjambak rambutku. Mendekatkan telingaku ke mulutnya lalu berbisik. "Aku sedang tidak dalam mood yang baik."
Kemudian dia menyeretku pergi dari sana dan membawaku ke tempat sepi di belakang sekolah. Aku pikir ia akan menendangku atau setidaknya meludahi kepalaku. Namun ternyata aku salah, terjadi hal yang lebih buruk dari itu.
"Kau tahu kan? Pacarku sepertinya tergila-gila dengan murid baru itu. Aku ingin melampiaskannya dengan menendangmu tapi seperti biasa, kau pasti hanya diam." Sebuah seringaian tercetak di wajahnya yang membuat bulu kudukku merinding. "Mari kita gunakan cara lain."
Kedua temannya hanya memperhatikan dari belakang. Sementara lelaki di hadapanku ini tiba-tiba membuka kancing bajunya. Aku merasakan firasat buruk. Tanpa sadar, aku mundur hingga tubuhku terhenti oleh tembok. Dan aku tahu, aku tidak bisa kabur.
"K-kau gila..."
"Wah kau berbicara? Sudah kuduga, ini menarik." Ia semakin menyeringai dan kini tangannya sudah menahanku di dinding. Satu tangannya menahan kedua tangan di atas kepalaku dan satunya lagi membuka kancing bajuku. Aku memberontak, namun sayang, kekuatanku tidak bisa mengalahkan lelaki di hadapanku.
"Buset, tubuhmu mulus sekali heh? Padahal kau laki-laki. Kalau tahu begini, sudah dari dulu aku lakukan."
Dia benar-benar sudah gila!
Kita bunuh saja dia.
"T-tidaak..."
Kumohon! Seseorang, tolong aku!
"Berhenti!" Kami semua menoleh ke sumber suara. Terlihat murid baru itu—Fang—berdiri disana dengan wajah marah.
"Heh! Apa maumu hah?"
"Kubilang, lepaskan dia." Terjadi perang tatapan di antara mereka.
"Oh mau melawan? Kau akan bernasib sama dengan bocah ini."
Tanpa sadar, Fang menyeringai. Kemudian sekeliling kami menjadi gelap. "Oh ya? Coba kita lihat."
Sontak ketiga orang di hadapanku ini langsung ketakutan. Dan lelaki di hadapanku ini melepaskan tanganku sehingga aku terperosok jatuh terduduk.
Kemudian bayangan gelap itu menghilang dan mereka langsung pergi dengan ketakutan. Fang langsung berjalan mendekatiku. Aku langsung menutupi tubuhku dengan seragam meski semua kancingnya telah terbuka. Ia terkekeh saat melihatku panik, "Tidak apa-apa, kau aman sekarang."
Ia mengulurkan tangannya. Meski ragu, aku memilih untuk menyambut uluran tangannya dan bisa kulihat senyuman tulus di wajahnya.
"Siapa namamu?" tanya Fang.
"Taufan."
Sudah berbulan-bulan lamanya sejak aku berteman dengan Fang. Kini tidak ada lagi siapapun yang berani membully ku atau semacamnya. Fang juga selalu menemaniku dengan senyuman narsisnya. Tanpa sadar, aku juga ikut tersenyum.
"Wah, kau senyum nih?" Ia menatapku antusias. Aku memalingkan wajah karena malu. "K-kenapa? Memangnya gak boleh senyum?"
Lagi-lagi ia terkekeh. Lalu mengusap kepalaku dengan lembut. "Nggak kok, aku lebih suka lihat kamu senyum."
Aku mengerucutkan bibir. Merasa tidak senang dengan perlakuannya yang menganggap aku lebih kecil darinya. Memang benar aku pendek, tapi tidak seharusnya dia seenaknya mengusap kepala orang seperti itu.
"Jelek," ejeknya lalu lari kabur begitu saja. Aku yang tidak terima tentu saja mengejar. Kemudian dia berhenti tiba-tiba yang membuatku menabrak punggungnya. Lagi-lagi ia tersenyum seperti itu, senyum narsis itu. Sepertinya senang sekali menjahiliku.
"Hei, maukah kau berjanji?" ujarku tiba-tiba. Ia menaikkan sebelah alisnya. "Janji?"
"J-jangan pernah tinggalkan aku..." Aku menunduk. Jeda beberapa menit kemudian dia memeluk kepalaku dan menepuknya pelan. "Nggak kok, aku janji bakalan selalu sama kamu."
"Janji ya, jangan bohong loh."
"Iya iya bawel."
"Makasih, Fang."
Aku tersenyum senang. Kupikir ini akan bertahan selamanya. Sebelum akhirnya aku tahu bahwa kejadian buruk akan menimpa kami berdua.
Tanganku gemetar. Mengalir darah segar disana. Aku sama sekali tidak mengerti. Baru saja kami berjanji lalu pulang bersama dan menyebrang ketika lampu berganti merah. Namun sebuah mobil tiba-tiba melaju dengan kencang bahkan tanpa mengerem. Aku hanya terserempet namun Fang benar-benar ditabrak dengan keras.
Lalu, mobil itu terus melaju.
Fang terbaring tak berdaya di hadapanku. Dengan darah yang memenuhi seragamnya. Ia tersenyum tipis ke arahku.
"F-fang... B-bertahanlah..."
Suara lalu lalang mendadak riuh. Kemacetan terjadi dan orang-orang panik. Aku memangku kepala Fang dipahaku. Memegang tangannya yang lemah.
"M-maaf... Aku gak... B-bisa nepatin... Janji..." Ia terbatuk-batuk. Matanya terlihat sayu.
"Nggak! Bertahanlah Fang! Sebentar lagi ambulan akan datang! Kumohon..." Mataku berkaca-kaca.
"Maaf... T-tulang rusukku sepertinya patah... Kakiku gak bisa d-digerakkan. Maaf... T-tolong jalani hidup ya?"
"Nggak! Gak mau! Padahal kau sudah berjanji, kumohon Fang! Jangan pergi..." Tau-tau air mata sudah berjatuhan dari mataku. Fang tersenyum tipis dan mengelus pipiku. "Maaf..."
Setelah dia mengucapkan kata itu. Tangannya terjatuh, senyumnya luntur dan matanya perlahan kehilangan cahayanya.
"T-tidak. Jangan bercanda, Fang! Ini nggak lucu! Bangunlah Fang! Bangun!!!" Aku mengguncang-guncang tubuhnya dengan frustasi. Orang-orang yang melihat merasa iba. Aku memeluk jasad yang sudah tak bernyawa itu sambil tersedu-sedu.
"K-kumohon Fang! Hiks... P-padahal kau... Sudah berjanji! Faaaang!!"
"Jangan pergi, Faaang!!"
Aku sama sekali tidak mengerti. Sebenarnya, sejak kapan semua ini terjadi? Kenapa bisa terjadi hal-hal seperti ini padaku?
Apa salahku pada dunia?
Kalau bisa, aku ingin mereset semuanya.
"Fang! Kembalilah!!"
Jauh dari keramaian. Ada yang memperhatikan mereka sembari tersenyum tipis. Seorang perempuan dengan rambut hitam dan mata birunya. Melayang-layang di udara dengan tenang.
"Taufan, reset ke-7 kalinya."
"DIMULAI."
The end
Review?
