Boboiboy melihatnya. Empat sosok anak yang bermain bersama saling mengobrol di depan sekolahnya barunya.
Perempuan berkerudung pink.
Perempuan berkacamata biru dengan dua pig tail.
Seorang laki-laki berkacamata ungu.
Dan perempuan berhoodie hijau.
Teman sekelasnya, teman baru, berbadan gempal yang penakut, berkata, "Itu seperti ciri-ciri anak yang hilang di kota ini."
Ya, kota ini, Pulau Rintis, tempat di mana dia dipindahkan. Kota kecil yang damai yang menyimpan banyak misteri. Dan di sana Boboiboy bertemu seorang polisi. Seorang pria berumur dua puluh lima yang mencari tahu, ke mana kembarannya menghilang.
Dan di sana Boboiboy mencari kebenarannya.
.
.
.
Boboiboy menatap matanya. Semerah delima yang indah. Anak itu hanya memiringkan kepalanya bingung. Dia melihat ke belakang, hanya ada penjual roti canai di depan sekolah. Lalu kembali menoleh pada anak bertopi dino yang aneh.
"Fang, dia aneh." Ucap gadis berhoodie hijau di sebelahnya. Berbisik namun masih bisa didengar.
Fang, nama pemuda berkaca mata ungu, mengangguk menyetujui, "Ya. Kau juga berpikir begitu tidak, Yaya? Ying?"
Kedua gadis lainnya mengangguk setuju. Ying, yang sama memakai kacamata mendorong gadis berhoodie hijau, "Tanya dia, Shielda. Kau kan yang paling tua."
Shielda, gadis berhoodie hijau, menunjuk batang hidungnya sendiri, "Kenapa aku? Kau sajalah Fang. Kau kan laki-laki."
"Aku? Tidak mau. Yaya, kau saja. Kau kan mantan ketua OSIS." Sahut Fang menolak dan malah menunjuk yang lain.
"Ish, malah aku. Aku juga tidak mau. Dia dekat dengan monster."
Ketiga anak lain saling pandang. Mereka akhirnya mengangguk setuju.
"Kita pergi saja. Jangan dekat-dekat dengan monster." Sahut Fang.
Akhirnya mereka berempat pergi meninggalkan area sekolah. Boboiboy dengan mata coklatnya hanya mengikuti jejak mereka pergi. Menghilang dibalik tikungan menuju ke pasar besar Pulau Rintis.
"Dey, Boboiboy, kau melamun apa?" seru Gopal mengangetkan Boboiboy.
"Duh Gopal, jangan bikin kaget dong." Protesnya membenarkan posisi topinya.
Gopal merengut, "Kau sih melamun. Apa yang kau lihat?"
Boboiboy diam sejenak. Dia kembali menatap jalan trotoar yang ramai, "Aku melihat mereka lagi."
"Mereka? Empat anak itu?!" Seru Gopal terlihat antusias.
Mengangguk, telunjuk Boboiboy menunjuk tikungan, "Mereka pergi ke sana. Lalu mereka juga mengatakan kalau aku dekat dengan monster."
"Monster?"
Boboiboy menggendikkan bahunya tak paham. Dia lalu berjalan duluan, "Lebih baik kita pulang saja."
Gopal hanya mengikuti tanpa mengungkit pembicaraan. Dia hanya diam membiarkan kaki mereka berjalan menyusuri jalanan pulang.
Ini sudah bukan rahasia. Boboiboy itu indigo. Itu kehebohan paling ramai di sekolahnya, SMP Pulau Rintis, saat dia pindah dari Kuala Lumpur. Boboiboy terpaksa tinggal bersama kakeknya karena ayah dan ibunya terpaksa kerja keluar negeri dan itu berpindah-pindah. Boboiboy tak mungkin ikut dan terpaksa pindah-pindah sekolah. Jadi keputusannya dia tinggal di rumah kakeknya.
Yang selalu Boboiboy lihat adalah sosok hantu dengan rupa yang tidak manusiawi. Baik di Kuala Lumpur atau di Pulau Rintis. Bahkan Boboiboy bisa melihat sosok pocong yang mendiami pohon beringin di taman sekolahnya. Dia bagai CCTV yang hanya diam memperhatikan anak-anak belajar tanpa ada niat mengganggu. Dia tidak bicara. Atau sosok perempuan bermata empat yang suka datang ke kedai kakeknya hanya untuk mencium aroma coklat. Katanya itu seperti semacam sesajen.
Namun ada empat hantu yang rupanya masih manusia. Boboiboy tahu nama mereka. Yaya, Ying, Fang, dan Shielda.
Boboiboy ingin mengajak obrol mereka. Sekedar berkenalan, namun mereka menolak.
Kata mereka, "Kau dekat dengan monster."
Boboiboy tidak paham, siapa itu monster? Siapa yang mereka maksud? Mereka tidak pernah menjawab. Mereka akan langsung pergi dan memilih mengabaikan Boboiboy.
Dan saat itu Boboiboy tahu, keempat anak itu adalah anak yang hilang, balihonya terpapang jelas di taman Pulau Rintis.
"Tolong temukan Shielda kami."
"Tolong temukan Yaya kami."
"Tolong temukan Ying kami."
"Tolong temukan Fang kami."
Dan foto mereka sama jelas dengan sosok yang Boboiboy lihat.
Hanya ada dua orang yang selalu mengintrogasi Boboiboy. Dua sosok pria dewasa yang memiliki profesi yang berbeda. Satunya bekerja di kepolisian, satunya bekerja di kedai kakeknya. Saat pulang Boboiboy akan cerita. Sama seperti biasanya. Dia duduk di sebelah sosok pria berumur dua puluh lima tahun. Sementara di depannya ada pria yang berumur lebih dari tiga puluh tahun, belum menikah, yang membuatkan coklat panas untuk dirinya secara gratis.
Tentu saja, dirinya cucu pemilik kedai itu.
Boboiboy duduk di sebelah pria berumur dua puluh lima, namanya Sai, bekerja sebagai polisi. Gopal duduk di sebelah Boboiboy.
"Abang Kaizo, ice special chocolate satu." Gopal memesan.
Kaizo berkacak pinggang, "Kau bayar kali ini?"
Gopal tertawa kecil, "Besok aku bayar."
Kaizo menggeleng, "Besok terus." Sindirnya sambil membuatkan dua ice special chocolate.
Boboiboy hanya tersenyum. Dia beralih menatap Sai di sebelahnya yang membaca sebuah berkas, "Kak Sai, tadi aku ketemu Shielda lagi."
Kaizo dan Sai langsung membeku. Kaizo berhenti dengan racikannya dan langsung mendekati Boboiboy, "Kau juga bertemu Fang?" tanyanya mendesak.
Boboiboy mengangguk, "Ya. Tapi mereka tidak mau mendekatiku, katanya aku dekat dengan monster."
Sai mengerutkan alisnya, "Monster? Siapa maksud mereka?"
"Entah, Boboiboy pernah bilang kalau mereka tidak mau menjawab. Mereka terus menghindar." Gopal yang menjawab.
Sai tersenyum kecut, "Jadi sekarang mereka seperti anak SD yang suka jalan-jalan keliling kota?"
"Seperti kau dulu yang suka berpetualang bersama mereka." Sahut Kaizo.
"Dulu?" Boboiboy bertanya-tanya.
"Ya," Sai mengiyakan, "Fang adalah teman sekelasku. Dan Shielda adalah adik kembaranku. Fang juga adik Abang Kaizo. Mereka menghilang sebelas tahun lalu. Sementara Yaya menghilang delapan tahun lalu. Dan Ying, lima tahun lalu. Aku menjadi polisi untuk mencari siapa pelaku atas menghilangnya temanku dan adikku."
"Aku ingin membantu, tapi mereka tidak mau mendekatiku. Beda dengan yang lain." Boboiboy menunduk lesu.
"Tak apa. Asal kau memberi tahu kalau mereka baik-baik saja itu sudah cukup." Sahut Kaizo.
Boboiboy tidak membalas. Namun tiba-tiba bahunya ditepuk Gopal, "Janganlah sedih. Mending kau bantu aku bagaimana cara selesaikan PR dari cikgu papa. Susah nih."
"Alamak, kau benar."
Mereka berdua mulai mengeluarkan buku tugas mereka. Saling membantu mengerjakan PR. Kaizo kembali dengan racikannya dan melayani pelanggan yang baru datang. Sementara Sai kembali berkutat dengan berkas yang dia baca.
Mengabaikan manik delima di luar jendela yang begitu sendu.
.
Sai mencurigai siapa saja di Pulau Rintis. Mencurigai terdekatnya atas menghilangnya adik kembarannya. Dia bahkan tidak mempercayai dirinya sendiri. Fakta kalau adiknya sudah meninggal dan arwahnya berkeliling di Pulau Rintis membuatnya kalut. Adiknya tidak tenang, dia terus mendengar dari Boboiboy, monster itu masih hidup. Bebas di luar sana tanpa ada yang bisa menangkapnya. Dan itu membuat adiknya takut untuk mendekati sang kakak.
Keberadaan Boboiboy sempat memberikan harapan, namun mereka tidak mau bicara. Mereka takut pada Boboiboy. Katanya dekat dengan monster. Sai tidak tahu siapa monster itu. Apa yang monster itu lakukan sampai merenggut nyawa sang adik. Sai bertanya-tanya.
Dia menghubungkan kecurigaannya pada setiap papan yang ditunjuknya. Namun di sana hanya ada lokasi terakhir mereka terlihat CCTV kota.
Shielda, adiknya terlihat terakhir kali di rel kereta malam-malam. Kabur karena habis bertengkar dengan ayah ibu mereka. Itu hanya masalah restu keinginan Shielda yang ingin melanjutkan SMA di Kuala Lumpur. Namun orang tua mereka tidak mengizinkan. Shielda akhirnya kabur malam-malam dan tak mau pulang.
Sai sangat ingat saat itu dia menelpon Shielda malam-malam,
"Pulanglah. Malam-malam berbahaya. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi. Apalagi, besok hari penting kita."
"Tidak sebelum ayah dan ibu mengizinkanku bisa SMA di Kuala Lumpur. Aku, tidak, kita bukan anak kecil lagi. Kita bisa menjaga diri."
"Shielda, kumohon, pulanglah. Aku jemput ya. Kau di mana? Besok kita ulang tahun. Aku ingin kita bersama merayakannya."
"Aku ada di rel kereta sih. Yang sudah tidak terpakai."
"Aku jemput sekarang."
"Tak mau. Aku besok deh pulang. Cuma buat ngerayain."
"Gak, aku jemput kau sekarang."
"Saii!! Uh..."
"Shielda? Ada apa?"
"Ah, tidak. Aku hubungi kau lagi nanti."
Dan saat itu obrolan terakhir mereka. Shielda dinyatakan hilang seminggu kemudian. Walau malam itu Sai menjemput Shielda langsung di rel kereta. Namun adiknya sudah tak ada di sana.
Sai sangat ingat, ada nada kegembiraan saat mau memutuskan sambungan telepon mereka. Artinya Shielda bertemu seseorang. Namun sampai sekarang Sai tidak bisa menemukannya. Walau sudah memutar ulang rekaman CCTV kota Pulau Rintis, Sai tidak bisa menemukan Shielda di mana pun. Hanya CCTV menuju rel kereta terbengkalai saja yang menunjukkan eksistensi terakhirnya.
"Aku merindukanmu, Shielda." Lirihnya, mengusap foto adiknya. Menatap lama belahan raga yang entah ada di mana sekarang.
"Kau pasti kedinginan di sana."
Jemari kasar itu terhenti. Turun terkulai menggantung putus asa. Maniknya nanar dan panas akan menahan air mata. Rasa rindu yang tidak bisa dibendung akhirnya pecah.
Ayahnya jadi gila dan berakhir di rumah sakit jiwa. Stress tidak bisa menemukan putri tercintanya. Merasa bersalah besar karena momen terakhir mereka adalah sebuah pertengkaran. Rintihan penuh penyesalan dan raungan terus memanggil nama sang putri selalu terdengar. Mengiris hatinya yang masih waras.
Ibunya berkahir di kasur panti jompo. Terus tidur dan bicara dalam tidurnya. Sai selalu ada di sisinya. Menemaninya tidur kalau dia cuti atau waktu shiftnya memang cuma sebentar. Mendengar lirihan sang ibu yang meminta maaf pada dirinya dan Shielda. Memintanya untuk menjaga diri karena merasa sudah bukan jadi ibu yang baik.
Mereka berdoa, memohon diberi kesempatan kedua untuk bertemu putri mereka. Mereka berdua memohon untuk bisa meminta maaf. Mereka berdua berharap waktu bisa diulang.
"KALAU AYAH DAN IBU MENGIZINKAN SHIELDA SMA DI KUALA LUMPUR, DIA TIDAK AKAN HILANG! DIA MASIH BERSAMA KITA!"
Amukan Sai yang membabi buta menghancurkan keluarga kecil mereka yang sudah hancur. Dan dirinya menyesal. Sangat menyesal.
Ayahnya walau sudah dikurung di rumah sakit jiwa masih sering kabur. Berkelana mengelilingi Pulau Rintis, bahkan kadang mengais tanah hanya untuk mencari jasad sang putri yang mungkin saja terkubur di sana. Mematahkan kukunya sampai berdarah, hanya untuk mencari harapan kalau putrinya ada di hadapan mereka.
Dan saat itu Sai akan memeluk ayahnya. Memintanya untuk berhenti dan beristirahat. Memohon, "Ayah dan ibu tenang di sini, biar aku yang mencari Shielda. Jangan siksa diri kalian lagi. Maafkan aku, aku juga kakak yang buruk tidak bisa menjaga adikku. Maafkan aku. Aku mohon, jangan lakukan ini."
Dan saat itu ayahnya akan meraung, "Shielda, Sai, anakku tersayang. Sai, adikmu kedinginan, kita harus mencarinya. Dia ada di sini. Ayah bisa merasakannya."
"Iya ayah, aku akan mencarinya. Ayo kita pulang. Kuku ayah patah lagi. Ayo pulang dan beristirahat. Ya? Ayo pulang."
Walau harus menuntun ayahnya yang sudah kosong dan hancur, Sai harus kuat. Dia merasa harus menjadi pondasi yang menjunjung keinginan kuat akan secercah harapan. Bertekad dalam keterpurukan yang hancur dalam kehangatan kecil. Sai harus kuat.
"Kita sama-sama hancur. Kita sama-sama kehilangan adik kita." Itu perkataan Kaizo saat mereka hanya berdua. Pria berumur tiga puluh tahun itu setia membawa kacamata ungu milik sang adik. Entah kadang dia taruh mana sebagai kenangan, namun benda itu tak pernah luput dari tangannya. Seakan mengatakan kalau sang adik masih di sisinya.
Kaizo sama hancurnya dengan Sai. Pria itu sekarang sebatang kara. Ayah ibunya sudah lama tiada. Sekarang sang adik, temannya sendiri juga, pergi meninggalkannya. Menghilang sama seperti Shielda.
Sai ingat, Fang dipenuhi ketakutan ketika Shielda dinyatakan hilang. Teman ungunya itu selalu bergumam samar, Sai tidak dapat mendengarnya.
Dan Sai ingat, Fang meremas seragamnya. Manik delimanya dipenuhi ketakutan, dia menangis,
"Sai, aku selanjutnya yang akan menyusul Shielda. Tidak ada yang bisa menolongku. Bahkan tuhan sekali pun tidak bisa menolongku."
"Apa maksudmu, Fang? Kau tahu di mana Shielda berada? Di mana dia?!"
"Sai, maaf. Aku lemah. Aku tidak bisa. Maafkan aku."
"Fang!! Katakan Shielda di mana?! Kau tahu siapa yang pelakunya?! Katakan padaku, Fang!! Katakan!!"
"Tidak bisa. Aku tidak bisa. Baik aku maupun Shielda menyayangi, mencintai, menjaga dia. Maafkan kami, Sai."
Hati Sai hancur. Mendapati fakta kalau temannya sendiri lebih memilih memihak sang pembunuh daripada keadilan. Seperti dia dikhianati dan ditusuk dari belakang dengan tombak yang begitu panjang. Lukanya membekas menganga lebar di sana. Membentuk lubang kosong yang permanen.
Dan apa yang Fang katakan benar. Fang menghilang. Dia tidak ditemukan. Sai ingat Kaizo kalang kabut berlari keliling Pulau Rintis hanya untuk mencari adiknya. Dia tidak mau percaya kenyataan. Pemuda itu tidak mau percaya polisi. Namun dia harus menelan pil pahit akan menghilangnya sang adik.
Berbeda dengan Shielda. Fang terlihat terakhir kali di sekolah. Dan yang bertemu dengannya terakhir adalah Sai sendiri. Ada kantung hitam di manik delimanya. Dia berpamitan pada Sai. Meminta maaf, dan pergi, selamanya. Sai sangat menyesal. Menyalahkan dirinya sendiri, mengimajinasikan dirinya harusnya menahan Fang dan mengantarnya pulang langsung ke rumah sampai aman. Tidak menghilang, bernasib sama dengan sang adik.
Kaizo bilang Fang tidak pulang ke rumah. Tidak pernah lagi pulang ke rumah. Menjadikan hunian itu sepi seakan terbengkalai. Kesunyiannya menarik simpati penuh kasihan pada Kaizo. Membuat Tok Aba menawarkan pada Kaizo untuk tinggal bersama.
Tapi Kaizo menolaknya.
Dia berkata, "Rumah itu memoriku bersama Fang. Aku ingin di sana dan menjaganya."
Tok Aba tidak mau memaksa. Namun masih memperbolehkan Kaizo jikalau dia berubah pikiran. Dan dia sampai sekarang masih bekerja di kedai, atau mungkin kafe, milik Tok Aba.
Sai bertekad kuat. Tangannya mengepal, manik hijaunya mengerut tajam penuh ambisi, "Aku pasti menemukan mereka. Adikku, temanku, Yaya dan Ying. Aku pasti akan menemukan mereka dan memenjarakan pelakunya."
.
.
.
Mereka yang Menyayangi Dia
Prolog: pahit
Boboiboy (c) Monsta
Mereka yang Menyayangi Dia (c) Valkyrie Ai
.
.
.
"Kau tak ingin memenjarakkan pelakunya?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Boboiboy. Gadis berkerudung pink dan gadis berkacamata biru itu berbalik. Senyum lembut mereka terpatri jelas. Di jalanan yang ramai dalam remang-remang lembayung senja yang memantulkan warna favorit sang pemuda itu Boboiboy terdiam. Terpaku akan kelembutan yang mendadak menyeruak dari dalam diri mereka. Menusuk hatinya dan menciptakan rasa pahit kuat yang membekas lama.
"Tidak." Jawab mereka bersamaan.
"Kenapa? Padahal kalian berkata kalau kalian takut dengan monster itu. Monster itu pembunuh kalian. Dia harus dihukum dan dipenjara."
Senyum itu masih bertahan, manik mereka melembut, tangan mereka saling bertautan dan saling menguatkan. Mereka lalu menjawab, jawaban yang membuat Boboiboy marah setengah mati, tangannya keduanya mengepal erat sampai kukunya memutih, amarah yang membuat gigitnya bergemeletuk menciptakan suara yang mengerikan, namun dia menahan diri, karena dia tidak mau dianggap anak gila. Dan jawaban itu masih membekas dalam benaknya, menari-nari seakan mengejeknya,
"Karena kami menyayangi monster itu."
