"Pokoknya, Naruto-Niisan tidak boleh jauh-jauh dari Maki, ya!"

"Baiklah, baiklah, aku mengerti. Dasar, Maki ini selalu manja."

"Jika itu dengan Naruto-Niisan, Maki akan selalu bersikap seperti ini. Hihihi~"

"Bahkan jika nanti kita berdua sudah besar sekali pun?"

"Yap!"

"Kau ini ada-ada saja, Maki."

"Oh, iya, Naruto-Niisan berjanji akan selalu ada di sisi Maki, 'kan?"

"Iya, tentu saja. Aku akan selalu ada untukmu, Maki."

"Janji, ya! Janji harus ditepati, pokoknya!"

"Jangan khawatir, serahkan semuanya padaku!"

"Awas saja kalau Naruto-Niisan berbohong, Maki akan benci Naruto-Niisan! Pokoknya, Maki tak akan menganggap Niisan pernah ada di dunia ini lagi!"

"Ahaha …."

"Maki serius!"

"Iya, iya, dasar Maki manja, deh."


5/Mei/2021


Seorang Kenalan?—

By: Abidin Ren

Summary: Sudah berlalu lama sejak terakhir kali mereka bertemu, dan Maki bahkan sampai melupakan sosok Naruto. Tapi dengan pertemuan ini, serta sedikitnya waktu kebersamaan yang mereka lakukan bersama, Maki akhirnya mengingat kembali terhadap … perasaannya di masa lalu.

Disclaimer: [Naruto] Masashi Kishimoto [Love Live! School Idol Project] Kimiko Sakurako.

This Story Created by Me

[U. Naruto N. Maki]

Slice of Life — RomanceComedy — Hurt/Comfort(?).

Alternate Universe! (AU!), Incest(?), OOC, ONESHOOT! Etc.

.

Fanfiction, Dedicated for Nishikino Maki's Birthday! [April 19th, 2021].

.

Happy Reading, Minna-san~

Enjoy it~

.

.

.

.

.

"Kau …, kau Maki, 'kan? Sudah lama sekali ya, sejak terakhir kali kita bertemu."

Seorang gadis berambut merah sebahu yang merasa jika namanyalah yang tadi dipanggil seseorang, segera menoleh ke asal suara barusan. Di dalam pandangannya, kini berdiri seorang pemuda berwajah asing baginya. Ia tak mengenal siapa laki-laki itu.

"Iya, itu namaku." Dia membalas, masih dengan ekspresi bingung, "Maaf, tapi … kamu siapa, ya?"

—Saat itu adalah awal bulan April, permulaan tahun pelajaran sekolah serta penerimaan murid baru SMA. Tentu saja, banyak murid baru lain yang melihat kejadian itu, tapi seolah tak ingin peduli, pemuda tadi berjalan mendekat dengan tawa percaya diri.

"Ini aku! Masa' kau lupa?"

Gadis bernama Maki tersebut menatap lekat-lekat wajah yang berhiaskan tiga kumis kucing di masing-masing pipinya itu.

'Apa gaya itu sedang trend sekarang, ya?' batinnya, merasa jika hiasan kumis lelaki itu terlihat sedikit nyentrik, apalagi dia kan bukan perempuan. Jadi, kalian pasti paham bagaimana situasinya saat ini ….

Maki menggeleng pelan. "Maaf, tapi sepertinya … kita baru pertama kali ini bertemu, deh."

Pemuda tadi menghela napas kecewa. "Naruto, Naruto …, apa kau ingat sesuatu tentang itu?"

…. Sepertinya dia masih belum menyerah, dan menyuruh gadis di depannya itu untuk berpikir kembali. Meskipun tengah kesal karena pemuda itu seperti memaksanya untuk mengingat sesuatu yang bahkan tidak ada untungnya bagi Maki, tetapi ia tetap menurutinya saja.

Setelah berpikir beberapa saat, wajahnya langsung berubah kaget, dan ia pun berkata, "Ah! Anak pemilik toko ramen kemarin, ya? Maaf, maaf, apa aku salah membayarkan uangnya? Aku kemarin buru-buru soalnya. Ahaha …."

Pemuda berambut kuning jabrik itu sweatdrop seketika setelah mendengarnya. "Apa maksudmu dengan toko ramen, coba? Ini tak ada hubungannya dengan itu, tahu."

"Ah …, bukannya kamu bilang naruto (toping ramen) tadi, ya?"

"Itu tadi namaku! NA-RU-TO! Naruto, ya! Ingat?!" teriaknya kesal. Dia tak menyangka jika Maki akan salah menafsirkan nama miliknya.

"Nama yang aneh," celetuk gadis itu pelan, tapi masih bisa didengar oleh sang pemilik nama.

"Apa kau bilang?! Begini-begini, itu pemberian dari orang tuaku, tahu!"

Maki tertawa canggung. "Ahaha. Maaf, maaf, hanya bercanda, kok …."

"Sudahlah, lupakan saja tentang itu." Pemuda yang mengaku namanya sebagai Naruto, langsung membuang napas pelan, mencoba untuk bersabar sebisanya.

"Jadi, apa kau sudah ingat tentangku?"

—Dan setelahnya, ia bertanya dengan semangat, berbanding terbalik dengan keadaannya beberapa saat yang lalu.

Maki menaruh tangan kirinya di pinggangnya, dan menatap jengah Naruto. "Sudah kubilang, 'kan, kalau aku tidak mengenalmu? Jangankan namamu, wajahmu saja aku merasa asing."

Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ekspresi lelah tercetak jelas disana. Dia beranjak mendekati Maki.

"Ayolah, Maki, aku tahu kalau kau marah padaku, tapi sampai berpura-pura tidak mengenalku … bukankah candaanmu itu sudah keterlaluan, ya?"

Setelah berbicara seperti itu, Naruto tanpa permisi sama sekali langsung saja mengalungkan lengannya di bahu Maki, membuat tubuh gadis yang lebih pendek darinya itu sebagai sandaran berdirinya.

Maki merasa risih sekarang. Diperlakukan seperti itu oleh orang yang tidak kau kenal, apalagi berbeda lawan jenis, sudah pasti semua orang akan merasa tidak nyaman. Dan itulah yang sedang dirasakan Maki sekarang ini.

Maki mencoba menyingkirkan lengan kekar pemuda itu dari dirinya secara kasar. "Lepaskan! Singkirkan tanganmu, dan menjauh dariku!"

Naruto dengan cepat menaruh kedua telapak tangannya di depan dada, memberi isyarat agar Maki berhenti, tidak perlu sampai memukulnya.

"Oke, oke, tidak perlu sampai semarah itu juga, 'kan?" kata Naruto merasa heran. Sepertinya, Maki sudah berubah banyak dari semenjak terakhir kali mereka bertemu.

Maki hanya mengabaikan itu tanpa membalasnya, lalu pergi dari sana—melanjutkan perjalanannya menuju gedung sekolah di belakangnya.

"Eh? Maki! Tunggu aku! Aku belum selesai berbicara denganmu!

Maki semakin mempercepat langkahnya. Ia menulikan pendengarannya, mencoba untuk tidak mendengar suara yang memanggilnya.

"Oi! Kau dengar suaraku atau tidak, sih?!"

'Aku tidak dengar.'

"Maki! Tunggu dulu! Kok cepat sekali jalanmu, sih?"

'Mana kutahu, Baka!'

"Oh, iya, bisa tidak, kita nanti ketemuan lagi di kantin?"

'Aku tidak mau, dan itu tak akan pernah terjadi!'

"Atau … kita bisa bertemu di atap sekolah saat istirahat?"

'Kenapa dengan orang ini, sih?! Maksa banget, deh!'

"Oh, oh! Aku tahu, bagaimana kalau nanti kita pulang bersa—"

Maki berhenti berjalan, dan saat berbalik … langsung saja melayangkan telapak tangannya kepada pemuda di belakangnya.

Plak!

…. Ia sudah muak dengan sifat laki-laki ini yang seolah sudah sangat mengenal dirinya. Dan, hei! Pulang bersama, dia bilang?! Bukankah itu sudah sangat berlebihan, terlebih lagi mereka baru saja bertemu, tahu! Kira-kira, hampir seperti itulah yang sedang dipikirkan Maki saat ini.

"—ma …. Eh? Eeeeeeh …?!"

Naruto memegang pipi kirinya yang terasa panas. Dia memandang bingung Maki yang menunduk, dengan salah satu tangannya terjulur ke atas, khas seperti sudah melakukan gerakan menampar. Napas gadis itu tidak beraturan sekarang.

"Kenapa kau menampar—"

"Sudah kubilang berulang kali, 'kan?!"

"…" Naruto terdiam.

Maki mengangkat wajahnya; violet menatap tajam safir di depannya. Wajahnya memerah, menahan amarah.

"Aku tak mengenalmu, dan aku tak ingin tahu siapa kamu! Jadi, berhentilah bersikap 'sok' akrab denganku, dan jangan pernah mendekatiku lagi, paham?!"

Naruto diam membatu setelah mendengar semua itu, dan Maki pergi meninggalkannya begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi. Dia terus saja menggumamkan: "Dasar orang aneh" secara berulang kali, ketika kakinya masih melangkah menuju aula penyambutan murid baru.

"Heee~? Sepertinya, dia benar-benar marah padaku, tepat seperti yang dulu dikatakan oleh Bibi. Ya ampun~"

Naruto mengabaikan beberapa tatapan berbeda dari murid lain terhadapnya, seolah tatapan mereka berkata seperti, "Tuh anak sok banget, ya!" atau "Dasar Bego, memperlakukan gadis yang baru ditemuinya seperti itu. Dia gak tahu malu banget deh, pokoknya!" dan "Pasti gak ada gadis lain yang mau mendekatinya, hingga dia akhirnya memilih jalan memalukan seperti itu! Hahaha!"

Memang ada satu-dua tatapan yang sangat menusuk, tapi Naruto tak terpengaruh sama sekali. Bagaimana pun juga, ia hanya melakukan hal yang menurutnya benar saja. Terserah bagaimana cara pandang mereka semua terhadap dirinya.

Dengan bunga-bunga sakura yang jatuh berguguran di sekeliling Naruto, ia pun melanjutkan perjalanannya mengikuti murid-murid baru lain yang menuju aula. Masa-masa SMA-nya sepertinya akan terasa berat, jika kesalahpahaman ini terus berlanjut ….

.

.

Seorang Kenalan?—

.

.

Acara sambutan untuk murid-murid baru sudah selesai beberapa jam yang lalu, dan saat ini semua murid baru dipersilakan untuk melihat-lihat klub-klub sekolah. Tentu saja, mereka diwajibkan untuk mengikuti paling tidak satu klub, hal itu akan menjadi nilai di pelajaran ekstra kurikuler sekolah mereka nantinya.

"Akhirnya ketemu juga, ternyata di sini tempat klubnya berada, ya."

Nama orang yang baru saja berbicara itu adalah Nishikino Maki, seorang gadis berambut merah gelap setinggi bahu. Ia merupakan murid angkatan tahun pertama SMA.

Maki pun mengetuk pintu di depannya, sebelum akhirnya mendengar suara dari dalam sana.

"Masuk!"

Dia membuka pintunya, lalu sedikit mengintip ke dalam ruangan. "Permisi, apa benar ini klub musik sekolah?"

"Benar. Apa kamu ingin bergabung dengan klub kami ini?"

"I-Iya, kalau boleh, sih."

"Tentu saja boleh. Ayo masuk, dan duduklah disana, kami baru saja mau mulai penyambutan anggota baru, loh!"

—Ya, Maki sangat mencintai musik, dan karena itu jugalah ia berada di sini sekarang. Sedari tadi pun, ia sibuk mencari ruangan klub musik ini, yang ternyata cukup jauh dari ruang kelas jika dibandingkan dengan ruangan klub lain.

Maki berjalan masuk, lalu duduk di bagian tepi paling depan. Ia mencari posisi duduk yang nyaman sebelum akhirnya mendengarkan penjelasan kakak kelasnya itu.

"—Seperti yang kuduga, kau pasti akan memilih klub ini, Maki."

Maki kaget sekali saat suara itu muncul, terlebih lagi ada semacam udara hangat yang menggelitik telinganya dan itu pun sukses membuatnya merinding disko. Dia menoleh ke samping, dan pipinya pun memerah seketika karena ia melihat wajah dari orang yang mengganggunya tadi pagi di gerbang sekolah, kini ada tepat di depannya. Tidak, bukan karena melihat wajah berwarna tan itu, tapi lebih tepatnya adalah … karena jarak wajah mereka saat inilah yang terlampau dekat!

"Ka-Kamu …?!"

Maki langsung menarik kepalanya ke belakang, masih dengan wajah memerahnya.

"Apa yang … kamu lalukan di sini?" lanjutnya merasa heran.

"Hm? Oh, tentu saja bergabung dengan klub ini."

Pemuda yang diketahui oleh Maki bernama Naruto itu, menjawabnya dengan santai. Merasa aneh, Maki hanya bisa mengungkapkan isi pikirannya lewat ekspresinya saja, tanpa bisa berkata-kata.

Naruto yang mengerti jika ia seolah sedang dihina, merasa tidak terima. "Oi, jangan menatapku seperti itu, lah. Itu menyakitkan, tahu."

Maki mengibaskan sebelah tangannya. "Ah, maaf, maaf, aku tahu kalau kamu itu memang aneh, tapi … kamu bilang tadi, bergabung?"

Meskipun sebenarnya Naruto merasa tersinggung karena ucapan jujur Maki tadi, tapi ia tetap mengangguk satu kali.

"Dengan klub ini, benar?"

Sekali lagi, satu anggukan Maki dapat dari si pemuda.

"Dasar penguntit."

Satu perempatan segera muncul di kening Naruto. "Apa maksudmu?!"

Maki menatap jijik Naruto. "Bilang saja kalau kamu ingin mengikutiku terus, dasar Orang Aneh."

Jleb!

"Guhuk!"

Naruto memegang sebelah dadanya yang terasa sakit, seolah ada yang tengah menancap disana. "Setelah lama kita tidak bertemu, kau benar-benar sudah berubah banyak, ya, Maki. Padahal, kau dulu manja sekali padaku, dan kau juga yang bilang, jika kau akan terus bersikap seperti itu. Ini sedikit mengecewakan." Dia menggeleng beberapa kali, seolah mengekspresikan kesedihannya.

'Selalu M-M-Ma-Man-Manja padanya , dia bilang barusan?!' Wajah gadis itu memerah sempurna. Maki bangkit dari duduknya, mata violet itu menatap tajam Naruto. Dengan wajah memerah malu, ia pun berteriak ….

"Ja-Jangan bicara sembarangan! Itu bisa membuat orang yang me-mendengarnya salah paham, tahu!"

"Hei, kamu yang berteriak disana. Apa kamu mendengar penjelasanku tadi?"

"Ahh!"

Punggung gadis itu menegak seketika, saat merasa jika dirinyalah yang mendapat teguran. Ia berbalik, lalu membungkukkan badannya, meminta maaf atas perbuatan memalukannya tadi. "Ma-Maaf! Aku tak akan mengulanginya, Senpai!"

Dengan perasaan menyesal atas perbuatannya, Maki kembali duduk, tapi matanya tetap menatap kesal Naruto yang malah bersiul-siul, seolah bersikap tidak tahu apa-apa. Sangat menyebalkan memang.

"Awas saja kalau kamu berkata yang tidak-tidak lagi nanti, ya," katanya memberi peringatan. Sementara Naruto hanya mengangkat kedua bahunya santai.

"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, kok."

Maki mengabaikan itu dan lebih memilih untuk mendengarkan penjelasan ketua dari klub yang akan ia masuki nantinya. 'Dih, ini anak kenapa sih? Nggangguin aja dari tadi. Lagipula, kenapa juga aku jadi banyak bicara dengannya, ya?'

'Entah kenapa, rasanya memang seperti nostalgia saat aku dekat dengannya, sih.' Maki sedikit melirik ke belakang, ke tempat duduk si pemuda yang sedari tadi pagi selalu membuatnya merasa nyaman, jika dirinya berada di dekat laki-laki itu.

'Apa memang kami pernah kenal sebelumnya, ya? Tapi .'

Dia teringat akan ucapan Naruto sebelumnya, tentang dirinya yang "katanya" selalu bersikap manja terhadapnya. Memikirkan hal itu saja sudah membuat wajah Maki kembali memerah sempurna; memalukan jika itu adalah kenyataan!

'—Tidak, tidak, tidak! Itu tidak mungkin! P-Pasti ini hanya akal-akalannya saja agar aku mau de-dekat kepadanya! Jangan harap itu bisa terjadi, dasar Orang Aneh! Hmph!'

..

.

..

"—Baiklah, mungkin cuma itu saja yang dapat kami sampaikan."

Semua murid baru hanya mengangguk setelah mendengar penjelasan dari ketua klub musik.

"Oh, iya, sebelum mengakhirinya, kami akan memberi kesempatan bagi satu orang—siapa saja yang ada di sini, untuk mencoba alat musik yang dia sukai. Ada yang berminat?"

"Benar, kalau ada yang mau, angkat tangan saja, dan maju ke depan."

Semuanya saling pandang; ragu untuk maju, karena bagaimana pun … mereka belum siap jika harus dilihat oleh banyak orang.

Maki juga ikut melihat ke sekelilingnya, hingga pandangannya jatuh berhenti pada Naruto yang duduk sambil menutup kedua matanya, jangan lupakan dengan kedua tangannya yang dilipat di depan dada juga.

"Apa dia tidur, ya?" gumamnya heran. Tiba-tiba, sebuah pemikiran terlintas di kepala merahnya. Mungkin, mengerjai Naruto sedikit tidak masalah. Ini akan menjadi hiburan bagi Maki.

Setelahnya, Maki mengangkat tangan kanannya, membuat semua atensi penghuni ruang klub itu tertuju padanya.

Ketua klub itu menunjuk Maki. "Ya, kamu yang disana. Majulah, dan pilih alat musik apa yang ingin kamu mainkan."

"Ah, ettoo …, sebenarnya dia yang ingin melakukannya. Tapi karena tidak berani mengangkat tangannya, akhirnya aku yang melakukannya," kata Maki sambil menunjuk Naruto yang duduk di belakangnya.

"Baiklah, tidak apa-apa." Sang ketua mengangguk ringan. Maki tersenyum puas di dalam hati saat melihat itu. Rencananya sukses!

Dia pun dengan segera mencubit lengan Naruto, membuatnya terbangun dari tidurnya. "Ittai! Ada apa sih, Maki? Kau mengganggu tidurku saja, tahu."

"Kamu disuruh maju ke depan." Dia berkata dengan tenang agar tidak dicurigai Naruto.

Mengangkat sebelah alisnya karena bingung, ia pun bertanya, "Kenapa aku?"

"Sudahlah! Maju saja sana! Tuh, kamu sudah ditungguin banyak orang."

Memandang ke sekelilingnya, dan ternyata benar, bahwa semua penghuni ruangan ini tengah menatapnya. Menggaruk kepala belakangnya malas, sebelum akhirnya Naruto bangkit dan berjalan ke depan.

Banyak yang menatap Naruto dengan pandangan berbeda—meskipun kebanyakan sebenarnya adalah, mereka menatap heran Naruto. Heran? Tentu saja, jarang sekali ada laki-laki yang mau masuk ke klub semacam ini, karena biasanya … mereka pasti lebih memilih untuk mengikuti klub yang berbau olahraga. Jadi, tidak heran banyak yang berpikiran aneh terhadap Naruto, jika mereka memikirkan alasan tadi.

Begitu pula dengan Maki, ia juga berpikir demikian. Dia mengira, jika Naruto masuk ke sini pasti hanya karena mengikutinya, dan ia sama sekali tak tahu-menahu soal musik, apalagi mamainkan alatnya. Ini pasti akan membuatnya malu sekali nanti.

'Aku tahu kalau perbuatanku ini sedikit berlebihan terhadapnya, tapi biarlah. Mungkin dengan ini, dia akan jera, dan tak 'kan berani menguntitku lagi.'

Sebenarnya, ada sedikit perasaan tidak nyaman di hati Maki, saat terlintas sebuah pemikiran tentang Naruto yang akan dicemooh karena mempermalukan dirinya sendiri akibat hal ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Maki sendiri tak ingin kehidupan penuh SMA-nya diganggu oleh orang, yang bahkan baru saja ditemuinya tadi pagi.

"Ettoo, pilih saja alat yang kamu sukai, dan mainkan sebisamu saja, ya. Tidak perlu memaksakan diri, kok," kata ketua klub dengan canggung. Dia sendiri juga meragukan, apa memang lelaki di depannya ini bisa memainkan alat musik.

Naruto berpikir sejenak. "Hmm …, aku memang tidak terlalu mengerti dengan situasinya, tapi baiklah, akan kulakukan." Dia langsung memilih piano yang ada di dekatnya, kamudian duduk disana.

Perempuan yang merupakan ketua klub musik itu menepi, memberikan ruang bagi Naruto untuk tampil. Semuanya segera memasang telinga mereka, ingin tahu seperti apa lagu yang akan dimainkan olehnya, begitupula dengan Maki. Semuanya penasaran dengan keahlian Naruto. Maki sendiri awalnya sedikit terkejut; tak menyangka jika pemuda itu akan memilih piano.

"Apa dia yakin bisa, ya?" gumamnya khawatir. Matanya tidak lepas dari mengamati tubuh tegap sang pemuda, "Mungkin, aku akan meminta maaf nanti karena sudah menjahilinya."

Naruto menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya. Ia menaruh jari-jemarinya di atas tuts-tuts piano, kemudian mulai menekan-nekannya sesuai dengan nada yang ia inginkan. Alunan musik yang dengan nada rendah, tapi memiliki makna yang terkesan dalam, mulai terdengar. Semuanya seperti dibuat dapat mengikuti alunan musik yang dibawakan, bahkan ada juga yang terkejut karena ternyata Naruto benar-benar bisa bermain alat musik. Tentu saja, Maki termasuk ke dalam kelompok yang kedua.

Ya, Maki memang tak menyangka jika Naruto bisa bermain piano, tapi yang lebih mengejutkannya adalah ….

"La-Lagu ini, 'kan …?"

..

.

..

"Bagaimana? Bagaimana? Permainan musikku tadi hebat, 'kan? Benar, 'kan? Iya, 'kan?"

"Bi-Biasa saja, kok. Anak kecil pasti juga b-bisa jika hanya segitu, tahu," balas Maki sambil memejamkan matanya. Jari telunjuk kanannya ia gunakan untuk bermain-main dengan ujung rambutnya, hal itu ia lakukan untuk menutupi rasa gugupnya saat ini.

"Hee~? Benarkah?"

Maki membalas dengan satu kali anggukan, tentu saja masih dengan gugup. Tapi sepertinya, Naruto tak begitu menyadari keadaan gadis itu saat ini, jadi Maki hanya bisa bersyukur di dalam hati karenanya.

—Setelah kegiatan di ruang klub tadi selesai, semuanya segera pergi untuk menyelesaikan urusan masing-masing, ataupun memilih untuk langsung pulang saja ke rumah. Ya, begitupula dengan Maki dan Naruto sekarang ini.

Naruto sedikit mengembuskan napas kecewa saat masih berjalan di samping Maki.

"Yah, kalau untuk Maki yang sekarang, aku yakin … pasti lagu seperti itu mudah untuk kau mainkan. Padahal, aku sendiri dulu kesulitan untuk membuat lagu itu, tahu. Haah~"

Satu helaan napas sedih dikeluarkan Naruto. Dia menaruh kedua tangannya di belakang kepalanya, masih dengan berjalan. "Apa kemampuanku bermain piano sudah menurun darimu, ya?"

"Eh?! Tunggu, bisa kamu ulangi lagi ucapanmu barusan?" Maki berkata seperti itu setelah merasa ada yang mengganjal pikirannya.

Naruto memandang aneh Maki. "Hm? Tentang kemampuanku sudah menurun darimu, yang itu?"

"Tidak! Bukan itu, tapi yang sebelumnya!" Dia berteriak kecil, merasa jengah, "Maksudku, lagu tadi … kamu yang ciptakan sendiri?"

Naruto berekspresi bingung, sebelum akhirnya berubah untuk berusaha menahan tawanya. "Pfft! Apa maksudmu? Bukankah kau sudah tahu, jika lagu tadi kubuat untukmu dulu sekali? Astaga, kau bahkan mencoba untuk melupakan ini? Jujur saja, ini sedikit menyakiti hatiku, Maki."

"Eh?"

Maki benar-benar bingung sekarang. Memang, dia seperti merasa pernah mendengar lagu yang dimainkan Naruto tadi, entah kapan dan di mana tepatnya, Maki tak begitu mengingatnya.

Dia menatap cepat Naruto. "Apa maksudmu soal membuat lagu itu untukku?"

Pemuda itu menatap geli Maki. Sebelah tangannya ia angkat, menggosok-gosok dengan gemas kepala berwarna merah yang sedikit lebih rendah darinya itu. "Dasar, kau ini, ya. Bukankah kau sendiri, yang dulu meminta untuk kuberi sesuatu? Hingga akhirnya, lagulah yang kupilih. Kenapa sekarang malah bertanya padaku? Ahaha …."

"Aku tak ingat sama sekali tentang itu." Maki mengembungkan pipinya, terlihat imut.

Baru sadar akan keadaannya, ia dengan segera menyingkirkan tangan Naruto dari kepalanya secara kasar, "Ihh! Jangan sentuh kepala orang dengan sembarangan, deh! Itu tidak sopan, tahu!"

"Boo~! Padahal, dulu kau selalu senang saat kuelus kepalamu, Maki."

Wajahnya kembali memerah, dan Naruto yang menyadari itu pun tertawa pelan. "Me-Mengelus dan menggosok kepala, itu terasa berbeda, tahu!"

"Ohh …, bilang kek dari tadi, biar aku tidak selalu salah di matamu, Maki." Dia mengangkat tangannya lagi, berniat menyentuh kepala Maki, tapi—

"Apa yang ingin kamu lakukan?"

—tangannya sudah ditepis lebih dulu oleh sang gadis.

"Mengelus kepalamu, lah," jawab Naruto santai.

"A-Aku tidak butuh itu darimu, Bego!" katanya dengan berteriak kecil. Semburat merah tipis kembali muncul di kedua pipinya.

"Dasar tsundere," celetuk Naruto.

"Apa katamu?!"

"Bukan apa-apa."

Maki menyipitkan matanya saat melihat kelakuan Naruto, sebelum akhirnya ia memalingkan wajahnya ke samping dengan suara "Hmph!", khas perempuan yang tengah kesal.

"Dasar Orang Aneh, Penguntit, tak tahu diri—"

"Oke, oke! Cukup sampai disana!"

Naruto berkata panik untuk menghentikan perkataan gadis itu, sebelum nantinya akan bertambah lebih buruk lagi. Setetes keringat jatuh menuruni pipinya.

Naruto tidak mengerti, kenapa dia punya banyak julukan seperti itu? Dan lagi, semua julukan aneh itu berasal dari Maki! Sungguh, anak kecil yang dulunya Naruto kenal sangatlah imut serta manis, kini telah berubah menjadi gadis yang kejam. Dia benar-benar tak dapat memercayai perubahan Maki akan sebanyak ini.

"Kenapa jadi seperti ini, sih?" tanyanya entah pada siapa.

"Hmph! Kan memang benar, kamu itu aneh. Dari tadi kamu selalu menggangguku, apa kamu tidak punya kegiatan lain, hah? Dan lagi, untuk apa kamu masih di sini?"

—Benar, hampir seharian ini Naruto selalu saja mengikuti ke manapun Maki pergi, tentu saja itu membuat gadis tersebut kerepotan. Bahkan sekarang, Naruto pun masih saja berdiri di pinggir jalan, menemani Maki yang sedang menunggu kedatangan supirnya.

"Tentu saja mau pulang," balas Naruto enteng.

"Kalau begitu ya, sana pulang! Kenapa juga kamu masih diam di situ?"

"Nanti, setelah mobil yang menjemputmu datang."

"Aku tak butuh belas kasihmu."

"Ini kemauanku sendiri, kok."

Maki menghadap ke arah Naruto. Ia mendongak, menatap safir milik pemuda itu dengan jengkel, "Kenapa kamu itu keras kepala, sih? Apa maumu sebenarnya dariku, hah?"

Naruto yang mendengar itu terdiam sesaat, sebelum akhirnya Maki dikejutkan dengan kedua bahunya yang tiba-tiba dicengkram erat oleh Naruto.

"Aku hanya tak ingin kau terluka lagi, Maki, hanya karena aku tidak ada di sisimu!" Naruto menjawabnya dengan tegas.

"Eh?"

Maki tak tahu harus berkata seperti apa sekarang. Jujur, jawaban itu tak pernah ia duga akan keluar dari mulut Naruto.

"A-Apaan, coba? Jangan bicara ngawur, deh."

Ia melirik ke samping saat berbicara. Semburat merah muda pun kembali tercipta di kedua pipinya. Tatapan mata Naruto sangat serius kali ini, Maki dapat merasakan itu, bahkan jantungnya terasa berdetak lebih cepat dibandingkan yang biasanya hanya karena hal ini. Tapi, dia tak sanggup jika harus terus melihat kedua mata pemuda itu, karena itulah …

"Nona Maki?"

"Ah, akhirnya kamu datang juga, Tendou-Jiisan. Aku sudah menunggu lama, tahu."

"Maaf, karena saya terlambat, Nona."

"Uhm, tidak apa-apa."

… dia memilih untuk segera pergi saja, saat melihat mobil keluarganya mendekat ke arahnya.

Maki menyingkirkan tangan Naruto dari pundaknya tanpa berkata-kata apapun lagi. Ia berjalan menuju mobil yang pintunya sedang dibukakan oleh seorang kakek yang berpakaian ala pelayan-pelayan Dunia Barat. Naruto sendiri mengikuti berjalan di belakangnya tanpa sepengetahuan Maki.

"Yo, Tendou-Jiji! Lama tak bertemu."

Tendou sendiri hanya mengangguk sambil tersenyum ke arah pemuda itu. Meskipun sekarang ia sudah terlihat lebih besar ketimbang waktu dulu, tapi Tendou tak akan bisa melupakan sosok Naruto, dikarenakan sifatnya itu tidak berubah sedikitpun dengan sifatnya ketika masih kecil dulu. Ya, selalu saja bersemangat entah di mana pun ia berada.

Maki langsung sadar akan hal itu setelah mendengar suara Naruto, dan ia menghalangi pemuda itu yang bersiap memasuki mobil miliknya. Ia menatap curiga Naruto. "Berhenti! Kenapa juga kamu mau masuk ke sini? Jangan berani kamu berbuat macam-macam, ya!"

"Aku hanya ingin mampir ke rumahmu."

"Ja-Jangan bercanda! Aku tak mengizinkan orang asing datang ke rumahku!"

"Aku cuma mau ketemu Paman dan Bibi, kok."

Maki kembali dibuat bingung sekarang, tapi ia tak menghilangkan raut curiga dari wajahnya. Naruto tertawa pelan saat menyadari hal itu.

"Ayolah, jangan mencurigaiku terus, Maki. Aku tak bermaksud jelek, oke?"

"Lalu, apa tujuanmu yang sebenarnya." tanyanya, sekali lagi.

Naruto berpikir sejenak, dengan tangan kanannya yang mengelus dagunya. Setelahnya, ia pun menjawab dengan santai, "Hmm, melamarmu."

Blusssh~

Wajah gadis itu pun menjadi merah padam sekarang. Jangan lupakan dengan adanya semacam uap-uap panas yang mengepul keluar dari kepala merahnya itu. Apakah dia ditembak? Bahkan, di hari pertamanya masuk SMA?!

Maki menggeleng keras, mencoba menenangkan pikirannya. Meskipun ini memalukan, tapi hanya untuk memastikannya saja, ia bertanya—

"Be-Be-Benarkah … itu …?"

—tapi angan-angannya langsung hancur begitu saja setelah mendengar lanjutan ucapan Naruto sebelumnya.

"Bercanda!"

Naruto membalasnya dengan wajah tanpa dosa. Ia tertawa senang karena berhasil mengerjai Maki, "Mana mungkin aku melakukan hal itu."

Maki sendiri menunduk dalam setelahnya. Entah kenapa, dia malah merasa marah sekarang karena mendengar candaan Naruto tadi. Maki tak tahu kenapa hatinya terasa sedih hanya karena ini. Lagipula, apa yang bisa dia harapkan dari orang yang baru saja ia temui tadi pagi?

"Kamu …."

"Hm? Kau mengatakan sesuatu, Maki?"

Naruto menanyakan itu karena ia tak terlalu mendengarnya tadi. Dia sedikit menurunkan tubuhnya, menyejajarkan wajahnya setinggi wajah Maki yang masih menunduk dalam.

"KAMU BODOH …!"

Setelah berteriak; mengeluarkan rasa kesalnya, Maki pun menutup pintu mobilnya dengan kasar. "Tendou-Jiisan, kita langsung pulang saja."

"Baik, Nona."

Dan setelahnya, mobil mewah berwarna hitam itu pun melaju, meninggalkan area sekolah serta Naruto yang masih diam membeku di pinggir jalan.

"Lah? Kenapa dia sampai semarah itu? Aku kan cuma bercanda," katanya bingung. Naruto menggaruk kepala belakangnya karena merasa ada sesuatu yang tidak ia pahami dari Maki.

Sementara itu, di tempat Maki yang berada di dalam mobil ….

Ia tengah termenung. Semua ingatan mulai dari pagi ini sampai sekarang, segala perbincangan serta perbuatannya bersama Naruto, mulai memenuhi isi kepala Maki. Dia bisa merasakan perasaan nyaman saat ada di dekat Naruto, seolah-olah jika pemuda itu adalah bagian dari orang terdekatnya. Tapi meskipun begitu, Maki tetap menyangkalnya, karena ia memang tak ingat pernah bertemu dengan Naruto sebelumnya.

"Lagipula, dia itu menyebalkan. Kenapa juga dia harus bercanda untuk masalah 'itu'? Kalau yang seperti 'itu', bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan lelucon, tahu."

Dia berbicara, sambil kembali memainkan ujung rambutnya menggunakan jari telunjuknya, suatu kebiasaan dirinya yang menandakan kalau Maki sedang gugup.

Wajahnya sedikit memerah saat mengingat kejadian Naruto yang berkata tentang melamarnya. Tapi setelahnya, wajah Maki berubah kesal, "Gezz, dasar."

.

.

Seorang Kenalan?—

.

.

Pagi hari di sebuah kamar seorang gadis.

Maki terbangun dari tidurnya dengan kepalanya yang terasa pusing sekali. Tentu saja, ini dikarenakan ia yang tadi malam kesulitan tidur gara-gara terus kepikiran soal kejadian waktu penerimaan murid baru kemarin. Ya, semua ini karena pemuda bernama Naruto itu!

"Aduh~, mungkin … akan lebih baik kalau aku izin tidak masuk saja hari ini," kata Maki sambil memijit pelan kepalanya.

Memang ini baru hari kedua sekolah, dan dia paham bagaimana situasi dirinya nanti jika dicap buruk oleh teman-teman sekelasnya karena tidak masuk hari ini. Tapi mau bagaimana lagi? Kesehatan dirinya juga harus diutamakan, bukan?

Maki berjalan keluar, lalu menuju ke bawah karena kamarnya berada di lantai dua. Dia akan mandi setelah sarapan saja. Lagipula, akan sangat berbahaya jika kita masuk ke kamar mandi dalam keadaan kepala yang tengah pusing.

Maki duduk di kursi ruang makan yang sekaligus sebagai dapur. Karena kedua matanya masih setengah tertutup, jadinya ia tak terlalu mengamati sekitarnya, terlebih lagi pada seseorang yang sudah duduk disana sedari tadi.

"Pagi, Tuan Putri, apa tidurmu semalam nyenyak?"

Maki tak terlalu menggubris suara tadi, yang jujur saja … suara itu tidak pernah dia dengar ada di rumahnya. Bahkan saat orang yang menyapanya itu tertawa pelan, Maki malah hanya menyangga dagunya menggunakan sebelah tangannya, yang beberapa kali terlihat hampir jatuh karena rasa kantuknya.

"Bahkan ketika kau baru bangun tidur, dan belum mencuci muka sekalipun, wajahmu masih terlihat cantik seperti biasanya, ya, Maki."

—Tapi setelahnya, kedua mata violet itu pun terbuka lebar karena barisan kalimat tadi menusuk gendang telinga si gadis.

Dia menoleh cepat ke samping, mendapati seorang Naruto tengah duduk disana, masih dengan tawa senangnya. Pemuda itu langsung tersenyum ringan saat mengetahui, bahwa Maki sekarang tengah memasang ekspresi seolah dia sedang melihat hantu di siang bolong.

"Ke-Kenapa kamu ada di sini?!"

"Ada apa sih, Maki-chan? Masih pagi kok sudah teriak-teriak?"

Maki menoleh ke arah lain, asal suara tadi yang ternyata dari seorang wanita dewasa yang memiliki wajah mirip seperti Maki, tapi rambutnya yang sedikit panjang berwarna coklat. Ya, dia adalah ibunya.

Maki menunjuk hidung Naruto dengan jari bergetar, "Mama! Ke-Kenapa orang ini ada di sini?!"

Sang ibunda hanya terkikik geli melihat kelakuan anaknya. "Lah, kamu ini gimana, sih? Bukankah tadi malam Mama sudah bilang, kalau akan ada tamu yang datang berkunjung ke mari? Tapi kamunya yang bilang ingin tidur lebih awal. Apa kamu lupa, Maki-chan?"

Maki menutupi wajahnya menggunakan sebelah tangannya. Dia benar-benar lupa akan hal ini. Memang benar kalau Maki ingin tidur lebih awal karena merasa tidak enak badan tadi malam, jadinya ia tak tahu siapa tamu yang dimaksud orang tuanya, karena ia juga tidak menanyakannya lebih lanjut.

"Jadi …, tamu yang Mama maksud adalah … dia?" Sang ibu mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Maki.

Maki melirik secara gugup berulang kali pada Naruto yang duduk di sampingnya. Pemuda itu masih menikmati minuman hangatnya.

"Ettoo …."

"Hm? Ada apa, Maki?"

Naruto bertanya ketika melihat Maki yang sedang gelisah.

"Emm, aku … minta maaf atas sikap dan perkataanku kemarin terhadapmu." Maki mengatakan itu sambil memainkan ujung rambutnya menggunakan jari telunjuknya, suatu kebiasaan dari dirinya.

"—Ehem! I-Ini bukan berarti aku mengakui jika semua itu salahku, ya! Tetap saja, semua itu terjadi karena kamu yang menggangguku terus ke-kemarin!"

Kedua mata Naruto berkedip dua kali saat melihat gelagat Maki barusan. Meskipun ia bertingkah layaknya sedang marah dan kesal, entah kenapa hal itu malah membuat kesan imut Maki di mata Naruto.

"Baik, baik, aku mengerti."

Naruto membalas perkataannya Maki dengan lembut. Dia tak ingin merusak paginya ini karena bertengkar lagi dengan gadis itu seperti kemarin, jadi sepertinya balasannya tadi sudah cukup.

Maki melirik sebentar pada pemuda di sampingnya itu, sebelum akhirnya ia mengangkat sedikit dagunya dengan semburat merah tipis yang menghiasi pipinya. "Hmph! Baguslah kalau kamu pa-paham!"

"Hee~? Ada apa? Ada apa? Apa kalian bertengkar kemarin?"

Ibunya Maki menghentikan kegiatannya menyiapkan makanan di atas meja makan, hanya untuk menggoda kedua remaja itu.

"Tidak, kok! Sudahlah, Mama tidak perlu ikut-ikutan membahas itu." Maki mengatakan itu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Naruto sendiri tersenyum ringan saat melihat tatapan wanita berambut coklat itu tertuju padanya, seolah meminta penjelasan. "Begitulah, Bibi, hanya kesalahpaham kecil. Bibi tidak perlu memikirkannya."

Setelah mendengar itu, ibunya Maki hanya mengangguk sekilas, kemudian kembali menaruh berbagai makanan di atas meja untuk sarapan. "Oh, iya, Mama pikir, kamu akan lebih senang saat melihat Naruto-kun sudah kembali, loh, Maki-chan. Bagaimana pun juga, kamu sendiri kan yang dulu paling sedih saat mendengar jika Naruto-kun pergi ke luar negeri."

"Ti-Tidak juga! Mungkin Mama yang salah mengingatnya!" sangkal Maki secara cepat.

"Hee~, benarkah itu, Bibi?"

Maki mendelik ke arah Naruto yang barusan bersuara. "Sudah! Jangan dibahas lagi …!"

Naruto dan ibunya Maki tertawa bersamaan karena berhasil menggoda gadis SMA itu. Maki mengembungkan pipinya saat melihat itu, lalu ia pun menyenderkan punggungnya ke kursi yang ditempatinya.

Sebenarnya, apa yang dikatakan ibunya barusan tidaklah salah. Maki juga masih ingat sedikit perkataannya itu pada saat dirinya masihlah kecil dulu ….

"Mama, Papa, di mana Naruto-Niisan? Kok Maki tidak pernah melihatnya belakangan ini?"

"Maki-chan …, Naruto-kun sedang tidak bisa ditemui dulu. Dia sedang sakit, jadi dia tidak bisa main denganmu sekarang ini. Jadi, Mama harap kamu mengerti dengan keadaan Naruto-kun, ya."

"Tidak mau! Pokoknya, Maki ingin bertemu Naruto-Niisan! Hiks, hiks …."

"Maki, dengarkan perkataan Mama-mu, jangan membantah, ya."

"Hiks, hiks! Tapi , Papa, Naruto-Niisan sudah berjanji pada Maki. Kenapa Niisan berbohong dengan janjinya itu?"

Sedikit memalukan memang, jika Maki harus kembali mengingat hal itu. Dia bahkan tak percaya, kenapa juga dia harus menangisi sosok Naruto.

Yah, kemarin itu, Maki sudah bertanya tentang Naruto kepada orang tuanya, dan mereka pun menjawab, bahwa memang benar jika Naruto dan Maki dulu sewaktu kecil sering bermain bersama. Tapi, semua itu berubah setelah terjadinya kecelakaan, di mana Naruto yang menyelamatkan Maki dari sebuah kendaraan yang melaju cepat. Maki selamat dari tabrakan, tapi kepalanya mengalami benturan keras pada jalan beraspal. Sedangkan Naruto pun harus menerima kenyataan, jika ia mengalami patah tulang pada kakinya dikarenakan tertabrak mobil itu, serta beberapa luka di organ dalam tubuhnya. Dia tidak menyesal sedikitpun karena menyelamtkan Maki dan menderita banyak lula. Ya, itu masih jauh lebih baik daripada ia harus kehilangan Maki untuk selamanya.

Setelah itu, kedua orang tua Naruto pun membawanya ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Itu hanya kenginan Minato dan Kushina saja, agar Naruto mendapat penanganan yang lebih meyakinkan. Lagipula, setiap orang tua pasti akan memberikan segalanya untuk anak tunggal mereka, tidak peduli berapa pun biaya yang harus mereka keluarkan. Asalkan Naruto baik-baik saja, itu sudah cukup bagi Minato serta Kushina.

Selama masa pengobatannya pun, Minato menyarankan agar Naruto melanjutkan sekolahnya di luar negeri saja. Dan akhirnya, saat memasuki awal tahun SMA, Naruto kembali ke negara asalnya, yaitu Jepang.

"Lalu, Naruto-kun, sudah berapa banyak gadis yang kamu kenal saat di luar negeri, hm?"

"Eh? Aaah …, ehem! Kenapa Bibi tiba-tiba malah menanyakan itu?"

"Sudahlah, jawab saja."

"Ettoo, bagaimana, ya …."

Maki kembali sadar dari lamunannya ketika mendengar perbincangan Naruto dengan ibunya. Entah kenapa, seolah ada sesuatu yang tengah mencubit hatinya tatkala dirinya mendengar kata "gadis" sedang menjadi topik pembicaraan mereka. Maki penasaran tentang itu, tapi juga tidak memiliki keberanian untuk tahu kebenarannya.

Naruto menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. "Yah …, aku tidak punya waktu untuk mendekati gadis-gadis di negara sana, Bibi."

"Hee? Benarkah?" Wanita berambut coklat itu memasang ekspresi tertarik saat mendengar jawaban Naruto.

Naruto mengangguk sekilas. "Ya. Lagipula, kenapa juga aku harus jauh-jauh mencari gadis di luar sana, Bibi, jika di sini saja sudah ada yang dekat denganku, 'kan?"

"Eh?" Maki tersentak kaget saat Naruto tiba-tiba mengalihkan tatapannya terhadap dirinya.

"Bukankah begitu, Maki?" lanjut Naruto dengan senyuman hangat.

Wajah Maki langsung memerah saat itu juga. Dia memalingkan wajahnya ke samping sambil berkata, "Apa-apaan itu? Aku tidak mengerti sama sekali maksudmu!"

Naruto tertawa canggung dengan jari telunjuknya yang menggaruk pipinya berulang kali. 'Apa ada yang salah dengan ucapanku tadi, ya?'

Ibunnya Maki hanya menggelengkan kepalanya berulang kali saat melihat interaksi dua pemuda-pemudi di depannya. "Dasar anak muda …," katanya, lalu ia melanjutkan kegiatannya menyiapkan sarapan.

Maki sedikit melirik Naruto lewat ekor matanya. Jujur saja, ada perasaan senang di dalam dadanya saat dia mendengar jawaban Naruto tadi. Tapi, Maki tidak bisa menunjukkan secara terang-terangan di depan pemuda itu. Tentu saja, ini adalah harga dirinya. Mana mungkin Maki akan bersikap alay hanya karena ini. Dia tak 'kan pernah mau melakukan hal memalukan itu, karena itu bukanlah sifat sejati dari seorang Nishikino Maki!

Dia sepertinya harus berterima kasih, karena Naruto dulu pernah menyelamatkannya dari tabrakan mobil saat masih kecil. Ya, itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, dan Maki belum pernah mengucapkan rasa terima kasihnya itu secara langsung, dikarenakan Naruto yang juga baru-baru ini kembali ke Jepang. Jika tanpa Naruto pada saat itu, Maki tidak tahu apakah dia masih bisa terus bersama dengan kedua orang tuanya hingga saat ini atau tidak. Intinya, pemuda itu sudah sangat berjasa dalam hidup Maki. Naruto itu merupakan sosok yang baik serta hebat.

Maki memegang dada kirinya. Jantungnya terasa berdegup lebih kencang dibandingkan yang biasanya karena ia memikirkan Naruto terus sedari tadi. 'Ugh, ada apa ini? Kenapa aku merasakan perasaan aneh ini?'

Maki mempertanyakan itu di dalam hati. Dia kembali mengingat dirinya saat masih kecil dulu. Ya, sesosok gadis kecil yang sangat mengagumi Naruto, ingin selalu bersamanya setiap saat, juga tak 'kan membiarkan anak kecil perempuan yang lain untuk mendekati Naruto; sesosok Maki kecil yang ingin memonopoli Naruto kecil seorang diri.

'Apa aku … menyukai Naruto? Tapi, kenapa …?'

Maki bahkan tak begitu mengingatnya, kenapa dia bisa mengagumi sosok pemuda itu saat dirinya masih kecil dulu. Banyak ingatan masa lalunya yang tidak bisa Maki ingat dengan baik.

'Seperti dikatakan Mama dan Papa, karena benturan di kepala yang aku alami waktu kecelakaan itu, ada beberapa ingatan yang aku sendiri tidak bisa ingat dengan baik.' Maki mendesah pasrah setelah memikirkan semua itu. Tapi setelahnya, ia tersenyum kecil sambil bergumam ….

"Tapi, aku senang, karena kamu akhirnya bisa kembali ke sini, Naruto."

"Hm? Kau mengatakan sesuatu, Maki?"

"Ah, bu-bukan apa-apa, kok! Kamu yang salah dengar, mungkin."

"Begitu, ya …."

Maki mengelus dadanya. Ia bersyukur karena Naruto tak mendengar ucapannya yang tadi, karena itu akan sangat memalukan jika Naruto sampai tahu!

"Aahh~ apa ini saatnya sarapan?"

Maki menoleh ke asal suara yang terkesan masihlah mengantuk itu. Disana berdiri seorang wanita berambut merah panjang sepinggul. Ya, Maki kenal, namanya adalah Kushina.

"Eh? Bibi ada di sini juga?" tanya Maki dengan ekspresi terkejut.

"Ah! Maki-chan, bagaimana keadaanmu? Ibumu bilang, jika kau tidak enak badan tadi malam." Kushina mengabaikan pertanyaan Maki, dan lebih memilih mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Dia berjalan hingga sampai berdiri di belakang kursi yang ditempati Maki. Ia menggerakkan kedua tangannya ke sana-ke mari, mencoba memeriksa seluruh tubuh Maki, dan tentu saja si gadis menjadi tidak nyaman karena hal itu.

"Eh? A-Ah, begitulah, aku sudah tak apa kok, Bibi tak perlu secemas itu."

Setelah mendengar itu, Kushina pun menarik kembali tangannya yang ia taruh di kening Maki untuk mengecek seberapa panas suhu tubuhnya. "Syukurlah, kalau begitu~"

"Haaah …, Kaa-san pasti selalu begitu jika menyangkut soal kesehatan Maki." Naruto mengatakan itu setelah Kushina duduk di kursi.

"Memangnya kenapa jika aku mengkhawatirkan Maki-chan, hm? Apa tidak boleh mencemaskan keponakan sendiri, Naru-chan?"

"Tapi jika dibandingkan pada saat aku sakit, perlakuan Kaa-san sedikit berbeda, tahu."

"Kau kan laki-laki, Naru-chan, jadi harus bisa mandiri mengurusi dirimu sendiri, paham?"

"Baiklah, baiklah, aku mengerti. Sudah kuduga kalau Kaa-san akan menjawab seperti itu lagi," kata Naruto malas, "Dan lagi, berhentilah memanggilku sepertu, Kaa-san, aku sudah bukan anak kecil lagi, tahu."

"Hihihi~, tapi di mata Kaa-san, kau dan Maki-chan akan selalu menjadi anak kecil, loh." Kushina menjawab seperti itu, mencoba menggoda kedua remaja itu.

"Terserah Kaa-san, lah."

Kushina tersenyum puas saat melihat Naruto sudah menyerah.

Maki sendiri mengamati perbincangan mereka berdua dengan bingung. "Tunggu, kenapa kamu memanggil Bibi Kushina dengan sebutan 'Kaa-san', Naruto?" tanyanya heran.

Naruto menatap aneh Maki. "Kenapa kau menanyakan itu? Tentu saja karena dia itu ibuku, Maki. Ya ampun kau ini, ada-ada saja, deh …."

"Eh?"

Yang benar? Kalau begitu, berarti ….

"Kenapa kamu terlihat terkejut begitu, Maki-chan?"

Maki menoleh ke arah ibunya yang berbicara. Sang ibunda melanjutkan ucapannya, "Bukankah Naruto-kun itu sepupumu? Apa kamu lupa itu, karena luka di kepalamu waktu kecelakaan dulu?"

Maki langsung memasang ekspresi kosong setelah mendengar itu.

Eh?

Eh?!

EEH …?!

Kalau Naruto memang sepupunya, lalu bagaimana dengan perasaannya ini terhadap pemuda itu?

END!


Fic ini kubuat untuk memperingati hari ulang tahunnya Nishikino Maki pada tanggal [19 April] kemarin. Tapi, karena aku punya beberapa urusan di real life, jadinya cerita ini mengalami sedikit kendala saat aku melakukan proses pengetikan, hingga akhirnya sedikit telat dari jadwal uploud-nya. Maaf, kalau ceritanya aneh bin gak jelas.

Memang ini sedikit telat, tapi aku akan tetap mengatakannya;

"Happy Birthday, Nishikino Maki—My Tsundere Queen." [April 19th, 2021].

.

.

.

Berminat untuk meninggalkan review?

Terima kasih karena sudah mau mampir ke ceritaku ini.

Tertanda. [Abidin Ren]. (5/Mei/2021).