"Daiki? Hei? Ya, ini aku. Apa kau masih lembur malam ini?"
"Ah, tidak. Hanya bertanya. Kalau malam ini pulang, aku akan menyiapkan makan malam."
"Begitu? Baiklah. Sampai jumpa nanti."
"Ya, aku mencintaimu juga."
"Bagaimana? Masih belum?"
Akashi berpaling ke arah suara setelah menghela napas panjang. Kuroko masih duduk di sana, di salah satu sofa ruang tamunya, dengan raut wajah datar yang seolah tak pernah menyiratkan suatu ekspresi. Akashi tidak akan menyalahkan wajah kawannya itu—tidak akan pernah, namun di sisi lain ia juga mempertanyakan bagaimana bisa seorang Kuroko Tetsuya betah mempertahankan topeng tanpa ekspresinya sejak mereka bertemu di sekolah menengah. Tch. Akashi berdecak.
Demi Tuhan, ini bukan waktu yang tepat untuk berpikir mengapa bisa Kuroko Tetsuya tumbuh menjadi seorang pria yang minim ekspresi bahkan ketika usianya telah menginjak kepala dua.
"Belum." Akashi mengedik. Sambil memberengut, ia jejalkan ponsel yang masih menyala ke dalam saku celana. Suasana hatinya perlahan memburuk, mengingat beberapa patah kata yang Aomine sampaikan padanya melalui sambungan telepon tadi. Ya, aku akan pulang malam. Kasus yang kemarin masih belum selesai. Bisa tunggu aku dan jadi anak baik?
Akashi tak pernah menyangkal jika ia memang menyukai panggilan itu. Benar, ia anak baik, dan ia tak memiliki alasan selain berkata iya dan menuruti apapun yang Aomine katakan. Menunggu dengan sabar sampai Aomine pulang ke rumah, namun batas kesabarannya terbabat habis sampai ke akar ketika Kuroko tiba dan mengetuk pintu apartemennya—dan Aomine—beberapa waktu lalu. Akashi sedikit merasa bersalah karena telah mengundang Kuroko untuk menceritakan keluh kesahnya, namun lelaki itu berkata bahwa ia tidak mempermasalahkannya.
"Aomine-kun pasti sedang sangat sibuk. Aku tahu sedikit banyak tentang kasus yang tengah kepolisian tangani saat ini." Kuroko mendongak. Sepasang mata birunya lekat mengawasi gerak-gerik Akashi yang kini duduk di hadapannya dengan tangan menopang dagu dan raut tertekuk kesal, "tapi setidaknya Aomine-kun masih bisa kau hubungi lewat telepon, 'kan?"
"Memang, tapi aku juga tak bisa menikmati waktu dengan leluasa bersamanya." Akashi kembali mengadu. Ia berdecak kesal, menatap Kuroko yang kini kebingungan ingin bereaksi seperti apa, "terhitung sudah hampir tiga hari kami tidak bertegur sapa. Dia selalu pulang larut malam saat aku tidur, dan pergi pagi-pagi sekali bahkan sebelum aku bangun. Bukankah itu menyebalkan, Kuroko? Aku hanya ingin melihatnya di rumah, tidak lebih."
Kasus pembunuhan yang terjadi minggu lalu memang membuat pihak kepolisian Jepang—termasuk Aomine Daiki yang dengan segala kehormatannya menduduki salah satu posisi penting di sana—dilanda kesibukan. Seharusnya Akashi bersyukur karena Aomine masih menyempatkan diri untuk menghubunginya, namun ia belum terbiasa bangun di pagi hari tanpa keberadaan lelaki bersurai biru gelap itu di sisinya. Ini bukan kali pertama Aomine meninggalkannya sendiri, tapi tetap saja. Akashi masih belum terbiasa.
"Apa Aomine-kun menolak kau datangi ke kantornya?" Kuroko bertanya lagi. Mencoba mencari celah untuk membantu menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi Akashi—karena apa gunanya datang kemari jika tak mendapat solusi setelah dipanggil dengan embel-embel curhat sekitar setengah jam yang lalu, "kalau tidak, Akashi-kun bisa pergi ke sana sambil membawakan makan siang. Aomine-kun jelas takkan menolak, 'kan?"
Mendengarnya, Akashi tertegun. Itu benar, Aomine tak akan menolaknya jika datang berkunjung meski Akashi jarang (atau bahkan tidak pernah) melakukannya. Mereka berdua sama-sama memiliki kesibukan yang sukar ditinggal saat hari kerja. Namun untuk kali ini, Akashi sengaja mengosongkan jadwal pekerjaannya, lalu meminta Kuroko untuk bertemu dan menyelesaikan masalahnya.
"Tentu tidak." Akashi memutuskan untuk menjawab meski nada suaranya terdengar ragu-ragu. Pipi bagian dalamnya ia gigit. Sedikit mendongak, dan matanya bertemu dengan sepasang biru langit Kuroko yang jadi tampak lebih mengintimidasi—atau mungkin itu hanya perasaannya, "haruskah aku datang ke sana hari ini juga?"
"Tentu saja, kau tak punya waktu lain," Kuroko jawab pertanyaan itu dengan senyum terkembang, "Aomine-kun pasti senang melihatmu, Akashi-kun. Masih ada dua jam tersisa sebelum waktu makan siang."
"Baiklah." Lagi, Akashi menghela napas. Sepertinya saran Kuroko memang paling tepat untuk ia lakukan saat ini. Selain memiliki kesempatan untuk menemui Aomine, siapa tahu Akashi juga bisa mencuri kesempatan untuk menariknya pulang, "terima kasih, Kuroko. Aku akan datang ke sana saat jam makan siang, dan maaf telah merepotkanmu."
"Tidak masalah, Akashi-kun. Aku bisa membantumu menyiapkan makanan untuk Aomine-kun sebelum pulang nanti." Senyum tipis yang jarang Kuroko tampilkan terkembang. Sepasang alis Akashi terangkat, sedikit terkejut dengan tawaran yang Kuroko berikan padanya, namun lelaki bersurai merah itu hanya terkekeh sebagai jawaban.
"Baiklah, bagaimana kalau kita mulai memasak sekarang?" Ujar Akashi sembari bangkit dari duduknya. Kuroko hanya mengangguk, lalu membuntuti sang tuan rumah yang lebih dahulu berlalu menuju dapur.
"Oh ya, Akashi-kun?"
Langkah Akashi terhenti. Ia berbalik, menatap Kuroko yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Pancaran yang ia tampilkan dalam sepasang netra biru langit itu membuat roma Akashi meremang.
"Ada apa, Kuroko?"
Namun Kuroko tak langsung membalas pertanyaan itu. Ia terdiam, seolah sedang memikirkan sesuatu, lalu menarik sebuah senyum penuh arti pada kedua sudut bibirnya, "apa Aomine-kun suka makanan pedas?"
.
.
.
.
.
.
SPICY FLAVOR, akashisexual
Kuroko no Basuke, Fujimaki Tadatoshi
An Aomine Daiki x Akashi Seijuurou's fanfiction.
Singkat saja, mereka sama-sama saling merindu.
.
.
.
.
.
.
Aomine sudah tak mampu lagi menghitung berapa kali ia menghela napas dalam kurun waktu setengah hari ini.
Demi Tuhan, ia lelah. Lelah sekali. Kasus pembunuhan berencana yang tengah ditangani oleh pihak kepolisian membuat waktu istirahatnya menipis. Tumpukan berkas yang dilampirkan oleh bawahan-bawahannya sebagai dukungan bukti di atas meja kian menggunung tiap kali ia berkedip. Ingin rasanya Aomine menyingkirkan semua berkas itu dari pandangannya, lalu pulang ke rumah dan memeluk si Manis bersurai merah yang telah tiga hari ini ia tinggalkan di sana.
Omong-omong tentang si Manis, Aomine telah meneleponnya beberapa jam lalu. Namun tetap saja, itu masih belum cukup. Aomine membutuhkan afeksi dalam bentuk fisik dari kekasihnya itu. Ingin dipeluk, atau bahkan dimanja. Aomine mengaku bahwa dirinya bukan tipe pacar yang clingy, namun ia juga tak ingin melepas Akashi di saat-saat berharga di mana mereka bisa menghabiskan waktu di apartemen hanya berdua saja.
Aomine berdecak kesal. Mendengar suaranya pun masih belum cukup. Aomine membutuhkan Akashi, membutuhkan usapan tangannya, dan juga membutuhkan sentuhannya. Bohong besar jika Aomine tidak rindu. Kalau pekerjaannya ini sudah selesai, Aomine bersumpah akan mengunci Akashi di kamar apartemen mereka dan takkan membiarkannya bepergian ke manapun sampai ia merasa puas.
Krieeet.
Satu kaki Aomine menghentak lantai ketika mendengar suara pintu ruangannya terbuka. Sudah memasuki jam makan siang, dan ia ingin beristirahat sejenak. Salahnya juga yang tak mengunci pintu ruangan sejak tadi. Aomine meremat lengan kursinya, menaha amarah yang sudah sedari tadi ia redam, lalu bersiap meneriaki siapa pun yang berani mengganggunya, "oi, biarkan aku istirahat dan jangan ganggu ak—"
"Oh? Apa aku menganggumu?"
Diam. Sepasang biru gelap Aomine mengerjap ketika sebuah suara yang begitu familiar melewati gendang telinganya. Ketika mendongak, Aomine bahkan tak bisa menahan rahang bawahnya untuk tidak terbuka. Akashi berdiri di sana, di ambang pintu, dengan senyum tipis dan tas kecil yang biasa ia gunakan untuk membawa bekal makan siang tertenteng di tangan kanan.
Aomine kembali mengerjap. Sekali. Dua kali. Sampai akhirnya ia bangkit berdiri dan menyipitkan mata untuk meyakini seseorang yang datang itu sungguhan Akashi. Akashi Seijuurou, sosok yang sejak tadi membuatnya uring-uringan menahan rindu.
"Sei?" Ia memanggil, dan Aomine merasa bodoh ketika Akashi malah terkekeh menimpali kebingungannya, "itu sungguhan kau?"
"Kalau bukan aku siapa lagi? Kawanmu yang berjaga di depan membiarkanku masuk, jadi aku menurut saja." Akashi mengedik, lalu melangkah masuk. Aomine bisa menangkap kernyitan yang muncul di raut wajah Akashi sepersekian detik ketika ia menutup pintu di belakangnya, "kau pasti belum makan siang, 'kan? Aku membawakan sesuatu untukmu, Kuroko yang membantuku tadi."
"Tetsu?" Aomine mengangkat kedua alisnya. Matanya awas menatap Akashi yang kini telah berdiri di seberang mejanya, tas yang tadi ia bawa diletakkan di atas tumpukan berkas, "Tetsu datang ke rumah?"
"Ya, aku yang memanggilnya." Akashi mengangguk. Ia mendongak, menatap Aomine yang jauh lebih tinggi darinya, lalu mengedip beberapa kali ketika menyadari bahwa Aomine tengah mengenakan setelan seragam polisinya.
Sial, Akashi mengutuk dalam hati. Ini berbahaya. Akashi lemah dengan Aomine yang tengah memakai seragam.
"Kau tahu, aku kesepian." Setelah menetralkan tenggorokannya yang terasa kering, Akashi melanjutkan kalimatnya, "jadi aku mengajak Kuroko berkunjung untuk menghabiskan waktu, sekaligus memasak bersama. Ia juga mengantarkanku kemari."
"Ah, maafkan aku." Mendengarnya, Aomine jadi tak enak hati. Satu tangannya terulur, menyentuh pipi Akashi dan mengusapnya dengan ibu jari. Tatapannya melembut. Ia tak bisa berbohong jika ia sangat merindukan Akashi, "kau tahu, Sei? Aku sangat merindukanmu."
Tangan Akashi ditarik. Ia tenggelam dalam dekapan Aomine yang memeluk erat pinggangnya. Akashi terkekeh. Ia balas melingkarkan tangannya di leher Aomine, tak menolak kecupan-kecupan ringan yang mulai pria itu berikan di setiap inci wajahnya, "aku juga merindukanmu. Rasanya sudah lama sekali kita tidak bertemu, ya? Padahal kupikir baru tiga hari kau—mm."
Akashi tak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika bibirnya dikecup Aomine. Satu tangannya terangkat, menahan dagu Akashi dan memperdalam ciuman mereka. Akashi tak menolak, ia memiringkan kepala dan membalas lumatan ringan yang Aomine berikan padanya.
"Sei." Aomine berbisik di sela ciuman mereka. Napasnya memburu. Dekapannya pada Akashi mengerat seolah tak ingin melepas lelaki manis itu barang sejengkalpun darinya, "aku merindukanmu."
Setelahnya, tubuh Akashi diangkat dalam gendongan. Bibir mereka kembali bertemu, kali ini lebih intens dan panas. Aomine melangkah mundur, kembali duduk di kursi dengan Akashi yang bergelayut di atas pangkuannya. Kedua tangannya meliar, menyusup ke balik kemeja yang Akashi kenakan dan meraba kulit halus milik kekasihnya yang terekspos. Sial. Aomine sangat rindu situasi ini. Ia bahkan tak mempedulikan Akashi yang mulai meronta untuk minta dibebaskan.
"Daiki, cukup." Akashi mengerang, berusaha menarik diri dari Aomine yang kini berpindah mengecupi kulit lehernya, "kau masih harus bekerja dan makan siang. Aku sudah memasakkan sesuatu untukmu, dan kau— aahh. Daiki, dengarkan aku!"
"Kau memasakkan apa untukku?" Aomine bertanya meski lidah dan bibirnya tak berhenti menggoda kulit leher Akashi dengan jilatan dan gigitan sensual. Kedua lengannya memeluk erat pinggang Akashi, mengunci pergerakan lelaki manis itu meski ia masih belum menyerah untuk melawan, "biar ku tebak. Sup tahu? Teriyaki burger?"
Akashi menggeleng. Bibir bawahnya digigit, berusaha keras menahan suara-suara yang mungkin bisa membuat libido Aomine memuncak, "mapo tofu. Kau suka makanan pedas, 'kan? Jadi aku membuatkannya—mmh."
Aomine terkekeh. Bibirnya masih terus memberi kecupan kupu-kupu di leher Akashi yang mulai kewalahan di atas pangkuannya. Berusaha menjauh dari Aomine meski ia tahu lelaki itu takkan membiarkannya.
"Aku suka makanan pedas," kata Aomine. Jemarinya mulai nakal melepas satu persatu kancing kemeja Akashi, "tapi aku lebih suka Seijuurou. Kau makan siangku hari ini, Sei. Baru setelah itu kita makan masakanmu bersama, ya?"
"Jangan, Daiki—a-aahh." Akashi mendesah panjang ketika telunjuk Aomine curi kesempatan memilin putingnya. Mata Akashi terpejam rapat, suaranya bergetar menahan desakan gairah yang mulai meledak-ledak dalam kepalanya. Akashi memang rindu sentuhan Aomine, namun bukan seperti ini yang ia inginkan. Tidak dengan tempat dan situasi seperti ini. "Daiki, kau masih harus bekerja. Kita—nnh, kita bisa selesaikan ini nanti."
"Tidak." Aomine menjilat bibir, tergiur dengan Akashi yang masih berusaha untuk terus melawan meski tahu takkan membuahkan hasil, "aku akan menyelesaikannya sekarang juga. Kau harus cukup diam dan menikmatinya, mengerti?"
Akashi menggeleng keras. Tak ingin semudah itu takluk dengan apa yang Aomine lakukan padanya. Ia meronta, mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk mendorong dada Aomine menjauh. Aomine mengerang, kesal bukan main ketika Akashi berhasil menghentikannya, "Sei, sudah ku bilang—"
"Cukup." Akashi berdecak setelah menutup mulut Aomine dengan telapak tangan. Ia menggerutu dalam hati, tak percaya Aomine mampu membuatnya hampir tak berdaya walau hanya dalam hitungan menit, "seharusnya aku yang mengatakan ini padamu. Cukup diam dan nikmati, mengerti?"
Aomine belum sempat bicara ketika Akashi beranjak dari pangkuannya. Merangkak turun dan berlutut di hadapan Aomine yang melebarkan mata, terkejut, namun juga merasa terhibur ketika menyadari apa yang akan Akashi lakukan dalam posisi seperti ini.
Aahh. Seijuurou-nya selalu pandai mengetahui apa pun yang bisa membuatnya merasa senang.
"Anak manis." Bisik Aomine dengan suara rendah. Satu tangannya terulur, meraih dagu Akashi dan mengusap bibir bawahnya dengan ibu jari. Akashi terkekeh, kedua tangannya aktif melepas sabuk celana Aomine sembari menjilat jari kekasihnya yang masih berada di sana, "kau sengaja melakukan ini, ya?"
"Tentu saja." Akashi mengangguk, kesenangan menurunkan risleting celana Aomine ketika sabuknya telah berhasil dilepas. Tubuhnya memanas, terlebih saat mengetahui milik Aomine telah menegang di dalam sana, "Daiki rindu aku, 'kan? Aku juga merindukanmu." Akashi merasa napasnya tercekat di tenggorokan. Tangannya bergetar, menyentuh pangkal tubuh Aomine dengan telunjuk dan mendongak ketika telapak besar lelaki itu mendarat di puncak kepalanya, "boleh?"
Tatapan Aomine melunak, tergiur melihat binar sepasang iris merah yang menatapnya penuh harap. Ia meneguk ludah, tak mampu menolak. Jadi ia mengangguk, menyelipkan surai halus Akashi ke belakang telinganya dan tersenyum tipis, "tentu, sayang. Lakukan saja."
Akashi tak mau menunggu lama. Ia menurunkan celana bahan Aomine beserta dalaman yang ia kenakan, berusaha untuk tak terburu-buru meski kesulitan menahan gairahnya. Akashi betul-betul merindukannya.
Ketika celana Aomine berhasil ia turunkan, Akashi menelan ludah. Iris-iris merahnya melebar menatap kejantanan Aomine yang menegak di hadapannya. Akashi rasa ia kesulitan bernapas. Tenggorokannya terasa kering, ingin segera merasakan Aomine di dalam mulutnya. Akashi mendongak, kembali menuntut kontak mata dan tersenyum ketika Aomine mengangguk.
"Lakukan, Seijuurou."
Akashi tak menolak ketika Aomine mendorong belakang kepalanya. Lidahnya terjulur, menjilat batang keras Aomine dari pangkal sampai dengan ujungnya. Lelaki tinggi itu mengernyit, kepalanya terbuang ke belakang. Oh, sial. Ia rindu sensasi di mana Akashi memanjakan miliknya seperti saat ini.
"Anak baik." Lagi, Aomine memuji. Menatap lekat paras Akashi yang kini memejamkan mata sembari melahap miliknya. Akashi membuka mulutnya lebih lebar, memasukkan separuh dari kejantanan Aomine di dalam sana, lalu memaju mundurkan kepalanya. Terlalu senang sampai nyaris melupakan di mana tempat mereka berada sekarang, atau bagaimana jika ada seseorang yang memergoki mereka di posisi yang tak senonoh seperti ini.
Demi Tuhan, Akashi tidak peduli. Ia hanya ingin Aomine menyelesaikan apa yang telah ia perbuat dengan menggodanya beberapa waktu lalu.
Aomine tak mampu menahan keterkejutan ketika secara tiba-tiba Akashi berdeham. Ia menurunkan kepala, memasukkan kejantanan Aomine lebih dalam hingga menyentuh ujung tenggorokannya. Manik biru Aomine melebar, lalu meloloskan satu erangan rendah dari mulutnya. Jemarinya tak henti meremat surai merah Akashi, menahan posisi kepala lelaki manis itu agar tak menjauh dari kejantanannya. Kalau begini terus, Aomine bisa mencapai ejakulasinya lebih cepat.
Bibir Akashi basah oleh liur dan precum Aomine. Ia menyusuri urat-urat batang keras itu dengan lidahnya, sesekali mendesah ketika merasa bagian bawahnya juga perlu diperhatikan. Akashi yakin celananya telah basah, namun ia tak ingin mengalihkan perhatiannya dari kejantanan Aomine yang tengah ia nikmati.
"Sei, cukup." Aomine mengernyit ketika merasa sebuah desakan muncul di bawah perutnya. Surai merah Akashi ia tarik, namun lelaki manis itu membalasnya dengan erangan tak suka. Ia tak mau berhenti sebelum Aomine keluar di dalam mulutnya, "Sei, dengarkan aku. Aku mau kau—"
"Aomine-sama! Maaf mengganggu waktunya!"
Aomine spontan melotot ketika pintu ruangannya terbuka. Akashi sama terkejutnya di bawah sana, terlebih ketika Aomine mendorongnya hingga masuk ke kolong meja dan memajukan kursi hingga tubuh bagian bawahnya dapat disembunyikan di sana. Napasnya memburu, Aomine nyaris marah besar ketika salah satu rekan kerjanya masuk seenak jidat dengan membawa berkas di tangan.
Sepertinya ia juga harus menyalahkan diri sendiri karena tak mengunci pintu sedari tadi.
"Ada apa, Kasumi?" Tanya Aomine dengan suara serak. Napasnya memburu, tak fokus menatap rekan kerjanya yang kini berdiri di seberang meja. Aomine melirik ke bawah, dan matanya bertemu dengan sepasang iris merah Akashi yang menatapnya kesal. Habislah ia jika setelah ini Akashi meluapkan amarah padanya.
"Kami menemukan bukti terbaru dari tempat kejadian." Kata orang itu—Kasumi—seraya menyodorkan sebuah map tebal kepada Aomine. Lelaki itu hanya mengangguk, kehilangan nafsu bicara dan lebih ingin menyelesaikan urusannya dengan Akashi saat ini, "omong-omong, apa Akashi-sama sudah pulang? Kami belum melihatnya keluar dari ruangan anda sejak tadi."
Sial. Sial. Manik Aomine kembali melebar, terkejut bukan main ketika Kasumi menanyakan hal itu padanya. Tak mungkin ia berkata jujur bahwa Akashi memang belum keluar dari sini, dan malah terjebak di antara selangkangan dan meja kerjanya. Aomine berdeham, berusaha mencari alasan yang terdengar logis untuk dijadikan jawaban.
"Sei memang belum pulang," Aomine mulai kesulitan bicara, "ia baru saja pergi ke kamar mandi—bajingan."
Aomine refleks menutup mulut ketika sesuatu yang basah menyapu kepala penisnya. Ketika menunduk, ia disambut dengan senyum nakal yang Akashi berikan ketika menjilat batang kerasnya naik dan turun. Aomine meremat lengan kursi sampai buku-buku jarinya memutih. Dalam hati mengumpat keras ketika Akashi malah membuka mulut dan kembali mengulum kejantanannya tanpa bersuara.
"Aomine-sama, ada apa?" Aomine tersentak, nyaris melupakan keberadaan Kasumi yang masih berdiri di hadapannya. Susah payah ia meneguk ludah, akal sehatnya hancur berantakan ketika hangat rongga mulut Akashi menyelimuti batang kerasnya, "anda berkeringat, apa anda baik-baik saja?"
"Ya, aku—ehm. Baik-baik saja." Aomine berdeham, berusaha menetralkan suaranya supaya tidak bergetar. Tangan Akashi jahil meremas zakarnya, sementara mulut kecil yang penuh dosa itu tak berhenti mengulum kejantanannya, "aku akan memeriksa laporan ini nanti, Kasumi, dan kau boleh pergi sekarang."
"Tapi—"
"Sekarang." Aomine mengulangi perkataannya dengan penuh penekanan. Matanya tajam menatap Kasumi yang tampak gelagapan, lalu membungkukkan tubuh sebelum pamit undur diri. Dan ketika pintu ruangannya kembali tertutup, Aomine merasa kekasih manisnya yang satu ini perlu diberi pelajaran.
"Kau ini sengaja, ya?" Aomine kembali menunduk. Satu tangannya terulur, mengusap surai belakang Akashi dan mencengkeramnya kuat. Akashi mengernyit, tak menduga Aomine akan melakukan itu padanya, lalu tersentak ketika lelaki itu mendorong kepalanya maju secara tiba-tiba. Akashi tersedak, kesulitan bernapas ketika hidungnya membentur pelvis Aomine dan ujung kejantanan lelaki itu menabrak tenggorokannya, "anak nakal. Kau memang minta dihukum rupanya?"
Aomine tak membiarkan Akashi bicara. Surai merah yang tengah ia cengkeram itu digerakkan dengan kasar, memaksa Akashi untuk menelan seluruh batang penisnya di dalam mulut. Akashi memejam rapat, dalam hati merasa senang karena Aomine mulai memberikan atensi penuh padanya. Urat-urat kasarnya menggesek rongga mulut Akashi, dan lelaki manis itu menggelengkan kepala ketika merasa penis Aomine membesar di dalam mulutnya.
Akashi memang ingin Aomine orgasme di dalam mulutnya, namun tidak dengan cara seperti ini. Tidak saat ia hampir tersedak kejantanan Aomine yang membuat mulutnya penuh sesak.
"Ini yang kau inginkan, bukan?" Aomine menyeringai, puas menatap iris merah Akashi yang berair saat bertemu dengannya. Pinggulnya menghentak maju, memperkosa mulut Akashi seiring dengan gerakan tangannya di belakang kepala lelaki manis itu, "kau ingin aku keluar di dalam mulutmu, hm? Terima ini, sayang—ah. Sial!"
Aomine sungguhan keluar setelahnya, tumpah begitu banyak di dalam mulut Akashi yang kewalahan menerimanya. Akashi mengernyit, namun juga tak menolak rasa hangat dari cairan Aomine yang membanjiri kerongkongannya. Akashi merindukannya. Merindukan sensasi di mana mulutnya penuh dengan semen Aomine hingga tak menyadari bahwa ia juga berejakulasi di bawah sana. Akashi datang tanpa disentuh, dan tubuhnya bergetar ketika surainya kembali ditarik Aomine guna mengeluarkan kejantanannya dari dalam sana.
"Lihat dirimu." Kata Aomine dengan nada memuja. Matanya menggelap, bergairah menatap Akashi yang berlutut dengan kondisi kelewat kacau di bawahnya. Satu tangannya memaksa rahang bawah Akashi agar terbuka, lalu meludah ke dalam mulutnya. Menyatu dengan semennya yang belum sempat ditelan, lalu tersenyum tipis dan mengusap bibir bawah Akashi dengan ibu jari, "telan semuanya untukku, Seijuurou."
Akashi melakukannya. Menelan cairan cum Aomine dan mengernyit ketika rasa panas merambati tubuhnya. Sial. Ia ingin disentuh. Ia ingin Aomine menyentuhnya, namun lelaki bersurai biru gelap itu malah berdiri dari tempatnya duduk. Akashi mendongak, menuntut penjelasan, dan pucuk kepalanya ditepuk sebelum ia sempat berbicara.
"Aku akan mengunci pintunya." Aomine kembali bicara, dan Akashi mengerang ketika suara rendah lelaki itu menggelitik telinganya, "bisa tunggu aku di sini dan jadi anak baik?"
Akashi mengangguk. Matanya mengikuti Aomine yang berlalu menuju pintu ruangan, dan Akashi tak mampu menahan rasa senangnya ketika mendengar suara klik dari depan sana. Saat yang ia tunggu-tunggu pun tiba. Akashi bahkan tak menyadari jika Aomine sudah kembali duduk di kursi dan menariknya ke atas pangkuan.
"Dan sekarang, apa hukuman yang pantas untuk diberikan pada anak nakal sepertimu?" Aomine bertanya, sementara kedua tangannya membuka satu persatu kancing kemeja Akashi. Ia berdecak kagum, menjatuhkan kemeja putih yang kusut itu ke lantai, tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk meraba kulit halus kekasihnya yang terekspos sempurna, "kau beruntung karena Kasumi tak menyadarimu, Sei. Kalau tidak, kau harus menanggung malu."
"Tidak masalah." Akashi mengerang, mendongakkan kepala ketika Aomine menggigit bahunya. Tubuhnya bergetar, tak sengaja menggesek pantatnya yang masih mengenakan celana dengan selangkangan Aomine. Akashi merasa ingin menangis ketika celananya diturunkan, tak sabar ingin segera disetubuhi oleh Aomine yang kini meremas pantatnya, "kau tahu, aku bisa mengajak Kasumi untuk bergabung—ah!"
Slap!
"Berani melakukannya, aku tak segan menyiksamu sampai menangis dan memohon padaku untuk berhenti, Seijuurou." Potong Aomine dengan nada tegas. Tamparan keras ia berikan pada pipi pantat Akashi sebagai peringatan, lalu mencari lubang kecil kekasihnya dengan jari tengah, "ah, kau tahu? Aku tidak sabar melihatmu menangis—"
Lalu diam. Aomine tertegun ketika jemarinya menyentuh sesuatu yang tak asing. Ia mendongak, menatap Akashi dengan mata menuntut penjelasan, "jelaskan padaku bagaimana kau mendapatkan ini, Seijuurou."
"Apa?" Seolah tak mengerti dengan arah pembicaraan Aomine, Akashi hanya mengangkat kedua alisnya. Pantatnya bergerak, menggesek jari tengah Aomine dengan butt plug yang terbenam di lubang pantatnya, "aku hanya pakai butt plug. Tak ada yang salah, 'kan?"
"Tidak." Aomine menggeleng, sorot matanya tajam. Menuntut penjelasan dari Akashi yang malah tersenyum main-main, "katakan padaku. Kau menyentuh dirimu sendiri sebelum datang kemari?"
Akashi menggeleng. Ia menyeringai tipis, memajukan tubuh, menggesekkan ujung hidungnya dengan Aomine yang kini mencengkeram kuat pinggulnya, "aku main dengan Tetsuya dan tak sempat membersihkan diri. Kau tahu, dia sangat handal melakukannya. Aku nyaris menangis karena tak menyangka bahwa ia bisa begitu kasar, jadi—ukh!"
Akashi terbatuk ketika secara tiba-tiba telapak tangan Aomine mencengkeram lehernya. Napasnya tercekat, terlebih saat Aomine mendorongnya berdiri hingga mundur menabrak meja. Ia mengernyit, kesakitan, namun tak bisa menolak ketika jalur pernapasannya diblokade oleh Aomine yang mengeratkan cekikan di lehernya.
"Kau bilang apa? Main dengan Tetsu?" Aomine berbisik. Suaranya gelap dan berbahaya, tak mempedulikan Akashi yang kini nyaris kehabisan napas, "mengapa kau terdengar bangga sekali mengatakannya padaku, Sei? Apa kau tak ingin dikasihani olehku?"
Akashi tak sempat menjawab ketika Aomine membalik tubuhnya dengan kasar. Cekikan itu terlepas, dan ia rakus mengais pasokan oksigen ke dalam paru-parunya. Tengkuk Akashi dicengkeram dan Aomine menjatuhkan tubuh bagian depannya di atas tumpukan berkas.
"Kau ingin dihukum, 'kan?" Akashi mengerang. Panas. Panas. Ia ingin Aomine segera menyetubuhinya, "jawab aku, Seijuurou. Apa aku benar?"
"Ya." Napas Akashi tercekat. Ia tersedak isakannya sendiri, tak mampu menahan rasa panas di tubuhnya lebih lama lagi, "ya, Daiki. Tolong. Sentuh aku—nnh."
"Sayang sekali kita tak memiliki pelumas di sini." Aomine menjilat bibir. Menyenangkan sekali menyaksikan Akashi yang kini tak berdaya memohon untuk segera disetubuhi, "tapi semen dari Tetsu rasanya lebih dari cukup untuk membantuku, 'kan?"
Akashi mengangguk. Susah payah menoleh ke belakang untuk mengetahui apa yang akan Aomine lakukan padanya setelah ini. Laci meja ditarik, dan mata Akashi melebar saat melihat apa yang Aomine ambil dari dalam sana. Oh, sial. Sial. Akashi suka ini.
"Kau tidak diperbolehkan bergerak sesukamu." Aomine tersenyum, memamerkan borgol yang tengah ia pegang di tangan kanan. Satu tangannya yang tengah menahan tengkuk Akashi bergerak mundur. Ia menyatukan kedua tangan Akashi dan memborgolnya di belakang punggung. Akashi tersengal, erangan terlepas ketika orgasme kering melanda tubuhnya, "tak sabar untuk kusetubuhi, Seijuurou?"
Akashi mengangguk, tak mempedulikan tumpukan berkas yang tengah ia timpa dengan tubuhnya. Lelaki manis itu hampir menangis ketika Aomine menarik lepas benda metal yang tertanam di lubang pantatnya. Cairan bening yang diyakininya sebagai pelumas meluber dari dalam sana, turun mengaliri paha Akashi yang telanjang sejak celananya diturunkan Aomine sebatas lutut. Tanpa sadar, Aomine menjilat bibir. Seijuurou-nya terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja.
"Kau sudah siap rupanya." Senyum Aomine melebar hingga membentuk sebuah seringai. Akashi melirik ke belakang, dan mata mereka bertemu, "kau mau aku masuk sekarang, Sei?"
"A-aahh." Akashi tersentak ketika ibu jari Aomine menekan lubangnya. Butt plug kecil itu jatuh menggelinding di atas meja. Akashi menggigit bibir, lalu mengangguk susah payah. Pinggulnya terangkat ke belakang, menekan penis Aomine yang kembali menegak dengan pantatnya, "Daiki. Aku mau kau. Tolong—nnh."
"Kau tak sepatutnya mendapatkan hal ini mengingat perbuatanmu sebelumnya, Seijuurou." Tegur Aomine dengan suara lembut. Menatap dengan seksama bagaimana belahan pantat Akashi menggesek batang kerasnya naik turun, lalu berdecak kesenangan. Satu tangannya terulur, meremas dan melebarkan pipi pantat Akashi karena yakin kekasihnya yang manis ini telah mempersiapkan diri sebelumnya, "tapi karena aku sedang berbaik hati, kau akan mendapatkannya."
"Ah." Akashi mengerjap, iris-iris merahnya melebar ketika kejantanan Aomine mulai memasuki lubangnya. Mulutnya terbuka, meloloskan satu erangan panjang yang menggairahkan, "Daiki, kumohon—"
"Kau ini tidak sabaran sekali, ya?" Aomine mengangkat alis, lalu terkekeh. Menampar kembali pipi pantat Akashi yang memerah, sementara matanya lekat mengawasi bagaimana penisnya perlahan ditelan lubang Akashi yang tak berhenti meremasnya. Sial. Sempit sekali. Kalau dipikir lagi, sudah lama sekali mereka tidak melakukannya, "pelankan suaramu, Seijuurou. Kau tidak ingin orang lain memergoki kita meski aku sudah mengunci pintu, 'kan?"
Akashi mengangguk, bibirnya digigit kuat-kuat. Tangan yang diborgol di belakang tubuhnya mulai terasa pegal, namun ia tahu perjalanannya dengan Aomine saat ini masih sangat panjang.
"Anak baik." Aomine memuji. Sungguh, ia tak mampu lagi menahan diri. Akashi terlalu seksi dan Aomine ingin nafsunya segera tersalurkan, "persiapkan dirimu, Seijuurou."
"Apa—Daiki!" Akashi berteriak ketika Aomine masuk dengan sekali hentakan. Seolah tak ingin berlama-lama karena pinggulnya langsung digerakkan dengan cepat, menumbuk titik manis Akashi hingga membuat lelaki itu melebarkan mata dan mendesah lebih keras, "Daiki–pelan! Ngh! Pelan-pelan!"
"Tidak. Ini hukuman untukmu." Aomine terkekeh. Kedua tangannya terbuka, memerangkap Akashi di sisi kanan dan kiri tubuhnya. Tak peduli dengan tumpukan berkas yang kini teracak tak beraturan, kusut ditimpa tubuh Akashi yang terhentak tiap kali ia bergerak. Aomine menunduk, menjilat cuping telinga Akashi yang memerah dan berbisik dengan suara rendah di sana, "kau menyukainya 'kan, Seijuurou?"
Volume desahan Akashi yang meningkat seolah menjadi jawaban atas pertanyaan itu. Ia mengangguk, mengiyakan perkataan Aomine sementara pinggulnya didorong lebih tinggi untuk menerima tusukan demi tusukan yang lelaki itu berikan padanya. Pandangan Akashi mengabur, matanya berkunang. Ia hampir memejam ketika dagunya ditarik dan Aomine mempertemukan bibir mereka dalam ciuman panas. Akashi sudah tak mampu lagi berkata-kata dan hanya ingin Aomine terus menghentaknya dengan kasar.
"Aomine-sama! Maaf mengganggumu lagi!"
Dan kegiatan mereka dirusak oleh suara ketukan pintu dan panggilan seseorang dari luar ruangan. Dua pasang mata berbeda warna itu membulat, refleks memisahkan tautan bibir mereka dan saling tatap dalam diam. Akashi mengerang, borgol di tangannya membuat ia kesulitan beranjak, namun Aomine kembali menghentak penisnya masuk hingga membuat lelaki manis itu tersungkur di atas meja.
"Daik—mmph!" Suara Akashi diredam oleh telapak tangan Aomine yang membekap mulutnya. Hentakan demi hentakan dalam Aomine berikan secara runtut, dan lelaki bersurai biru gelap itu menikmati bagaimana iris-iris merah Akashi bergulir ke belakang menerima kenikmatan yang ia berikan.
"Tetap tenang dan diamlah." Bisik Aomine sembari menjilat cuping telinga Akashi yang memerah, "Kasumi akan memberikan berkas yang baru, dan kau harus menahan suaramu supaya ia tidak mengetahuinya, mengerti?"
Akashi mengangguk, berusaha menulikan pendengarannya dari suara-suara basah dari pertemuan dua alat kelamin mereka. Napasnya sesak, dan telapak besar Aomine yang menutup mulutnya sama sekali tidak membantu. Lelaki yang lebih tinggi berdeham ketika suara Kasumi kembali terdengar dari balik pintu.
"Aomine-sama, apakah anda di dalam? Pintunya terkunci."
"Ya, Kasumi. Aahh, aku di dalam." Aomine tak sengaja mengerang ketika Akashi sengaja mengetatkan lubangnya. Pening menyergap kepala. Terlalu nikmat saat penisnya diremas otot rektum Akashi yang berkontraksi hingga Aomine menghentakkan pinggulnya lebih keras lagi, "ada perlu apa?"
"Tim densus yang bekerja di lapangan menyerahkan berkas baru pada saya, dan anda harus memeriksanya jika ingin kasus ini segera selesai. Kita juga bisa langsung datang tempat kejadian jika anda berkenan keesokan harinya."
"Ya, aku akan memeriksanya nanti." Aomine menunduk, membenamkan hidungnya di antara helai-helai merah Akashi dan menghirup dalam aroma khas sang kekasih yang menguar dari sana, "sekarang kau bisa pergi, berikan berkasnya padaku nanti. Aku masih ada urusan."
"Dengan Akashi-sama?" Aomine mengernyit tak suka ketika lagi-lagi Kasumi membawa nama Akashi dalam pertanyaannya, "seorang teman dari divisi depan menanyakan Akashi-sama padaku. Tidak ada yang melihatnya keluar dari ruangan anda sejak tadi."
Aomine menarik dirinya menjauh dari surai Akashi. Ia menunduk, menatap lekat Akashi yang balas meliriknya dengan sepasang mata berair. Kepala merah itu menggeleng, melarang Aomine untuk memberitahu apa yang tengah mereka lakukan saat ini. Jangan sampai. Akashi tidak mau.
Namun Aomine memiliki rencana lain. Ia terkekeh, melepas bekapan tangannya dari mulut Akashi dan menghentak pinggulnya dengan keras secara tiba-tiba, "ya. Aku sedang bersama Seijuurou."
"Hya—"
Manik merah Akasi melebar. Kelepasan memekik ketika kejantanan Aomine kembali menghajar lubangnya tanpa ampun. Ia tersengal, menggigit bibir guna menahan desahan, namun Aomine menggagalkan niatnya dengan menekan bibir bawahnya dengan ibu jari hingga terbuka, "Daiki brengsek—ah! Lepaskan aku—nnh!"
"Tidak, Seijuurou. Diamlah dan jadi anak manis untukku." Tubuh Akashi bergetar, tak kuasa menahan diri dan ia kembali ejakulasi untuk yang kedua kalinya. Seringai Aomine melebar, menyadari kekasihnya telah mencapai puncak dan menampar keras pipi pantatnya, "Kasumi, kau dengar aku? Bawa berkasnya padaku sore nanti sebelum pulang, dan aku akan mengecek keseluruhannya di rumah. Kau mengerti?"
"Y—ya, Aomine-sama."
"Bagus. Kau boleh pergi."
Sepeninggal Kasumi, Aomine masih terus mengejar puncaknya. Menghentak Akashi yang kini sungguhan menangis sembari melontarkan makian, meski makiannya itu teredam oleh suara desahan yang mengeras tiap kali Aomine memasukinya.
"Anak nakal. Orgasme di saat Kasumi mengetahui keberadaanmu, huh?" Aomine berdecak. Ia mengerang ketika dinding rektum Akashi meremasnya lebih kuat, lalu kembali menghentakkan penisnya ketika tahu puncaknya akan tiba sebentar lagi, "persiapkan dirimu, Seijuurou. Aku akan memenuhimu sampai kau mual—ah, fuck!"
Akashi mendesah keras dengan kepala mendongak ketika Aomine memasukinya lebih dalam. Pandangannya menggelap, pinggulnya terangkat naik menerima semburan hangat yang Aomine berikan padanya. Lelaki manis itu tersengal, bersahutan dengan Aomine yang bersusah payah mengatur deru napasnya. Ia masih keluar, dan Akashi merasa begitu penuh hingga mengeluarkan suara seperti rengekan.
"Hei, sudah. Sudah selesai." Aomine terkekeh. Pucuk kepala Akashi ditepuk dari belakang, dan ia menarik kejantanannya keluar. Aomine meneguk ludah, merasa libidonya kembali memuncak ketika semennya meluber dari lubang Akashi yang masih berkedut, "kau ini benar-benar sialan ya, Seijuurou."
Akashi tak menjawab, terlalu lelah bahkan untuk membalas umpatan yang Aomine berikan padanya. Borgol di tangannya dilepas, namun Akashi masih belum diperbolehkan bangkit ketika Aomine kembali menekan tengkuknya dengan sebelah tangan.
"Apa lagi—aahh." Akashi mengerang. Aomine kembali melesakkan butt plug yang semula diabaikan ke dalam lubangnya, menahan cairan kental itu supaya tak lebih banyak yang tumpah dari sana. Akashi masih tersengal bahkan ketika Aomine menarik lembut pinggulnya dan mendudukkannya di atas pangkuan.
"Aku jadi batal makan siang, ya?" Aomine terkekeh, mendekap erat pinggang Akashi yang duduk membelakanginya. Manik merah Akashi berotasi, tak berselera menjawab, namun tubuhnya bergerak mencari kenyamanan dengan bersandar di dada bidang kekasihnya, "bagaimana jika aku makan mapo tofu-nya di rumah saja?"
"Terserah." Balas Akashi dengan nada datar, tak berniat menolak usapan yang Aomine berikan di atas perutnya, "omong-omong, Daiki. Aku sungguhan tidak main dengan Kuroko sebelum datang kemari, tapi ia juga yang memberikan ide padaku untuk melakukannya."
"Kau serius?" Aomine terkekeh, mengecup pipi kanan Akashi dan sedikit menariknya dengan gigi, "Tetsu yang polos itu menyarankan hal bejat seperti ini padamu? Tidak bisa dipercaya. Tapi yah, aku tahu Tetsu tak akan mau bermain denganmu apapun alasannya. Atau mungkin ia sudah tahu kalau aku tak segan menjebloskannya ke penjara jika berani macam-macam."
"Jangan bertingkah semena-mena dengan jabatanmu, pak polisi. Terlebih dengan sahabatmu sendiri." Tegur Akashi, satu tangannya terangkat mengusap dagu Aomine yang kini bersandar di atas bahunya, "kau sungguhan akan pulang ke rumah?"
"Ya. Aku akan menemanimu tidur malam ini." Aomine tersenyum tipis, mengusakkan hidungnya pada pipi Akashi sebelum menjilat bibir dan menatap lelaki manis itu dengan pandangan yang sulit diartikan, "tapi sebelum itu, kau harus jujur padaku."
Akashi menoleh dengan kening berkerut, "tentang apa?"
"Kau main sendiri?" Akashi nyaris tersedak ludahnya sendiri ketika Aomine bertanya, "berapa jari?"
"Apa maksudmu menanyakan hal it—"
"Jawab pertanyaanku, atau aku tak akan membiarkanmu tidur malam ini."
Akashi menghela napas, mengetahui hal ini cepat atau lambat akan terjadi padanya, jadi ia hanya memalingkan muka dan menjawabnya dengan suara pelan, "tiga. Tapi kau tahu aku merindukanmu, 'kan? Aku terpaksa melakukannya—"
"Aku tahu." Lagi, Aomine memotong kalimat itu. Dagu Akashi ditarik, dan ia menghadiahkan sebuah kecupan mesra di bibir si Merah yang tersentak kaget, "aku tahu, Seijuurou. Aku juga merindukanmu. Sangat."
Akashi bisa merasa pipinya merona. Malu-malu, ia membalas lumatan ringan yang Aomine berikan padanya. Kekeh ringan bersahut. Akashi harus mengucapkan banyak terima kasih pada Kuroko yang telah membantunya menyelesaikan masalah.
"Jangan lupa berterima kasih pada Tetsu, aku juga sangat berhutang budi padanya." Kata Aomine setelah tautan mereka terlepas, "dan sepertinya kita harus minta maaf pada Kasumi. Semoga ia tidak trauma saat harus menemuiku sore nanti."
Akashi terkekeh, "tentu saja."
— f i n.
anggep aja buat hadiah AoAka day (5/4) yang telat dua hari, terima kasih sudah membaca~!
