A Twisted Wonderland songfic

By Lampu Merah (rotlicht)

.

.

.

Title: Merindu Lagi

Song by: Yovie & Nuno

.

Pair: LeoRook, LeoVil

.

.

.

Bel pintu kembali berbunyi; pelanggan lainnya di hari ini. Karena kebetulan tak ada pelayan yang berdiri di dekat pintu, kasir dengan tanda pengenal bertuliskan Hunt yang memberi senyuman pada pelanggan yang baru masuk itu. Awalnya ia tidak begitu memperhatikan pelanggan tersebut karena setengah fokusnya terbagi ke teman kasirnya yang lain. Namun ketika ia melihat siapa yang masuk, seketika jantungnya bergerak gusar.

Rambutnya coklat panjang yang diikat asal, tapi malah memberi kesan menawan. Hari itu memadukan celana jin panjang yang dikenakannya dengan kaos lengan pendek, memamerkan kulit tannya yang seksi. Wajahnya memang tidak terlalu kelihatan karena ia memakai kacamata hitam. Namun kasir itu tahu kalau pelanggannya yang mempesona itu sangatlah tampan. Lihat saja senyumnya, hampir membuat Hunt kehilangan keseimbangan pada kakinya sendiri.

.

.

Sejak saat pertama melihat senyumannya ...

.

.

"Hei." Sebuah senggolan pelan yang mengenai perut, menjadi penyelamat sang kasir untuk kembali ke realita. Masih setengah melirik pelanggannya yang tampan, Hunt mencoba untuk memberi fokus lainnya pada orang yang sudah menyenggolnya tadi. "Jangan hilang fokus. Kita masih ada pekerjaan, Rook," tegur sang teman.

Kasir yang ternyata bernama lengkap Rook Hunt itu menggaruk belakang lehernya canggung. "... Maaf, Trey-kun, tapi apa kau lihat orang tadi? Bukankah dia tampan?"

Temannya yang bernama Trey itu ikut melihat sosok yang sudah duduk di kursi dekat jendela. Ia tampak memesan sesuatu saat seorang pelayan menghampirinya. "Mm, ya, dia tampan. Kenapa? Dia tipemu?"

"Uuuh ...!" Rook menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya bergerak ke kanan dan kiri, kelihatan lebay di mata Trey. "M-masa, sih ...? Cinta pada pandangan pertama?"

Nyaris Trey tertawa. Namun ia hanya menghela nafas sambil menggeleng heran. "Mana ada jatuh cinta saat baru pertama kali bertemu? Itu mitos, Rook. Kau hanya kagum karena dia tampan. Itu saja."

"Tidak, tidak! Rasanya beda!" serunya dengan nada yang dibuat agak rendah. Mukanya sudah merah tak karuan dan Trey hampir tidak mengenali kalau orang yang ada di hadapannya ini adalah temannya sendiri. "Jantungku ... jantungku sama sekali tidak bisa tenang, Trey-kun. Apalagi ... apalagi mataku seperti tidak mau lepas darinya. Kalau hanya kagum, mana mungkin aku bisa seperti ini?"

.

.

Jantung berdebar-debar ...

.

.

Sontak, Trey memutar bola matanya. "Tahu tidak? Belum tentu dia masih jomblo."

"Kenapa bilang itu?! Seakan kau mendoakan yang jelek-jelek!"

"Kan, aku cuma berkata apa adanya?" bela Trey. Senyumnya sudah sangat menyebalkan untuk dilihat. "Kau pikir kita kerja di mana? Ini kafe, Rook. Kalau orang macam dia datang ke tempat seperti ini, apa lagi kalau bukan menunggu pacar?"

Rook menggembungkan pipinya tidak senang. "... Setidaknya kasih semangat, gitu? Masa baru jatuh cinta langsung dihancurkan harapannya. Kau temanku atau bukan, Trey-kun?"

"Justru karena aku temanmu, makanya aku mengingatkan." Sambil melayani seorang pelanggan yang ingin membayar, Trey kembali berkata, "Tidak apa kalau kau ingin menyukainya, tapi ingat untuk jangan terlalu dalam. Kita belum tahu dia siapa dan apa yang ada di dalam kehidupannya. Jangan lengah. Biasanya justru kau yang paling hati-hati, kan? Kenapa sekarang sepertinya malah aku yang lebih hati-hati?"

Dengan bibir yang sedikit maju, Rook membalas, "Ya ... cinta itu buta."

"Mana bisa itu dijadikan alasan, hah?" Trey yang sudah selesai merapikan sisa pembayaran tadi, kembali melihat sosok menawan yang masih tidak mau melepas kacamata hitamnya. Beberapa kali Trey menangkap telinga dan ekor predator yang dimilikinya bergerak, membuatnya secara insting merendahkan suara saat berujar lagi, "Coba kita lihat. Pasti sebentar lagi pacarnya akan datang. Bertaruh denganku."

"Heh. Bertaruh?" Rook ikut melihat sosok itu dengan mata penuh cinta. "Kalau aku, sih, yakin dia ke mari hanya karena ingin bersantai sambil minum kopi."

Trey mendengus. "Hanya kepercayaan dirimu yang bisa kuakui."

"Karena aku memang harus percaya diri untuk sekarang." Kali ini giliran Rook yang memberikan senyum menyebalkan, membuat Trey hanya bisa mengalah.

"Terserah. Selama kau tidak datang padaku dengan tangisan, aku akan pura-pura tidak tahu kejadian hari ini," peringatan terakhir Trey lontarkan sebelum ia pergi ke belakang, izin ke toilet.

Rook yang sempat teralihkan dengan ke mana Trey pergi, kini kembali memperhatikan sosok itu. Sebenarnya, tanpa diperingati pun Rook akan tetap hati-hati. Selama perdebatannya dengan Trey tadi, Rook hanya pura-pura menjadi bebal yang dibutakan cinta. Ia tahu kalau laki-laki penuh pesona dan tampan seperti dia, kemungkinan masih jomblonya itu jelas sangat kecil. Namun, paling tidak, untuk sekarang, Rook ingin membuang pemikiran "bisa saja dia sudah punya pacar" jauh-jauh supaya nantinya ia bisa mendekati laki-laki itu.

"... Semoga besok dia datang lagi," gumamnya dengan mata yang masih terus memantau sang lelaki yang tengah menyesap kopi pesanannya.

.

.

Inikah pertanda ...

.

.

Satu minggu terlewati dan masih belum ada tanda yang menunjukkan kalau orang yang disukai Rook sudah memiliki kekasih. Senyumnya sudah sangat sumringah sejak ia datang ke kafe, mengingat bagaimana taruhannya dengan Trey sudah bisa dianggap gugur—bahkan dari tujuh hari yang lalu. Matanya melirik Trey yang—pura-pura—mengurus mesin kasir dengan muka masam.

"Bagaimana?" Rook menyenggol pelan lengan Trey dengan jahil. "Dia selalu datang ke mari, sudah satu minggu ini, dan masih sendirian. Yakin dia sudah punya pacar?"

Awalnya Trey tampak menolak menjawab, tapi kemudian ia berkata dengan lemah, "Pasti ada. Aku masih yakin."

Rook tertawa pelan. Entah bagaimana ia merasa sudah sangat menang sekarang—baik dari Trey maupun dari pikiran-pikiran jeleknya. "Kalau hari ini dia datang lagi, aku mau coba ajak bicara. Barangkali bisa sampai dapat kontaknya."

"Rook," Jarang sekali Trey akan memperlihatkan kekhawatirannya, dan saat inilah ia akhirnya menunjukkannya, khusus hanya pada sang kawan karib, "kau serius? Kau sungguhan menyukainya dan ingin mengejarnya?"

"Ya." Rook mengangguk dengan polos. "Aku mau coba dulu. Urusan berhasil atau tidak, lancar atau tidak, itu bisa belakangan."

"Iya ..., sih." Trey menghela nafasnya berat. Kelihatan sekali dirinya sudah lelah dengan tingkah Rook yang cukup gila ini. "Mm, begini ... percaya atau tidak, setelah aku perhatikan lagi muka orang itu, aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat."

Satu alis Rook menukik naik. "... Pernah lihat?" Trey hanya mengangguk. "Apa ... dia model majalah? Yah, dengan wajah dan tubuh seperti itu, tidak mengherankan kalau pekerjaannya adalah model."

"Bukan, bukan itu." Trey menggigit bibirnya sebentar, sebelum meneruskan, "Yang soal majalah tadi ... ya, itu tidak salah. Sepertinya aku memang pernah melihatnya di majalah, tapi bukan sebagai model. Melainkan—"

Triing!

Lonceng pintu berikutnya yang berbunyi. Seolah sudah seperti magnet, Rook langsung menolehkan kepalanya dan melihat siapa yang masuk. Rupanya itu dia, orang yang sudah ditunggu-tunggu kehadirannya oleh Rook. Ia tampak menawan lagi hari ini, eh. Sesuai yang diharapkan.

Hanya saja, sayang beribu sayang, ketika Rook sudah hampir tersenyum, apa yang ditangkap matanya kemudian membuatnya seketika melunturkan senyumnya sendiri.

.

.

Namun ternyata salah ...

.

.

Detik berikutnya, bisa ia rasakan dada bagian kirinya yang seperti diremat dengan teramat kuat. Nafasnya seakan dicegat di tenggorokan, tak diizinkan keluar maupun masuk. Lalu, sebuah tangan terasa mengelus punggungnya dengan gerakan pelan yang menenangkan. Namun, di tengah kekacauan yang mendera, mana bisa Rook tenang?

"Yang model itu bukan dia, tapi pacarnya."

.

.

Harapanku pun musnah ...

.

.

Saat sosok itu berjalan masuk, ada lagi sosok lain yang sangat cantik dan tak kalah menawan digandeng di belakangnya. Banyak tatapan kagum yang dilemparkan pada sepasang makhluk indah itu dari seluruh penjuru kafe. Tampaknya mereka sama-sama tak percaya kalau kafe biasa seperti yang mereka datangi ini juga didatangi oleh orang-orang berkelas seperti mereka.

Di tengah kekaguman orang sekitar, Rook Hunt, yang sebentar lagi akan lupa caranya berdiri, menatap sejoli itu nanar. Hatinya berteriak, tapi mulutnya tak berkutik. Matanya panas, ada yang ingin mengalir deras. Namun Rook tidak bisa berbuat apa-apa selain terus melihat dalam diam.

.

.

Sejak aku melihat kau selalu dengannya ...

.

.

Tak lagi bisa Rook hitung, sudah berapa hari ia lalui dengan menonton drama yang disiarkan secara gratis sembari bekerja di balik meja kasir. Kemesraan sepasang kekasih yang kelihatannya masih dalam masa kasmaran itu amat menyiksa batin, tapi matanya tak sanggup berpaling. Bagaimanapun, senyum dari orang berambut coklat itu masihlah mencuri perhatiannya.

.

.

Tuhan tolong aku ingin dirinya ...

Rindu padanya ...

Memikirkannya ...

.

.

"Aku curiga kalau kau ini sebenarnya masokis," canda Trey yang baru kembali dari belakang. Ia mengikuti Rook yang sedang melakukan rutinitasnya—menonton drama. "Pacar dari aktor dan model ternama, Vil Schoenheit. Pantas saja kualitasnya tidak setengah-setengah."

"Hmm ..." Rook sendiri sudah mencari informasi tentang lelaki itu sesaat setelah ia tahu siapa pacarnya. Namanya Leona Kingscholar dan konon katanya ia keturunan bangsawan. Yah, bukan bangsawan pun, dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya, tak perlu lagi dipertanyakan kenapa bisa Vil memilih Leona sebagai pasangan.

"Mereka tampak sempurna, ya," Rook berucap rendah yang mana itu langsung menarik perhatian Trey. "Yang pantas disandingkan dengan orang seperti Leona-kun, tentu saja Vil Schoenheit itu. Begitu juga sebaliknya. Mereka sangat pas untuk bersama."

Mencoba mengabaikan udara di sekitar yang seolah memberat, Trey menanggapi, "Mm, ya ... kau benar."

Tepat ketika matanya menangkap burung cinta itu menautkan jari di atas meja, embusan nafas panjang keluar dari celah bibir Rook. Setelahnya, lantunan senandung sayup-sayup terdengar. Sisi lain dari Trey mengatakan kalau itu menyeramkan, tapi Trey sendiri justru menikmati senandung itu. Ia bahkan sempat memuji dalam hati kalau suara Rook—sekalipun hanya senandung—enak didengar.

.

.

Namun mengapa saat jatuh cinta ...

Sayang, sayang dia ada yang punya ...

.

.

Tampaknya Vil Schoenheit masih memiliki banyak urusan terkait pekerjaan di kota itu, hingga dirinya masih sering muncul di kafe tempat Rook bekerja. Entah apa yang membuat orang terpandang seperti dia memilih untuk nongkrong di tempat yang sangat jauh jika dibanding dengan kelasnya. Atau jangan-jangan, dia diam-diam tahu kalau Rook menaruh mata pada kekasihnya, sehingga dia sengaja ingin "memantau" anak muda yang pekerjaannya hanya sebagai penjaga mesin kasir itu?

Haha. Oke. Itu konyol.

Lambaian tangan penuh kebahagiaan Vil berikan ketika melihat Leona masuk ke kafe. Rook kembali, seperti biasa, hanya jadi penonton yang tidak banyak mengeluh. Untuk saat ini, bisa memandang Leona dari balik mesin kasirnya, dirasa sudah lebih dari cukup.

Yah, walau itu jelas-jelas dusta.

"Rook-san." Manik hijaunya bergerak, beralih pada sosok manis yang datang menghampiri. Ternyata juniornya. "Anu ... apa Trey-san kemarin sempat titip sesuatu? Karena ternyata laporan pengeluaran kemarin, terbawa sama dia."

"Laporan?" Juniornya hanya mengangguk, sontak membuat Rook mengecek tasnya sendiri. Namun sayang, tak ada buku yang serupa buku laporan keuangan. Yang ada hanya barang-barang pribadinya, termasuk sebuah kamera kesayangan. "Maaf, Epel-kun. Trey-kun tidak titip apa-apa dan di tasku juga tidak ada buku laporannya."

"Begitu ..." Tampak kekecewaan menghiasi wajah manis itu yang mana membuat Rook merasa agak bersalah. Ia pun mulai berpikir apakah harus pulang dulu untuk mencarinya, atau tetap diam menjalankan pekerjaan. "Baiklah, tidak apa. Nanti aku coba bilang pada Riddle-san soal ini. Omong-omong," Bocah manis yang tadi dipanggil Epel itu berjalan cepat, masuk ke area kasir, dan berdiri tepat di sebelah Rook, "bagaimana keadaanmu, Rook-san? Masih ... masih suka sama Leona-san?"

Sudah Rook duga anak ini akan menanyakan soal itu. Yah, bukan berarti Rook tidak senang, toh karyawan lainnya di sini juga sudah tahu. Terima kasih pada Trey yang dengan santainya membocorkan setiap inti cerita yang ada.

Berusaha tenang, Rook mendengus sambil tersenyum kecil. "Ya ... bisa dibilang begitu, tapi sepertinya aku akan menyerah."

.

.

Mungkin ku harus pergi ...

.

.

"..." Epel terdiam. Kepalanya masih mencoba mencerna apa yang barusan didengarnya, hingga setelah ia paham, barulah ekspresi syok terpampang. "Y-yang benar?!" ia berseru, nyaris teriak.

Rook mengangguk, senyumnya masih setia menghiasi bibir. "... Semalaman aku berpikir untuk pergi. Maksudku, aku berpikiran untuk ambil cuti, setidaknya sampai Vil Schoenheit kembali ke tanah kelahirannya. Melihat mereka selalu bersama, lama-lama membuatku sakit."

Tentu saja sakit.

Masih terus tersenyum, putra Hunt yang sempat menunda pembicaraannya, melanjutkan lagi, "Mumpung belum terlanjur dalam—walau sepertinya sudah, aku mau coba melupakan perasaanku pada Leona-kun."

.

.

Untuk melupakannya ...

.

.

"Tapi ..."

.

.

Dalam hati berkata ...

.

.

Senyum yang sejak pertama selalu jadi favoritnya, kembali mengembang. Meski pelan, suara tawa khasnya yang begitu menggoda sampai ke telinga Rook yang cukup tajam. Keindahan tanpa batas yang dimiliki orang bermarga Kingscholar itu, seketika menggoyahkan segala macam niat yang sudah dibangunnya sedemikian rupa.

"... sepertinya aku tidak sanggup."

Rook gagal untuk melupakannya bahkan saat sebelum memulai.

.

.

Tak kan sanggup pergi ...

.

.

Hari demi hari terus Rook lalui dengan mengamati setiap gerak-gerik dua sejoli tersebut. Tanpa peduli berapa kali Trey harus mengingatkannya dengan senggolan kala mata Leona maupun Vil bertemu dengan mereka, Rook akan tetap memperhatikan keduanya. Tidak, bukan keduanya. Matanya hanya fokus pada satu titik, dan akan selalu seperti itu.

Dirinya sudah gagal untuk melupakan Leona, dan Rook memilih untuk menyerah pada itu. Ia menyerah pada dirinya yang tidak bisa melupakan laki-laki penuh kesempurnaan macam Leona Kingscholar. Dan setelah memutuskan untuk menyerah itu pula, Rook memutuskan untuk terus dan terus melihat setiap pemandangan yang tersaji.

.

.

Tuhan tolong aku ingin dirinya ...

Rindu padanya ...

Memikirkannya ...

.

.

Tak kan satu detik pun ia biarkan lewat. Sebisa mungkin, sesempat mungkin, ia harus bisa merekam semua kenangan ini. Rook akan mengingat semuanya, agar saat mereka akhirnya dipisahkan, setidaknya jangan sampai ada penyesalan yang tertinggal.

.

.

Namun mengapa saat jatuh cinta ...

Sayang, sayang dia ada yang punya ...

.

.

"Tujuanmu memperhatikan mereka sudah seperti intel itu apa, sih?" Trey akhirnya buka suara karena merasa risi. Aneh, harusnya Leona atau Vil, atau keduanya, ini malah Trey yang risi akan kegiatan Rook setiap harinya. "Kalau nanti mereka merasa terganggu dan memanggil polisi, bagaimana? Kau mau bilang apa pada Riddle ...-san kalau sampai itu terjadi nanti?"

Bukannya setuju dengan pernyataan itu, Rook justru tertawa santai. "Tenang saja, mereka bahkan masih selalu ke mari yang tandanya mereka tidak masalah (atau sudah biasa) diperhatikan," katanya sembari mengibas-ngibaskan tangan. "Aku melakukan ini demi mereka, dan demi diriku sendiri juga."

"Hah?" Dahi Trey berkerut, tidak menangkap perkataan Rook. "Maksudnya?"

Rook mendengus pelan. "Maksudku ..."

.

.

Telah kucoba menghapus bayang-bayang indah ...

.

.

"... aku sedang berusaha mengikhlaskan."

Melihat Trey masih dengan kerutan di dahi, membuat Rook menghela nafasnya. Dengan senyuman, ia mencoba menjelaskan lagi, "Sekarang, selama aku masih bisa melihatnya, aku akan melihatnya sampai puas. Aku akan menumpahkan semua perasaanku pada Leona-kun di sini, di waktu ini, di kesempatan ini. Sehingga, kalau saatnya ia harus pergi nanti, aku sudah bisa ikhlas."

Ya, itu tujuannya memang. Rook sudah bertekad mengumpulkan setiap kenangan yang bisa dikumpulkannya demi mencegah adanya penyesalan. Meskipun ...

.

.

Tetapi selalu aku merindu lagi ...

.

.

... resikonya jadi sedikit lebih besar dari yang ia bayangkan karena sekarang, Rook jadi semakin sayang dan terus jatuh ke dalam pesona Leona Kingscholar.

Trey yang selama penjelasan Rook tadi hanya bisa diam, kali ini, akhirnya, bisa tersenyum. Senyumannya bukan lagi senyum jahil, menyebalkan, atau paksaan. Senyumnya kali ini adalah senyum tanda puas.

"Kalau itu memang yang terbaik," Tangannya terulur, kemudian menepuk-nepuk pundak kawannya yang berharga, "akan kudukung, sepertinya. Yang penting kau tidak ada niat aneh-aneh."

Rook terkekeh saat mendengar yang terakhir. "Apa maksudmu aneh-aneh? Kenapa kedengarannya aku seperti tukang buat onar?"

"Memang, kan?" Manik terangnya menelusur, bertemu pandang dengan beberapa karyawan yang menyadari tatapannya dan tampak melempar senyum ramah. Trey pun membalas senyuman itu dengan yang lebih ramah. "Karyawan yang lain sampai tahu kalau kau main mata dengan kekasih Vil Schoenheit yang terpandang itu."

"Hei, bukannya kau yang menyebarkan itu?" Trey malah tertawa puas, membiarkan Rook menggelengkan kepala, pasrah. Tak lama, Rook pun ikut tertawa. "Bodoh sekali, ya ..."

Trey tersenyum miring. "Begitulah cinta."

"Mm, Rook-san."

.

.

Tuhan tolong aku ingin dirinya ...

Rindu padanya ...

Memikirkannya ...

.

.

Keduanya yang sejak tadi asik mengobrol dan bersenda gurau, dibuat terkejut ketika Epel tiba-tiba datang dengan air muka yang sudah tidak bisa dikatakan baik. Anak muda itu tampak mengatur nafasnya sejenak, sebelum berkata, "Anu ... aku tadi tidak sengaja dengar, dan sepertinya ... sepertinya Leona-san dan Vil-san ... akan segera pergi."

.

.

Namun mengapa saat jatuh cinta ...

Sayang, sayang dia ada yang punya ...

.

.

"Pergi ...?" Epel hanya mengangguk, dan malah membuat Rook jadi sedikit tidak sabar. "Pergi ke mana?" tanyanya lagi sambil melihat ke meja tempat Leona dan Vil biasanya duduk. Yang didapat matanya kini hanyalah sebuah meja kosong dengan dua cangkir kopi tanpa pemilik di atasnya.

"Ke mana mereka?!" Suara tinggi yang tiba-tiba dikeluarkan Rook, sanggup membuat seluruh penghuni kafe tersentak kaget.

Epel yang juga sama kagetnya dengan yang lain, perlahan menunjuk pintu keluar dengan telunjuk yang gemetar. "I-itu ... katanya, pesawat mereka sudah tiba dan—"

"Sial!"

"Oi!?" Seruan Trey tak digubris. Rook langsung melesat keluar kafe setelah mengambil tas selempang miliknya.

.

.

Tuhan tolong ...

.

.

Dunia seakan berhenti berputar, mengizinkan Rook untuk berlari mencari keberadaan sang pujaan hati dengan leluasa.

.

.

Tolong aku ...

.

.

Tanpa kenal lelah, kakinya terus dan terus berlari, membawa matanya menelusur ke sana ke mari.

.

.

Jatuh cinta pada kekasih orang ...

.

.

Di tengah nafas yang kian menipis, juga harapan yang perlahan pupus, Rook Hunt memaksa setiap indranya untuk tetap siaga.

.

.

Ingin lupa ...

.

.

Hingga akhirnya ia berhasil menemukan dua sejoli itu, dan mereka sudah siap masuk ke dalam sebuah mobil di depan sebuah hotel yang rupanya tak terlalu jauh dari kafe tempatnya bekerja.

.

.

Ku tak bisa ...

.

.

Dari tas selempang yang entah sudah seberapa kacau isinya akibat dibawa lari ke segala arah, Rook mengeluarkan kameranya yang memang jadi barang wajib untuk ia bawa.

.

.

Sayang, sayang dia ada yang punya ...

.

.

Tidak perlu memakan waktu lama, hanya dalam sekali jepret, potret dua insan nan indah itu telah terabadikan dalam rol filmnya.

.

.

Tuhan tolong aku ingin dirinya ...

Rindu padanya ...

Memikirkannya ...

.

.

Satu, cukup satu ia mengambil gambar. Rook tidak boleh serakah dan ia harus puas dengan apa pun hasil yang didapat. Orang itu, orang yang telah mencuri perhatiannya selama kurang lebih satu bulan ini, sudah milik orang lain. Tak ada celah, barang selubang semut, yang bisa dilaluinya untuk masuk di antara mereka.

Meski begitu, misinya tampaknya berhasil. Hatinya terasa cukup enteng, dan ia bisa yakinkan dirinya untuk tidak memiliki penyesalan apa pun. Apalagi ...

"Namun mengapa saat jatuh cinta ..."

... ia juga diberi kesempatan untuk bertukar pandang dengan orang yang disukainya untuk yang terakhir. Warna mata yang cukup mirip dengan miliknya, sungguh sangat indah untuk dilihat. Hanya dengan momen sepersekian detik yang diberikan Tuhan, kebahagiaan telah menjadi milik Rook Hunt selamanya.

"Sayang, sayang dia ada yang punya ..."

.

.

Sayang, sayang dia ada yang punya ...

.

.

(A/N: AAAAAAAA merinding banget pas buatnya, wkwk. Deg-degan, demi apa pun. Ini pertama kalinya aku bikin songfic dan ... dan aku nggak tahu apakah hasilnya bagus atau tidak. Tapi, jujur, aku enjoy banget selama nulisnya. Bener-bener enjoy. Ternyata songfic bisa seasik ini, walau nyatanya lebih melelahkan daripada menulis cerita biasa, wkwk. Buatku, songfic bener-bener butuh tenaga ekstra buat nulisnya. Lelah, tapi memuaskan. Nggak paham lagi sama perasaan ini, wkwk.

Terima kasih buat siapa pun yang sudah meluangkan waktu untuk baca! Meski aku nggak yakin apakah ini bisa menghibur kalian atau tidak, tapi aku berharap semoga bisa, wkwk.

Nggak pernah bosen buat ngasih tahu; jangan lupa jaga kesehatan dan minum air! Buat yang lagi puasa, semoga puasanya selalu dilancarkan, ya. Sebentar lagi lebaran, kok. Yuk, semangat!

Sekali lagi, terima kasih buat yang sudah mampir! Love you all!

Tertanda,

Lampu Merah.)