"KAK BLAAAAAZE!"

Drap. Drap. Dok! Dok! Dok!

"WOI IIIIICE! BANGUN, BANGUN!"

Ice tergugah dari tidurnya mendengar teriakan dan tawa diiringi bunyi langkah kaki yang berderap. Rupanya dia ketiduran di meja belajarnya yang menghadap ke pintu terbuka. Dia melihat sesosok remaja berkaos merah lengan buntung melesat di depan kamar, diikuti remaja identik yang berbaju serbaputih, keduanya seperti sedang lomba sprint menuruni tangga. Tapi kalau mengingat teriakan yang membuatnya bangun barusan, menurut Ice jelas itu bukan perlombaan lari.

.

.

.

.

.


.

.

.

BoBoiBoy (c) Animonsta Studios

Bridge over Troubled Water (c) Roux Marlet

-Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun dari cerita ini-

Alternate Universe, Elemental Siblings without super powers

Family, Drama, Suspense

.

.

.


.

.

.

.

.

Chapter 1: The Blazing Spirit

.

.

.

.

.

Sungguh pemandangan yang tidak biasa ketika remaja tujuh belas tahun kejar-kejaran di dalam rumah. Apalagi salah satu oknum pelakunya adalah seseorang yang dikenal selalu berhati-hati dan tak banyak tingkah—tapi, ya, justru di situ poinnya. Blaze hanya pengin melihat Solar yang selalu jaim itu lari-lari di dalam rumah. Di tangan Blaze ada kacamata oranye milik si adik bungsu dan dia melompati dua kursi sofa sekaligus saat Solar yang terengah-engah sampai di dasar tangga.

"Makanya jangan duduk belajar terus, Solar. Olahraga juga penting!" Blaze menyeringai penuh kemenangan sambil memutar-mutar harta Solar di tangan.

Solar masih sibuk mengatur napasnya yang berantakan. Si anak bungsu tahu bahwa kalau soal kecepatan dia kalah dari kakaknya yang nomor empat itu, tapi karena gengsi dia tidak sudi menunjukkan kekalahannya.

"Terserah. Toh itu bukan kacamata baca. Ambil saja kalau kau mau, tapi nanti kulaporkan Kak Gempa."

Blaze tertawa. "Kak Gempa pastinya mau saja membelikanmu lagi." Dia memasang kacamata itu di depan matanya sendiri lalu berpose sok keren. "Bagaimana kalau aku berkeliaran di luar seperti ini? Orang-orang bakalan takjub melihat Solar jago main bola dan akrobat."

"Kak Blaze!" Solar terpancing, diterjangnya sang kakak dengan kesal. "Kalau main bola masih oke, tapi kalau akrobat? Hancur imejku nanti!" Dia ngeri membayangkan apa pendapat orang kalau betulan Blaze yang hiperaktif itu dikira dirinya.

"Boleh, boleh! Coba saja Blaze! Tinggal ganti baju putih saja kau sudah persis Solar!" Tiba-tiba Taufan muncul dari dapur dan malah mengompori. Cengiran di wajah, parutan di tangan. Agaknya baru proyek memasak.

"Alamak! Kak Taufan malah mendukung ide gila macam itu!" pekik Solar sebal. Blaze sudah berpindah lagi memutari sofa sambil mengejek.

"Kalian ngapain?" tegur sebuah suara datar. Solar sangat berharap itu Gempa yang mestinya sedang masak bareng Taufan, tapi ternyata bukan. Malah kakak sulung mereka yang garang itu yang muncul dari dapur, di tangannya ada sebilah pisau pula!

"Solar!" Halilintar memanggil, membuat si bungsu terlonjak.

"Kak Blaze curi kacamataku," adunya langsung, menunjuk si biang kerok. "Kak Taufan memperkeruh suasana, pula."

"Aku tidak terlibat," bantah Taufan, ngeri juga melihat kakaknya bawa-bawa pisau.

"Blaze, kembalikan," perintah Halilintar tegas. "Atau kukunci bola basketmu dalam gudang selama sebulan."

"Alamaaaak, kejamnya dirimu Kak," Blaze meringis-ringis lalu mengulurkan kacamata Solar sambil membungkuk takzim. "Iya deh, ini. Kukembalikan kepada Tuan Solar bin Amato yang terhormat."

Solar menyambar barang miliknya. "Terima kasih," ujarnya galak sambil memelototi Blaze yang malah kelihatan geli.

"Sekarang, salam damai," kekeh Taufan, mengingatkan tradisi penting di dalam rumah: sehabis bertengkar harus salaman tanda perdamaian.

"Boleh nggak salaman 'kan? Lagi pandemi," kilah Solar yang ke mana-mana pakai sarung tangan.

"Damai, damai," seringai Blaze sambil mengatupkan tangan di depan dada. "Ayo Solar, sudah hampir bulan puasa, lho."

Solar mendengus sambil memakai kacamatanya, masih kesal. "Jangan diulangi ya, Kak Blaze."

"Yeaay, sudah damai!" sorak Taufan.

"Kak Gempa di dapur juga?" Blaze bertanya sambil melongok ke arah ruangan yang dimaksud. "Kalian masak apa?"

"Iya, Gempa di dapur. Kita masak sup ayam jamur," sahut Taufan. "Mau bantuin?"

"Nggak ah. Mau bangunin Ice, katanya lusa ada ujian tapi malah tertidur di meja belajar tadi."

"Solar, ikut aku ke dapur," titah Halilintar yang melihat Solar hendak kembali duluan ke kamarnya.

Si bungsu tampak bingung. "Mau apa Kak?"

"Belajar," sahut si sulung demikian irit, lalu berbalik ke dapur.

Taufan nyengir lagi. "Kamu 'kan hobi belajar, Solar."

"Aku mau baca ebook anatomi," balas Solar sambil mengernyit, tanpa sadar meraba alis sebelah kirinya yang pitak. "Harus sekarang, Kak? Kak Taufan tahu Kak Hali mau apa?"

"Dia mau ngajarin kamu potong ayam," jawab Taufan to the point.

Baru Solar paham maksudnya. Seketika wajahnya pucat, tapi sekali lagi karena gengsi, dikuatkannya hati.

"Oke."

"Kalau Solar berhasil nggak pingsan lihat darah ayam, nanti kita bikin party!" seru Blaze tertawa-tawa sambil lari naik tangga.

"WOI!" protes si bungsu, dengan gugup membetulkan letak kacamatanya. Baru minggu lalu dia mengumumkan ke seisi rumah bahwa cita-citanya adalah menjadi dokter bedah saraf, tapi melihat darah sendiri saja Solar pingsan. Memangnya bisa latihan ketahanan mental dengan darah ayam?

.

.

.

.

.

Di kamar, Ice sedang menekuni kalender mejanya dengan seksama. Besok hari pertama puasa sekaligus hari ulang tahun Fang, tanggal 13 April, dan besoknya adalah hari jatah beli susu keliling tiba sekaligus harinya ujian fisika.

"IIIICE~" Suara cempreng yang familier memasuki indera pendengaran. "Oh, kamu sudah bangun."

"Iya lah, suara Kak Blaze itu lebih menggelegar daripada bedug Magrib," sahut Ice sambil masih fokus ke kalender.

Blaze mengerucutkan bibir tapi sebetulnya cukup bangga juga. "Eh, Duri ngapain? Mau belajar?"

"Iya. Mau belajar sama Kak Ice," jawab sang adik yang tengah duduk di ranjang Ice, memainkan bantal berbentuk paus milik sang kakak.

"Oh iya, kalian mau ada ujian fisika, ya?" timpal Blaze sambil melompat ke atas kursi belajarnya. "Lusa? Besoknya besok?"

"Iya, Kak Blaze~" sahut Duri berusaha ceria, tapi mukanya memelas. Blaze berpindah dari kursi ke ranjang Ice dalam sekejap, menepuk-nepuk kepala Duri yang tertutup topi warna hijau. Adiknya yang pecinta tumbuhan itu memang paling lemah di pelajaran yang menjadi unggulan Solar—meski sebetulnya dalam mata pelajaran apa pun Duri selalu kesulitan. Memang ke kamar inilah Duri bertandang ketika watak Solar tak lagi sama. Dulu, sebelum kecelakaan pertama yang menimpa Solar waktu mereka kelas empat SD dan mengubah kepribadiannya, Duri rajin minta bimbingan pelajaran pada adik semata wayangnya itu. Sejak Solar jadi individualistis dan ambisius, Duri mencoba minta tolong diajari Kak Gempa yang terkenal paling sabar serumah itu. Tapi kakaknya yang nomor tiga itu seorang aktivis yang melahap banyak sekali kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah, jadi Duri yang kadang menunggunya pulang sampai ketiduran sendiri. Kak Halilintar mirip Solar, tak suka diganggu dalam hal belajar. Kak Taufan bukan tipe orang yang bisa mengajar adik sendiri. Jadi Duri minta tolong ke kamar kembar tengah: Blaze dan Ice.

Tidak ada yang secara resmi mendefinisikan siapa 'anak tengah' di antara tujuh bersaudara itu meski secara logika jawabannya hanya satu. Kalau secara matematis, tujuh dibagi dua itu tiga setengah, bukan empat dan lima, sedangkan Blaze memang punya tiga kakak dan tiga adik, tapi dia tak mau jadi anak tengah sendirian. Blaze dan Ice adalah anak tengah Amato dan istrinya, dan peran mereka yang berada 'di tengah' memanglah sebagai penengah.

Kalau Halilintar atau Solar terlalu serius, Blaze akan menciptakan sesuatu yang bisa mendistraksi mereka agar lebih rileks (seperti tadi, kacamata Solar diambilnya waktu anak itu sedang bercermin sambil memikirkan rumus fisika; Blaze tahu karena mulut Solar komat-kamit seperti membaca doa tapi isinya dalil termodinamika). Kalau Taufan kelewatan bercanda, Ice bakal mengkritik dengan tenang tapi menusuk membuat kapok. Kalau Gempa kecapekan karena banyaknya aktivitas, kelakar Blaze dan pijatan lembut Ice di bahunya jadi hiburan. Kalau Duri habis menangis karena ujian yang sulit, Blaze bakal menggelar pesta kecil dan Ice menjanjikan tutorial pelajaran yang dia bisa. Apalagi setelah masuk SMA, Ice dan Duri satu jurusan (bersama Solar), yakni ilmu alam. Dengan sikap Solar yang rumit, makin lengketlah Duri kepada kakak kembarnya yang pecinta lautan itu. Masalahnya adalah, Ice itu mudah lelah dan sering mengantuk, padahal aktivitasnya sepanjang hari kira-kira hanya seperdelapan dari total kegiatan Gempa. Di saat begitu, Blaze yang banyak akal selalu bikin Ice tetap terjaga.

"Kopi!" seru Blaze, setengah membanting cangkir melamin kosong ke meja Ice. "Sana bikin sebelum ngantuk menyerang!"

"Sebentar, Kak Blaze," Ice menyahut dengan mata terkunci ke layar ponsel, ia seperti menahan senyum. Blaze membungkuk mendekat, ingin tahu.

"Wuiiiih, mau ada kompetisi memanah bulan depan?" Blaze bertanya, matanya berbinar-binar. Rupanya diam-diam Ice sedang bersemangat juga, ia tahu tabiat adiknya yang tenang-tenang menghanyutkan ini.

Senyuman Ice agak memudar. "Iya, tapi mana bisa ikut? Pandemi begini."

"Penyelenggaranya mana?"

Ice menyebutkan sebuah tempat di luar negeri dengan nada murung.

Blaze menepuk bahu adiknya. "Nggak masalah. Tahun depan kalau Corona sudah musnah, Ice pasti bisa ikut! Kau 'kan sudah jago di sekolah! Syuuut, syuuut," dia menirukan gaya orang memanah lalu mengacungkan jempolnya. "Terbaiiik!"

"Hehehe. Terima kasih Kak Blaze," balas Ice sambil menggaruk pipinya karena malu. Tiba-tiba Blaze membungkuk dan merangkulnya.

"Jangan sedih, ya, Ice! Aku janji akan bikin Ramadhan tahun ini lebih semarak daripada tahun lalu!"

Ice tertawa kecil. "Ya … asal nggak bikin kolak gosong lagi aja, Kak Blaze." Sebagai balasan, Blaze mengeratkan pelukannya sampai Ice merasa kesulitan bernapas.

"Eh, memangnya badan Kak Blaze enggak bau? Tadi habis kejar-kejaran sama Solar," celetuk Duri sambil memiringkan kepalanya.

"Hei, aku sudah pakai deodoran lah!" seru Blaze sambil mengangkat kedua tangannya, otomatis melepaskan Ice yang langsung bernapas lega.

"Aroma kayu manis hari ini," sambung Ice yang sudah hapal dengan bau-bauan di kamarnya. Blaze yang suka berolahraga dan suka pakai kaos lengan buntung sadar diri bahwa dia mudah berkeringat, makanya dia punya beberapa varian deodoran. Beli pakai uang tabungan sendiri, tentu saja. Tak perlu terlalu mahal, yang penting orang di dekatnya tidak pingsan, hehe.

"Waaah, Kak Blaze punya kayu manis?" Duri berdiri dari ranjang dan mendekati kedua kakaknya, matanya yang besar bersinar-sinar. "Mana? Lihat!"

"Baunya saja yang kayu manis, Duri," sahut Ice sambil meraih kepala Duri lalu menepuk-nepuknya. "Kasih tahu Duri coba, Kak Blaze!"

"Iya. Ini bukan tanaman, Duri. Ayo sini!" Blaze menghambur ke meja belajarnya sendiri di dekat jendela. Dipamerkannya botol deodoran aneka rupa di atas meja dan dibukanya salah satu. "Ini yang wangi kayu manis."

"Oh, kukira tanaman," keluh Duri kecewa. Tapi begitu mencium wewangian, mukanya gembira lagi. "Baunya enak!"

Blaze menyeringai. "Terima kasih. Aku kadang iri sama Ice sih. Suka pakai jaket tapi bau badannya selalu enak."

"Eh?" Ice mengendusi lengannya sendiri yang terbungkus jaket meski dia sedang di dalam ruangan. "Iya sih, wangi," ujarnya tanpa bermaksud narsis—dia 'kan bukan Solar!

"Bau pewangi baju kali, Kak," kikik Duri. "Kak Gempa kalau nyuci baju selalu wangi!" Dia berpindah dari meja Blaze dan gantian memeluk Ice. "Tapi Kak Ice itu memang menyenangkan kalau dipeluk. Empuk!"

"Kayak peluk bantal, 'kan! Ayo kita serbu Iiiice!" Blaze lari lagi kembali ke kursi Ice.

"Tidaaaaak! Tolong aku!" pekik Ice bercanda tapi membiarkan dirinya dipeluk dari kiri-kanan. "Oi, Duri! Kapan kita belajarnya?"

"Oh, iya juga, Kak Ice! Eh, Kak Blaze mau ke mana?" Duri bertanya ketika melihat Blaze melepas pelukannya pada Ice dan menuju ke pintu.

"Mau nyemangatin Solar," jawabnya sambil nyengir.

"Memangnya Solar ngapain?" tanya Duri tak paham.

"Lagi mutilasi ayam," pungkas Blaze sebelum melesat ke tangga dan turun dengan berisik. Tinggal Ice dan Duri berdua saja di kamar.

"Kak Ice, mutilasi itu apa?" Duri bertanya, polos.

Ice yang enggan menjelaskan, melempar tanggung jawab. "Nanti tanya Kak Gempa aja, ya."

.

.

.

.

.

Blaze tumbuh menjadi remaja yang lincah antara lain karena bermain bola basket menjadi kesehariannya sejak kecil. Orang-orang tahu ketua tim basket SMA itu selalu bersaing dengan Fang yang juga lihai main basket sejak masih SD. Ada juga benang merah di masa lalu yang menghubungkan Blaze dan bola basket dengan si adik bungsu, Solar. Soal ini bisa jadi hanya Ice orang ketiga yang mengetahuinya. Kejadian itu berlatar ketika mereka kelas tiga SD, setahun sebelum Solar mengalami kecelakaan pertamanya.

Solar dan Ice ada di pinggir lapangan sekolah waktu itu, menonton Blaze yang sedang latihan untuk seleksi masuk tim basket. Saudara mereka yang lain? Karena paginya Duri menangis habis diimunisasi di sekolah, kakak-kakak mereka yang tertua ikut pulang duluan. Di masa ini, Solar lebih periang dan lebih banyak bicara daripada Ice (dan sampai sekarang Blaze kadang merindukan Solar yang dulu itu). Adik bungsunya itu berteriak-teriak menyemangati selagi Blaze melakukan dribble, sementara Ice terkantuk-kantuk sambil duduk. Tapi ketika Blaze sudah mendekati ring, Solar tiba-tiba diam, hanya mengamati lekat-lekat.

Blaze menembakkan bola, masuk ke ring dengan mulus. Solar bertepuk tangan—agak terlambat—mungkin karena takjub. Ice ikut tepuk tangan dengan muka datar meski sebetulnya kalau dilihat dengan teliti, dia tersenyum kecil.

Solar bangkit dari duduknya. "Kak Blaze, aku mau coba masukkan bola juga."

"Boleh!" Blaze melemparkan bolanya ke arah Solar, yang menangkapnya dengan bersemangat. Si bungsu menatap bola di tangannya dengan cermat, seolah meneliti apa yang ada di permukaannya.

"Kamu ngapain?" tanya Blaze, keheranan dengan tingkah adiknya yang cerdas itu. Memangnya bola itu soal matematika yang rumit?

Solar hanya menggeleng sambil mengulum senyum. "Kak Blaze coba lihat baik-baik, ya." Dia berjalan mendekati ring dengan bola di tangan.

"Eh, kalau kamu jalan, bolanya harus dipantulkan ke tanah, Solar!" tegur Blaze. "Istilahnya, dribble!"

"Nggak apa, Kak. Aku cuma mau coba masukkan ke ring."

Blaze terdiam sambil mengernyit. Ice juga mengamati dengan penasaran. Solar mengambil posisi di depan ring dan mengangkat tangannya, meniru gaya Blaze sebelum menembak bola tadi. Tapi Solar tidak segera menembak, dia malah menatap ring itu dengan serius sambil komat-kamit.

Dengan jarak segitu, energi segini, gerakan parabola saat bola melambung adalah sekian detik … demikian pikiran Solar bekerja.

"Oi? Solar? Kamu berhitung dulu pakai rumus?!" teriak Blaze tak habis pikir.

Solar menembak bola dengan penuh perhitungan, literally and metaphorically, dan tembakannya meleset jauh. Kira-kira begitulah sejarahnya Solar dengan Blaze dan bola basket (dan Ice yang menonton) serta pilihan kegiatan ekstrakurikulernya yang kemudian menghadiahkan banyak trofi di rumah mereka: klub sains.

Rumah Tok Aba sering dimeriahkan dengan pesta-pesta kecil karena Blaze dan Solar. Si bungsu yang dapat juara olimpiade, juara kelas, predikat murid berprestasi; si anak nomor empat yang selalu punya ide dan kejutan untuk merayakan keberhasilan. Meskipun, sejak Solar kecelakaan, Blaze menghindari memakai apa pun bahan yang bisa meledak, sekalipun hanya confetti. Paling banter dia akan menggunakan kipas angin jumbo di kamar Tok Aba dan potongan kertas warna dari Kak Gempa yang ikut ekskul handicraft atau taburan bunga kering dari Duri yang ekskulnya merangkai bunga.

Di balik semaraknya pesta-pesta yang digelar Blaze, biasanya Ice hanya bertahan di lima menit pertama lalu lanjut tidur di kamar diam-diam. Bukannya dia tidak ikut senang atas prestasi adik bungsunya, dia hanya sering merasa capek dan bawaannya pengin berbaring terus. Lagipula tak ada yang sadar dia hilang dari acara karena Ice memang pendiam. Kalaupun sadar, pesta sudah akan berakhir jadi tak ada masalah. Hanya saja ternyata satu kali pelarian Ice yang diam-diam itu berujung pada sebuah kedewasaan.

Duri masuk ke kamar Ice, waktu itu kelulusan mereka dari tingkat SD. Nilai Solar terbaik di seluruh sekolah se-Pulau Rintis, bahkan ayah dan ibu mereka pulang untuk ikut merayakan. Saat itu Solar sudah memakai kacamata oranyenya ke mana-mana dan sangat menjaga imej meski tetap bersopan santun. Duri bukan iri atau apa terhadap Solar—dia sedih saja karena hampir tidak lulus sekolah dasar. Bahkan dalam penerimaan siswa baru di SMP, Duri nyaris tidak diterima. Perayaan keberhasilan Solar seolah sorakan kekalahan untuknya, dan Duri menangis sepuasnya di pelukan Ice.

Kedatangan Blaze di saat yang tepat sambil membawa es krim dan mendistraksi Duri dari kesedihannya membuat Ice, berusia dua belas tahun saat itu, bertekad agar adiknya itu tak pernah lagi menangis.

.

.

.

.

.

Boleh saja Blaze dan Fang tak sekelas lagi di SMA, tapi mereka tetap sohib sekaligus rival di lapangan basket. Makanya dalam menyambut ulang tahun Fang yang manis (karena beken dengan istilah sweet 17th) Blaze sangat antusias mempersiapkan kejutan. Meskipun, karena pandemi, kejutannya itu akan dilakukannya dengan video call.

Tapi sebelum itu, Blaze masih punya kerjaan. Mempersiapkan hari pertama puasa yang penuh semangat!

.

.

.

.

.

to be continued.

.

.

.


.

.

.

Author's Note:

Halo, Roux kembali di fandom BoBoiBoy dengan sekuel cerita "Thorn in the Flesh" di mana kali ini saya buat multichapter biar tidak kepanjangan :")

Rencananya cerita ini akan tamat dalam tiga atau empat bab dan semoga bermanfaat untuk dibaca. Hint: masih akan ada medical reference, ya! (Ada Abang Kaizo lagi nggak ya? Kira-kira gimana?)

Peringatan: drama di cerita ini lebih dominan dan menjurus ke suspense, ya.

Oh, saya baru sadar Gempa nggak muncul sama sekali di bab ini, gapapa ya Gem :3

Akhir kata ... terima kasih sudah membaca, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya ^_^

04.05.2021