[ tojigo, romance-hurt/comfort, rate-M ]
- seluruh karakter milik Akutami Gege, Pitik tidak mengambil keuntungan apapun selain rasa senang -
. . .
Selepas melihat lelaki yang ia sukai berduaan di kamar hotel bersama seorang wanita, Gojo Satoru memutuskan untuk berdiam di hotel yang sama. Dengan bodohnya ia sengaja duduk bersandar di dinding dan mencuri dengar suara-suara tak beraturan dari kamar sebelah.
"Harusnya tempat ini lebih kedap suara," gerutunya sembari menatap kontak jasa penyewaan pria panggilan di ponsel.
Berada di sini saja sudah terasa gila. Tapi lelaki rambut putih itu tidak peduli. Ia tidak ingin kalah dengan Geto Suguru--orang yang telah menghancurkan hatinya. Kalau bisa, kalau pria panggilan itu sudah datang nanti, Gojo ingin teriak lebih keras. Sekaligus mengacukan kegiatan di kamar sebelah.
Berulang kali ia mengetuk-ngetukkan sepatu sambil menggenggam erat ponsel. Pria panggilan itu akan datang pukul sembilan. Masih butuh sepuluh puluh menit lagi untuk menunggu dalam situasi geram.
"Mengapa sangat lama?" protes Gojo lebih kepada dirinya sendiri. Ia tidak suka ini, kondisi di mana harus menelan perasaan pahit sebelum balas dendam.
"Aku akan mendesah lebih kencang dari wanita itu. Tunggu saja, Suguru," gumamnya dengan manik memperhatikan jarum detik. Setiap gerakan dan desahan samar dari kamar sebelah membuat jantung Gojo berdegup lebih kencang.
Ia gugup, gugup karena rasa khawatir tidak akan dapat melancarkan balas dendam ini. Lelaki itu juga gugup oleh pria panggilan yang disuruh bersiap sejak sepuluh menit yang lalu. Gojo tidak meminta syarat apapun selain baru dan besar. Tapi jauh di dalam lubuk hati, ia juga mengharapkan seseorang yang lebih tampan dari Geto Suguru--agar Gojo tidak perlu menyesal telah membayar orang untuk bersenggama satu malam saja.
Begitu beberapa ketukan pintu terdengar, lelaki itu langsung bangkit. Dia datang--dia yang sudah Gojo pesan sepuluh menit yang lalu. Tanpa menunggu lebih lama, Gojo membuka pintu dan menyambut seorang pria dengan kaus hitam lengan panjang. Rambutnya juga hitam, dengan helai-helai menutupi dahi. Tapi begitu melihat sosoknya, Gojo mengusir jauh-jauh rasa penyesalan.
Dia tampan, mungkin jauh melebihi Geto Suguru di kamar sebelah--walaupun dengan bekas luka gores si sisi bibir. Dan tubuhnya, bahkan kaus lengan panjang tidak dapat menyembunyikan otot dada yang begitu menggoda.
"Gojo Satoru? Aku datang untuk memenuhi pesanan." Suaranya juga dalam dan berat.
Manik biru Gojo terpana ketika sosok itu meraih pipi, mengusap wajah yang seolah terkejut. Tapi memang. Gojo Satoru memang terkejut dengan kehadiran pria rupawan di ambang pintu. Dia begitu sempurna--minus bagian bahwa pekerjaannya adalah pria panggilan.
"Kita mulai sekarang? Atau kau mau bersiap dahulu?" tanya pria itu tanpa basa-basi.
Gojo suka tipe ini, mereka yang bicara langsung pada poinnya. Tapi Gojo tidak suka pria ini. Baru pertama melihat, ia sudah dibuat tak bisa berkata-kata.
"Aku kurang suka dipanggil dengan nama oleh seorang klien. Lagipula hubungan ini hanya akan berlangsung semalam. Jadi aku tidak akan memperkenalkan diri. Panggil apapun, sesukamu di atas ranjang. Aku akan membuatmu merasa panas," jelasnya sembari mengambil satu langkah masuk dan mengunci pintu.
Dia sangat percaya diri, persis seperti dirinya. Maka dari itu Gojo memaksakan diri untuk menyahut, tidak ingin kalah dengan adu kata-kata ini.
"Tidak perlu terlalu panas. Aku hanya ingin mendesah keras-keras. Apa kau bisa melakukannya?" tantang lelaki itu sembari melipat kedua tangan.
Si pria tersenyum--lebih mirip sebuah seringai tipis. Ia maju dan berbisik di sebelah telinga Gojo, menjawab tantangan kliennya, "Mereka bilang keahlianku adalah menakhlukkan orang-orang arogan."
Gojo gantian terkekeh. Astaga, pria ini mungkin tampak sempurna, tapi gaya bicaranya sungguh menjengkelkan.
"Aku tidak arogan. Aku hanya sulit dilawan," ucapnya sembari mengambil satu langkah ke depan, memangkas jarak di antara mereka. Dari sini Gojo bisa merasakan aroma maskulin. Menyegarkan, seperti seleranya.
Tapi hanya dengan bau maskulin saja, perasaan jengkel Gojo Satoru tidak akan padam. Ia ingin pria ini menelan ludahnya sendiri karena berani mengajaknya bertengkar di awal sesi. Sejenak bahkan lelaki itu lupa dengan balas dendam. Kalau tidak melakukannya sekarang, bagaimana ia akan menyaingi suara Suguru dari kamar sebelah?
"Kalau begitu, alangkah lebih baik bagiku untuk tidak melawanmu," sebut si pria sembari meraih tangan Gojo. Ia melepaskan kepal yang entah sejak kapan terbentuk, lalu menaruh jemari lelaki itu di depan kejantanannya. "Aku hanya ingin klienku menikmatinya sampai mendesah keras-keras."
Manik biru terbuka lebar. Rasanya besar, juga hangat. Tanpa sadar jari-jari Gojo menekan, mengira-ngira seberapa panjangnya. Ia menekan pada pangkal, lalu merasakan sepasang buah di bagian bawah. Apakah ini yang membuat pria panggilan itu sangat percaya diri?
Cukup pantas.
"Langsung saja," ujarnya seraya mendaratkan sebuah kecup pada daun telinga. Pria itu menggigit pelan di tulang rawan, lalu mengusap lekuk-lekuknya dengan lidah. Rasanya menggelitik, seolah membangkitkan kepekaan seluruh indera peraba. Refleks, Gojo meraih bahu si pria, meraba turun hingga sampai pada lengan yang kekar.
Gojo Satoru bertambah kesal karena pria panggilan ini semakin pantas untuk merasa percaya diri. Sangat pantas.
Sapuan lidah bergerak turun hingga sisi leher. Jilat berubah menjadi sesapan demi sesapan. Gojo yakin kulitnya sudah berubah kemerahan. Itu akan sangat tampak seusai sesi panas mereka. Tapi Gojo tidak peduli. Ia memang menginginkan ini, sebuah balas dendam. Jika berpapasan dengan Suguru nanti, Gojo akan dengan bangga memamerkan bekas sesap ini seolah piagam penghargaan.
Telunjuk dan ibu jari meraih kancing kemeja yang Gojo kenakan. Lelaki itu hanya mengaitkan tiga butir di bagian bawah. Lalu pada lapisan dalam, ia mengenakan kaus tanpa lengan.
"Kenapa menggunakan banyak pakaian jika ingin melakukan hubungan seksual?" tanya pria itu, murni penasaran.
"Ini s-situasi tidak terduga," balas Gojo cepat. Tidak berbohong. Malam ini ia hanya berniat mengekor Geto Suguru dan kekasih wanitanya sampai masuk hotel, sampai menahan amarah seorang diri karena mencuri dengar suara mereka berdua. Lalu ide pria panggilan ini juga baru terbesit tadi.
"Sangat tidak terduga juga bagiku." Ia menyahut sejenak sebelum mengecup lengan terbuka Gojo, menggigit kulitnya pelan sembari menghirup aroma laut, kesegaran pantai yang bercampur dengan sedikit wangi bunga. "Aku suka parfummu," bisik pria itu di telinganya.
Tadi Gojo berpikir untuk membuat si pria panggilan menelan ludah sendiri karena berani mengajaknya beradu mulut. Namun sekarang, hanya dengan gigitan pelan dan bisik barusan, pikirannya sudah melayang ke mana-mana.
Gojo Satoru bisa gila.
"Cepat," mohonnya, "buat aku mendesah keras-keras."
Senyum penuh arti terulas pada bibir. Pria itu dengan cekatan melepaskan kemeja dan kaus Gojo, lalu melucuti celana. Semua pakaian tadi dibiarkan teronggok di lantai, sementara mereka memulai sesi panas.
. . .
Tidak tanggung-tanggung. Saat terjaga di pagi hari, Gojo hampir tidak bisa mengatakan apapun. Semalaman ia menghabiskan suara untuk berteriak. Tujuan awal untuk mengumumkan keberadaannya pada Geto Suguru di kamar sebelah. Tapi pada kenyataanya, Gojo benar-benar berteriak murni karena ulah pria panggilan itu.
Pinggul hingga tungkainya seolah mati rasa. Gojo mungkin bisa pingsan bila ia bermain lebih dari dua ronde. Bersenggama dengan pria itu sungguh menyakitkan. Tapi dengan segala pemanasan yang dilakukan sebelum penetrasi, harus Gojo akui ia profesional. Lebih tepatnya sangat ahli.
Sekarang Gojo Satoru tidak peduli dengan keberadaan Suguru. Ia ingin beristirahat, sembuh dari sakit pinggul karena harus menahan kenikmatan dimasuki. Bisa dibilang ia menyukainya, tapi tidak ingin mengambil resiko untuk menyakiti diri sendiri.
Tapi, jika diberi kesempatan untuk melakukannya lagi, Gojo tidak akan menolak. Mungkin setelah beberapa kali bersenggama, tubuhnya bisa lebih terbiasa.
"Sudah bangun?" sapa sebuah suara, dalam dan berat. Pasti pria panggilan yang ia pesan semalam. Dia belum pergi.
"Perawatan setelah seks juga termasuk tugasku," jelas pria itu sembari duduk di sisi ranjang, mengusap helai-helai putih rambut Gojo dengan punggung jari.
Sang klien terbatuk pelan, lalu membiarkan dirinya sendiri menyahut dengan suara parau, "Terima kasih. Kalau bisa sekalian mandikan aku dan antarkan aku pulang."
Gojo hanya bicara asal. Jika ditinggal pun ia bisa beranjak dari ranjang, mandi, dan pulang secara mandiri. Tapi pria itu tanpa pikir panjang menyibak selimut. Ia menggendong Gojo ke kamar mandi dan menaruhnya di dalam bak mandi berisi air hangat.
"Aku sudah menyiapkannya sejak tadi," ucapnya kemudian mengambil botol shampo hotel.
Mata Gojo belum sepenuhnya terbuka saat pria itu mencuci rambutnya. Aroma bunga tercium oleh hidung, perlahan membuatnya benar-benar bangun.
"Padahal aku hanya bercanda," gumam Gojo sembari menyamankan posisi. Masih terlalu sakit untuk duduk dengan benar-walaupun sebenarnya air hangat yang pria itu siapkan sangat membantu untuk pemulihan.
"Serius juga tidak masalah," sahut si pria seraya meraih gagang shower, " lagipula kau membayarku."
"Tutup matamu," imbuhnya sambil menyalakan air untuk membilas shampo.
Benar juga. Selama Gojo Satoru membayar, ia bisa mendapatkan semua perlakuan ini dari pria yang sempurna. Dan Gojo punya harta lebih dari cukup untuk melakukan ini.
"Aku kurang puas dengan permainan semalam," ocehnya sembari memberi tatapan menantang. Ia melirik ke sudut kamar mandi dan melipat tangan, membiarkan pria itu duduk di sisi bak mandi-sambil menatapnya seolah bertanya 'apa aku tidak salah dengar?'.
Gojo hanya berkilah. Karena langsung meminta untuk bertemu lagi bukan pilihan bagus sekarang. Ia tidak mau terlihat seperti maniak berhubungan dengan pria panggilan.
"Kau minta ronde ketiga?" tanya si pria sembari menaikkan alis.
Astaga, hanya melirik sekilas saja sudah membuat Gojo menghela napas kagum. Kenapa dia begitu menarik--terlepas gaya bicara yang terlalu percaya diri itu?
"Lebih baik jika sekalian saja ronde keempat atau kelima." Gojo Satoru mungkin gila. Baru dua putaran kemarin saja rasanya seperti sudah mau pingsan.
"Nanti?"
"Tentu saja lain kali. Badanku masih sakit. Dasar tidak tahu diri," ketusnya sembari menatap pria itu tajam.
Tapi ia terkekeh sebagai balasan, menaruh tangan di atas rambut basah dan mengacak-acak. "Aku tahu," jawab si pria panggilan. Ia kemudian beranjak dan mengambil botol sabun cair.
Tangan itu sudah menjamahnya semalam. Tapi ketika sabun hotel menyapu kulit, Gojo menegang. Ia tidak memikirkan apapun selain sentuhan pada lengan yang lalu naik ke leher, mengusap bekas sesap yang ia ciptakan sendiri.
"Kau ingin memamerkan bekas ini pada seseorang?" tanya pria itu sambil masih mengusapkan sabun.
Gojo terdiam sejenak sebelum menjawab. Karena balasannya akan terdengar sangat kekanak-kanakan. "Aku iri pujaan hatiku mengajak seorang wanita untuk bermalam di hotel," aku lelaki itu.
"Dia di kamar sebelah kita?"
Dari mana orang ini tahu? Gojo menyiratkan pertanyaan itu melalui tatapan lebar--mungkin seolah melotot kepadanya.
"Aku menebaknya karena kau ingin sekali mendesah keras-keras," imbuh pria itu sembari mengusap-usap bagian dada. Gojo memegang pinggiran bak mandi erat-erat sampai sentuhan pada dada--bagian puncaknya--usai. Entah mengapa pria itu suka sekali menggodanya, bahkan sejak kemarin.
Tentu saja karena dia pria panggilan. Benar juga.
"Hh--berikan sabunnya padaku," minta Gojo. Ia sudah sedikit lebih baik karena berendam di air hangat. Lelaki itu bisa menyabun sendiri.
"Tadi kau yang menyuruhku untuk memandikanmu. Ini belum selesai," protesnya, namun tetap meraih kembali botol sabun cair hotel di lantai.
"Aku berubah pikiran," sahut Gojo seraya merebut botol dari tangannya, "tunggu di luar. Kita check out bersama."
Tadi pagi Gojo Satoru berpikir untuk mengabaikan rencana balas dendam. Tapi setelah pria panggilan itu mengungkitnya, semangat balas dendamnya naik mengalahkan rasa lelah. Ketika beranjak dari bak mandi, pinggul Gojo masih tetap sakit. Namun ia berhasil berjalan keluar--dengan langkah pincang--dan menyusul pria itu.
Mereka keluar dari kamar bersama, juga berjalan ke lobi hotel bersama. Gojo berjalan di depan. Namun memperhatikan bagaimana terseok-seoknya langkah lelaki itu, si pria panggilan tanpa diminta maju dan merangkul pinggang. Ia berbisik di telinga Gojo sebelum mereka memasuki lift.
"Mau kugendong sampai tempat parkir?" tawarnya dengan suara pelan.
"Tidak perlu," tolak Gojo dengan cepat, "pasti kau akan menaikkan ongkos sewamu. Lagipula jika bukan dengan pasangan, menggendong itu terasa memalukan."
Pria itu mengangguk-angguk, setuju dengan perkataan Gojo Satoru. Tapi setelah sampai di lobi, lelaki rambut putih merasa menyesal telah menolak tawaran si pria.
Kenapa? Karena Geto Suguru bersama wanitanya sekarang tengah melihatnya di lobi hotel. Suguru yang pertama melambaikan tangan, menyapa seolah tidak pernah terjadi apapun di antara mereka.
"Satoru. Kau juga menginap di sini?" Sungguh pertanyaan formalitas yang membuat Gojo ingin kabur saja.
"Iya. Untuk urusan pekerjaan," sebut si rambut putih sembari beralih pada resepsionis hotel. Ia memberikan kunci dan kartu kredit untuk membayar tagihan kamar.
"Urusan pekerjaan bersama kekasihmu?" celetuk Suguru.
Gojo kira percakapan mereka sudah selesai. Oh, bahkan sejenak ia sempat lupa pria panggilan itu masih merangkul pinggulnya. Dengan senyum terpaksa, Gojo menoleh pada Suguru. Lalu dengan sengaja ia mengusap sisi leher, tempat bekas sesapan. Tapi kemudian mata birunya menangkap lingkaran emas pada jari yang saling bertaut.
"Kalian sudah menikah?" ucapan itu lolos begitu saja dari mulut Gojo.
Yang menjawab pertanyaannya adalah wanita itu. Sembari tersenyum dan mengangkat jari berhias cincin. "Suguru melamarku semalam. Walaupun sedikit terganggu karena suara-suara dari kamar sebelah."
Pikiran Gojo mendadak kosong. Ia tahu rencananya berhasil tapi ketika mendengar bahwa Suguru sudah melamar wanita itu, Gojo tidak bisa memikirkan apapun. Bahkan ketika resepsionis hendak mengembalikan kartu kreditnya, Gojo hanya bergeming di tempat sampai tiba-tiba sebuah remasan pelan terasa di pinggulnya.
Pria itu. Pria itu melakukannya. Kemudian tanpa disuruh, ia mendekat dan berbisik pelan, "Ayo pulang, sayangku."
Pikiran Gojo mendadak buyar. Sekarang ia bingung harus mengisi kepalanya dengan berita lamaran Suguru atau berita bahwa seorang pria panggilan berperawakan sempurna baru saja menyebutnya 'sayangku'.
"Aku Fushiguro Toji. Salam kenal," sebut pria itu sambil mengulurkan tangan. Suguru menyambutnya dengan senyum tanpa beban. Kemudian pria itu berkata lagi, "Kekasihku banyak cerita soal dirimu."
Sebuah sandiwara spontan yang tak terduga.
"Kami sedang buru-buru," jelas sosok yang menyebut dirinya sebagai Fushiguro Toji seraya mengambil kartu kredit dari meja resepsionis dan menyisipkannya pada saku celana Gojo.
"Sampai jumpa lain waktu."
Tadi dialog spontan terakhir, sebelum mereka sampai di tempat parkir, berdiri berhadapan.
"Dua juta yen," sebut si pria kemudian meraih dagu Gojo. Manik birunya tanpa sadar sudah berkaca-kaca. Sangat memalukan.
Mengapa ia ingin sekali menangis sekarang? Dan mengapa pria panggilan itu masih di sini? Mengapa ia tidak pergi saja? Ia malah diam dan menatapnya dengan sorot hangat. Gojo Satoru tidak menyukainya. Lelaki itu bisa salah paham.
"Jangan menangis untuk seseorang yang tidak memikirkanmu," sebut Fushiguro Toji sembari mengusap-usap pipi. Lalu beberapa saat setelahnya bibir Gojo diraup dalam sebuah cumbu.
Mereka berada di tempat umum, di parkiran hotel. Mengapa pria ini bertindak seolah tidak takut apapun? Tapi dengan taut bibir yang dalam ini, Gojo juga enggan berpisah cepat-cepat. Biarlah salah paham itu ada untuk sementara. Gojo Satoru tidak peduli.
"Jadi kuantar pulang?"
Tidak perlu berpikir dua kali untuk menjawab, "Iya."
Sepanjang jalan hanya ada keheningan, kecuali saat Gojo perlu menunjukkan arah. Mereka sampai di sebuah gedung apartemen, di tengah kota. Gojo ingin tempat tinggal yang memiliki banyak akses mudah. Jadi ia memilih untuk berdiam pada area ramai di sekitar pertokoan Tokyo.
"Aku pergi," pamit Fushiguro Toji seraya menjalankan mobil.
Gojo menghela napas. Sembari masih memikirkan tindakan lembut pria itu, ia merogoh saku celana untuk mengambil kartu kreditnya. Tapi secarik kertas yang juga berada di sakunya ikut terambil. Setelah memasukkan kartu kredit pada dompet, Gojo melihat isinya.
Ada nama, Fushiguro Toji, lalu nomor telepon, dan terakhir sebuah pesan bertuliskan 'telepon aku jika kau butuh pria panggilan lagi'.
Padahal seingatnya, pria bernama Fushiguro Toji berkata hanya akan berhubungan semalam saja. Ternyata Gojo Satoru bisa membuat seorang pria panggilan terpikat juga. Sembari terkekeh pelan, lelaki itu mengusap mata yang sembab. Ia mengantongi secarik kertas itu dan berjalan memasuki gedung apartemen.
"Tentu saja. Siapa juga yang akan menolakmu?"
. . .
Satu bulan berlalu sejak Fushiguro Toji menyisipkan pesan kepada seorang klien. Satu bulan pula Gojo Satoru menyimpan secarik kertas berisi nama dan nomor telepon untuk digunakan hari ini, saat sebuah undangan pernikahan sampai di depan pintu apartemen.
Undangan itu dari Geto Suguru, orang tetap membuatnya menangis walau sudah melakukan balas dendam bersama seorang pria berpenampilan sempurna. Gojo tidak mau datang ke pesta romantis itu seorang diri. Ia harus menagih catatan di kertas pemberian si pria.
Dengan cepat ia menekan nomor dan memanggil. Ini masih jam istirahat makan siang dan Gojo yakin Fushiguro Toji tidak sedang sibuk sekarang. Buktinya, panggilan lelaki itu diangkat hanya dalam dua detik.
"Fushiguro Toji?" sapa Gojo--lebih tepatnya memanggil.
Dari seberang suara kekeh terdengar, dalam dan rendah seperti yang lelaki itu masih ingat.
"Gojo Satoru?" balas Toji kemudian tertawa kecil.
Pria itu mengingatnya. Bahkan setelah satu bulan berlalu.
"Bisakah aku meminta ronde ketiga, keempat, atau sekalian kelima dalam waktu dekat?"
Setiap Gojo bicara, pasti terdengar suara kekehan dalam sambungan. Lelaki itu membayangkan senyum yang terbentuk di bibir Fushiguro Toji, dengan bekas luka yang menghiasi sudutnya.
Pasti sangat tampan.
"Di hotel kemarin?"
Kali ini Gojo terdiam sejenak. Perasaan ragu hinggap di hati sebelum ia menjawab pertanyaan itu.
"Di pesta pernikahan."
Kali ini juga tidak ada kekeh dari seberang telepon. Toji hanya berdehem pelan lalu mengiyakan ajakan Gojo.
"Kau tidak sedang menangis, kan?" tanya pria itu setelah beberapa saat keheningan. Ia pasti masih mengingat kejadian di lobi hotel--yang sangat ingin Gojo lupakan.
"Kalau aku menangis, apa kau akan kemari dan mencium bibirku?" oceh lelaki itu asal.
Toji kembali membalas dengan kekehan. Beberapa detik kembali hening sebelum ia memberi jawaban, "Asal kau membayar ongkos ciumannya."
Astaga, Gojo hampir lupa Fushiguro Toji adalah pria panggilan. "Lupakan. Jemput saja aku di apartemenku besok. Kau masih ingat jalannya, kan?"
"Masih."
"Pestanya malam minggu ini," sebut Gojo, dengan sedikit berat hati. Alasan utama membayar Toji untuk menemaninya adalah karena pria itu sudah tanpa diduga mempernalkan diri sebagai kekasihnya. Entah apakah itu bagian dari kepekaan seorang pria panggilan atau ia hanya mencari peluang untuk disewa lagi.
Tapi yang manapun alasan Fushiguro Toji, Gojo akan tetap menyewanya.
"Kirimkan alamatmu. Aku ingin mengirimkan sesuatu untuk kau pakai malam minggu besok," cetus lelaki itu tiba-tiba. Sesuatu tadi adalah bagian dari rencana balas dendam, atau lebih tepat disebut sebagai rencana untuk membuat Gojo Satoru tidak tampak terlalu mengenaskan.
"Bolehkah aku mengetahui apa yang akan kau kirim?" tanya Toji penasaran.
"Setelan formal," jawab Gojo, "dan barang untuk pasangan."
. . .
Pada malam minggu, Gojo sudah memprediksi akan seberapa gagah seorang Fushiguro Toji dalam balutan jas pilihannya, ditambah jam tangan berpasangan model rumit dengan tali kulit hitam. Terakhir, tatanan dengan gel rambut yang memamerkan kening.
Gojo sudah memprediksi semuanya. Tapi ia tetap saja terpana ketika melihat secara langsung--sampai tak berkutik.
"Masuklah," ujar pria itu membuyarkan pikiran. Ia melirik sekilas ekspresi merona Gojo, seakan tahu bahwa penampilannya baru saja membuat seseorang hampir gila. Namun dengan cepat orang yang hampir saja gila itu mengatur ekspresi, masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi sebelah kemudi.
"Pilihanku tampak bagus untukmu," sebut lelaki rambut putih sembari menyilangkan kaki. Genggaman tangan disembunyikan dari pria itu agar Toji tidak tahu seberapa gugupnya Gojo.
"Dan ukurannya sangat pas seolah kau masih mengingat tubuhku baik-baik," imbuh pria itu.
Siapa yang tidak akan mengingat hubungan seksual terpanas yang pernah mereka alami? Gojo Satoru pasti masih ingat.
"Aku hanya menebak-nebak," sahut lelaki sembari memandang keluar jendela. Ia tidak akan sanggup untuk memperhatikan sang pengemudi bila harus bertemu dengan wajah tampannya.
Jarak antara tempat resepsi dan apartemen Gojo Satoru tidak terlalu jauh. Mereka hanya butuh sepuluh menit perjalanan--itu pun karena kemacetan lalu lintas. Toji turun terlebih dahulu dan menyerahkan kunci mobil para petugas valet. Pria itu berlari kecil menuju pintu Gojo dan membukanya, meraih kemudian menggandeng tangan sang lelaki seolah mereka benar-benar sepasang kekasih.
Padahal Gojo belum mengatakan apapun. Dengan kepekaan ini mungkin biayanya akan lebih banyak dari dua juta yen.
Selama resepsi itu berlangsung, Gojo hanya memiliki sekali kesempatan untuk bertemu seorang Geto Suguru. Ia merasa bersyukur--sebenarnya akan lebih bersyukur lagi bila tidak bertemu. Tapi mengingat bahwa mereka berteman baik di masa lampau, akan sangat janggal bila tidak mengambil foto kenang-kenangan.
Toji ikut serta. Suguru sendiri yang menyuruhnya. Mereka berfoto seolah sedang melakukan double date--walaupun Gojo Satoru sendiri memasang senyum canggung. Ia menaikkan alis dan melengkungkan bibir seolah terkurung dalam kebahagiaan formalitas. Kalimat ini tidak sepenuhnya salah. Malahan itu faktanya.
Pria panggilan di sebelah ikut mengimbangi, lebih tepat bila disebut berusaha menyelamatkan keadaan. Ia merangkul lengan Gojo dan menyandarkan kepala pada bahu lelaki itu. Suguru melakukan hal yang sama dengan sang mempelai wanita. Tapi ketika itu, senyum canggung Gojo lenyap, berganti rona pipi dan ekspresi tersipu. Manik biru sedikit melirik, tidak sadar bahwa kamera sudah mengabadikan momen singkat itu.
"Semoga kalian lekas menyusul," celetuk sang mempelai wanita. Gojo akui ia cukup cantik. Namun cara bicaranya juga cukup cantik--langsung menyita seluruh fokus. Mana mungkin Gojo Satoru akan menikah dengan seorang pria panggilan? Ia ingin menghabiskan sisa hidup dengan orang yang setia.
"Kuharap juga begitu," balas Fushiguro Toji sambil tersenyum tipis. Tadi itu sandiwara. Gojo tahu. Tidak perlu menatap sepasang manik legam untuk tahu bahwa ia tengah berbohong.
Selepas foto bersama, Toji menariknya pergi dari aula. Mereka sampai di sebuah koridor yang agak sepi dari pengunjung. Itu adalah akses penghubung menuju tempat parkir. Orang yang melintas hanyalah petugas valet di dalam mobil para tamu.
Tanpa memberi aba-aba, pria panggilan itu mengurung Gojo di depan dinding, mendaratkan sebuah kecup singkat pada puncak hidung. Gojo mengerjap pelan. Sejak tadi pikirannya memang tidak berada di tempat, hingga membuat Toji kelihatan gemas sendiri.
"Apa kau baik-baik saja dengan seks di tempat umum?"
Bisikan tadi yang membuat lelaki itu sepenuhnya sadar. Gojo tidak peduli dengan sekitar saat ia melingkarkan kedua tangan pada tengkuk Toji dan balas berbisik, "Bilang jika kau sangat ingin menerkamku sekarang. Aku bisa memesan sebuah kamar di hotel bintang lima terdekat."
Tapi Toji meraih dagunya, menatap sepasang manik sebiru langit sembari menyahut, "Tidak perlu. Di sini lebih mendebarkan."
Sebuah cumbu terjalin setelah perkataan itu. Fushiguro Toji yang menginisiasi. Dan Gojo Satoru yang menyambut dengan panas. Jemari di belakang tengkuk mengusap rambut legam--mungkin nyaris menjambak--seiring taut bibir mereka berubah dalam.
Di koridor, untuk sekejap Gojo bisa merasakannya. Ada sebuah kebahagiaan yang membuncah ketika pria itu memutuskan untuk melakukan penetrasi, saat Fushiguro Toji menyusup ke dalam dirinya dan berbisik jelas di sisi telinga Gojo.
"Memohonlah padaku. Panggil namaku."
Dan tanpa berpikir dua kali, tanpa mempertanyakan perubahan pria itu dari malam pertama mereka, Gojo mengabulkannya. Dengan suara yang lirih, penuh dengan hasrat yang masih tertahan, ia memanggil dalam volume rendah.
"Fuck me, Fushiguro Toji. Senselessly."
Lalu sebuah kecupan mendarat di atas dahi, tanda persetujuan.
"I will."
. . .
Mereka tidak menyelesaikannya di koridor. Hanya satu putaran karena tiba-tiba seorang petugas valet datang untuk memarkir. Dengan cekatan Toji membenahi celana mereka berdua dan menggedong Gojo seolah lelaki itu habis mabuk setelah berpesta. Si pria meminta kunci mobil kepada petugas valet yang lewat dan mengemudi pulang.
Tidak. Tidak menuju apartemen Gojo Satoru. Ia tidak ingin mengganggu lelaki itu hanya untuk menanyakan lantai dan nomor kamar.
Toji membiarkan Gojo terlelap di sisi kemudi sembari menyetir ke tempat tinggalnya, tempat pribadi yang seharusnya tidak boleh dikunjungi seorang klien.
Malam itu, mereka memenuhi permintaan Gojo--setelah ia terbangun dari tidur. Di atas ranjang yang selalu Toji singgahi setiap bebas dari panggilan, keduanya saling bercumbu, melucuti pakaian satu sama lain. Lalu ronde keempat, kelima, bahkan keenam terjadi di sana, menutup hari dengan penuh hasrat.
. . .
Mengetahui kediaman Fushiguro Toji atau tidak pun, Gojo masih akan tetap menjaga batasan. Ia bahkan menahan diri untuk tidak menghubungi pria itu terlalu sering--meskipun rasanya kesepian tanpa seorang kekasih bohongan. Beberapa urusan di ladang saham menahannya. Lelaki itu tidak bisa terlalu larut dalam permainan nafsu dan melupakan bahwa ia punya pekerjaan.
Beberapa minggu berlalu dengan cepat sampai bulan Desember tiba. Gojo tengah menikmati secangkir cokelat hangat di depan perapian ketika sebuah pesan muncul pada ponselnya. 'Ada waktu akhir pekan besok?' Dikirim oleh kontak yang dinamai 'Pria Sempurna'.
Itu Fushiguro Toji, tanpa diduga mengiriminya pesan terlebih dahulu. Tidak perlu menunggu lebih lama bagi Gojo untuk menaruh cokelat panasnya di atas meja, beralih pada pesan teks yang baru saja masuk.
'Aku selalu libur saat akhir pekan,' ketiknya. Kemudian Gojo tersenyum sendiri. Sambil menunggu balasan, ia menaikkan kaki di atas sofa dan bersandar pada pinggirannya.
'Aku ingin mengajakmu pergi, pagi-pagi.'
'Ke mana?'
Ada jarak yang agak lama sebelum pesan selanjutnya dikirim oleh Toji.
'Rahasia.'
Kekeh pelan lolos dari mulut. Bisa-bisanya seorang pria panggilan membuat hati Gojo Satoru berbunga-bunga. Mereka bukan sepasang kekasih, hanya klien dan penyedia jasa. Harusnya tidak perlu ada rahasia. Ketika Toji bertanya sesuatu apa yang akan dikirim sebelum pesta pernikahan Suguru, bahkan Gojo langsung menjawab dengan gamblang.
'Aku tidak sabar.'
Dan lelaki itu yakin ia tidak akan bisa tidur sepanjang malam. Gojo melirik cokelat panas, lalu perapian yang masih menyala. Wajahnya merona senang. Tiba-tiba tangannya merasakan getar ponsel. Sebuah pesan masuk lagi dari 'Pria Sempurna'.
'Aku juga.'
. . .
Meskipun terjaga semalaman, Gojo Satoru tetap menyambut di depan gedung apartemennya dengan ekspresi cerah. Sebuah mobil familiar berhenti di depan lobi. Kaca jendela terbuka dan memperlihatkan sosok Fushiguro Toji, dengan mantel berwarna coklat tua.
"Tidur nyenyak?" sapa pria itu ketika Gojo menempati jok di sebelah kemudi, tempat langganannya setiap duduk di dalam mobil Toji.
"Kau berpikir aku bisa tidur setelah pria tampan mengajakku pergi ke sebuah tempat yang dengan konyolnya ia rahasiakan?"
Pria itu terkekeh, kemudian menurunkan rem tangan dan mengubah tuas gigi sebelum meraih tangan Gojo--yang ternyata berkeringat dingin. Toji mengusapnya, sebentar saja. Setelah mereka mencapai belokan keluar halaman apartemen, pria itu kembali memegang setir dengan kedua tangan.
"Apa kau sangat penasaran dengan tempat rahasia pria tampan itu?"
Mulai lagi. Ucapan yang kelewat percaya diri itu. Gojo tidak bisa protes karena ketampanan seorang Fushiguro Toji bukanlah sesuatu yang bisa ia elak.
"Tentu saja," jawabnya singkat sembari mengalihkan tatap keluar jendela. Pipi Gojo tanpa diduga terasa panas, merah padam--tampak kontras dengan rambut putihnya.
Toji hanya tertawa kecil, melanjutkan laju mobil tanpa menjawab rasa penasaran sosok di sebelahnya. Mereka mengemudi agak jauh, melewati perkotaan dan tiba di pesisir Kamakura. Jika membuka jendela, maka angin bulan Desember akan terasa menusuk. Musim dingin sudah tiba. Gojo tahu karena melihat sedikit lapisan salju pada pepohonan di sepanjang jalan.
Pria itu mengajaknya ke pantai musim dingin--entah dengan alasan apa. Toji turun dan menggamit tangan Gojo dan berjalan di bibir pantai. Masih ada burung camar yang terbang di langit, walaupun udara pagi sangat dingin. Sebelah tangan yang masih bebas lelaki itu masukkan ke dalam saku jaket.
Belum ada kata yang memecah keheningan sampai Toji berceletuk, "Kau tahu mengapa aku mengajakmu kemari?"
Tentu saja Gojo tidak tahu. Dia bukan tukang baca pikiran atau seseorang yang punya kekuatan magis. Dan Toji terkekeh duluan ketika melihat ekspresi terbebani di wajah lelaki itu. "Aku ingat aroma parfummu malam itu," jawabnya pada pertanyaan tadi.
Bolehkah Gojo terbang ke ujung dunia sekarang? Dalam rangka apa Fushiguro Toji mengingat aroma parfumnya?
"Lalu mengapa tiba-tiba mengajak pergi ke pantai karena ingat aroma parfumku?" tanya lelaki itu. Ia masih belum bisa mengira-ngira alasan Fushiguro Toji. Tidak mungkin hanya karena mengingat parfumnya saja. Gojo duga ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar parfum.
Harusnya.
"Aku iseng membaca data pemesan pria panggilan di kantor dan menemukan milikmu," jelas Toji sambil mengedarkan pandang ke arah laut. Matahari sedang terbit di cakrawala. Walaupun semburatnya hanya tampak sedikit karena tertutup awan.
"Tercatat bahwa seseorang bernama Gojo Satoru pernah memesan sebanyak tiga kali. Dia tidak pernah mau menerima orang yang sama lebih dari sekali. Jadi penyedia jasa sedikit kewalahan--,"
"Hentikan," interupsi Gojo sembari melempar tatapan tajam, "apa gunanya informasi itu bagimu?"
Toji tertawa kecil. Sangat tampan. Iya. Gojo tidak akan pernah jemu mengatakannya dalam hati.
"Ada gunanya bila membaca identitas nama dan usia," sebutnya dengan nada santai. Toji menghentikan langkah, melepas gamit tangan dan merangkul pundak lelaki itu. "Dalam data pemesan disebutkan bahwa Gojo Satoru lahir pada tanggal tujuh Desember dan kebetulan hari ini juga tujuh Desember."
Gojo tidak menginterupsi lagi. Ia membiarkan Fushiguro Toji melanjutkan ucapan--yang terdengar seperti sebuah pidato--sembari masih menatap. Sebenarnya kalimat setelah ini sudah tertebak. Tapi Gojo tetap saja berdebar-debar. Ia sudah memikirkannya, namun tak dapat membayangkan suara dalam dan berat itu benar-benar mengucap.
"Jadi, selamat ulang tahun," ujar Toji seraya mengusap helai-helai putih, mendorong wajah mereka agar saling berdekatan. Kemudian ia mengucap lagi, menyebut nama lelaki yang baru saja bertambah usia, "Gojo Satoru."
Dan sebuah ciuman mengakhirinya, ciuman yang manis, sangat manis hingga Gojo seolah tenggelam di lautan kesalahpahaman.
Jika ingin membuat lelaki itu tenggelam, harusnya Fushiguro Toji tidak perlu melakukan ini. Dengan berada di sisinya saja, pria itu sudah membuat Gojo jatuh cinta.
. . .
Setelah ucapan selamat yang romantis, mereka sarapan bersama di sebuah restoran, tidak jauh dari pantai. Keduanya mengobrol sebentar sembari menikmati makanan laut nan hangat, lalu pulang kembali.
Mereka bertukar cerita seputar banyak hal, kecuali perihal permainan saham yang memusingkan--Gojo tidak akan mengangkat topik itu. Toji bercerita tentang kantor penyewaan dan pekerjaan utamanya yang ternyata bukan sebagai pria panggilan, melainkan pemilik tempat reparasi mobil. Ia hanya menyewakan diri untuk mengisi waktu luang saja.
"Kalau mobilku bermasalah, kau akan jadi orang pertama yang kuhubungi," cetus Gojo sembari menunjuk-nunjuk Toji dengan sumpitnya.
"Kukira kau tidak punya mobil karena selalu menumpang padaku," balas pria itu kemudian mengambil potongan tuna di piring.
"Aku punya satu di garasi apartemen. Kapan-kapan akan kubiarkan kau melihat seberapa bagusnya mobilku."
Toji terkekeh pelan lalu mengiyakan kata-kata itu.
"Kapan kau berulang tahun?" tanya Gojo kemudian. Toji bisa melihat miliknya di data pemesan. Tapi ia tidak memiliki ide harus mencari informasi ini di mana. Bertanya langsung adalah pilihan terbaik.
"Tiga puluh satu Desember," jawab pria itu tanpa bertanya macam-macam.
Gojo menghela napas sejenak, mencari sebuah keberanian untuk mengajak Fushiguro Toji pergi bersama. Bukan. Bukan sebuah kencan. Ini hanya perayaan ulang tahun saja. Toji juga merayakan ulang tahunnya di pantai hari ini. Wajar bila Gojo ingin membalas di malam tahun baru.
"Apa kau ada waktu hari itu?"
Gojo berharap banyak. Sangat sangat banyak.
"Seseorang telah memesanku untuk hari itu sejak minggu lalu."
Dan jawaban yang diberikan Toji sangat tidak memenuhi harapan. Gojo seolah ditarik kembali ke dunia nyata, oleh sebuah fakta bahwa Toji bukanlah orang yang bisa ia ajak pergi sesuka hati. Toji bukan miliknya.
"Jika kau ingin memesanku untuk bersandiwara menjadi kekasih bohongan, aku--,"
"Tidak," potong Gojo, "urusanku dengan Suguru sudah selesai. Lagipula dia sudah menikah."
Toji tidak menyahut. Ia hanya mengunyah makanan sambil memperhatikan ekspresi Gojo--yang mungkin saja bisa berubah.
"Apa?" Lelaki itu sadar diperhatikan. Ia melirik keluar jendela restoran, melihat langit yang masih berawan. "Jangan berharap aku akan menangis setelah ditolak dua kali."
"Kau tetap menawan saat menangis," balas Toji dengan suara pelan. Sebenarnya kalimat tadi bisa dikategorikan sebagai pujian. Tapi tetap saja, mengapa harus saat Gojo menangis?
"Karena itu kau terus bersandiwara sebagai kekasihku walau aku tidak memintanya? Kau berharap aku akan menangis lagi?"
"Tidak," sahut Toji sembari menaruh sumpit, melipat tangan dan menatap Gojo lamat-lamat. "Aku bisa membuatmu menangis hanya dengan satu ronde."
Percaya diri sekali. Tapi memang itu kenyataannya. Bahkan saat kali kedua mereka di koridor menuju tempat parkir, Gojo menitikkan air mata, air mata kenikmatan.
"Siapa yang arogan sekarang?" sindir lelaki itu kemudian melahap kerang bakar di atas meja.
Toji meraih minuman di sisi piring. Ia mendesah lega setelah menenggak seluruh isi lalu menaruh kembali gelas kecilnya. "Orang yang sedang berulang tahun tidak boleh marah. Nanti umurnya pendek," ujarnya sembari beranjak dari kursi.
Padahal Fushiguro Toji sangat romantis tadi pagi. Sekarang ia malah seolah mendoakannyapergilebih cepat. Setelah mengucapkan kalimat tadi, Toji berjalan ke meja kasir. Ia merogoh dompet di saku celana dan membayar hidangan laut mereka.
Dengan santai ia kembali ke meja, berpangku tangan sembari menatap Gojo yang masih berkutat dengan kerang bakar. "Kutraktir," tegasnya, "anggap saja hadiah ulang tahunmu."
. . .
Jarak antara tanggal tujuh dan tiga puluh satu adalah sebanyak dua puluh empat hari. Itu artinya dua puluh empat hari pula Gojo Satoru sudah bersiap-siap untuk menghabiskan waktu seorang diri di malam pergantian tahun. Dengan satu dus bir kalengan, ia siap menghabiskan malam dengan kehilangan akal. Tidak akan ada siapapun di sisinya nanti. Tidak Geto Suguru yang sudah meninggalkannya menikah ataupun Fushiguro Toji yang lebih memilih untuk meladeni pemesan jasa.
Gojo kurang bergerak cepat. Harusnya ia memesan Toji untuk setiap hari peringatan di mana pasangan biasanya menghabiskan waktu berdua. Mungkin tahun depan, saat hari kasih sayang di bulan Februari. Lelaki itu menenggak kaleng pertama, kemudian menatap ke langit-langit apartemen dengan sorot menyedihkan.
"Hari valentine masih sangat lama," gumam Gojo lalu melemparkan kaleng bir ke tong sampah di sisi perapian.
Tepat sasaran. Ia terkekeh—sedikit—senang. Lalu kaleng kedua, ketiga, dan keempat juga diperlakukan dengan cara yang sama.
Untuk yang kelima, Gojo gagal melemparnya. Kaleng bir itu meleset dan jatuh di lantai apartemen.
"Sial," umpatnya seraya menenggak bir keenam. Kali ini Gojo tidak melempar. Ia hanya menaruh kaleng di sebelah meja.
Tangan lelaki itu meraih ponsel yang ia letakkan di atas sofa. Sebuah layar obrolan dibuka, obrolan bersama si 'Pria Sempurna'. Mereka terakhir saling bertukar pesan kemarin. Gojo bertanya sampai jam berapa pemesan itu melakukan reservasi. Namun Toji hanya membalas 'Entahlah. Tergantung berapa banyak ia membayar.'
Gojo tahu ia tidak berhak marah. Tapi pada kenyataannya ia jengkel. Kenapa seseorang harus menghabiskan waktu dengan pria itu? Kenapa tepat saat pria itu berulang tahun? Dan kenapa Gojo tidak bisa merusaknya saja?
Benar. Kenapa ia tidak bertindak nekat saja seperti malam di mana Suguru membawa wanitanya ke hotel—untuk dilamar? Gojo bisa memesan pria lain dan mengganggu kencan Fushiguro Toji.
Tapi ke mana pria itu pergi? Ia bahkan tidak bertanya. Tanpa pikir panjang Gojo mengetik sebuah pesan, menanyakan tempat keberadaan pria itu. 'Di mana kau sekarang?'
Selang beberapa detik sudah ada pesan balasan yang masuk. Gojo langsung membukanya. 'Tidak akan kuberi tahu karena kau pasti berencana merusak kencanku.'
Dari mana Toji tahu ia akan merusaknya? Gojo mengetik lagi, berkilah, 'Aku hanya penasaran.'
Pesan berikutnya masuk agak lama. 'Tunggu aku dengan sabar, sayangku.'
Gojo menatap sebaris kalimat itu selama beberapa saat tanpa melakukan apapun. Ia bingung harus fokus di bagian yang mana. Apakah bagian di mana Toji menyebutnya 'sayangku'? Atau apakah bagian bahwa ia disuruh menunggu? Menunggu apa? Dan mengapa 'sayangku'? Kepala Gojo sakit hanya dengan bertanya berulang-ulang pada diri sendiri.
Malam itu, ia memutuskan untuk menunggu—entah menunggu apa—sembari menghabiskan isi kaleng-kaleng bir yang sudah dibeli. Beberapa kali Gojo melempar kaleng ke tong sampah. Namun tidak ada yang masuk. Pandangannya terasa samar, berbayang. Tapi kemudian ia menenggak bir kembali, membiarkan dirinya sendiri larut dalam alkohol yang semakin lama semakin menumpuk.
Ia hilang akal. Dan hal terakhir yang ada dalam ingatan Gojo adalah bahwa ia meraih ponselnya lagi—entah setelah itu melakukan apa.
. . .
Saat terjaga, Gojo Satoru sudah berada di kamarnya—bukan sofa di depan perapian lagi. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh yang—tanpa diduga—berbaring telanjang. Manik biru langit terbuka lebar, menemukan figur seorang pria yang tengah berada di sebelah, menatap hangat seolah mengucap 'selamat pagi'. Gojo sangat mengenalinya, dengan bekas luka di sudut bibir.
Fushiguro Toji.
Tiba-tiba ia bangun dan menatap kaget. "K-kencanmu? Kenapa kau ada di sini? Bagaimana kau bisa masuk?" Pertanyaan bertubi yang seolah tak akan pernah selesai.
Dengan perlahan Toji menarik tubuh Gojo, membawanya dalam dekapan hangat. Ia juga tidak berbusana. Dan pinggul lelaki itu berangsur-angsur terasa sakit. Mereka pasti juga melakukannya semalam. Tapi bagaimana? Dan mengapa?
"Kau meneleponku semalam. Berulang-ulang. Untung saja klienku membatalkan janji di saat-saat terakhir. Kemudian kau juga memberi tahu nomor dan sandi apartemenmu. Aku kemari dan mendengarmu mengoceh dalam kondisi mabuk lalu kita mengakhiri hari dengan tidur berdua," jelas Toji sembari mengusap helai-helai putih dengan perlahan.
"Apa sudah terlambat bagiku untuk mengucapkan selamat ulang tahun?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Mungkin semalam ia mendesah terlalu keras karena ulah Toji. Suaranya selalu seperti ini setiap setelah sesi panas.
"Kau sudah mengucapkannya semalam. Tidak terlambat."
Tapi Gojo tidak ingat. Tentu saja. Bagaimana ia akan ingat dengan pengaruh alkohol?
Di depannya, Toji hanya tersenyum. Masih tetap tampan namun terasa menyebalkan. Pria itu tersenyum seolah sedang menyembunyikan sesuatu, seolah ada hal yang Gojo tanpa sadar katakan semalam.
"Bagaimana aku mengucapkannya semalam?" Lelaki itu bertanya, mengusir risau di dalam benak.
Senyum Toji semakin lebar saja. Malahan berubah menjadi tawa kecil. Pria itu meraih ponselnya di atas nakas, memutar sebuah rekaman. Toji meletakkan pengeras suaranya di dekat telinga Gojo, mengajak lelaki itu untuk mendengarnya bersama.
"Coba ulangi sekali lagi. Aku ingin merekamnya sebagai bukti bila kau lupa."
"Aku belum pernah bertemu dengan pria semenyebalkan dirimu."
"Ulangi dan aku akan memberi tahu jawabanku."
Jantung Gojo berdegup kencang di dalam pelukan. Ia bergeser menjauh agar Toji tidak sadar. Namun pria itu malah memeluknya lagi, memejamkan mata sembari lanjut mendengarkan rekaman suara semalam.
"Selamat ulang tahun, Fushiguro Toji. Aku menyukaimu. Tidak. Bukan tentang urusan ranjang. Kau sangat hebat soal itu tapi aku hanya ingin bilang bahwa aku menyukaimu."
"Lalu?"
"Jangan menjadi pria panggilan lagi. Aku akan datang bila kau membutuhkan partner di atas ranjang. Jadi tolong lakukan itu hanya denganku saja."
Wajah Gojo merah padam. Panas karena ucapannya sendiri di dalam rekaman. Ia ingin menyela, namun mendadak energinya seolah lenyap, hilang karena rasa malu yang semakin menjadi. Gojo ingin kabur keluar kamar, tapi pelukan pria ini sangat nyaman, terlalu nyaman untuk dilewatkan.
"Hanya denganmu saja?"
"Iya. Jadilah kekasihku. Yang asli."
"Hentikan," mohon Gojo sembari menelusupkan tangan, balas memeluk Toji erat-erat. Ia memejamkan mata, berharap pria itu benar-benar menghentikan rekaman suara semalam. Gojo bisa meledak karena rasa malu sekarang. Dan juga, lelaki itu sangat takut mendengar lanjutannya.
Toji menaruh ponselnya kembali ke atas nakas, lalu mengusap-usap helai rambut Gojo lagi. Lelaki itu tidak sempat melihat ekspresi hanya yang ia tunjukan saat tiba-tiba memberi jarak di antara mereka, mendaratkan sebuah kecupan singkat pada dahi Gojo Satoru.
"Aku juga menyukaimu. Aku bisa berhenti menjadi pria panggilan dan hanya melakukan itu denganmu," sebut Toji.
Perlahan Gojo membuka matanya, bertatapan langsung dengan sepasang manik legam. Fushiguro Toji masih terlihat tampan, meskipun pernyataan cinta balasan tadi sungguh tidak elit. Gojo tidak bisa menerima kekalahan ini. Ia benci merasa malu di depan sosok yang ia sukai.
Tapi kemudian Toji tidak mengatakan apapun lagi. Melihat rona merah di pipi Gojo Satoru sudah merupakan sebuah jawaban. Pria itu tahu, walau tidak mengatakan apapun, Gojo sedang amat bahagia sekarang. Dan memang benar-benar bahagia sekarang.
Beberapa saat berlalu dalam tatap dan keheningan, sampai keduanya memutus jarak dengan sebuah ciuman, taut bibir yang manis dan romantis untuk memulai tahun baru.
Juga sebuah lembaran baru bersama.
.
.
.
Fin.
. . .
Ini FF harusnya menjadi sebuah PWP alias porn without plot kayak fic "Perang" di sebelah tapi versi lebih panjang aja gitu. Tapi aku pengen bikin sesuatu yang proper buat otp TojiGo dan jadilah cerita 6k kata ini, yang astaga bahkan aku tidak pernah percaya akan bisa membuat satu oneshoot berisi enam ribu kata.
