Libur
Bungou to Alchemist belong to DMM Games
[warn: mengandung spoiler event Purification Faust]
For #MonthlyFFA #5ToplesKue
Happy reading!
.
.
.
"Aku dengar Shuusei dapat waktu libur?"
Hujan yang turun sejak siang melingkupi sekitar perpustakaan yang suasananya seolah turut melayu. Shuusei ada di ruang santai, diam dengan kedua tangan yang tengah memegang kain dan jarum jahit, kala Shimazaki Touson tiba-tiba bertanya. Entah ia memikirkan apa hingga kedatangan pemuda berhelai cokelat itupun sama sekali tidak disadarinya—namun anehnya Shuusei tidak terkejut, netra hitam keabuannya hanya balas melirik hingga Touson merasa heran.
"Mhm." Anggukan diberikan seiring dengan jawaban singkatnya.
"Wah?" Touson mengerjap-ngerjap. Sambil mengambil tempat di sebelah Shuusei, ia lanjut bertanya. "Sejak kapan? Dan berapa lama?"
"Dua hari lalu." Shuusei diam sebentar, berusaha mengingat-ingat perkataan Kanchou sebelumnya untuk menjawab pertanyaan lain Touson. "Katanya ... seminggu?"
Kira-kira dua hari lalu Kanchou berkata Shuusei boleh liburan sejenak—selama seminggu, lebih juga tidak apa-apa kalau mau. Ia boleh tidak delving (kecuali kalau keadaannya benar-benar genting), sementara semua pekerjaannya sebagai asisten pustakawan untuk sementara dipegang oleh Oda Sakunosuke.
"Shuusei-san istirahat saja! Untuk seminggu ke depan biar aku yang urus—jangan khawatir, bakal beres, kok!" Begitu pemuda Osaka itu berkata dengan nada cerianya yang biasa, dan sejak saat itu Shuusei tidak pergi ke ruangan Kanchou lagi untuk melaksanakan tugas rutinnya.
"Seminggu, ya ..." Touson mangut-mangut. "Itu cukup?"
"... Kenapa kau bertanya begitu?"
Kalau boleh jujur, dua hari tidak bekerja sudah agak aneh bagi Shuusei sendiri, apalagi kalau lebih—kendati, untuk sekarang sepertinya tidak terlalu masalah.
"... Kenapa, ya ...?"
Shuusei menatap Touson dengan tatapan bingung. Namun, tak lama setelahnya ia hanya menghela napas. "Terserahmu, deh."
Tangannya kembali bergerak setelahnya, hendak menyelesaikan jahitan pada salah satu yukata milik Ozaki Kouyou—permintaan tadi siang setelah jam makan, dan berhubung Shuusei tidak ada kerjaan maka ia mau-mau saja menyanggupi.
Dari tempatnya Touson mengamati. Agak lama, sebelum akhirnya ia kembali bertanya, "Shuusei yakin seminggu cukup?"
Lagi-lagi Shuusei meliriknya. Gerakan tangannya terhenti. "Kenapa, sih ...?"
"Tanganmu gemetar." Touson menjawab kalem. "Dan ekspresimu ... kamu sedang memikirkan sesuatu? Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai tanganmu gemetaran begitu?"
Pada dasarnya kedua netra hijau itu memang jeli, terlampau jeli hingga ia bisa menangkap getaran yang tak biasa dari kedua tangan pemuda di sebelahnya. Ketika pandangan Touson beralih pada wajah Shuusei, ia bisa menangkap raut wajahnya yang datar, akan tetapi ada seberkas sorot mata yang seolah menyiratkan bahwa ia tengah memikirkan sesuatu—dan apapun itu, sepertinya bukan hal-hal ringan.
Shuusei terdiam. Untuk sesaat ia hanya menatap balik Touson dengan tatapan tak terdefinisikan, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke bawah, pada kedua tangannya yang memegang kain yukata dan jarum jahit. Helaan napas yang agak tertahan keluar dari sela bibirnya.
"Shuusei?"
"... Entahlah."
Touson masih menatapnya, sementara tangannya mulai merogoh saku celana. Satu kantung kain kecil berwarna ungu pastel ia keluarkan dari sana.
"Orang-orang bilang, makanan manis bisa meningkatkan mood bagus, lho." Satu kue kering rasa vanila Touson keluarkan dari dalam sana, lantas disodorkan pada Shuusei.
Shuusei melirik sedikit. "Lalu?"
Touson tidak menjawab. Tangannya masih menyodorkan—bahkan dimajukan sedikit sehingga jaraknya dengan wajah Shuusei menipis sekian milimeter. Kedua matanya menatap Shuusei seolah ingin Shuusei menerimanya.
Shuusei menggeleng kecil. "Lain kali saja, Shimazaki."
"Kalau kelamaan nanti habis—Katai dan Kunikida juga pasti mau."
"Ya sudah, berikan pada mereka saja."
Lagi-lagi tangan Touson maju beberapa milimeter.
Shuusei menghela napas. Pada akhirnya juga ia meletakan jarum jahitnya di atas meja, lalu menerima kue kering tersebut dan memperhatikannya sebentar.
"Kyouka dan Toukoku yang membuatnya, tadi siang."
"Begitukah?"
"Mhm."
Rasa manisnya menyebar dengan cepat kala Shuusei memakannya. Rasanya memang pas—ia baru tahu Kyouka bisa memasak seenak ini, apa karena ada Toukoku juga?
Akan tetapi ia tidak mengatakan apa-apa, kendati rasa apa yang dimakannya memang lezat. Tatapannya yang masih menatap tangan sendiri lama kelamaan terasa kosong, kalau Touson perhatikan.
"... Biasanya yang makan sesuatu jam segini bukan Shuusei, ya?" Touson berkata lagi.
Anggukan kecil diberikan oleh yang ditanyai, setelah hening berlatarkan hujan mengudara agak singkat. Biasanya pada jam segini, di ruangan milik Kanchou, ada Shuusei, juga juga satu sosok lain yang tengah melahap isi mangkuk makanannya di atas meja. Kalau makanannya sudah tandas, Shuusei suka iseng mengelus puncak kepalanya—yang mana biasanya disambut dengan geraman tidak suka, meski sejurus berikutnya ia memilih menikmati dan bermanja-manja pada sentuhan tangan Shuusei yang hangat.
Itu Neko, direktur perpustakaan yang selalu dipertanyakan oleh mereka yang baru saja tiba di Teikoku Toshokan ini karena wujudnya seekor kucing dewasa berbulu cokelat-putih (aneh meski sejujurnya menggemaskan juga). Meski kadang menyebalkan, akan tetapi semuanya juga menyayanginya, sebenarnya—apalagi Shuusei, yang paling lama bersamanya, karena ialah sastrawan yang pertama kali tiba di tempat ini. Ketiadaannya sejak tim yang bertugas membawa Goethe bereinkarnasi kembali ke Toshokan jelas menjadi pukulan tersendiri, terlebih pada Shuusei yang menyaksikannya secara langsung.
Barangkali itu penyebab Kanchou memberi Shuusei waktu liburan—untuk menenangkan diri, karena dengan pikiran sekacau itu mana bisa ia berkonsentrasi pada pekerjaannya, apalagi pada pertarungan dalam yuugaisho (bahkan ketika memegang jarum jahit saja tangannya gemetaran).
"... Menyakitkan, ya?"
Shuusei tidak menjawab. Touson untuk kedua kalinya menyodorkan kue kering, namun lagi-lagi Shuusei tidak menggubris.
"Aku dengar karena buku yang kalian singgahi nyaris lenyap, para staf sedang merencanakan serangan balasan. Kau akan ikut?"
"... Aku belum tahu." Shuusei menjawab kali ini, bersamaan dengan kepalanya yang menggeleng pelan.
"Kalau Shuusei ditunjuk lagi, kau akan ikut?"
"... Tentu saja." Ada dendam yang harus ia balaskan—baik dendamnya sendiri, maupun dendam Neko apabila ia juga mendendam. Mana mungkin Shuusei menolak, kalau selanjutnya ia ditunjuk lagi untuk masuk ke dalam buku yang terasa asing.
Touson bisa lihat tangan kanan pemuda itu mengepal, erat sekali. Sekali lagi, ia menyodorkan kue kering. "Kalau Shuusei mau ikut dan balas dendam, Shuusei harus ceria dulu." Begitu katanya.
Shuusei meliriknya. "... Apa hubungannya?" Keningnya berkerut, namun tangannya tetap menerima kue itu.
"Apa, hayo?"
"Hei ..."
"Kalau mau lagi, aku punya banyak, kok—Toukoku memberiku banyak, kita bisa makan berdua."
"Katamu Katai dan Kunikida juga ...?"
"Aku belum lihat mereka, sih."
"... Terserahmu." Sebelum kembali makan ada baiknya Shuusei lanjut menjahit yukata milik Kouyou-sensei. Dan ketimbang mengambil libur seminggu lebih, ada baiknya ia kembali sebelum waktu liburan yang Kanchou berikan habis, karena untuk balas dendam ia perlu latihan lebih keras.
-end-
Plis ini event endingnya gantung banget (DAN NYESEK, DMM KENAPA NEKO KITA TERCINTA HARUS ... QAQ). Uda lewat seminggu lebih tapi lihatlah ak ga bisa move on /nangis
(tetiba ak kangen surat dari Neko, beneran ga dateng lagi suratnya anjir begitu eventnya kukelarin ;--;)
Btw ni fic tema kuenya ga terlalu terasa ya (。ŏ_ŏ) dah la ya /digebuk
