Satou Harou masih menatapi kicauan sepasang pleci dibandingkan menikmati telinganya, ketika Ibuse Masuji menggeser shoji. Datang membawakan bidak shogi yang dijanjikan–salahkan saja Dazai Osamu yang pernah menghilangkannya di masa lampau–untuk melanjutkan pertempuran pantang mundur sejak Senin lalu.
Sekarang ini adalah Minggu pada tujuh April, yang mana merupakan akhir dari pertandingan keduanya. Ibuse memimpin 6-5. Esok sakura akan berguguran seutuhnya, sehingga mungkin bahu Haruo mendadak kaku tatkala Ibuse tepuk. Atau lamunan Haruo memang asyik-asyiknya mengingat satu per satu langkah milik Ibuse–akhirnya tertarik menang, supaya ia dapat meminta sesuatu dari Ibuse, usai terus menolak di sepanjang permainan.
"Memikirkan apa, sih? Sensei kelihatan serius banget." Suara yang kebapakan itu menyelusup lembut. Sepasang telinga Haruo yang semula tumpul terbangun, dan di satu sisi jadi lumayan mengagetkannya.
"Ah, Ibuse. Tidak apa-apa, kok. Kapan kau datang?"
"Baru banget, kok. Tenang saja, karena Sensei tidak melewatkan apa pun."
Bidak shogi dalam kantong bening diperlihatkan. Berdirinya Haruo lebih cepat, ketimbang maaf yang berakhir terkesan menumpang lewat. Haruo mempersiapkan papannya yang terletak di ujung ruangan. Mereka bermain di tengah-tengah engawa, di mana Ibuse maju sebagai sente–pemain yang jalan pertama–sedangkan Haruo adalah gote; melangkah sesudah Ibuse, menilik kemarin Haruo kalah usai sedemikian sengit.
"Tawarannya masih berlaku, lho. Bukankah Sensei diam-diam serius memikirkannya?"
"Sudah kubilang enggak begitu, Ibuse. Lagi pula aku bukan Dazai." Nama muridnya itu lebih disebut oleh lelah–sekilas Haruo teringat lagi akan Dazai yang membuang semua bidaknya, usai kalah telak dari Shiga Naoya. Tawa Ibuse sejenak menggema. Fuhyou langsung melangkah ke depan sebagai pembukaan.
"Kalau begitu akulah yang akan menang, Sensei. Bersiap-siaplah."
Semangat itu sekadar Haruo jawab dengan helaan napas. Kendatipun Haruo bilang, ia bukanlah Dazai yang menginginkan hal-hal sejenis hadiah, langkah pertamanya tampak mantap membuat Ibuse kian bersemangat.
Mono no Aware
Disclaimer: DMM.
Warning: Kemungkinan OOC sangat tinggi, typo, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini. Semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, dan didedikasikan untuk event milik grup aliansi kucing datar (baca: Our Home).
Haruo keluar sebagai pemenang. Netranya bahkan masih berkedip-kedip lucu, sewaktu Ibuse justru tergelak puas, karena nyatanya pikiran Haruo amat menggebu-gebu.
Ini tidak seperti itu, adalah kalimat pertama Haruo yang maksudnya, ia menang bukan karena berminat demikian. Padahal jelas-jelas Haruo terpojok. Ibuse pun sudah mengangguk-angguk meyakinkan bidaknya, bahwa ini memang langkah terakhir; skakmat. Namun, entah bagaimana bisa Haruo mendadak menciptakan penaklukkan. Bahkan sejujurnya Haruo asal-asalan, sehingga ia mati kutu di hadapan Ibuse yang turut bertanya-tanya, bagaimana bisa Haruo kepikiran?
"Menang atau kalah sangatlah biasa dalam permainan apa pun. Jadi apa yang kau inginkan, Sensei? Tetapi tolong jangan susah-susah." Diganti dengan hal tersebut tidak terlalu menyenangkan Haruo. Keningnya lebih berkerut dibandingkan sebelum-sebelumnya, karena ia terus mencari satu cara untuk mengelak, ketika Ibuse punya seribu satu cara membalikkan keadaan.
"Lupakan saja. Yang setuju bahwa yang menang boleh meminta sesuatu dari yang kalah hanyalah kau, Ibuse."
"Kita sama-sama setuju, kok. Sensei, kan, gagal menjawab pertanyaanku soal, 'Kapan obat tidur bangun?'. Sudah kubilang juga kalau Sensei tak tahu atau salah, maka kesepakatan kita jadi." Jawabannya adalah, jika Haruo memasang alarm pukul tujuh, nanti juga obat tidurnya terjaga. Atau kalau Haruo mau, pinjam saja kekuatan ibu-ibu. Memang sangat absurd. Ketawanya bahkan lebih garing dibandingkan lawakan bapak-bapak Ibuse.
"Bolehkah aku meminta waktu untuk memikirkannya?"
"Pasti sesuatu yang sangat besar, nih. Boleh-boleh saja sebenarnya."
Lantas pandangan Haruo berlari ke arah pohon sakura, dan ternyata sepasang pleci yang diminatinya sudah terbang–kembali menembus biru bumantara tanpa batas. Ibuse jadi mengikuti arah pandang Haruo. Dugaannya mengenai Haruo yang membayangkan epilog sakura terlintas lagi. Sebagai orang jepang tulen, prinsip makoto (ketulusan)yang sudah melekat bahkan sebelum awal terlahir, pasti memberikan perasaan rentan terhadap ketidakabadian alam yang bisa Ibuse pahami jua.
"Sayang sekali memang, umur sakura hanya seminggu." Ibuse maju beberapa langkah. Punggungnya bersandar pada shoji, lalu melalui isyarat sederhana, Ibuse mengajak Haruo bergabung daripada jauh-jauh begitu.
"Hmm … besok kita tidak bisa melihatnya lagi. Untungnya enggak ada angin kencang, atau sakura-nya lebih cepat gugur."
"Benar, benar. Kita beruntung juga. Kira-kira Dazai serta Dan sedang apa, ya, kalau musim semi begini?"
"Palingan minum sake di bawah pohon sakura sama Buraiha lainnya, sampai tepar dan muntah-muntah." Pernah Haruo disuruh membawa pulang Dazai yang sudah mengigaukan, bahwa ia adalah juri Akutagawa Prize, kemudian mengangkat-angkat diri sendiri sebagai keagungan; pemenang. Untung saja Haruo lewat. Dazai pun batal mempermalukan seisi perpustakaan untuk hari itu saja.
"Dendam amat kendengarannya."
"Mau bagaimana lagi. Anak itu benar-benar ogah absen dalam menyusahkanku."
"Yah … begitulah cara anak muda bersenang-senang. Di saat-saat begini, aku malah lebih teringat pada sastra ujung-ujungnya."
"Mau membuat cerita dari sakura, kah?"
"Ide bagus, tetapi yang sebenarnya kuingat adalah quote milikmu."
Sebelah alis Haruo naik menyiratkan heran. Apakah itu kalimat yang dikandung seumur hidup oleh karya-karya Haruo? Namun yang manakah kira-kira? Penulis memiliki banyak kata-kata, memang. Akan tetapi mana Haruo sangka-sangka, yang Ibuse maksud adalah sesuatu yang berada di luar gaya bahasa Haruo. Malahan ia cukup melupakannya, mungkin karena diam-diam terlalu melukiskan dekatnya Haruo dengannya, tetapi ia tega membayangkan mereka jauh.
"Semua kedamaian dan kebahagiaan menjadi lebih pendek, apabila terkandung dalam kehidupan yang singkat."
Adalah quote yang Ibuse maksud. Bahkan ia menjelaskan bahwa Haruo mengucapkannya kala musim gugur, tetapi tetap Haruo limbung.
"Quote itu mengingatkan Ibuse pada sakura?"
"Begitulah. Kalimatmu lumayan masuk, kan, dengan keadaan sakura sekarang ini?" Kedamaian dan kebahagiaan dilambangkan oleh sakura. Tujuh hari tentu saja merupakan kehidupan yang singkat. Haruo mengangguk-angguk setuju. Walaupun sehabis ini Haruo belum tentu mengingat gestur yang sama untuk Ibuse.
"Aku teringat kalimat itu setelah berbasa-basi, kira-kira Dan serta Dazai sedang apa? Terus, ya … kupikir cocok juga dengan Dazai."
"Lumayan masuk akal. Mungkin karena itulah Dazai jadi mengakhiri hidupnya sendiri. Langsung memupuskannya ketimbang kebahagiaannya menjadi semakin pendek," balas Haruo yang kali itu, sembari mewarnai langit dengan caranya sendiri. Tahu-tahu ia mengangkat sebelah tangan. Jari-jarinya mengepal. Terbuka. Tidak ada lama yang benar-benar singgah pada titik-titik gerakannya.
Ibuse dan Haruo adalah mentor Dazai. Topik yang tak bisa jauh-jauh dari mereka ini sebetulnya wajar. Amat tidak salah dan mumpung Dazai tengah di suatu tempat, Haruo pasti bisa lebih mengutuhkan Dazai. Tentang Dazai yang sekarang ini bagi Haruo–bukan Dazai di masa lalu terlampau di belakang.
Dazai Osamu.
Karyanya yang berjudul Ningen Shikakku sudah lebih dari cukup, untuk menjabarkan Dazai itu sendiri secara luas, makin sempit dan sempit hingga seseorang merasa dicekik. Dicekam lehernya oleh Dazai yang selalu berada pada rasa malu sebagai kehidupan manusia tersebut.
Mereka mustahil lupa, Dazai bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya ke Kanal Tamagawa. Tubuhnya yang dingin dan kaku tanpa sisa-sisa kenangan, ditemukan di tanggal sembilan belas Juni tahun 1948–ulang tahunnya yang ke 39. Penyelasan lantas selalu ingin menemukan Haruo. Pertanyaan itu mencolek Haruo, mengapa singkat sekali hidupnya Dazai? Kenapa pula jadi meyakinkan Haruo, Dazai memang tak cocok menjadi manusia?
Namun, ketika sekarang ini Haruo bertanya untuk menjernihkan mendungnya sendiri, benarkah kehidupan Dazai yang memutuskan bunuh diri adalah pendek? Haruo merasa peralahan-lahan bisa percaya, Dazai benar-benar tak sesingkat itu.
Lagi pula apa yang Haruo maksud dengan singkat?
Menjalani 38 tahun hidupnya selaku Tsushima Shuuji lalu menjadi Dazai Osamu, apakah itu singkat?
Bunuh dirinya Dazai, benarkah ia mempersingkat yang sudah singkat?
Tidak juga, Haruo pikir. Yang apabila ia tak mendapatkan kesempatan kedua untuk merepresentasikan jiwa penulis, belum tentu Haruo bisa memikirkannya. Atau mungkin
"Namun, aku sendiri jadi bertanya-tanya, apakah betul demikian adanya? Benarkah kehidupan Dazai yang memutuskan bunuh diri adalah pendek?"
"Belum tentu singkat, Ibuse. Kehidupan adalah tentang menjalani. Jika Dazai merasa panjang, berarti kehidupannya panjang. Justru kitalah yang salah, karena langsung menyimpulkannya sebagai pendek, padahal kita sekadar melihat." Angin yang Haruo embuskan melalui kalimatnya senantiasa menjadi favorit Ibuse, dan ia semakin suka ketika tak perlu mengungkapkan perasaannya. Ibuse tersenyum simpul. Haruo turut memberikan langit yang sama untuk Ibuse, saat ia memandangnya.
"Kata-kata yang sangat bertenaga, Sensei. Kurasa ada benarnya, seperti sewaktu kita melihat seseorang terus-menerus gagal. Padahal kita mana tahu, mungkin ia sudah mencoba ratusan kali dalam artian sebenarnya, tetapi kita malah mengecapnya malas hanya gara-gara ia belum berhasil."
Manusia sudah terlalu banyak melihat dan langsung menyimpulkan. Kurang mendengarkan sebuah perjalanan yang padahal, tak semua-muanya dapat diterima secara ikhlas (Dazai memang contoh nyatanya), yang tidak akan pernah aneh, apabila suatu hari nanti dunia hanyalah setumpuk kata-kata. Kata-kata yang tanpa suara dan manusia lupa, bagaimanakah cara membacanya? Ternyata arti dari komentar-komentar mereka adalah entah apa, selama ini.
Meninggal sebelum usia tujuh belas pun, dan entahlah orang itu usai akibat takdir, atau ia memaksakan kematian padanya, tetap saja panjang. Karena jika tak begitu, mereka anggap apa suka-dukanya yang silih berganti (walau lebih sering menyangkut di luka)?
Bahkan janin yang belum terlahir menjadi bayi pun, sebenarnya mempunyai kehidupan yang panjang. Ia juga melihat kematian di dalam sana, setidaknya, walaupun tak pernah menyentuh kenang-kenangan.
Haruo jadi berpikir, daripada ia atau Ibuse terlalu fokus terhadap kehidupan Dazai yang disebut singkat, lebih baik mereka mengingat karya-karya Dazai. Sosok Dazai yang mau menjadi murid Haruo-Ibuse. Mengagumi Ningen Shikkaku sebagai sesuatu yang hebat, tetapi bukan betapa menyedihkannya kehidupan Dazai-lah yang luar biasa, melainkan pemikiran Dazai yang memang genius–ia yang mampu mengekspresikan rasa yang tak dimiliki orang awam; sastrawan sejati.
Begitu lebih menghargai Dazai. Sementara untuk sakura, juga mereka yang pergi entah bunuh diri atau memang dipanggil; ingatlah namanya. Ia pasti bukan sekadar nama, karena memiliki kenangan serta harapan jua. Buatlah menjadi, cara ia menjalani hidupnya selalu lebih penting daripada kematiannya.
"Begitu pun sakura, Ibuse. Pada akhirnya daripada kita menyayangkan hidupnya yang singkat, lebih baik–", "Lebih baik kita menganggapnya telah hidup dengan sebaik-baiknya, dan memang itu adalah waktu yang panjang bagi sakura yang menjalaninya," potong Ibuse yang senyumannya adalah yang paling lebar. Sekilas Haruo mengerjap-ngerjap. Menyadari yang baru saja dilakukannya, Ibuse jadi menutup mulut.
"Maaf, Sensei. Tanpa sadar aku terlalu bersemangat, hehe."
"Aku pun sudah selesai meminta sesuatu padamu, Ibuse."
"Eh? Bagaimana bisa begitu?"
"Obrolan kita soal Dazai sudah lebih dari cukup. Akhirnya pula aku sadar, kenapa aku merasa aneh sewaktu melihat sakura di hari ini?"
Sakura memang mengingatkan Haruo kepada Dazai, dan itu seumpama mono no aware–sebuah perasaan yang membuat seseorang merasa, hal tersebut indah, tetapi di satu sisi memilukan sebab sementara sekali. Kendatipun Haruo belum memiliki masalah dengan Dazai, mendadak terkenang
pada muridnya bukanlah hal yang ia anggap aneh.
Itulah ikatan, apalagi di perpustakaan Haruo hanya memiliki Dazai serta Dan, dari tiga ribu murid yang pernah Haruo ajar. Atau memang sepertinya, Dazai pun hobi mengganggu pikiran Haruo–syukurlah Dan anak yang baik, atau kepala Haruo pecah.
"Besok-besok ajak Dan sama Dazai pergi makan dango, yuk."
"Boleh, tapi tolong jangan terlalu memanjakan Dazai nantinya, Ibuse. Lalu, jangan juga ceritakan soal percakapan kita. Dazai bakalan berisik banget."
Tentu saja Ibuse menyayangkan itu. Haruo sudah sangat manis padahal, dan harusnya Haruo jujur saja biar semakin mekar, walaupun bukanlah sakura.
Tamat.
A/N: Awal-awal mau bener-bener jelasin soal mono no aware, tapi aku sendiri bingung mau disambungin ke mana. Kebetulan pas lagi baca2 wiki haruo, aku ada nemu quote yang ibuse maksud itu. Jadi, kupikir bisa disambungin ke dazai, karena kalo mau bener-bener obrolin kehidupan haruo-ibuse, aku sendiri bingung. Gak tau perjalanan karir mereka kek gimana. Makanya di sini penghubungnya dazai biar enggak krik-krik amat.
Terima kasih juga buat grup aliansi kucing dasar alias Our Home, nana si maso yang udah mengadakan event ini. Sayang banget aku gak bisa pake prompt "susah sinyal", karena latar mereka di gim bunal adalah era taiso. Lagian siapa pula yang usulin itu. Menyusahkan saja.
Thx buat yang udah baca, fav, follow, review, serta numpang lewat doang. Mari bertemu di fanfic selanjutnya~
