Disclaimer: Kimetsu no Yaiba milik Gotoge
Penulis hanya meminjam karakter. Cerita dibuat untuk #KimetsuNoValentine event. Tidak ada keuntungan bersifat materi.
Dedicated for: Rei
AU - Surrealism
.
.
I
Giyuu menelan kelopak sakura. Seekor kupu-kupu mengepak keluar dari dalam perutnya.
Setoples di tangannya berkilau dalam cahaya putih. Ada tiga kelopak sakura lain yang tersisa. Membeku dalam sekerat salju yang ditimbun melewati puluhan purnama.
Kupu-kupu yang keluar itu berukuran sekecil telapak tangan. Warna biru mendominasi kedua sayapnya—tampak rentan ketika dikepakkan. Glitter perak yang tumpah membentuk pola abstrak ketika berhamburan ke udara.
Tanpa berusaha menangkapnya, Giyuu mengikuti kupu-kupu itu ketika mengitari ruangan, mengejarnya hingga keluar jendela.
Begitu tapak kakinya melangkah melewati pintu, angin berhembus keras menampar wajahnya. Tetapi fokus Giyuu tak teralihkan dari kupu-kupu itu hingga ia keluar melintasi pagar kayu.
Tahu-tahu kupu-kupu itu menuntunnya jauh keluar. Rumah-nya tertinggal di belakang. Giyuu menyeberangi derasnya sungai dan menerobos kedalaman hutan. Mereka terus berjalan siang dan malam. Rasa lelah sama sekali hilang kendati luka-luka menggores tapak kakinya, meninggalkan jejak darah kering terpoles di sepanjang jalur rumput dan serakan dedaunan.
Sebuah danau yang mereka singgahi di malam ketiga, tampak seperti akan menjadi jawaban bagi pencariannya.
Di sanalah Giyuu bertemu dengannya.
Ia tengah membasuh kotoran dari wajahnya dan berjuang menghilangkan dahaganya dengan air.
Wanita itu berdiri memunggungi hutan. Air mengalir tenang di bawah kakinya. Jubah ungu gelap yang membungkus tubuhnya berkibar. Kepalanya tertutup topi runcing yang dikenalnya sebagai kebanggaan para penyihir.
Kupu-kupu itu menari-nari gembira mengitari wanita itu, seperti pemujaan seorang pengelana ketika akhirnya menemukan tujuan.
Perempuan itu mengangkat tangan tinggi-tinggi. Giyuu tidak terkejut saat kupu-kupu itu hinggap di ujung telunjuknya.
Giyuu tahu siapa perempuan itu, maka ia melafalkan namanya seperti ribuan kesempatan yang pernah ia lakukan sebelumnya. Ada getaran yang terasa suci ketika ia merasakan kerinduannya tumpah ke danau.
Hanya ketika kupu-kupu itu berdenyar dengan cahaya terang yang meredup secara perlahan, kemudian lesap dan terhisap dalam jemari perempuan itu. Giyuu tahu ia harus kembali mencari.
"Kau sama sekali tidak ragu-ragu, Tomioka-san."
Perempuan itu membalik punggung hingga Giyuu dapat melihat wajahnya. Rembulan digantung oleh langit di pelupuk matanya. Senyumannya hangat dan berselimut misteri.
"Aku tahu apa yang harus kulakukan, Shinobu."
Ketika perempuan itu mengulurkan tangan, Giyuu tak ragu meraih ujung jari perempuan itu—menyentuhnya tepat di mana kupu-kupu tadi lesap. Kupu-kupu yang keluar dari dalam perutnya kini bersatu dengan dirinya.
Perempuan itu menarik tangan Giyuu hingga ia jatuh ke dalam air. Begitu tapak kakinya bersentuhan, air di bawahnya pecah menjadi partikel cahaya.
Suara perempuan itu bergema lembut, menggetarkan gendang telinganya dengan cara yang akan terus diingat.
"Terima kasih sudah mengantarkan milikku, Tomioka-san. Kita adalah satu. Aku dan kamu; dimanapun berada, akan saling menemukan."
.
II
Kali kedua Giyuu menelan kelopak sakura, langit-langit ruangan bergeser dan dinding kamarnya terkoyak menjadi partikel debu.
Shinobu di hadapannya mengenakan haori putih bercorak pirus dan pink. Sebilah nichirin tersanggul di pinggangnya.
Ada helai-helai tanaman wisteria menjuntai di atas kepala mereka berdua. Haori belang merah dengan corak hijau-kuning yang membalut tubuhnya adalah cerita kebanggaanya sendiri.
"Tomioka-san. Kalau aku meninggalkanmu nanti, apa kau akan tetap di sisiku?"
Seekor kupu-kupu hinggap di ujung telunjuk Shinobu.
Giyuu mengenali kupu-kupu biru kecil itu yang keluar dari dalam perutnya. Kali ini ia hanya hinggap dengan tenang, mengepakkan sayapnya, tidak terhisap atau hilang.
"Kau berpikir ingin meninggalkanku, Kochou?"
Giyuu menyukai bagaimana panggilan itu terasa akrab di lidahnya. Seperti itu adalah caranya mengistimewakan Shinobu, dan membuatnya yakin bahwa dia percaya padanya.
Shinobu terkekeh. "Apa menurutmu kita bisa bersama selamanya?"
Giyuu membiarkan kemelut di kepalanya menjeda suaranya. "Kau sudah bosan dengan kita?"
"Apa? Tentu saja tidak."
"Lalu kenapa bertanya seperti itu?"
Shinobu mengendikkan bahu. "Hanya ingin tahu, seperti apa konsep kesetiaan menurut Tomioka-san."
"Apakah bila yang pertama pergi maka dia tidak lebih setia dari yang ditinggalkan?"
Hanya senyuman kecil yang menjadi jawaban Shinobu. Dan Giyuu tidak bisa menuntut—ia tahu itu. Seperti halnya takdir yang telah dituliskan untuk mereka—tidak ada siapapun yang kuasa menuntutnya agar diubah.
Detik berikutnya waktu berkedip di pelupuk matanya. Yang tampak di hadapannya adalah pemandangan yang menghancurkan; ketentuan yang harus mereka terima dan beban yang harus ditanggung untuk menghantui Giyuu selamanya.
Shinobu tergeletak di genangan kolam. Separuh wajahnya dilumuri darah hingga nyaris tak dikenali. Haorinya terkoyak robek. Nichirin yang menopang satu tangannya nyaris miring dan roboh.
Napas Giyuu tercekat dan jantungnya jatuh menuju lubang hitam.
Rembulan tenggelam dalam likuid merah. Kupu-kupu biru milik mereka bersepai. Sayapnya patah menjadi serpihan, tercerai berai di kolam darah.
.
III
Giyuu mencoba berhati-hati ketika ia menelan kelopak sakura ketiga.
Kupu-kupu yang keluar dari dalam perutnya sedikit berukuran lebih lebar dari sebelumnya.
Kupu-kupu itu hanya berputar sebentar, lalu hinggap di ujung meja. Di atas setoples salju yang sudah tertutup rapat kembali.
Jika kupu-kupu itu diliputi keraguan untuk terbang, Giyuu bisa memaklumi itu. Tetapi ia tidak membiarkan kepuasannya mengambil alih. Jadi ia bergerak mendahului melangkahi pintu kamar. Kupu-kupu itu harus kembali pada tugas menuntunnya hingga penghujung jalan.
Begitu kupu-kupu itu terbang rendah memutari kepalanya seiring kakinya menapak melintasi batas pintu, yang menyambutnya adalah serbuan angin musim gugur yang lembut.
Trotoar jalan membentang kokoh di bawah tapak kakinya. Bayang-bayang langit malam tampak dipotong oleh cahaya lampu yang berkelip di kejauhan.
Shinobu adalah gadis berseragam sailor dengan tas sekolah tersampir di punggungnya. Kedua bahu mereka nyaris bersentuhan ketika mereka menyandar di pagar besi.
Ada keheningan yang nyaman dengan seribu kata tak terucap, ketika senyuman Shinobu adalah kumpulan misteri, sejuta nostalgia, rona senja yang melampaui musim, dan kirana fajar yang menggulung waktu.
"Ingatlah, Tomioka-sensei. Siapapun yang kau temui di ujung jalan sana." Shinobu menunjuk ke depan, seolah ujung jalan itu benar-benar tempat yang menjadi tujuannya.
"Ingatlah bahwa jalan kita pernah bersisian di sini."
Kupu-kupu biru hinggap di bahunya, berdenyar, lalu melesap dalam dirinya perlahan-lahan.
Giyuu melihat rembulan itu kembali, digantung dari langit ke matanya. Kali ini purnama, sempurna dan bercahaya.
.
IV
Ketika kelopak sakura dalam setoples salju itu tersisa satu, Giyuu sama sekali tidak ragu-ragu.
Kali ini ia menelannya dengan sigap dan cepat.
Serpihan salju dalam toples itu pecah menjadi letupan kecil kerlip putih, lalu menguap dan hilang.
Kali ini suara Shinobu terdengar dari teras rumah.
Ketika Giyuu bergegas menyusul panggilan itu, menapakkan kaki keluar pintu, salju menyambutnya dalam wujud selimut di pohon-pohon, menutupi hampir seluruh taman.
Shinobu mengulurkan tangan dari ujung tangga bawah. Pakaiannya adalah cardigan ungu yang menggantung rendah di atas lutut. Giyuu menyukai cara cahaya yang menyepuh wajahnya, membuat senyumannya merekah sepuluh kali lebih indah.
Ketika Giyuu mengambil uluran tangannya, Shinobu mengeratkan tautan jari-jemari mereka, seolah mereka sudah lama tak bergandengan tangan dan ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
Kupu-kupu biru itu hanya melayang-layang mengitari mereka berdua. Ada sesuatu dalam kepakan sayapnya yang membuatnya tampak lincah dan lebih bersinar.
"Ayo, Tomioka-san. Kemarikan toplesnya."
Giyuu hampir melupakan toples kosong yang dibawanya keluar dari dalam kamar.
Shinobu minta agar toples itu diisi lima tangkup salju—hingga memenuhi separuh isinya.
Shinobu menjentikkan telunjuknya dua kali. Kupu-kupu itu hinggap di punggung tangannya. Seberkas sinar berdenyar di antara kepakan sayapnya. Saat Giyuu mengira kupu-kupu itu akan hilang, ternyata dia hanya berubah warna. Kali ini ungu muda pucat dengan gradasi pink, dan ada garis-garis biru tipis yang tersisa. Berikutnya, dunia berubah warna. Semua salju gugur. Pohon sakura tersingkap dan bumi dibalut warna merah muda.
Shinobu memetik sejumput bunga sakura dan memasukkan empat helai kelopaknya ke dalam toples; menimbunnya dengan salju.
Shinobu menyerahkan setoples salju berisi kelopak sakura itu ke telapak tangan Giyuu.
"Tomioka-san, telanlah satu kelopak sakura saat kau merindukanku, ya."
Giyuu mengerutkan alis. "Kau tidak akan ke mana-mana." Jeda sedetik. "Kali ini, aku tidak akan melepaskan atau membiarkanmu pergi."
Shinobu tampak tercenung. "Aku tahu. Aku tahu." Bibirnya melukis senyum tipis. "Jadi, simpanlah ini, ya?"
"Aku tak punya pilihan kan?"
"Simpanlah dan telanlah satu kelopak saat kau merindukanku nanti."
Ketika Giyuu menerima toples salju itu kembali, bulan bertengger naik di mata Shinobu. Diikuti galaksi, jutaan bintang, jagat kosmik dan tata surya. Semua menari dan berputar. Cahaya mereka menarik Giyuu masuk ke dalamnya—semesta di sepasang mata itu menjadi dunianya tanpa akhir.
[]
