Disclaimer: Kimetsu no Yaiba milik Gotoge Koyoharu. Penulis hanya meminjam karakter dan tidak mengambil keuntungan bersifat materi.

Fanfiksi dipersembahkan untuk Rasya

Prompt: Ya, kita kalah. Tapi, kita sudah melawan. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. ━ Bumi Manusia

Zenitsu x Nezuko

Zenitsu as Japanese soldiers after WWII

TW: depression, suicide attempt

.

.


"Yang penting, kau sudah pulang, Zenitsu-kun. Kau ada di sini. Hidup dan selamat. Itu sudah cukup. Selainmu, tidak ada yang kuinginkan lagi."

Itu yang diucapkan Nezuko selepas perempuan itu menariknya dalam pelukan erat yang menghancurkan. Zenitsu masih bisa mencium aroma mawar yang tersisa dari pakaian Nezuko. Aroma rumah yang sangat dia rindukan. Aroma kerinduan yang tidak pada tempatnya, sementara aroma bubuk mesiu dari medan perang yang melekat pada tubuhnya sendiri membuatnya mual.

Zenitsu tidak merasa yakin, apalagi bangga. Segala hal terasa lebih memuakkan dan menjijikkan; nafasnya terasa seperti satu-satunya yang patut disingkirkan dari dunia ini. Dunia yang turut meruntuhkan jiwanya, membuatnya koyak dan tercabik dengan cara yang sangat menyedihkan.

Apa yang tersisa darinya? Apa yang masih dia miliki? Apa yang tersisa dari dunianya?

Tidak satupun, dan hanya perempuan itulah yang membuatnya membumi; satu-satunya harapan, pegangan hidupnya.

Tetapi bagaimana mungkin? Ia setega itu? Bukan seperti ini dunia yang dia janjikan pada Nezuko. Dunia impiannya━di mana dia berdiri sebagai pihak pemenang yang mengangkat kepala dan menyeringai bangga. Pada kenyataannya yang didapat Nezuko darinya adalah sisa-sia kekacauan ini; tercermin pada rumah mereka yang nyaris runtuh di beberapa sudut━retakan dinding akibat guncangan ledakan yang tak sampai. Masih beruntung pesawat-pesawat tempur sekutu tidak menjatuhkan bom terkutuk itu persis di atas langit yang menjadi tempat mereka bernaung. Ironis sekali. Rumah-rumah saudaranya━bahkan tetangganya hancur rata dengan tanah, sementara Zenitsu di sini bergembira ria.

Kekacauan itu tercermin di mana-mana; di sandal yang selalu melapisi kaki Nezuko. Berapa tahun dia tidak mengganti sandal jelek tipis itu? Tapak kakinya yang cantik dan mulus itu kini pecah-pecah dan penuh goresan luka.

Semua itu salahnya.

Bodoh sekali. Bodoh! Bodoh! Sebagai suami, Zenitsu sudah gagal menjadi kepala keluarga yang baik. Sebagai prajurit, ia sudah gagal menjadi pelindung yang berguna bagi negara. Ia sudah melanggar semua sumpahnya. Apalagi namanya kalau bukan kebodohan?

Persetan! Persetan dengan musuh dan kemenangan mereka. Zenitsu hanya ingin kembali, pulang, menuju Nezuko; membangun ulang rumah mereka yang nyaris lumat menjadi abu.

Tetapi pulang terasa lebih sulit sekarang. Sungguh memalukan. Nezuko masih menerimanya dengan lapang dada dan tangan terbuka. Menyambutnya seperti Zenitsu adalah pahlawan yang dia tunggu-tunggu setelah sekian ribu purnama.

Mengapa Nezuko tidak menembaknya mati saja?

Zenitsu tahu ada sepucuk senapan laras panjang di gudang belakang rumah, yang sengaja ditinggalkan sebelum berangkat perang, seperti yang dia pesanakan, "Gunakan ini untuk melobangi kepala musuh yang berani menggedor pintu kita, Nezuko-chan. Jangan biarkan keparat busuk itu memasuki rumah kita."

Pesan yang Zenitsu ucapkan itu masih terngiang-ngiang di telinganya sendiri. Siang itu ketika Zenitsu diam-diam menyelinap, mencari-cari ke penjuru gudang. Senapan itu disembunyikan Nezuko dalam kotak rahasia yang pintunya dipakukan ke tanah. Setelah susah payah membongkar tumpukan kayu dan barang rongsokan di atasnya, Zenitsu menariknya ke pangkuan. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan ujung laras itu ke dalam mulut. Jemari bersiap menarik pelatuk. Hanya beberapa detik … dibutuhkan sedikit gerakan, dan sekelumit keberanian━

Tidak ada yang berbunyi.

Zenitsu menurunkan senapannya kembali.

Tidak bisa.

Keberaniannya menguap entah ke mana━ini lebih mirip tindakan konyol daripada berani.

Zenitsu tidak bisa menarik pelatuk itu. Tak kuasa olehnya membayangkan wajah pilu Nezuko bila perempuan itu menemukan mayatnya nanti dengan kondisi bergelimang darah dan kepala hancur. Air mata Nezuko terlalu berharga untuk menangisi pecundang menyedihkan seperti dirinya.

Malam-malam yang Zenitsu lewati jauh lebih menyakitkan. Mimpi buruk, dan terus-menerus kengerian mimpi buruk mengejarnya seperti hantu. Lebih banyak malam yang semakin dia sesali sebab jeritan kegelisahannya mengusik Nezuko dari tidur lelap.

Setiap kali itu pula perempuan itu selalu di sisinya. Nezuko hanya menghibur Zenitsu dengan segenap yang dia mampu; membawakan segelas air, mengusap-ngusap punggungnya (atau menariknya dalam pelukan rapuh) sebagai usaha untuk menenangkannya.

Ada suatu malam ketika Zenitsu sudah mencapai puncak keputusasaan. Ia hanya tidak ingin melibatkan Nezuko dalam kekacauan yang datang dari penyesalannya. Ia menolak tidur bersama Nezuko, dan sekali lagi membuat hatinya sendiri sakit kala tatapan Nezuko yang terpukul itu membayangi benaknya sepanjang malam.

Ada suatu masa ketika Zenitsu berharap, ia bisa berhenti menjadi brengsek. Berhenti menjadi lelaki sampah yang terus menyakiti wanita (yang telah mencurahkan hidupnya untuknya) dengan sikapnya yang sama sekali tidak mencerminkan kedewasaan.

#

Itu adalah titik permulaan kala suatu ketika, Nezuko membawanya piknik ke ladang bunga.

Perempuan itu hanya mengambil tangannya dan mengajaknya berjalan menyusuri desa hingga ke ujung ladang terjauh.

Bunga bertebaran di mana-mana; bunga matahari, bunga daisy, bunga lily, dan banyak lagi yang tidak Zenitsu kenali. Penuh sejauh mata memandang.

"Ayo, Zenitsu-kun. Buat dirimu santai dan tenang ya. Lihatlah indahnya bunga-bunga itu."

Perempuan itu masih sama lembut dan anggun dan rapuh. Duduk di atas sehelai tikar yang mereka bagi bersama━hadiah pernikahan dari kakak iparnya dua tahun lalu. Tikar itu terlihat utuh dan awet. Mungkin Nezuko menyimpannya di gudang selama waktu perang itu.

Sebagai bentuk usahanya, Zenitsu hanya mengangguk dan membiarkan diriya tenggelam dalam nyanyian alam. Langit masih biru membentang, dan bumi masih hijau disulam ribuan warna. Semua keindahan, kebahagiaan, dan ketenangan yang dia cari, secara sederhana sudah terlukis di sekitarnya.

Lihatlah Nezuko di sini; perempuan itu bahkan masih setia menunggu; menunggu kepulangannya yang tak kunjung terlaksana. Perempuan itu bahkan masih akan merentangkan tangannya dengan sejuta pemberian maaf yang tidak Zenitsu pinta.

Tiba-tiba perasaan bersalah itu merundungi Zenitsu (lagi), kali ini dengan cara yang membuka mata hatinya.

Bagaimana mungkin Zenitsu sekejam itu? Bagaimana mungkin ia sempat berpikiran buruk untuk meninggalkan Nezuko? Setelah membuatnya kecewa sekian ribu kali, bagaimana mungkin ia sanggup mematahkan jantungnya hingga hancur menjadi jutaan keping lagi?

"Aku minta maaf, Nezuko-chan. Maafkan aku. Maafkan aku."

Tahu-tahu Zenitsu sudah menundukkan punggung hingga dahinya menempel di tanah. Air mata berlinangan. Ia terus mengulangi permintaan maaf itu tak peduli suaranya jadi serak dan jelek.

Nezuko hanya tersenyum lembut, mengusap-usap punggung Zenitsu dengan sepenuh pemahaman dan ketulusan. "Tidak apa-apa, Zenitsu-kun. Kau sudah pulang sekarang. Okaerinasai."