Ada saatnya semua tidak berakhir bahagia, atau sepertinya akhir bahagia hanyalah ada di kartun Disney buatan Amerika saja. Yah, itu menurutku.
Tak ada yang namanya 'hidup bahagia selamanya', yang ada hanyalah kebahagiaan sementara yang akan selalu diakhiri kesedihan. Sekali lagi kukatakan, itu menurutku.
Mereka bilang orang bodoh belajar dari pengalaman, dan orang pintar belajar dari sejarah. Aku, tidak ingin menjadi orang bodoh.
Namun ... mengapa jika bersamamu, aku menjadi orang paling bodoh?
I Die
By KunikidaDerai
Psycho Pass by Production I.G. , The Butcher, Naoyoshi Shiotani, dan Katsuyuki Motohiro. Ditulis oleh Gen Urobuchi. Tak lupa staff-staff lainnya.
Hope Enjoy!
Modern!AU, School!AU, NO SYBIL.
Terinspirasi dari beberapa lirik Yoru ni Kakeru -YOASOBI
Verse 3 dan seterusnya
Ginoza POV
Aku benci melihatnya, aku benci melihat wajahnya, aku benci melihat manik biru-keabuannya. Intinya, aku membencinya. Semua yang ada di dirinya, semuanya, segalanya.
Perasaannya tentang keadilan, pikirannya yang hebat, daya tahannya yang kuat, hingga kemampuan bela dirinya. Serta, kebaikan hatinya.
Aku benci itu.
Namun, aku lebih benci saat dia menatap seorang gadis layaknya ia jatuh cinta. Aku benci wajahnya yang selalu nampak berseri dan bahagia saat menatap gadis itu.
Tidak, tidak, aku tak membenci gadis itu, toh gadis bersurai pendek coklat itu temanku. Yang aku benci hanya dirinya.
Namun sialnya, mataku hanya dapat melihat dirinya. Mataku hanya terus tertuju padanya.
Kougami Shinya. Itu namamu, kan?
Aku tak percaya padamu saat kau mengulurkan tanganmu padaku, namun ada sisi diriku yang ingin mempercayaimu.
Aku tak mengerti apa yang terjadi saat kau berlari kearahku, memelukku, dan mengatakan sesuatu yang manis padaku. Namun aku yakin, saat aku mengangguk, akan ada banyak hal yang terjadi pada kita.
Akan ada saat kita saling menangis, dan ada saat kita akan marah satu sama lain. Meski begitu, suatu hari kita pasti bisa melewati itu semua.
Dan akan datang dimana hari kita saling mempercayai dan memahami.
Namun ... sepertinya itu hanya khayalanku belaka.
Kau datang ke ruanganku dengan emosi penuh, tak sadar bahwa seluruh tubuhku sakit karena terus dipukuli murid-murid itu. Tidak, kau tidak menyadarinya, kau hanya masuk dan mulai meluapkan emosimu.
"Aku muak! Lelah!" ucapmu dengan penuh kemarahan sambil menepis kuat tanganku yang berusaha menenangkanmu.
"Kau tidak akan mengerti!" serumu menambahkan saat bibirku memberikan sebuah saran
Bagaimana aku bisa mengerti jika kau tak bercerita? Aku juga lelah! Para murid sialan itu tak berhentinya menindasku! Aku juga muak! Muak dengan diriku sendiri yang tak bisa melawan!
Aku juga ingin mengatakan itu. Namun semuanya tertelan, tertelan sengan suara denting jam dan suaramu yang meluapkan emosimu.
Kata-kata yang telah kusiapkan pun, takkan pernah bisa menggapaimu. Takkan bisa, dan tak akan mampu.
"Kita akhiri saja, yah ... Hubungan ini." ucapku sambil menundukkan kepala. Hingga suaramu perlahan terdiam dan menatapku.
Disaat aku perlahan mendongak untuk menatapmu juga, tanganku yang terkepal langsung melepas begitu saja, mataku seakan tak percaha apa yang terlihat.
Kau ... tersenyum.
Hari ini begitu berisik, begitu ramai, namun bagiku hanyalah ada kesepian belaka. Ya, mungkin di bawah sana begitu berisik, namun di rooftop apartemen lantai 11 ini, semua begitu sunyi.
Walaupun begitu, aku sama sekali tak bisa tersenyum.
Entah mengapa setiap mataku berkedip, yang kulihat hanyalah senyummu yang indah, namun bukan untukku dan karenaku.
Air mataku yang mengalir semalam disaat kau tersenyum sendu seakan merelakan semuanya berakhir, pun melebur disaat pagi mendatang. Melebur dan menguap bersama senyummu.
Aku pun melompat turun dengan kepala dibawah sambil menatap kaca jendela yamg menampilkan orang-orang.
Air mata pun mengalir dari manik zamrudku, saat mengingat semua hari-hari yang sama sekali tak berubah. Sama sekali tak berubah.
"Baiklah ... maaf."
Ucapan lembutmu masih terngiang saat dengan jelas kau mengakhiri semuanya. Suara itu seakan membuatku tenggelam begitu saja.
"Gino!" serumu yang berada di depan sebuah jendela gedung yang kulompati turun ini.
Walau hanya sepersekian detik, namun aku melihat wajahmu yang nampak terkejut. Tanpa sadar bibirku tersenyum, entah kau melihatnya atau tidak, namun sekarang kabut yang seakan menutupi pandanganku pun menghilang begitu saja.
Aku pun teringat suatu fakta yang begitu menyenangkan disaat terakhirku, di dalam hari yang kubenci dan ingin sekali ku lupakan.
Aku selalu mengenggam tanganmu yang ulurkan padaku, membuat tanganku sekarang mengepal dengan gemetar dan mengenggam baju bagian dadaku erat.
Angin dingin yang berhembus karena tubuhku yang tertarik gravitasi, entah kenapa aku merasa sedang menyelami langit biru yang semakin membuat senyumku melebar dan air mataku mengalir deras.
"Jangan lepaskan genggaman ini." gumamku pelan dan hal itulah yang satu-satunya Aku minta dari dirimu. Karena jika terlepas, disinilah aku berada sekarang.
Dan sekarang, hanya aku sendiri yang akan berlari di gelapnya malam. Sekarang. Saat kepalaku benar-benar terhantam tanah dan membuat segalanya menghitam.
End
