Normal POV
Uzumaki Naruto mendongak kejam, memelototi beberapa orang yang tersungkur secara memalukan.
Ia melepaskan napas, terengah-engah. Iris biru mendelik tanpa rasa, memelototi para pria dengan pakaian rusak bercampur kotoran. Darah semakin menetes deras, membuat warna tanah menjadi berubah. Suara kendaraan yang berada di ujung gang dapat terdengar dari sana, mengacuhkan kenakalan remaja yang terjadi secara membabi-buta. Iris biru terlihat memantulkan jutaan perasaan; kesedihan, kemarahan, kekecewaan. Ia mengepalkan tangan, membuat lima kuku pada tangan kanan semakin terluka.
"Dengar," Naruto berbisik, membuat korban yang tak dikenal semakin memeluk diri. "Aku tidak tahu apa yang kalian katakan, Sialan. Aku benar-benar tidak peduli dengan apa yang kalian lakukan di belakangku … tapi—"
BUAGH!
"Jangan pernah kalian, orang-orang bodoh, MENGHINA IBUKU!"
Naruto berteriak, meluapkan emosi dalam satu tarikan napas. Ia menendang pemuda yang merupakan kakak kelas sampai terhempas, menduduki perutnya, memukul-mukul tanpa perasaan. Kedua permata biru terlihat bergetar, memunculkan kesakitan yang terlihat mengerikan. "Tahu apa kau, hah!? Kau bukan temanku! Kau bukan siapa-siapaku! DAN BERANINYA KAU MENYEBUT IBUKU PELACUR? SIALAN!"
Naruto tidak pernah ingin mengingat siapa identitas yang sudah dibuatnya jadi setengah sadar. Ia terlalu malas dalam melakukan hal tak berguna seperti memikirkan sebuah nama, merasa lebih tenang saat menghajar manusia ini agar bisa diberi pelajaran. Kedua tangan berkulit cokelat terus bergerak secara bergantian, tidak peduli jumlah darah yang semakin terlihat dari kepalan sampai kuku yang mengelupas. Matahari telah muncul di atas sana, menyinari aksinya tanpa peduli dengan moral dan etika. Ia terlanjur marah dengan segala hal yang membuat dirinya merasa tak berdaya, memutuskan untuk meluapkan emosi melalui adu pukul yang terlalu sulit untuk dihentikan.
"Hei, kau kenal dia?"
"Huh, siapa?"
Naruto beranjak berdiri, menginjak perut si korban sampai mengeluarkan darah. Ia terus melakukan hal yang sama dalam waktu yang lama; seringai dapat terlihat sembari mata yang berubah menjadi merah.
"Naruto. Uzumaki Naruto. Tahu, 'kan?"
"Yang punya rambut pirang dari kelas dua?"
Naruto menghempaskan kepala pemuda itu sampai setengah hancur, setengah pingsan, setengah sadar.
"Naruto punya ibu yang cantik. Sayangnya…"
"Apa?"
"Dia gila. Ibunya tidak waras."
BUAGH!
"Kau bilang ibuku gila?" Naruto berbisik dari belakang telinga. Hidan, siswa yang telah dihajar sampai setengah tewas, mengerang dalam memohon ampunan. Naruto mendadak buta, menulikan telinga, mematikan perasaan; memutuskan untuk terus menghantam-hantam kepala pemuda keabuan itu ke sebuah tembok yang terkesan tua. "Bagaimana kalau aku menunjukkan kegilaan itu padamu?"
Hidan menjerit saat pisau tiba-tiba muncul ke permukaan, menancap kencang pada lututnya yang terluka. Naruto tidak peduli dengan darah yang menyembur hingga terkena wajah, memilih untuk fokus dalam memberikan siksaan keji di sebuah gang yang penuh dengan tumpukan sampah. "Kau kira aku tidak tahu, hah? Kau kira aku akan diam saat ibuku dibicarakan seperti itu?"
"Ibunya juga seorang pelacur, pantas ayahnya mati bunuh diri."
"Hentikan, Hidan. Kau berlebihan."
"Aku berkata hal yang benar kok! Dia memang anak dari pelacur dan seorang pebisnis bangkrut!"
"Ingat nama ini baik-baik," Hidan sudah tidak mampu berbicara, mata mengerling tanpa arah seperti telah melihat surga. Naruto kembali menjambak rambutnya, memaksa kepala tersebut ke atas; mendelik dengan penuh kematian. "Uzumaki Naruto, putra dari seorang pelacur dan pebisnis bangkrut yang kau sebutkan itu, yang akan membunuhmu saat ini, sekarang juga."
Hidan menelan ludah, setengah mati mengeluarkan suara. "N-Naru—"
"Sampai jumpa di neraka, Senpai."
— diiringi dengan suara kendaraan yang ramai, lolongan minta tolong perlahan terdengar; cipratan darah terkena ke dinding bangunan tak dikenal, tusukan yang terjadi terus-terusan, suara debuman yang kentara, sampai satu pembunuhan kembali muncul ke permukaan.
.
.
.
LADY IN BLACK
Naruto by Masashi Kishimoto
Lady in Black by stillewolfie
Naruto U. & Kushina U.
OOC, alternate universe, typos, incest, etc.
mature rated for language and pwp
.
.
Dedicated for Uzumaki Kushina's Birthday (July 10th) on 2020
.
.
Naruto membuka pintu depan.
Apartemen itu terlihat rapi, tetapi sedikit berantakan. Rumah sederhana yang dibeli menggunakan uang sisaan telah menjadi tempat tinggal mereka selama tiga tahun belakangan. Pemuda itu menutup pintu dengan pelan, memasukkan sepatu ke dalam rak berwarna biru cerah. Ia melangkah, masuk lebih dalam, menelusuri ruang tengah akibat mendengar suara televisi yang menyala.
Naruto terdiam, melirik tanpa minat.
Uzumaki Kushina telah ada di sana, berbaring dengan tubuh menjuntai di atas sofa. Iris ungu terlihat mengerling kosong pada layar televisi berwarna hitam, tidak berkedip seolah layar menampilkan pertunjukan yang hebat.
Wanita itu terlihat tidak memiliki jiwa, tidak peduli dengan keadaan Naruto yang masih diam di depan ruang tengah. Ia mengemut-emut jari telunjuk milik tangan kanan, mengecup-ngecupnya seperti manusia tak memiliki moral. Lingerie berwarna hitam tampak cocok di tubuhnya yang luar biasa; dada yang padat, pinggang yang pas, pinggul dengan lekukan, paha yang kencang, dan kaki yang jenjang. Kushina terlihat indah meski usia hampir menginjak kepala empat.
Naruto masih ada di sana, memandang tanpa satu kedipan.
"Ibu, sudah makan?"
Kushina mengerjap, melirik dengan mata terlihat hampa. Namun, ia tidak menjawab.
"…mau makan apa?"
— belum, belum terjawab.
Kushina masih mengemut-emut jari telunjuknya, seolah itu adalah camilan paling nikmat yang pernah ia cicipi selama dirinya hidup di dunia. Naruto masih belum melakukan apapun. Hingga pemuda itu melangkah, membuang tas tanpa arah dan menghasilkan suara debukan yang cukup keras.
— sampai di mana mata itu menatapnya, hanya tertuju padanya.
"Jangan berbaring seperti ini," Naruto berlutut, menghalangi pandangan Kushina dari layar televisi. Ia menyentuh ujung rambut milik sang ibu, mengelusnya dengan penuh kasih. "Rambutmu … aku tidak mau rambutmu kotor."
Kushina mengedip, dua kali. Ia menatap pemuda berambut pirang yang sedang berlutut, di depannya, yang terlihat cemas. Uzumaki Naruto, anaknya, putranya, keluarganya; terlihat khawatir, ketakutan. Iris ungu terlihat semakin kosong, pucat—hampir kehilangan warna. Jemari berkulit cokelat tampak mengelus-elus rambutnya, seolah helaian itu adalah permata yang pantas dijaga sampai akhir hayat.
Kushina mengerjap lagi, memilih untuk menggigiti kuku-kuku jarinya sampai menipis. Dia masih belum menyapa hingga saat ini.
Naruto memperhatikan Kushina yang masih berbaring di atas sofa, tidak berdaya dengan lingerie hitam yang transparan, yang talinya terlihat turun hingga menampakkan bahu yang terbuka. Naruto masih diam, menyingkirkan pikiran-pikiran untuk kembali menciumi, mengecupi, dan menggigiti bahu itu sampai membekas.
Naruto menelan ludah saat melihat bibir merah yang setiap malam ia cicipi mendadak tertekuk.
Kushina tersenyum.
"Naruto … tidak melakukannya lagi?" Kushina berbisik pelan; terdengar biasa, tetapi bagi Naruto, rasanya sangat luar biasa. "Apakah Naruto lapar? Kalau begitu, makan ibu saja—"
Naruto menarik napas, mengelus pipi tirus milik sang wanita. "Bukan untukku, tapi untuk ibu."
Kushina mengatupkan bibir dalam bisu. Ia mengerling ke arah lain, diam-diam mematuhi perintah putranya itu. Kemudian, ia menggigiti jari-jarinya lagi sambil memperhatikan Naruto yang kembali berdiri.
"Aku ada di dapur," Naruto berpesan, memperbaiki pakaian ibunya yang tersibak di bagian bawah. "Kalau butuh sesuatu, panggil saja aku."
"Ibu … tidak lapar."
Naruto tersenyum, menggelengkan kepala. "Ibu harus tetap makan."
Kushina mendongak, memandang putranya yang terlihat tumbuh tinggi dan semakin tampan. Ia hampir tidak ingat akan kenangan masa lalu mereka yang cukup pahit dan menyakitkan. Namun, yang ia tahu, Naruto adalah anaknya yang masih berusia dua belas tahun dan menyukai sepak bola, tipikal bocah periang yang memiliki rasa ingin tahu terhadap apa saja.
Dan Naruto adalah sosok keluarga yang tersisa.
— mata ungu kembali berkedip, memiringkan kepala.
Kushina meraih jemari milik putranya dengan kedua tangan, mengecup punggung tangannya dengan penuh perasaan. Naruto terdiam, menundukkan kepala. Dia sedikit tertegun, tetapi tidak melepaskan. Kushina masih menggenggam jemari itu begitu erat, seolah terlalu sulit untuk berpisah.
"Ibu tidak lapar," Kushina kembali berkata. Naruto hanya mengerjap, masih dengan ekspresi datar. "Ibu hanya … menginginkan ini. Ibu ingin sentuhan dari tangan ini…"
Naruto tetap terdiam, memandang tanpa cela pada Kushina yang terduduk, menciumi punggung tangannya dengan segala maksud. Namun, mata biru masih menatap, mengerling penuh pada tubuh wanita yang tidak dilindungi apapun selain kain tipis yang bisa robek dalam satu tarikan.
"Ibu menginginkan … apa?"
Kushina tidak menjawab, masih sibuk membelai jari-jari milik putranya. Ia tidak terkejut saat Naruto tiba-tiba merendahkan tubuh dengan berlutut, menyamakan tinggi mereka, dan mendekatkan wajahnya. Kedua mata biru terlihat berkilat di tengah kabut kekesalan, memandang permata ungu yang tampak berbinar tidak waras. "Ibu ingin aku melakukan apa?"
Kushina malah tersenyum saat jarak mereka semakin dekat. Ia pun tak tahan untuk melebarkan senyum kala merasakan tangan itu mulai bergerak, menyentuhnya.
"Apakah ibu menginginkanku mencium ini?" Naruto mendekatkan wajah, mengecup bibir merah yang sedikit pucat. "Apa kau ingin aku merasakan bibirmu; menyentuh gigi hingga mengoyak lapisan rongga mulutmu?"
Kushina mengerjap, tidak melawan saat tubuh ramping miliknya tiba-tiba ditarik ke depan. Naruto benar-benar ada di sana, di hadapannya, begitu dekat, sangat dekat.
"…atau kau ingin aku menyentuh ini," Kushina menggigit bibir saat salah satu ujung dadanya dibelai, disentuh oleh telapak tangan yang terlihat kasar; diremas-remas dengan tempo acak. "Apa ibu ingin aku menghisapnya kuat, membasahinya sampai ibu menjerit keras?"
Kushina merasakan pipi sedikit merona, mata ungu terlihat lemas saat bertemu dengan warna biru yang berkerlip tidak sabar. Naruto terlihat begitu dewasa; sangat hebat, sangat kuat, sangat dominan.
— sampai tubuhnya didorong pelan, dipaksa agar menyandar pada kepala sofa.
Kushina mendongak, menahan napas. Naruto memajukan badan, meraih paha wanita itu dan membukanya.
"…atau kau ingin lidah, jari, dan kejantananku masuk ke bagian bawahmu?"
Kushina mengerang saat tangan itu kembali bergerak, memasuki celah lingerie ke dalam tubuhnya yang mulai berkeringat. Naruto memberi senyuman, napas mulai terdengar berat. Pemuda itu memajukan kepala, mengecupi telinga Kushina yang merona pekat. Tubuh mereka mulai berdempetan, saling bergesekan. Naruto mengutuk seragam yang lupa ia lepaskan, mengingat tubuh Kushina mulai bergerak-gerak liar dan terus menempelkan dadanya ke miliknya yang bidang.
Oh, sial.
"Kalau ibu tidak menjawab, aku tidak akan tahu." Naruto berbisik, menyibak lingerie hitam yang dulu adalah hadiah pernikahan dari sang ayah. Ia berusaha keras untuk tidak merobeknya. "Ibu ingin aku melakukan apa, hm?"
Kushina menundukkan kepala, pipi memerah akibat hasrat yang naik dan berkuasa. Ia mengalungkan kedua tangan pada leher cokelat yang terlihat basah, tersenyum polos dengan mata berbinar seperti anak lima tahunan. Naruto mengeratkan pelukan, mengecupi bahu Kushina dan menghiasinya dengan bercak-bercak merah.
"Semuanya—" Kushina merespon halus, memekik saat kejantanan yang masih ada di dalam celana tiba-tiba menyentuh bagian bawahnya yang basah. Ia merasakan kepala dilanda pusing yang kuat, tidak tahan akan gejolak hebat yang memompa aliran darah. "I-Ibu—tolong ibu … Naru—ahh!"
Naruto menyeringai, membaringkan tubuh Kushina. Ia melemparkan seragam serta membuka resleting celana, memperhatikan bagian bawah Kushina—yang dari awal tidak dilapisi celana dalam—yang mengeluarkan cairan terus-terusan, menetes-netes, berkedut-kedut dengan harum yang menggoda. Pemuda itu menyisir rambutnya ke belakang, hampir tertawa. Kushina pun tampak melenguh pelan, tidak sabaran.
— sampai mereka melakukannya; ia meniduri sang ibu, lagi.
Naruto menyeringai saat melihat tubuh itu bergerak-gerak di bawahnya, di bawah kekuasaannya. Kushina tertidur lemas di bantalan sofa, membiarkan kedua paha miliknya diangkat dan diletakkan di bahu anaknya yang lebar. Ia membiarkan pemuda yang pernah ia kandung selama sembilan bulan itu membuatnya klimaks, menggaulinya secara bebas. Mereka bertukar ciuman, bertukar ludah, bertukar napas, bertukar keringat, bertukar cinta, dan bertukar hasrat.
"Aah! A—hh!"
"Ngh! O-Oh! N-Naruto—"
"Mmph! Ah! Ahh!"
Naruto menyukainya.
Ia menyukai setiap detik di mana Kushina mendesah-desah, menjeritkan satu nama. Hanya namanya. Putra satu-satunya. Pemuda yang selalu berhasil membuatnya terbang sampai ke ujung angkasa.
— sampai ia tidak sengaja menatap ke dinding ruang tengah.
Naruto pun melebarkan seringai, pinggul malah semakin kencang untuk bergerak. Ia mengangkat tubuh Kushina ke dalam pelukannya, membuat kepala sang ibu tampak lemas dan tenggelam ke bahu yang lebih lebar.
Ada kepala ayahnya di sana, menatap persetubuhan mereka.
Namikaze Minato, ayah dari Naruto sekaligus suami dari Kushina, tampak terpajang di salah satu dinding apartemen milik Keluarga Uzumaki. Kepalanya telah terpenggal dari tubuh, diawetkan dengan formalin tingkat tinggi; dipajang di sana dengan mata terbuka, kulit terlihat semakin pucat dari masa ke masa.
— tidak bernyawa, mati mengenaskan.
"Ibunya juga seorang pelacur, pantas ayahnya mati bunuh diri."
"Hhh … ngh! N-Naru—"
Ayahnya … mati karena bunuh diri?
Naruto kembali mencium Kushina, begitu terlatih dan ganas.
Kebohongan yang terdengar manis, 'kan?
.
.
.
ended
.
.
A/N: saya lupa publish, ini fiksi yang saya siapkan untuk ulang tahun kushina kemarin. semoga tahun ini tidak terlambat ya. maaf kalau aneh, terima kasih karena sudah membaca.
mind to review?
