Warning: Boy's Love

Rate: M, 18 allowed

Character's Pairing: John Watson x Sherlock Holmes

Disclaimer: Semua karakter milik Sir Arthur Conan Doyle. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari tulisan ini. Fanfiksi dibuat hanya untuk bersenang-senang.


The Great Deduction

By Popixin

.

.

John Watson, pria awal 30-an itu pergi dengan raut kesal dari flat sewaannya. Ia telah melewati perdebatan panjang dengan Sherlock Holmes, teman satu flat-nya tentang meracuni anjing kesayangan mereka. Gladstone tentu tidak keberatan dengan segala kekejaman tuannya karena ... ayolah, ia hanya seekor anjing! Namun Watson, sebagai manusia yang memiliki perikehewanan, jelas-jelas membenci hal itu.

Meracuni sebenarnya bukan tujuan asli Holmes. Ia bahkan tidak merasa telah meracuni anjing itu. Ia hanya membuatnya koma sebentar untuk menguji cairan adrenalin yang telah ia buat. Diam-diam ia mencibir Watson karena tidak merasakan keseruan yang sama dengan yang ia rasakan.

"Fuck Sherlock Holmes!" umpat dokter itu kesal. Mood-nya sedang buruk karena teman satu flat-nya yang gila. Jadi, ia memutuskan untuk mengunjungi bar, meminum segelas wiski, sambil mengutuk Holmes.

Namun, ia menyadari sesuatu. "Fuck Sherlock Holmes?" Ia menimbang-nimbang. "Hmm ... fuck Sherlock Holmes ... yeah, yeah ..." Wajahnya kemudian memerah membayangkan mata anak anjing Holmes dan tentu saja tubuh kecil yang mungkin muat di peluknya. Lalu ... pantat bulat berisi yang tersembul dari celana–Oh Tuhan! Terkutuklah Watson dan segala pikiran kotornya!

Flat-nya gelap ketika Watson pulang malam itu. Holmes tentu saja tidak repot-repot menyalakan lampu atau perapian saat ia asyik dengan eksperimennya. Watson mendesah kesal. Ia mulai menyalakan perapian dan lampu guna memberikan penerangan. Mantan dokter tentara itu mendapati Holmes masih berkutat dengan cairan-cairan kimiawi di mejanya. Gladstone sudah sepenuhnya sadar dan memberikan gonggongan kecil yang mengejutkan Watson. Nampaknya detektif itu menepati janjinya untuk tidak membunuh anjing mereka.

"Senang Gladstone masih bersama kita," ujar sang dokter.

"Kau yang terlalu paranoid, My Dear Watson. Sudah kubilang aku tidak meracuninya."

"Yah, kuharap selanjutnya juga tidak. Aku membawakan roast beef kesukaanmu. Makanlah saat kau ingat kalau kau manusia."

"Pencernaan hanya akan menghambatku, Watson," cemooh detektif itu dengan angkuh.

Watson menghela napas. "Baik, jangan merengek kepadaku jika kau mengalami beberapa masalah kesehatan." Lalu dokter itu pergi memasuki kamarnya.

Holmes menjulurkan lidah saat Watson pergi. Ia kembali mengoceh tentang jiwa dokter temannya yang menyebalkan, sampai rasa pusing bersarang di kepalanya dan visinya menjadi kabur. Sherlock Holmes, tentu saja dengan egonya yang tinggi, menolak kalah dengan tubuhnya. Dikedip-kedipkan matanya beberapa kali. Namun, manusia tetap manusia. Detektif konsultan itu sekarang di ambang ambruk.

"Wats–" gumamnya sebelum benar-benar pingsan dan meninggalkan bunyi berdebum yang keras. Watson yang khawatir temannya sedang berusaha mengacaukan flat segera mengecek. Akhirnya tentu saja bisa ditebak, Watson menyeret detektif yang tak sadarkan diri itu ke sofa dekat perapian.


"Ugh ..." erang Holmes ketika berhasil mendapat kesadarannya kembali.

"Nah, bagus kau sudah sadar. Bagaimana perasaanmu?" Watson muncul membawa segelas air yang segera diterima Holmes dengan rasa syukur.

"Aku tidak tahu. Tubuhku berkhianat. Watson ... perbaiki aku!" keluhnya frustrasi.

Watson sekali lagi mendesah. "Aku sudah memperingatkanmu, William Sherlock Scott Holmes. Jangan lupa kau manusia. Kau butuh makan dan tidur layaknya manusia lainnya. Lihat? Aku mendapati gula darahmu turun. Sedikit demam, 37.9 derajat, hanya demam ringan. Aku menyarankanmu untuk makan."

Holmes merengut dan berguling ke sisi sofa yang lain sementara temannya mengambil makanan. Ia tidak suka Watson menguliahinya seperti anak bandel yang pada kenyataannya ia memang begitu. Namun, saat ini tidak ada alasan melawan perintah dokter.

Langkah kaki pincang Watson terdengar mendekat. "Holmes, bangun. Kau harus makan." Aroma daging panggang menyeruak dan ada sedikit uap teh.

Holmes berusaha bangun dan menyediakan ruang di sofa untuk Watson duduk. Dokter itu meletakkan nampan di pangkuan dan menyerahkan sepiring roast beef kepada temannya. Detektif itu menerimanya, kemudian bersandar di bahu Watson guna mengistirahatkan kepalanya yang sakit.

"Watson ... kepalaku sakit ..." rengek sang detektif.

"Lalu?" Watson kebingungan.

"Suapi aku," ucapnya dengan mata terpejam yang kemudian dituruti oleh Watson.

Sebenarnya Watson tidak keberatan membantu temannya makan. Namun, sensasi aneh ketika ia melihat bibir Holmes yang basah sebab saus dari roast beef membuat dadanya berdetak kencang. Ditambah lagi cara detektif konsultan itu menjilat bibirnya guna menghilangkan sisa saus yang tertinggal. Watson dibuat tersipu melihatnya.

Perasaan mantan dokter tentara itu campur aduk. Holmes kini di dekatnya, bersandar di bahunya. Pipinya yang memerah karena demam dan keringat di pelipis detektif itu mengingatkan Watson pada seseorang yang tengah terangsang, meskipun sebenarnya yang terangsang dalam hal ini adalah ia sendiri. Karena posisinya yang dekat, ia bisa mencium aroma rambut ikal Holmes. Ikal cokelat itu berbau sabun. Detektif itu mungkin menuruti Watson agar membersihkan diri setelah pertengkaran mereka siang tadi. Meski hanya aroma sabun, sudah cukup menggoda sang dokter untuk menyusupkan hidungnya ke helaian cokelat gelap itu.

"Watson? Kenapa berhenti?" Holmes membuyarkan lamunan mesum dokter itu. Tak disangka, ia telah mematung hingga berhenti memberi Holmes makan.

"Watson, detak jantungmu meningkat dan ... pupilmu melebar, kurasa. Napasmu berubah cepat. Aku juga melihat wajahmu merona, namun, kelihatannya kau tidak sakit. Apa jangan-jangan ... kau tertarik padaku?" Holmes menyimpulkan dengan cepat sebelum Watson angkat bicara.

"Jangan konyol Holmes. Itu hanya ilusi yang diciptakan oleh otakmu yang sakit."

"Tidak! Otakku tidak pernah sakit!" Holmes tiba-tiba bangkit dari posisi bersandarnya dan menghadap Watson. Wajah mereka jadi terlalu dekat dan itu berarti bibir pun begitu. Watson meneguk ludah melihat bibir merah basah yang ahli dalam mengungkapkan deduksi itu. Namun, di sisi lain, sakit kepala Holmes tentu memprotes gerakannya yang tiba-tiba.

"Akh!" Holmes memekik memegangi kepalanya.

"Wow, santai kawan. Jangan bergerak tiba-tiba, oke?" kata Watson seraya mendorong Holmes kembali bersandar ke sofa dan mengeratkan selimutnya tapi tentu saja detektif itu lebih suka menyandarkan kepala di pundak temannya. Helaian cokelat itu kembali menggelitik leher sang dokter.

"Mau teh?" tawar Watson.

Holmes mengangguk. Diterimanya secangkir teh dengan senang hati. Aroma teh dan kehangatan yang meluncur di tenggorokannya cukup menenangkan. Watson selalu pandai membuat teh yang enak.

"Watson, jangan pergi ..." lirih detektif itu tiba-tiba.

"Hm?"

"Jangan pergi, Watson, jangan menikah. Ayo bersamaku selamanya," pinta Holmes dengan mata anak anjingnya.

"Kenapa aku tidak boleh pergi?" pancing Watson.

"Tidak, kau sama sekali tidak boleh pergi," rengek Holmes. Dipeluknya Watson erat-erat. "Aku membutuhkanmu. Siapa yang memperbaikiku ketika aku sakit?"

"Kau bisa menghubungiku ketika kau butuh." Sungguh, memancing Sherlock Holmes mengungkapkan perasaannya adalah hobi baru Watson.

"T–Tapi aku selalu ingin kita memecahkan kasus bersama ... Tetaplah bersamaku, ya?"

"Lalu, siapa yang akan jadi istriku kalau aku terus bersamamu?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga

Holmes tersentak. Dengan malu-malu ia menjawab, "Aku?"

"Benarkah?"

"Kenapa? Bukankah kau tertarik padaku, My Dear Watson? Jangan lupa ketika kau mencuri-curi pandang ke arah pantatku atau ketika kau tersipu hanya karena aku menatap matamu. Kau bajingan."

"Deduksimu selalu tepat, Tuan Detektif." Watson tersenyum licik. Diterjangnya bibir Holmes dan melumatnya.

"Mmhh ... berhenti Wats–" Holmes berusaha mendorong Watson. "Aku sedang sakit, sialan! Mau sakit juga?" Omelnya saat bibir mereka terlepas.

"Yah, bukan penyakit yang menular," dalih Watson. Kembali dilumatnya bibir beraroma teh sang Detektif.

Holmes menerima ciuman Watson. Lidah mereka menari-nari diiringi melodi hujan di kota London. Rasa bibir Watson seperti Wiski yang baru ia minum—membuat Holmes seakan turut mabuk. Bahkan saking nikmatnya cumbuan itu, mereka tak sadar tengah berubah posisi menjadi berbaring saling menindih. Tentu saja Watson di atas, mendominasi detektif kecilnya.

"Hah ... hah ... Watson, aku sudah tidak tahan. Cepat lakukan!"

Watson tersenyum. "With pleasure, your Majesty."

Dua anak adam itupun bercinta di dekat perapian, ditemani cahaya api yang meliuk-liuk dan melodi hujan kota london.


"Ngh ... Wats–ah ... Watson." desah Holmes menambah semangat Watson memasukkan adiknya ke lubang kenikmatan itu.

"Hebat! Hah ... Hebat, Holmes! Kau sangat sempit di sini."

Watson semakin mempercepat gerakannya. Begitu juga desahan Holmes yang semakin nyaring dan merangsang siapapun yang mendengar.

"Ah ... ngh ... ah! Watson ... Ng ... pelan-pelan Watson–ngh ..."

"Maaf, aku lupa ini pertama kalimu." ujar sang dokter sembari mengusap peluh dari kening lelaki yang sedang mengangkang di bawahnya.

"Sherlock, kau cantik." Holmes cukup terkejut Watson memanggil nama depannya.

"Mmph ..." lenguh Holmes saat Watson membungkam dengan bibirnya.

"Ngh ... Watson, aku akan datang."

"Ya, Cinta, aku juga."

Cairan kenikmatan menyembur dari ujung adik kecil Holmes. Watson mengeluarkannya di dalam. Lagipula Holmes laki-laki. Jadi, ia tak perlu cemas akan kehamilan yang tidak terencana.

"Hah ... hah ... rasanya hangat, Watson. Aku menyukainya," aku Holmes saat pergulatan mereka berakhir.

"Mau coba pose baru?" tawar Watson.

"Mungkin lain kali, Watson. Aku sakit dan lelah, maaf."

"Tidak apa-apa, Sayang." Dikecupnya kening detektif itu. "Mari bersihkan diri kita."

Sang dokter menggendong Holmes dengan gaya pengantin baru ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat. Detektif itu tidak memprotes sama sekali. Setelah yang mereka lakukan, sepertinya ia kesulitan berjalan. Jadi, ia membiarkan Watson mengurusnya.

Setelah membersihkan diri, Watson membawa Holmes ke kamarnya. Ia tidak berharap banyak pada kamar Holmes. Tempat itu selalu berantakan oleh mainan (baca: benda-benda aneh untuk eksperimen) si Jenius itu. Holmes juga sering tidur di lantai dan membiarkan ranjangnya kosong. Watson menyadari itu tidak terlalu baik untuk tubuhnya.

Malam semakin larut ketika Holmes menjejalkan kepalanya ke dada Watson. Mereka berpelukan sepanjang malam dengan kerakusan Watson menghirup aroma rambut ikal temannya, atau yang kini menjadi kekasihnya. Holmes tentu tak keberatan dengan perlakuan Watson. Bahkan, ia merasa nyaman dan aman. Watson yang selalu melindunginya di setiap kasus-kasus berbahaya sekarang memeluknya seakan menjadi tameng hidup. Selain itu, ia menyukai ritme napas dan detak jantung Watson. Itu menenangkannya. Holmes tidak pernah merasa setenang ini.


"Pagi, Detektif," sapa Watson dengan senyuman tulusnya.

Holmes terkejut mendapati dirinya di ranjang Watson dengan ucapan selamat pagi yang berasal dari pemilik ranjang. Oh, benar, ia lupa kalau Watson memindahkannya ke kamar seusai mereka bercinta dan membersihkan diri. Detektif itu tersenyum mengingat kejadian semalam.

"Pagi juga, Dokter."

Kecupan kecil mendarat di kening Holmes. Ia terkekeh geli saat kumis Watson membuat bulu-bulu lembut di wajahnya meremang. Itu adalah hal ketiga yang membuat Holmes senang setelah kesuksesan mengungkap kasus dan keberhasilan eksperimennya.

"Haruskah aku mencukurnya?" sang Dokter yang merasa tersindir dengan kekehan Holmes meraba kumisnya.

"Tidak, biarkan saja. Aku menyukainya."

Watson merasa puas dengan jawaban kekasihnya. Ia terkekeh dan dibelainya rambut ikal Holmes. Tak lupa, ia juga mengecek suhu tubuh si Jenius. Bagaimanapun, ia dokter dan Holmes adalah pasiennya.

"Demammu turun. Itu bagus."

"Apakah seks bisa mengobati demam?" tanya Holmes penasaran.

"Mungkin. Seks bisa menghasilkan hormon bahagia yang mempercepat kesembuhanmu."

"Tapi pinggul dan pantatku terasa nyeri ..." rengek sang Detektif.

"Kau menyesalinya?" Lagi-lagi Watson memancing.

"Tidak mungkin! Tidak setelah aku mengaku menyukainya tadi malam."

Watson terkekeh mendengarnya. "Itu bagus. Istirahatlah sebanyak yang kau bisa. Aku akan membuat sarapan untuk kita." pungkasnya seraya bangkit dari ranjang.

Mantan dokter tentara itu menjatuhkan satu kecupan lagi di kening kekasihnya sebelum pergi ke dapur. Holmes tersenyum dan menerimanya. Ditatapnya mata anak anjing yang selalu membuat Watson berdebar. Mata yang biasanya penuh dengan rasa penasaran atau keseriusannya dalam berpikir itu kini menatapnya teduh dan penuh kasih sayang. Watson tidak bisa melewatkan momen ini.

"Aku mencintaimu, Watson." cetus sang Detektif.

"Seperti halnya aku."

FIN


Terima kasih telah membaca.