Kimetsu no Yaiba © Koyoharu Gotouge.

Fanfiksi ini dihadiahkan kepada Nairel Raslain. Semoga suka.

.

.

.


pada belanda di samping saya

—Hindia, 1941.

Giyuu hampir terlompat dari kursi ketika suara bel penanda pulang di sekolah sebelah berbunyi keras sekali, begitu keras hingga untuk beberapa saat kehidupan seperti berhenti, seperti terpaksa tunduk pada aba-aba yang seenaknya mereka mulai sendiri. Ia sedang menyalin goresan-goresan berantakan di papan tulis dan kekagetannya menyebabkan ada coretan lintas baris melintang di buku catatannya. Menyebalkan.

"Hore, pulang, pulang!"

Belum, bego, itu bel sekolah sebelah. Giyuu membatin sambil melanjutkan menulis. Ia tidak menyuarakan kata-katanya tadi, pun tidak ada yang melakukannya, karena semua makhluk hidup sepenjuru gedung tahu bahwa sekolah ini tidak sekaya itu untuk punya bel dengan bunyi demikian. Kabarnya, itu adalah bel impor yang didatangkan langsung dari Belanda—astaga, dasar sekolah anak orang kaya, bel saja impor—timpang jauh dibanding sekolah mereka yang kalau sore jadi kandang kuda.

Sekalipun tidak persis bersamaan, tetapi sekolahnya akan memulangkan anak-anaknya beberapa saat kemudian. Penandanya adalah bunyi-bunyian super berisik dan mengganggu dari kelontengan lonceng sapi kuningan yang digantungkan di pintu depan sekolah, begitu menyedihkan dan mengenaskan, bahkan bisa bunyi duluan sebelum waktunya apabila ada angin kencang, atau iseng dimainkan anak-anak.

Di sore hari, kuda-kuda akan berduyun-duyun diturunkan dari truk besar, dengan badan penuh lumpur dan kaki-kakinya bekas menginjak tahi mereka sendiri, dan akan ada anak-anak yang piket untuk membantu menggiring kuda-kuda dalam ruang-ruang kelas. Sepanjang malam, kuda-kuda itu akan menyundul papan tulis dan rak-rak buku, mengotori lantai dengan muntahan daging basi, meninggalkan bau menyengat dan bertahan hingga esok pagi. Sementara itu, pada siang harinya, takjarang Giyuu mendapati teman-temannya menaburkan bubuk merica di meja-meja, meninggalkan tumbukan jahe, menyiram limbah pabrik, menebar pupuk kompos, hingga menanggalkan baju mereka. Jelas kiranya di sini ada kompetisi dalam menyiapkan sambutan termeriah antara manusia dan kuda.

Hari itu adalah gilirannya piket, dan berdasarkan kesepakatan pembagian kerja, Giyuu yang akan memastikan kuda-kuda tergiring dengan baik dari pintu masuk ke kelas-kelas. Ia hampir menghela napas lega ketika tinggal dua ekor kuda lagi yang akan masuk, sampai tahu-tahu ada kegaduhan dari lapangan depan sekolah, dibarengi teriakan, "Kejar! Kejar! Kudanya lepaaaas!"

Mampus. Giyuu pucat pasi. Bukan kejadian baru tragedi semacam ini, tapi dapat dipastikan kalau kasus kuda lepas bisa memakan waktunya sampai magrib. Ia spontan menoleh kepada temannya yang menyembulkan kepala dari balik pintu, yang kedapatan tugas memastikan kuda-kuda yang tergiring menyusuri lorong dapat masuk ke dalam kelas. Muichiru menatapnya balik, lalu mengangkat tangan tanda lepas dari tanggungan, berkata, "Kamu coba cek keadaan, aku akan menjaga kuda-kudanya biar nggak keluar kelas." Kurang ajar sekali.

Maka, Giyuu setengah berlari ke halaman sekolah. Truk kosong melompong. Sopir truk tidak mau repot-repot membantu, karena buat apa membantu menyegerakan pekerjaaan untuk lekas selesai apabila setelah ini ia kembali diberi pekerjaan lainnya? Ia bahkan tidak turun dari truk, sibuk merokok. Giyuu ingin menegur, tetapi ia tidak enak hati, sebab semua orang tentu letih dan ingin dibebaskan dari kerja paksa ini. Maka ia menyapa dengan, "Kudanya lari ke mana, Pak?"

Uzui mengembuskan napas panjang, asap rokok mengepul di udara, "Dua ekor kabur. Yang satunya sedang dikejar temanmu, belok ke pasar sepertinya. Kalau yang satunya sih, aman. Tinggal kamu ambil saja di HBS."

Diam sejenak. Giyuu merasa salah dengar. Aman dan HBS tidak seharusnya ada dalam satu konteks pembicaraan yang sama. "Sebentar. Apa, Pak?" ia bertanya hati-hati. Sebenarnya, meminta orang dewasa menjelaskan ulang itu tidak sopan.

Uzui yang semula menganggap Giyuu hanya angin lalu, kini melayangkan tatapan padanya. Giyuu menundukkan kepala, tidak berani membalas tatapan itu. "Begini, lho." Uzui menyulut rokok baru sambil meneruskan kata-katanya. "Satu ekor dikejar temanmu ke pasar. Serahkan saja ke Tanjiro, dia semangat betul ngejar kuda. Lalu, satunya sudah aman, soalnya dia malah kabur ke HBS. Kalau masuk HBS kan, dia nggak bisa ke mana-mana toh? Nah, kamu tinggal masuk, ambil kudanya. Gampang, kan? Nggak usah takut sama bocah-bocah londo. Sebayamu semua itu."

Bahkan, kini aman dan HBS ada dalam satu kalimat—lebih parah.

Giyuu menelan ludah. Ia ingin minta bantuan, tetapi ia tidak mungkin merepotkan orang dewasa, dan ia tidak bisa minta bantuan teman karena ia tidak punya. Ia melangkah dengan lambat-lambat menuju sekolah elite yang tiap hari jadi bahan olokan-yang-sebenarnya-adalah-rasa-cemburu-terselubung di antara teman-temannya itu—entah karena suara bel mereka, rambut pirang mereka, atau seragam mereka yang silaunya menyaingi matahari—tetapi, dasarnya hanya terletak di sebelah, selambat apa pun ia melangkah maka ia bisa mencapai gerbangnya juga.

Giyuu menarik napas, dan baru mengembuskannya begitu memasuki halaman HBS. Suasananya seketika baru. Bahkan udara yang terirup pun benar-benar menjadi lain, lebih bersih seperti di surga. Rasanya seperti habis menaklukkan kematian—

"Dor!"

atau mati sungguhan.

Terdengar suara tawa.

Kedua mata Giyuu melebar. Ia tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya. Seorang laki-laki dengan seragam HBS-nya yang kinclong seperti permukaan air sawah barusan mengagetkannya—rupanya sejak tadi ia berdiri di balik gerbang. Sebelah tangannya memegang modul tebal yang takkan pernah Giyuu bayangkan akan ia pelajari, ia juga mengalungkan tas selempang dari kulit yang hanya bisa Giyuu miliki di dalam mimpi. Rambutnya panjang sebahu, warnanya aneh, campuran antara jingga dan merah, seperti di antara warna jeruk dan jambu ….

"Kamu mau ambil kuda, ya? Kudanya lari ke halaman belakang, tuh."

Giyuu berani jamin bahwa tampangnya saat ini memasang ekspresi datar seperti mengantuk dan bosan, tetapi sesungguhnya ia bingung setengah mati bagaimana menghadapi fenomena ini. Ternyata anak-anak di sini fasih berbahasa Indonesia. Kalau begitu kenyataannya, makian-makian dan cemoohan yang sengaja dikeraskan oleh teman-temannya dari gedung sebelah bisa tersampaikan pada mereka dengan terang dan jelas, dong?

Pemuda di hadapannya menepukkan tangan persis di depan wajah Giyuu. "Oi!"

Giyuu refleks berkedip. Kata yang keluar dari mulutnya campuran antara tenang, takut, dan kentara kalau ia memasang sikap perdamaian walaupun ia tidak bisa menyembunyikan kilatan emosi dari sorot matanya—mungkin itu rasa benci, tapi entahlah, ia tidak seharusnya menaruh kebencian kepada personalia seseorang tanpa informasi apa pun yang ia kantongi—"Dipahami."

"Bisa ke sana sendiri?"

Giyuu membuka mulut, hendak menjawab bisa, tetapi ia mengurungkannya, dan hanya mengangguk saja. Ia pikir ia telah cukup dingin dan berhasil membuat pembicaraan di antara mereka berakhir, tetapi rupanya jawaban yang ia beri kurang meyakinkan, atau mungkin itu hanya salah satu alasan, tapi pokoknya itu tidak cukup membuat lawan bicaranya pergi meninggalkan gerbang.

"Kamu tingkat berapa?"

"Satu," jawab Giyuu. Tentu saja ia tingkat satu. Hanya bocah-bocah tingkat satu yang bisa diperalat oleh kakak-kakak kelas dan diminta untuk mengopeni kuda-kuda. Rasanya ia tidak sabar untuk menunggu pergantian semester dan ia terbebas dari pekerjaan pengangonan ini.

"Oh, kita satu angkatan!" Ada ekspresi cerah di wajahnya, seolah-olah jawaban Giyuu adalah jawaban yang tepat, padahal hanyalah sekadar fakta saja. "Aku tingkat empat."

Giyuu melakukan penghitungan cepat di kepalanya, dan ia mengangguk, membenarkan kalau keduanya satu angkatan. Selepas ia lulus dari HIS setelah belajar selama tujuh tahun, sebagai anak yang mengambil jalur sekolah pribumi, ia akan lanjut ke jenjang MULO selama tiga tahun, dan setelahnya ke AMS, sekolahnya yang sekarang. Sementara itu, kalau jalur sekolah Eropa, mereka belajar tujuh tahun di ELS, dan lanjut ke HBS selama lima tahun. Dengan kata lain, kalau pemuda ini tingkat 4 di HBS, maka keduanya seangkatan karena Giyuu tingkat 1 di AMS. Bedanya adalah Giyuu masih perlu terjebak dua tahun di sini, sementara lawan bicaranya hanya butuh waktu setahun saja dan kemudian bisa lulus.

Diamatinya seragam si pemuda Belanda. Tidak disangka-sangka bahwa mereka seangkatan—artinya, sama-sama tujuh belas tahun, ya. Namun, omong-omong, bisa-bisanya sudah tahun keempat dan seragamnya masih berkilauan begini?

"Eit! Hentikan itu." Tahu-tahu si pemuda Belanda berkata, dan meninju bahunya. Gayanya seperti main-main—kadang-kadang Giyuu melihat para pelajar berambut pirang itu saling pukul di lengan menggunakan tangan atau buku mereka, dan Giyuu tidak paham bagaimana menonjok seperti itu dilakukan sambil tertawa-tawa, dan sekarang ia jadi sasarannya—tetapi tetap saja tidak siap ia terima, begitu kaget hingga ia terjatuh gedebuk ke tanah.

"Astaga! Ya tuhan. Maaf, maaf."

Malu banget. Mau mati saja rasanya.

Giyuu buru-buru bangkit kembali. "Nggak papa."

Pemuda itu terdiam beberapa saat, menunggu sampai Giyuu mengatur napas dan kembali pada posisinya semula, lalu bertanya, "Beneran?" dengan perhatian yang Giyuu takpernah bayangkan bisa ia terima dari seseorang yang dalam darahnya mengalir sikap bengis dan keinginan merampas. "Maaf, sumpah, deh. Nggak sengaja. Tadi cuma main-main, itu biasa kulakukan dengan teman-temanku. Aku bukannya pengin membunuhmu atau apa."

Kalimat terakhir itu lucu, tetapi rasanya ia terlalu takut—atau syok, barangkali—untuk tertawa. "Aku tahu. Kadang lihat," balasnya, kaku seperti para pegawai negeri yang sepertinya tidak tahu kalau ada ekspresi lain untuk dipasang sebagai raut muka selain wajah judes. "Tadi memukul kenapa, memangnya?"

Persis setelah ia mengajukan pertanyaan itu, terdengar suara ketoplak-ketoplak tapak kaki kuda. Keduanya menoleh. Kuda yang menjadi tujuannya datang memasuki wilayah HBS justru berinisiatif sendiri menghampirinya. Mungkin bosan, mungkin lapar, entahlah. Tapi, memang ada banyak kejadian kuda lepas yang justru balik sendiri ke AMS kalau tidak dikejar, seperti sekarang; kadang dengan sangat menyebalkannya mereka bisa menjadi sebercanda itu.

Kuda itu memasuki jangkauan tangannya dan Giyuu mengelus surai si kuda, menenangkannya, atau setidaknya itulah cara menenangkan kuda yang ia pelajari dari memperhatikan orang-orang. Kalau kuda sedang menurut, segalanya jadi menyenangkan dan serbamudah, begitu menyenangkan hingga Giyuu lupa kalau ia tidak sendirian, saking terbiasanya ia sendirian, dan kaget campur malu ketika ia rupanya diamati.

"Aku akan balik," katanya, entah kenapa kalimat itu terucap dengan nada ragu.

"Hmmm." Pemuda itu malah menggumam panjang. "Kenalan dulu, yuk."

Giyuu tidak tahu bagian mana pentingnya dari pengenalan ini. "Giyuu."

"Sabito," ujar pemuda itu, kelewat cepat seperti tidak sabar. Ia memperlebar gerbang agar mempersilakan Giyuu keluar duluan bersama dengan kudanya. "Yang kumaksud tadi adalah biar kamu menghentikan apa yang kamu lakukan."

Memangnya, apa yang dilakukannya?

"Mengamatiku. Seperti membandingkannya dengan kamu sendiri, dan melakukan penilaian dari pengamatan itu," sambung Sabito, dengan bahasa Indonesia yang rapi dan keteraturannya menakjubkan, "sekarang ini mungkin kamu menganggap orang-orang pribumi di bawah orang-orang Eropa, tapi, terus terang saja, waktu berpihak pada kalian, lho."

Giyuu tidak mengerti. Atau, ia mungkin saja mengerti, tetapi ia tidak mengerti kenapa kalimat itu dikatakan sendiri dari orang Belanda. Saat itu, ia hanya mengangguk dan membalas lambaian tangan Sabito—yang melambaikan tangannya lebih dahulu—dengan sungkan dan bingung. Beberapa hari kemudian, kadang mereka sama-sama mendapati diri mereka saling tunggu di depan bangunan sekolah masing-masing, untuk kemudian saling menatap dan mengangguk, lalu sudah. Hanya dengan itu saja, mereka menjalin pertemanan.

Setahun setelahnya, mereka mengobrol menjelang kelulusan Sabito. Ia berencana untuk melanjutkan sekolah ke Belanda setelah ia lulus. Giyuu tidak tahu kenapa hal itu disampaikan kepadanya segala, tetapi, alih-alih bisa mengatakannya dengan komplet kenapa hal itu disampaikan padaku segala, energinya sudah keburu habis setelah berkata, "Kenapa?"

"Kenapa … kenapa apa?"

Pertanyaan bagus.

"Apakah maksudmu, kenapa aku lanjut sekolah ke Belanda?"

Wow, tebakan yang bagus, Sabito, tapi bukan—

"Ya, kenapa kamu lanjut sekolah ke Belanda?"

baiklah, memang itu maksudnya.

Hening sejenak. Keduanya sama-sama bersandar pada gerbang HBS, dan sekalipun pandangan Giyuu menunduk—bahkan ia tidak berusaha menatap Sabito yang berdiri di sampingnya, ia hanya bisa berani menatap sepatunya—ia berani jamin bahwa setiap pasang mata yang keluar dari pintu AMS memperhatikannya, memperhatikan dengan mengamati seperti yang pernah ia lakukan pada Sabito setahun lalu, mereka mengamati, mereka membandingkan, dan mereka menilai.

"Selama puluhan kali kita hanya menyapa lewat mata dan anggukan, aku sudah nggak menerima kesan kalau kamu melihatku seperti pertemuan pertama dulu." Sepertinya, Sabito suka sekali tahu-tahu membuat pembicaraan baru.

Giyuu tidak tahu harus merespons bagaimana. "Apakah itu bagus?"

"Duh." Sabito menoleh padanya—Giyuu tahu secara sayup-sayup melalui ekor mata sebab ia masih menunduk menatap sepatu; ia tidak membalas tatapan itu. "Ya, tentu saja itu bagus. Aku jadi merasa dimanusiakan."

Kata-kata itu justru keluar dari Sabito, yang benar saja, yang Belanda di sini siapa?

Giyuu tidak mengatakan apa-apa.

"Sekolah lanjutan di Hindia hanya ada hukum, pertanian, teknik, dan sekolah dokter," ujar Sabito, akhirnya dia kembali pada topik pembicaraan sebelumnya. Padahal, Giyuu tidak mengatakan apa-apa. "Aku nggak ingin keempatnya, jadi aku akan ke Belanda saja, mungkin ada tempat yang lebih tepat untukku daripada harus memilih salah satu dari keempat pilihan itu."

"Oh. Oke."

"Kalau kau nggak merasa sesuai dengan empat pilihan itu, dan nggak mau menjadi pegawai negeri, kamu juga bisa ke Belanda."

"Aku nggak bisa bahasa Belanda .…" Giyuu tidak tahu kenapa kalimat itu yang terucap, bukan soal apakah ia mau atau tidak, atau apakah ia sanggup melakukannya atau tidak. Menyuarakan ketidakmampuannya berbahasa Belanda seolah-olah mengisyaratkan kalau hanya itulah hambatannya pergi ke sana—atau mungkin memang begitu.

"Hmmm. Apakah kamu tahu kalau salah satu raja Inggris, George I, nggak bisa bahasa Inggris?"

Giyuu mengerutkan kening. Kini, ia mengangkat kepala. Tidak, ia tidak tahu itu.

Sabito ternyata masih memandangnya. Ia memberi senyum, lalu meninju bahu Giyuu. Rupanya itu kalimat pancingan agar ia mau menoleh, ya. Omong-omong, tinjunya pelan sekali, jauh lebih pelan dibandingkan saat ia melakukannya pertama kali, seolah-olah hanya menempelkan saja, dan sudah, seperti formalitas. "Mau menyusulku?"

Sebetulnya, pertanyaan itu sudah dapat Giyuu duga.

Sekalipun demikian ia tidak tahu apakah ia menanti-nantikannya atau was-was terhadapnya, dan apa pun itu, sekarang pertanyaan itu telah ia terima dan ia harus memberikan jawaban. Rasanya ia takkan bisa menjawab apabila keduanya masih saling menatap—seperti yang selalu mereka lakukan setiap waktu begitu pulang sekolah, "menyapa lewat mata," kalau kata Sabito, dan itu sudah lebih dari cukup untuk menguras kekuatannya—tetapi Sabito seperti punya kemampuan sihir untuk mengunci tatapan matanya untuk tidak lagi beralih ke mana-mana.

"Nggak tahu." Jawaban itu keluar paling pertama, dan setelahnya ada jeda. "Mungkin aku memilih satu dari empat pilihan itu." Lalu, jeda lagi. "Atau aku jadi pegawai negeri." Jeda lagi. "Dari awal aku sekolah jalur pribumi, jadi mana mungkin punya akses sekolah lanjut ke Belanda." Tunggu dulu, sejak kapan ia banyak bicara? "Nggak bisa bahasa Belanda pula." Lagi pula, uang dari mana? "Mau tinggal di mana juga nggak tahu." Bahkan alam bawah sadarnya pun tidak berani bermimpi sebegini tinggi …. "Bahkan alam bawah sadarku nggak berani bermimpi sebegini tinggi."

Alam bawah sadarnya takpernah berani membayangkan akan punya rutinitas yang lain selain belajar dan angon kuda, alam bawah sadarnya masih tidak percaya kalau ia mampu berkenalan dan menjalin pertemanan dengan seorang pelajar HBS—sebuah pertemanan yang hening dan tanpa progres—dan terutama, alam bawah sadarnya mungkin tidak bisa menerima bahwa ada seseorang yang mau merawat pertemanan yang rapuh ini, bahkan menyuarakan keinginan untuk memperjuangkannya, dan menawarkan apakah mau memutuskan pilihan dengan saling menyesuaikan rencana masa depan.

Sebelah tangan Giyuu terangkat, membentuk kepalan, dan ia meninju bahu Sabito. Ia tersenyum.

"Mau."***

.

.

.


Catatan:

Saya menyelesaikan fanfiksi ini dengan membayangkan film Benjamin (2018).
Terima kasih telah membaca!