Enjoy The Crisis of Signal
Disclaimer: DMM.
Warning: OOC parah, typo, ga jelas banget, gak jelas, gaje, membosankan, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini. Semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, dan untuk event nulis grup aliansi kucing datar (baca: Our Home).
Sinyal yang menjadi buron membuat gawai Matsuoka Yuzuru seumpama lesu, begitu pun si pemilik yang helaan napasnya telah berhenti menghitung diri sendiri–sudah terlalu banyak dalam satu jam ini. Walaupun tak seperti kegaduhan di luar kamarnya, Matsuoka sekiranya memang menunjukkan ia pun keberatan. Bertanya-tanya jua, apa yang terjadi pada menara BTS, kira-kira?
Kalender itu sendiri tengah berhenti di angka tujuh April. Angka tujuh yang secara tak langsung mewujudkan dewi fortuna–keberuntungan–tetapi malah sial yang cari muka di mana-mana.
Pintu kamar Matsuoka lantas dibanting, setelah ia sendiri mengakui kurang memegang kepercayaan sejenis itu. Fedora yang khas ini, tidak lain maupun bukan hanyalah setelan Masao Kume seorang. Tetangganya mungkin berlari-lari untuk tiba di sini. Napasnya terengah-engah membikin Matsuoka beranjak, untuk menuangkan segelas air.
"Matsuoka-kun ... sinyalmu ... hilang ... enggak?"
"Hilang, kok. Ibuku tadi heboh juga." Segelas air disodorkan. Gegas yang menyelimuti Kume sewaktu mereguknya, berusaha Matsuoka pelankan. Nanti Kume bisa-bisa tersedak.
"Kukira cuma aku doang yang hilang sinyal. Di satu sisi aku senang, sih, ternyata bukan karma gara-gara aku sering mengatai Yamamoto, 'bacot'. Tapi aku juga sedih, Matsuoka-kun. Padahal Natsume-sensei sedang siaran langsung." Penulis kondang itu merupakan panutan terbesar Kume. Saking niatnya ia, notes yang dijadikan tempat mengejar kata-kata Natsume diperlihatkan–tulisan tangan Kume agak berantakan.
"Tenang saja, Kume. Kurasa Natsume-sensei pun kehilangan sinyal. Jadi, siarannya pasti diulang lagi dari awal."
"Semoga begitu, deh. Kayaknya aku harus menonton berita sekarang, biar mengetahui apa yang terjadi. Matsuoka-kun mau ikutan?"
"Sayangnya aku mau pergi. Tolong temani ibuku, ya, Kume."
"Ehhh ...? Ke mana?"
"Kedai Suki Dango." Sejenak Kume terbengong-bengong. Otaknya berputar-putar mengaduk-aduk informasi dalam memori.
"Jauh banget, dong! Naik kereta demi makan dango doang?"
"Kerja kelompok, Kume. Sudah dulu, ya."
Mulut Kume sempat terbuka. Sesungguhnya ingin sekali berkata, "Memangnya ada yang datang? Apalagi mati sinyal begini", andaikata Matsuoka belum keluar kamar. Internet menyala saja, masih sukar untuk mengumpulkan anggota kelompok. Lebih-lebih hilang total yang sulitnya makin sesuka hati bahkan mustahil–Kume pikir perjuangan Matsuoka bakal sia-sia saja, deh.
Untuk sekadar menapaki peron saja, Matsuoka membutuhkan satu jam yang sudah paling cepat, karena ia menggunakan bus dan tidak berganti-ganti lagi. Lalu-lalang penumpang benar-benar membeludak. Mencapai keretanya saja Matsuoka rasa-rasanya memerlukan tenaga ekstra. Belum lagi ia gagal mendapatkan tempat duduk.
Entah itu sial atau apalah, intinya kereta sudah tancap gas. Matsuoka tinggal menikmati harinya yang biru, ketika langit siang pun teramat biru. Dimanjakan pula oleh pohon-pohon sakura yang menemani perjalanannya yang timbul lalu hilang. Hilang lalu timbul. Selalu magis sekali yang sentuhannya menyenangkan Matsuoka.
Jadilah Matsuoka tidak terlalu memusingkan, apakah anggota kelompoknya datang ataukah bolos? Ia bisa menikmati dango yang keunikannya enak, di kedai Suki Dango tersebut. Camilan-camilan lainnya. Bahkan festival musim semi yang hari ini epilognya diadakan secara serempak–lagi-lagi berbau tujuh April yang tengah dilaknat habis-habisan.
"Bangsat banget, sih, asli! Pokoknya tower-nya harus segera diperbaiki, deh. Malah aku ingin kompensasi, karena kuotaku jadi kebuang pas download anime."
"Komik-nya lagi seru-serunya padahal. Baru kali ini aku merasa butuh televisi."
"AH, BANGSAT! PACAR GUE! KAMI BARU VIDEO CALL LIMA BELAS MENIT. BANGSAT BANGET SUMPAH!"
Suara-suara tersebut terdengar acak. Selain memang mengetahui yang kebanyakan menyerukannya ialah anak muda, sedangkan yang sudah paruh baya cenderung bertanya-tanya, dunia ini lagi kenapa? Matsuoka pun sadar, banyak sekali yang sudah terganti dan terlupakan. Jarak yang terlupakan yang digantikan oleh kedekatan dengan video call, padahal sebenarnya jarak masih ada.
"Baru kali ini aku merasa sedih, karena enggak bisa bertanya ke Kume dia mau dango apa?"
Mendadak pula Matsuoka bertanya-tanya, apa yang akan diidekan orang-orang era Showa, ketika jalan-jalan tetapi lupa menanyakan, keluarganya ingin oleh-oleh apa? Tentunya sekarang ini, Matsuoka mana bisa bertanya kepada Kume melalui medsos. Kereta pun tahu-tahu sudah selesai berlari selagi Matsuoka berpikir. Ia turun karena destinasi ini adalah yang harus Matsuoka jemput, walaupun menolong seorang nenek memang berada di luar tujuan.
"Bagaimana kalau dango daikazoku? Cucuku sangat menyukai itu. Pasti temanmu juga suka."
Saran tersebut Matsuoka peroleh, usai ia membantu membawakan bejibunnya barang nenek, sembari menemani beliau mengobrol. Katanya, usia 71 yang sudah renta ini mana paham, mengenai apa yang tengah diributkan oleh generasi muda di sekitarnya. Namun, nenek senang karena ia mendapatkan banyak uluran tangan. Padahal biasanya nenek harus menghampiri dahulu baru meminta, di mana itu pun terlalu dibalas kata sibuk sambil memperhatikan gawai.
Orang-orang jadi lebih terhubung, dan itu adalah dihubungkan oleh kepedulian dibandingkan sekadar kata-kata yang hangat–begitulah ucap nenek, sebelum ia berpamitan dengan tubuh bungkuknya.
Belum berhenti sampai di sana, Matsuoka menyempatkan ke konbini dan juga melihat-lihat, tiga bocah SD yang cekikikannya asyik membaca komik shounen. Matsuoka hanya iseng-iseng ketika berkomentar, volume itu sudah ada di internet. Ternyata mereka pun tahu, tetapi tetap seolah-olah senyumannya menyalakan bohlam kuning cerah.
"Tapi seru, Kak, meskipun hanya baca ulang. Serius, deh. Biasanya kami baca di rumah masing-masing, karena pas istirahat makan siang main gim bareng. Baru kali ini kami baca bertiga. Heboh banget pas sama-sama lihat adegan tarungnya, atau ada yang protes kalau dia belum selesai baca."
Bunyi srek, srek halus setiap membuka kertasnya. Posisi tengah bahkan diperebutkan, karena rasanya yang seperti memegang komando tertinggi–Matsuoka paham itu, karena dialah yang akan membalikkan halamannya.
Ketiganya masih membaca di konbini, ketika Matsuoka keluar dan melahap onigiri-nya yang diisi umeboshi. Bahkan jendela kafe jadi pemandangan yang jelita, pikir Matusoka. Walaupun hanya sesederhana sepasang kekasih saling menyuapi pasta, Matsuoka merasa itu patut baik-baik diingat.
Jendela depan kafe, biasanya memiliki pemandangan berupa barisan pot tanaman. Sementara di belakangnya sepasang kekasih justru mengurusi gawai. Mungkin perempuannya asyik mencari-cari, mengedit foto manakah yang paling terbaik untuk dipajang di cerita hari ini. Lalu cowoknya memainkan gim daripada menyajikan obrolan.
Pohon-pohon sakura yang diam dengan yang seolah-olah bergerak pun, sensasinya sangat berbeda. Matsuoka lebih menyukai yang pertama, karena ia bisa dan boleh jatuh cinta lebih lama. Namun, yang kedua saat ia harus jauh-jauh menengok ke belakang; tidak merelakan perasaannya begitu saja; sebenarnya seru. Di kereta biasanya ia mengutak-atik ponsel, padahal. Jari-jarinya selalu sibuk mengetikkan pesan.
"Kebetulan banget, ya, bertemu Matsuoka di sini. Lagi apa?"
Akutagawa Ryuunosuke menyapa pertama. Tatapan Matsuoka yang masih terpaku pada pohon-pohon sakura, sedikit demi sedikit luluh. Matanya lebih dulu tersenyum menanggapi Akutagawa, barulah disusul bibirnya.
"Siang menjelang sore, Akutagawa. Sebenarnya aku mau ke Suki Dango. Kamu sendiri?"
"Jalan-jalan sama Kan, mumpung ini hari Sabtu. Sendirian aja? Enggak sama Kume?" Sosok yang dimaksud kembali dengan dua crepes penuh krim, dan dimahkotai buah-buahan segar. Mereka turut saling menyapa, di mana Kikuchi Kan berbasa-basi menawari Matusoka crepes."
"Sebenarnya aku mau kerja kelompok."
"Kerja kelompok? Sama siapa? Sinyalnya masih hilang sampai sekarang, dan sebentar lagi sore hari," tanya Kan disusul menjelaskan suatu kekhawatiran yang sayup-sayup. Menilik ketiganya satu SMA bahkan kelas, Kan hanya tidak mau Matsuoka pulang dengan tangan kosong. Matsuoka terlalu baik untuk diberi harapan palsu.
"Ada Dazai, Ango sama Odasaku, juga Tokuda-san."
"Kapan janjiannya?" Giliran Akutagawa yang bertanya. Baru mengingat-ingatnya sekarang ini, Matsuoka menggaruk tengkuk dadakan. Sepertinya ada sedikit kesalahan yang betul-betul tak ia sengaja.
"Kemarin sore, sebelum pulang sekolah. Paginya aku tidak mengirim pesan apa pun lagi. Kisaran pukul dua belas saat aku mau mengecek, ternyata sinyalnya mati total."
Suka atau benci Kan merasa pantas untuk tepuk jidat. Kenapa di dalamnya ada Dazai Osamu, Sakaguchi Ango serta Oda Sakunosuke? Tiga serangkai yang bengal itu pasti memanfaatkan situasi–jika mampir pas mati sinyal, siapa tahu malah tiada yang datang, 'kan? Kan langsung menawarkan supaya Matsuoka pergi bersama mereka. Akutagawa setuju tanpa ba-bi-bu yang rumit pun, Matsuoka menggeleng yang menolak secara ramah.
"Kupikir kayak begini seru juga."
"Seru bagaimana?"
"Begini lho, Kan, Akutagawa, aku percaya Tokuda-san bakal datang seenggaknya. Meski itu enggak pasti, tetapi aku tetap percaya. Di situlah serunya."
Tokuda Shuusei pasti datang. Walaupun yang Matsuoka percayai, adalah hal yang dapat dengan mudahnya disebut bodoh, tetapi bahkan itu bisa menjadi sesuatu yang berharga, ditemukan sebagai yang ternyata amat berharga, jika keluar dari mulut Matsuoka seorang.
Orang-orang yang tidak dipertemukan dengan era modern ini, dapat Kan serta Akutagawa bayangkan mempunyai kepercayaan yang kuat–sebenarnya tak bisa datang pun, mereka tetap menunggu; tanpa gawai bagaimana caranya mengabari kendala, memang? Awal-awal Akutagawa masih bersikukuh pun, ia terdiam tatkala Kan menepuk bahunya. Matsuoka dibiarkan pergi. Mati sinyal bukan berarti mati keberuntungan, ucap Kan.
Entahlah apa korelasi sinyal dengan keberuntungan, tetapi menurut diri Akutagawa sendiri, tampaknya Matsuoka akan mujur. Malah pada akhirnya yang paling menikmati mati sinyal total ini, hanyalah Matsuoka seorang.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di Suki Dango. Seseorang terlihat melambai-lambai ke arah Matsuoka, dan itu adalah Shuusei yang juga membawa laptop, sesuai kesepakatan. Tanda-tanda batang hidung dari Dazai, Ango, dan Oda, sepertinya benar-benar tak ada. Kemudian tetap saja keduanya berpandangan lama sekali, karena kekagetan masih sulit sepenuhnya sirna.
"Sejujurnya aku cukup percaya, Matsuoka pasti datang kemari." Shuusei membuka percakapan. Dag-dig-dug-nya sudah berubah menjadi kelegaan yang menetap, menilik baru kali ini Shuusei nekat pergi tanpa sinyal untuk mengecek kabar.
"Kita sama, Tokuda-san. Omong-omong, aku tadi memesan dango daikazoku untuk diberikan kepada Kume, lho. Tidak menemukan sesuatu melalui internet, sebenarnya memuaskan juga. Aku diberitahu seorang nenek tentang dango daikazoku itu."
"Dango ... daikazoku? Itu a–"
Gitar dipetik. Senandung yang ternyata berasal dari pemilik kedainya, pada lirik pertama mengagetkan Matsuoka serta Shuusei. Dango daikazoku adalah lagu, dan itu sangat imut yang membuat keduanya mana keberatan untuk bernyanyi. Ujung-ujungnya Matsuoka memutuskan membeli bolu pisang. Ternyata sangat memuaskannya ketika Matsuoka batal bertanya kepada Kume, karena ini bisa seperti kejutan, bukan?
"Bingung juga tapi, bagaimana caraku mengabari ibuku? Meski sudah bilang, tetap saja mengkhawatirkan." Apalagi langit tiba-tiba sore. Berita-berita yang berjejer dari televisi di depan etalase pun mengabarkan, kemungkinan besar sinyal baru kembali besok.
"Mau pulang saja? Dazai, Odasaku-san, dan Ango pun enggak datang."
"Kita baru bertemu sebentar, lho, Tokuda-san. Tugasnya juga masih sedikit banget." Mereka disuruh membuat makalah sejarah. Itu pun masih terseok-seok di kata pengantar, karena bab yang dititipkan ke kelompok ini tidak ada di buku cetak, ternyata.
"Bertanya-tanya apa ada yang datang saja, buatku kayak ujian yang berat. Anggap saja jalan-jalan. Kadang kala ada baiknya juga berpikir begitu."
"Setengah jam lagi, deh. Kapan lagi kita mencari-cari bahan di perpustakaan?"
Nah. Karena Matsuoka menyukai semua ini sebagai kenikmatan, maka Shuusei ikuti saja petualangan Matsuoka ini. Siapa sangka pula di perpustakaan umum, mereka bertemu Dazai, Oda, juga Ango yang duduk berderet membaca komik. Shuusei mengambil ancang-ancang untuk melotot. Ango disuruh pasang badan oleh Dazai dan Oda–setidaknya katakanlah sesuatu.
"Ju-justru kalau kita bertemu di sini, artinya kelompok kita mempunyai ikatan yang kuat. Lagi pula kami tahu, kok, kalian mau kemari buat mencari bahan makalah. Iya, kan, Dazai, Odasaku?"
"Enggak. Aku enggak tahu Matsuoka sama Shuusei bakal ke sini. Sejak kapan kau jadi cenayang, deh?" jawab Dazai terlampau polos. Oda bahkan mengangguk-angguk. Akan tetapi jitakan Ango begitu pilih kasih, karena ia hanya memilih Dazai untuk dihadiahkan bogem mentah.
"Sudah, sudah. Kata-kata Sakaguchi-san ada benarnya, kok. Ayo kita kerjakan."
Mengenai kerja kelompok yang sempat terus-terusan ditunda, untunglah Matsuoka selaku ketua tak marah-marah soal itu. Shuusei sekadar bilang, Matsuoka tengah menikmati mati sinyal di seluruh Jepang yang kapan lagi terjadi? Sewaktu Dazai bertanya. Ketiganya pikir itu mengerikan. Namun, ternyata tetap lebih menyeramkan membaca buku-buku sejarah, dicari manual yang tak pernah langsung ke poinnya.
(Esok harinya Oda, Ango, dan Dazai berinisiatif mengajak Shuusei serta Matsuoka kerja kelompok duluan. Untungnya sinyal benar-benar balik normal.).
Tamat.
A/N: Udah kubilang gak jelas, kalo masih ada yang baca ya ngocol sekali wkwkw. Maaf juga kalo membosankan banget. Emang gak ada apa-apa di sini, selain matsuoka yang menikmati susah sinyal, karena dia jadi menemukan hal-hal kecil di sekitarnya sebagai sesuatu yang berharga, dan itu kesempatan langka.
Tapi tetep, kuucapkan thx buat yang udah baca, fav, follow, review, atau numpang lewat doang. Mari bertemu di fanfic event lainnya~
