"NARUTO MILIK MASASHI KISHIMOTO. TIDAK ADA KEUNTUNGAN MATERIAL YANG SAYA DAPATKAN DARI PEMBUATAN FANFIC INI."
.
.
.
"Stockholm Syndrome"
.
.
.
"Akh! Akh! Akh!" desah wanita bernama Ino sambil memegang pinggiran meja makan.
Tubuhnya dibuat menungging dengan kedua tangannya yang bertumpu di pinggiran meja makan. Ia tidak mengenakan baju dan celana satu pun dengan perutnya yang membuncit. Vaginanya sedang dihujam oleh penis milik Sai.
"Ggh! Kau memang nikmat sekali, Ino," ucap Sai sambil terus menghentak-hentakkan tubuh Ino.
PLAK!
Sai iseng menampar pantat montok milik Ino sehingga membuat pemiliknya mengaduh pelan.
"Shh... Uhh... Sai, aku tidak kuat lagi," ucap Ino saat ia merasakan klimaksnya entah untuk yang kesekian kali.
Sai makin mempercepat gerakannya sambil mendekatkan dadanya pada punggung Ino kemudian memeluk tubuh wanita itu. Tangan Sai mengelus perut besar Ino.
"Hishh... Ahh Ino..." desah Sai akhirnya saat ia menyemburkan semua spermanya ke dalam rahim Ino.
"Enghh!" Ino tersentak saat anak dalam perutnya ikut menendang hingga membuatnya sulit bernapas. "Uhh... Uhhh..." Napas Ino memburu.
Saat Sai melepaskan kejantanannya dari tubuh Ino, Ino langsung merosot ke bawah. Sai menyeringai melihat tubuh Ino yang penuh dengan bekas gigitan dan bercak kemerahan itu. Tanpa diminta matanya kemudian tertuju pada perut Ino yang terlihat bergerak-gerak.
Ino masih menstabilkan napasnya akibat permainan Sai sejak tadi pagi. Ia hanya sempat sarapan dan sekarang sudah hampir pukul tiga sore. Perutnya lapar dan badannya benar-benar lelah. Wanita berambut pirang panjang itu memutar tubuhnya hingga ia dapat menatap mata Sai. Ia ingin mengatakan kalau ia kelelahan setelah selama dua hari lebih terus melayani nafsu Sai. "A-aku..."
"Siapkan air hangat, kita mandi bersama," perintah Sai cepat kemudian meninggalkan Ino.
Sai mengenakan celana dalam dan celana panjangnya kembali tanpa mengenakan baju. Lelaki yang bertelanjang dada itu pergi ke ruang tengah, menyalakan televisi sambil mengecek ponsel pintarnya.
Sedangkan Ino yang masih dalam posisi bersimpuh mulai mengenakan pakaiannya. Wanita itu berjalan tertatih-tatih sambil memegang perutnya. "Aww..." ringisnya.
"Bertahanlah untuk hari ini," ucap Ino pada dirinya sendiri.
Ino sudah tinggal dengan Sai sejak ia diusir oleh orang tuanya. Kedua orang tuanya tidak mau menerima anak hasil hubungannya dengan Sai. Padahal Ino sangat mencintai Sai lebih dari apapun, tapi orang tuanya tidak mau mendengarnya. Bagi mereka, Ino hanyalah aib keluarga karena ia hamil di luar nikah. Karena itulah, hanya Sai yang menjadi tumpuan hidupnya saat ini. Ino akan melakukan apapun asalkan Sai tidak membuangnya seperti orang tuanya.
.
.
.
Sai yang telah selesai membersihkan diri di bawah shower dengan sabun mandi kemudian memasukkan tubuhnya ke dalam bathtub yang sudah diisi dengan air hangat. Mata Sai memperhatikan Ino yang sudah melepaskan baju atasnya.
"Cepat bersihkan tubuhmu lalu masuk ke sini," perintah Sai sambil menyandarkan tubuhnya pada bathtub. Matanya tak lepas menatap Ino yang perlahan-lahan melepas baju dan celananya sendiri.
"Haahh..." tarikan napas Ino masuk ke telinga Sai. Sai tersenyum kecil saat melihat perut Ino yang menggelembung, tempat di mana anaknya sedang tumbuh.
Ia kemudian memejamkan matanya saat mendengar suara shower menyala. Di saat Ino mulai membersihkan tubuhnya di bawah shower, Sai terlihat menikmati waktunya di dalam bathtub. Tubuhnya terasa sangat nyaman dengan air hangat yang menyelimuti tubuhnya. Tidak hanya tubuhnya yang nikmat, Ino juga pandai melayaninya. Semua pekerjaan yang ia lakukan membuat Sai benar-benar puas.
Pria itu membuka matanya kembali saat tidak mendengar suara shower dan detik berikutnya ia dapat melihat Ino yang masuk ke dalam bathtub. "Sudah selesai?" tanya Sai retoris.
Ino hanya mengangguk dan mendudukkan dirinya di atas pangkuan Sai dengan posisi mengangkang sambil menatap mata laki-laki yang telah memilikinya itu.
"Anak pintar," puji Sai. Laki-laki itu segera memeluk tubuh Ino sambil mengecup bahunya dengan penuh nafsu.
Salah satu tangan Sai memainkan puting payudara Ino sedangkan Ino hanya bisa memeluk leher Sai sambil mengistirahatkan kepalanya pada bahu Sai. Sai tidak protes dengan sikap Ino, ia malah meremas pantat Ino kemudian mengelusnya dan meremasnya kembali.
"Aku ingin tahu apa vaginamu terasa perih," ucap Sai sambil menggesek-gesekkan jari telunjukknya pada alat kelamin Ino.
"Hmm... Tidak perih," sahut Ino.
"Benarkah?" Sai memasukkan dua jari sekaligus ke lubang Ino. Tubuh Ino sedikit tersentak. "Sepertinya kau kesakitan, hm?" Sai menambahkan satu jari lagi dan sengaja mendiamkannya di sana.
Ino mengernyit. Ia tidak ingin membuat Sai kesal. Karena itu ia mengangkat kepalanya dan mempertemukan dahinya dengan dahi Sai. "Aku bilang itu tidak sakit, Sai," balasnya kemudian mengecup bibir Sai dengan menggebu-gebu.
Tangan kanan Sai yang semula meremas payudara Ino mulai turun dan mengusap pelan perut Ino sebentar kemudian turun lebih jauh hingga mencapai alat kelamin Ino. Jari-jari tangan kanan Sai ikut menggesek-gesek alat kelamin Ino dan satu per satu masuk ke dalam lubang Ino mengikuti jari-jari tangan kiri Sai. Ino mengernyit saat bibirnya diemut cukup keras oleh Sai.
"AKH!" Ino tersentak saat merasakan ada enam jari yang berada di dalam vaginanya.
"Sakit?"
Ino menggeleng, "Tidak."
"Bagus. Kalau kau mengatakan sakit, aku akan segera membuangmu." Sai kembali mencium Ino dan menarik semua jarinya dari vagina wanita tersebut. Kedua tangan Sai menangkup sisi wajah Ino agar ia bisa memperdalam ciumannya.
"Hmm..." desah Ino nikmat saat lidah mereka saling beradu.
Ino yang dapat merasakan penis Sai sudah tegak kemudian mengangkat tubuhnya sedikit dan mulai memasukkan penis Sai ke dalam dirinya.
JLEB!
"Ukh!"
Sai sengaja menghentakkan tubuh Ino ke bawah dengan cepat. Jari jemari tangan Ino sedikit mengepal sambil menahan sakit di vaginanya. "Da-dalam sekali."
"Hahaha..." Sai tertawa lantang mendengarnya. Kedua tangannya kemudian menggerakkan tubuh Ino. "Cepat bergerak, Sayang."
"Baik," balas Ino patuh. Ia menggerakkan tubuhnya dengan cepat sambil memeluk tubuh Sai. Sai juga balas memeluk tubuh Ino erat. Seiring pergerakan tubuh keduanya, air di sekitar mereka juga mengeluarkan suara kecipak seakan menjadi pengiring kegiatan dua sejoli tersebut.
"Engh!" Sai merasa sangat nikmat dengan posisinya saat ini. Rasanya ia tidak akan pernah puas dengan tubuh Ino.
Ino mulai mendesah mengikuti hentakan tubuhnya sendiri. "Ahh ahh ahh ra-rasanya nikmat, Sai."
"Hahaha... Tentu saja, Sayang." Sai sengaja menjilat bagian leher Ino agar wanita itu semakin mempercepat gerakannya.
"Ungh! UHHH!" desah Ino lantang saat ia mendapatkan pelepasannya.
Sai sengaja membiarkan tubuh Ino untuk menikmati orgasmenya. Mata Ino terlihat sangat sayu. Jelas sekali itu karena wanita itu kurang tidur, tapi Sai tidak peduli. Lelaki itu kembali mencumbu bibir wanitanya dan memaksa Ino kembali menggerakkan tubuhnya, membuat suara kecipak air kembali terdengar.
"Hum! Hum!"
"Ahh..." desah Sai mengakhiri ciuman mereka.
Cup!
Sai mengecup bibir Ino sekali lagi. "Airnya sudah mulai dingin, kita pindah saja ya, Sayang," ucap lelaki itu manis sambil menyibak rambut Ino ke belakang. Sai meraih kedua kaki Ino dan mengeratkannya ke pinggangnya sendiri. "Jangan dilepas."
Ino melebarkan matanya saat menyadari apa yang dilakukan Sai. "Tidak dilepas dulu?" tanyanya setengah memekik.
Sai tersenyum miring. "Begini lebih mudah," bisik Sai menggoda kemudian mengangkat tubuh Ino sambil mengangkat tubuhnya dari posisi duduk. Tubuh Ino terangkat dengan mudah.
"Aaahhhk!" pekik Ino saat merasakan penis Sai masuk sangat dalam. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Sai agar ia tidak terjatuh. "Huhhh..." Ino menghela napas pelan saat merasakan penis Sai makin membesar dalam dirinya.
"Aku bisa masuk sangat dalam, Sayang." Sai membawa Ino ke dalam kamar tidur kemudian menghimpit tubuh Ino ke dinding.
Punggung Ino sedikit menegang saat bersentuhan langsung dengan dinding kamarnya yang dingin. "AKH! Akh! Ah! Ah! Uh! Oh! Sai!" desah Ino tidak jelas karena Sai tiba-tiba menggenjot tubuhnya tanpa peringatan sebelumnya.
"Uhh... Nikmat sekali." Sai makin memperdalam penisnya di dalam Ino. "Kau meremasku kencang sekali, Sayang."
Ino hanya bisa mendesah, pasrah menerima segala perlakuan Sai padanya. Saat mendapatkan orgasmenya lagi, Ino menengadahkan kepalanya hingga memancing Sai untuk menggigit lehernya kencang. "AKH!"
"Eng! Uhmm!" Sai berusaha menahan desahannya saat ia menembakkan cairan semennya ke dalam tubuh Ino. "Jangan sampai menetes," ucap Sai makin menghimpit tubuh Ino hingga perutnya menekat perut Ino.
"Unghh... Uhh..." Ino merasa agak sesak karena himpitan tubuh Sai. Perutnya bergejolak aneh dan terasa tegang.
Masih dengan memeluk tubuh Ino, Sai berjalan mendekati tempat tidur dan melempar tubuhnya dan Ino ke atas tempat tidur.
Ino menarik napas kencang saat tubuh Sai yang berat membentur perutnya. Perutnya tiba-tiba terasa sangat sakit dengan kepalanya yang terasa pening.
Sai mencabut penisnya dan bangun dari posisinya. Matanya dapat melihat cairan putih kental keluar dari vagina Ino.
Saat mendengar suara napas Ino yang teratur, Sai tahu kalau wanita itu jatuh pingsan karena kelelahan. Satu tangan Sai bergerak ke wajah Ino dan turun perlahan ke arah perut Ino yang sudah mengandung anaknya selama tujuh bulan tersebut. Dielusnya perut besar Ino dengan penuh sayang dan dikecupnya di beberapa titik. "Aku tidak sabar bertemu denganmu, Anakku," ucapnya kemudian ikut tertidur di sebelah Ino.
.
.
.
FIN
