All My Regrets : Chapter 1
.
.
.
Hari pertama sekolah, sebuah kebetulan atau bukan, Eren dan Mikasa berada dalam satu kelas yang sama. Tapi ternyata gadis itu hampir terlambat datang tepat beberapa saat sebelum bel pelajaran pertama berbunyi.
"Oh hai, kita bertemu lagi." Sapa gadis itu. Eren sudah menduganya, gadis yang ia temui beberapa waktu lalu adalah gadis umum yang sering ia lihat. Eren membalas dengan sebuah anggukan yang canggung. Ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan gadis bermarga Ackerman ini.
Mikasa mengarahkan pandangannya untuk mencari bangku kosong dan hasilnya nihil, kecuali satu tempat.
Ada satu kursi kosong di sebelah Eren.
"Boleh aku duduk di sebelahmu? Hanya kursi ini yang kosong." Begitu kata Mikasa, tatapan matanya berharap Eren pastinya mengizinkan ia duduk di sebelahnya.
Sekilas Eren melirik ke penjuru kelas untuk memastikan hal itu benar, lalu menjawab, "Duduklah."
Ya, kau boleh duduk di sebelahku asal kau tidak menggangguku sampai kita lulus.
Awalnya kedatangan Mikasa dalam hidup Eren hanya bagaikan angin yang lewat begitu saja. Eren tidak peduli dengan Mikasa. Ia membiarkan Mikasa melakukan apapun asal itu tidak mengganggunya tidak masalah.
"Eren! Aku lupa membawa buku matematika, boleh kau bagi denganku?" pinta Mikasa dengan tatapan memelas berharap Eren mau membaginya buku matematika, pelajaran yang sangat tidak ia sukai.
Eren menatap Mikasa datar lalu mendengus, "Lain kali jangan lupa."
"Baiklah, terimakasih Eren."
"Hm,"
Untuk saat ini tidak masalah bagi Eren untuk sekedar membagi bukunya, tapi jika lebih dari itu maka tidak ada toleransi. Sampai pada saatnya Eren merasa kesal dibuatnya.
"Aku tidak paham!" pekik Mikasa seraya memegang kepalanya seakan pusing melihat angka-angka yang bercampur dengan huruf alphabet. Eren hanya meliriknya tanpa peduli, lalu Mikasa menyentuh bahunya dan berkata, "Eren, kau kan pintar. Apa kau bisa mengajariku?"
Eren sedikit menggeser duduknya, tanpa menoleh pada gadis Ackerman itu, Eren berkata dengan sinis, "Tidak."
Mikasa bukannya malah menjauh tapi menepuk pundak Eren, dan berkata, "Kau mau, 'kan?"
"Tidak. Apa kau tidak dengar?" Eren memberikan tatapan deathglare, "Jangan menyentuhku."
Mikasa sedikit terkejut mendengarnya namun ia tidak menyerah, Mikasa terus membujuk Eren untuk bicara padanya.
Masih dengan tatapan menusuk, Eren berkata, "Aku bilang 'tidak'. Apa kau tidak bisa mengerti kata-kataku?!"
Mikasa menelan ludahnya bergidik ngeri melihat reaksi Eren yang di luar dugaannya. Setelah itu Mikasa tidak membalas perkataan Eren. Memilih untuk diam lalu menenangkan dirinya.
Keesokan harinya Mikasa sudah seperti biasanya, ia tidak lagi murung akibat Eren yang kemarin marah padanya. Dan seperti biasa pula, Eren masih dingin bagai kutub es yang tidak mencair yang sekarang sedang menatap Mikasa sedang berjalan ke arahnya.
"Aku bawa buku, lengkap, jangan menatapku seperti itu…" gumam Mikasa setelah ia duduk di bangkunya.
Eren mendengus tanpa berkata apapun.
"Dia ini dingin sekali…" gumam Mikasa lirih namun masih terdengar jelas oleh Eren yang sekarang meliriknya. "Ah, maaf…"
.
.
.
Dan waktu terus berjalan sampai akhirnya enam bulan berlalu sejak saat itu. Mikasa dan Eren masih tetap seperti biasanya. Dua orang yang berbeda sifat. Eren masih tetap dingin dan cuek, sedangkan Mikasa yang ramah, baik dan santun. Berbeda dengan Eren yang masih sendirian karena sifat cueknya, Mikasa kini mendapat banyak teman termasuk dari kelas yang berbeda dengannya.
"Ngomong-ngomong, Mikasa. Aku boleh minta itu?" Sasha Blouse menunjuk daging ikan di kotak bento Mikasa dengan tatapan nafsu yang menggebu-gebu.
Dengan senang hati Mikasa memberikannya, "Ini. Makanlah,"
"Terimakasih! Kau terbaik, Mikasa!" Sasha langsung memakan ikan itu dengan lahap. Jika dia bukan perempuan, mungkin orang yang melihat cara makan Sasha akan bergidik ngeri saking jijiknya.
"Whoa… kau memberikan semuanya, Mikasa?! Apa kau tidak tahu dia itu bisa merebut semua makananmu loh!" Connie Springer memasang raut terkejut. Laki-laki berambut tipis yang nyaris botak itu memberi tahu Mikasa informasi nafsu makan Sasha yang menurutnya abnormal.
"HUAAAAA..." suara teriakan muncul dari mulut Sasha setelah menelan habis ikan pemberian Mikasa. Mikasa menoleh pada Sasha yang duduk di sebelahnya dengan tatapan bertanya-tanya. Tidak mempedulikan ucapan Connie, Mikasa lebih tertarik pada Sasha yang sedang menangis, "Kau menangis, Sasha? Ada apa denganmu?"
"INI SANGAT ENAKKKKK..." teriak Sasha lagi. Beberapa orang menaruh perhatian pada bangku yang ditempati Sasha, Connie dan Mikasa.
Connie menepuk jidatnya melihat tingkah Sasha sedangkan Mikasa merasa aneh karena ia berpikir apakah kau akan menangis hanya karena makanan enak?
"Hei, jangan berisik di kantin, semua orang melihat ke arah kita." Celutuk Jean Kirschtein yang baru datang menyusul. Laki-laki yang paling tinggi diantara mereka itu datang membawa sekotak bekal juga.
"Kau bisa makan bekalku, Mikasa." Tawar Jean pada Mikasa yang disambut senyuman dari Mikasa.
"Terimakasih, Jean." Meskipun Mikasa menerimanya, ia tak mengambil satu sendok pun dari bekal Jean.
"Setiap hari kau makan omelet. Apa tidak bosan?" tanya Connie pada Jean.
"Memangnya kenapa?" Jean balik bertanya.
"Sesekali kau harus makan sayur sepertiku. Makananmu tidak menyehatkan." Komentar Connie yang kemudian ditanggapi senyuman miring dari Jean.
Dengan tenang Jean berkata, "Kau makan sayur pun kau tetap pendek."
"Hahahaha…" Mikasa sontak tertawa. Karena faktanya Connie memang lebih pendek darinya. Untuk seukuran laki-laki Connie tergolong pendek, sedangkan untuk perempuan Mikasa tergolong tinggi.
"Grrr… awas kau, Jean! Jangan karena kau tinggi saja kau bisa seenaknya, ya! Dasar kau muka kuda!" ancam Connie yang tidak berarti apa-apa untuk Jean, pemuda bertubuh tinggi itu hanya memutar bola matanya bosan lalu melihat ke arah lain.
"Jean… boleh aku minta itu?" dan entah sejak kapan Sasha sudah berada di samping Jean dengan tatapan yang sama saat ia meminta ikan ke Mikasa.
"Eh, bukannya itu Eren?" tak mempedulikan ucapan Sasha, Jean menunjuk Eren yang berdiri tak jauh dari tempat mereka dengan dagunya. Mikasa, Sasha, dan Connie seketika langsung menoleh ke arah yang dimaksud Jean.
Connie langsung bertanya, "Oh? Si penyendiri itu? Kenapa memangnya?"
"Jangan memberi julukan seenaknya." Ketus Jean.
Connie memutar bola matanya, "Itu fakta kok," ucap Connie.
"Eren yang dari kelas sebelah kan? Ah, bukannya dia sekelas denganmu, Mikasa?" tanya Sasha yang juga ikut nimbrung, mungkin dia sudah lupa tujuannya mencuri makanan Jean.
"Dia sebangku denganku." Gumam Mikasa, ia tidak lagi melihat Eren.
"Eh? Benarkah? Katanya dia itu cuek dan dingin loh, memangnya benar?" tanya Sasaha memastikan rumor itu.
"Dia hanya pendiam." Ujar Mikasa, seperti sedikit membelanya namun tidak juga.
"Kau kan sebangku dengannya, kau pasti mengenalnya dengan baik kan, Mikasa." Ucap Connie sambil melirik Mikasa.
"Iya, dia hanya pendiam dan tidak pandai bergaul." Mikasa berhenti sejenak lalu melanjutkan, "dia hanya berbicara seperlunya saja, ketika ditanya guru misalnya, dan dia selalu datang lebih awal, aku tidak pernah datang lebih dulu daripada dirinya. Tapi dia itu pintar, sayangnya dia tidak mau berbagi ilmunya." Disusul respon ketiga temannya hanya membentuk huruf 'O' sebagai tanda mereka sudah mengerti.
"Dari penampilannya, dia lumayan keren. Kurasa dia bisa populer. Seandainya saja dia tidak cuek." Dengus Sasha.
"Jangan berisik, nanti dia melihat ke arah sini." Desis Jean memperingati.
Sementara jam istirahat sudah selesai, Mikasa berpisah dari teman-temannya yang berbeda kelas lalu kembali ke kelasnya.
"Mikasa," sebuah suara berat yang sangat Mikasa kenal memanggilnya yang tak lain adalah Eren, yang sudah berada di sebelahnya.
"Ada apa?"
"Tadi… apa yang kau bicarakan?" tanya Eren tanpa menoleh pada lawan bicaranya.
Mikasa ragu dengan apa yang ditanyakan Eren, lalu ia bertanya, "dengan siapa?"
"Saat istirahat, kau bersama teman-temanmu 'kan? Apa kalian membicarakanku?" mendengar kata itu, Mikasa terkejut ternyata Eren mendengar pembicaraannya dengan teman-temannya. Eren menoleh dan mendapati raut wajah Mikasa yang terkejut tidak dapat ditutupi. Sebelum Mikasa menjawab, Eren sudah menyela terlebih dahulu, "Jadi aku benar 'kan?"
Mikasa langsung menunduk dan berkata, "Maaf… kami tidak bermaksud membicarakanmu, mereka hanya bertanya tentangmu, itu saja, tidak lebih. Dan aku hanya menjelaskan sedikit tentangmu."
Eren mendengus, "… Begitu."
"Sebagai permintaan maafku, kau bisa memberiku hukuman misalnya, atau jika kau ingin berteman dengan mereka, aku akan bicara pada mereka, Eren." Ucap Mikasa.
Eren tersenyum sinis, "Tidak apa, aku tidak membutuhkannya."
"Kenapa?"
"Aku tidak butuh teman."
"Jadi… aku bukan temanmu?"
"… Aku tidak pernah menganggapmu sebagai teman."
.
.
.
.
Awalnya Mikasa ragu dengan ucapan Eren saat ia bilang tidak membutuhkan teman. Kata-kata Eren cukup membekas di hatinya, rasa sakit karena tak dianggap teman membuat Mikasa sedih beberapa waktu sampai ia tidak nafsu makan.
Tapi…
Mikasa berusaha mencoba mencari celah agar Eren menganggapnya, tidak harus dianggap teman, dianggap sebagai musuh pun tidak masalah.
Ini hanya mencoba.
Satu carik kertas yang terlempar ke Eren sudah dipastikan dari gadis itu. Eren hanya melirik Mikasa tanpa banyak berbicara, lalu membuka kertas putih itu dan membaca pesannya dalam hati.
Kau tidak ingin berbicara denganku?
Eren mendengus setelah membaca pesan itu lalu meremas kesal dan membiarkan secarik kertas putih itu tergeletak di atas meja.
Dua kali, Mikasa melemparinya kertas yang baru.
Kenapa kau marah?
Eren langsung menoleh pada Mikasa dengan raut dinginnya, ekspresinya seakan mengatakan, "Jangan menggangguku."
Mikasa tersenyum, dan ini lemparan ketiganya. Sebelum Eren membuka kertas itu, ia menghela nafas beratnya. Lalu dengan kesal ia menatap Mikasa. Sialnya, guru yang sedang mengajar itu memergoki interaksi Eren yang seakan ingin melakukan sesuatu pada gadis di sebelahnya. Ya, Eren berniat melempar kertas itu pada Mikasa. Sebelum…
"Hei, kau… perhatikan papan tulis! Jangan bermain disaat jam pelajaran!" ucap guru itu ketus pada Eren. Eren mendecih karena sebenarnya Mikasa lah yang memancingnya dengan melempari kertas-kertas itu lalu membuatnya bersalah di sini.
Eren tak menanggapi guru yang sudah menegurnya itu, daripada mengadu, ia lebih memilih diam. Kertas yang ada di genggamannya itu ia buka.
Penggarismu jatuh.
Saat itu juga, Eren langsung mengecek apakah yang tertulis di kertas itu benar, dan ternyata benar saja penggarisnya memang tergeletak di lantai. Mikasa hanya terkikik geli melihat reaksi Eren yang kesal.
Keesokan harinya, Mikasa mencoba sesuatu yang jahil, sengaja bersembunyi di balik dinding dan ketika Eren datang ia tiba-tiba muncul di hadapannya, bagai terkena serangan jantung, Eren sangat terkejut sembari memegangi dadanya yang berdetak lebih kencang, dan dengan nafas yang memburu, Eren berkata, "Kenapa kau, hah?! Apa yang kau lakukan?!"
Eren memang membentaknya, tapi Mikasa masih tertawa melihat reaksi terkejut Eren karena menurutnya, ini ekspresi yang mungkin seribu tahun sekali akan ia lihat. "Hahahaha kau lucu sekali! Hahahahaha…" jari telunjuknya menunjuk Eren yang memasang raut datar.
Tanpa menunggu lama lagi, Eren pergi begitu saja menuju kelasnya dan tak membiarkan Mikasa mengikutinya dari belakang.
Mikasa selalu mencoba mencari perhatian Eren, ia selalu mengikuti pemuda itu. Ke kantin, di kelas, di lapangan, bahkan saat Eren akan ke kamar mandi pun Mikasa mengikutinya, tapi ia akan berhenti saat sudah beberapa meter dari ruangan khusus laki-laki itu.
Eren sangat sadar gadis Ackerman itu selalu mengikutinya. Eren membiarkan gadis itu mengikutinya dan akan menangkapnya saat gadis itu lengah.
Mikasa terus membuntuti Eren sampai sebuah ruangan yang sepi dan Mikasa ikut masuk, tempat itu sedikit gelap lalu tanpa Mikasa sadari, di sebelah pintu masuk tangannya tiba-tiba ditarik oleh sesorang.
Spontan, Mikasa berteriak, "KYAAAAAAAA!"
BRUKH
Eren tanpa peduli melemparkan begitu saja punggung Mikasa di tembok, "Kau…" geramnya menatap wajah gadis itu, "Kenapa kau mengikutiku?! Kau terobsesi padaku, hah?!" lagi-lagi Eren membentaknya.
Mikasa mendadak menciut, tatapan mata Eren yang tajam membuatnya tak mampu melihat wajah pemuda itu, dengan bibir gemetar, Mikasa menjawab, "Aku… hanya ingin berteman denganmu…" lirih sekali karena perasaannya yang masih takut, "apa… aku salah?"
"Aku tidak mengerti… aku sudah bilang… aku tidak butuh teman!" Eren mendekatkan wajahnya yang semakin menampakkan emosinya yang menggebu, "apalagi perempuan sepertimu… enyahlah. Aku tidak membutuhkanmu. Apa kau tidak mengerti?!"
Mikasa gemetar, sosok Eren yang pertama kali ia temui muncul di benaknya, dengan pelan Mikasa mendongakkan wajahnya, Eren bisa melihat sedikit air menetes dari ujung matanya, "Kenapa… waktu itu… kau mengembalikan buku catatan itu?"
Eren memiringkan kepalanya, berusaha mengingat kejadian yang dimaksud Mikasa, kemudian Eren melonggarkan dirinya, melangkahkan kakinya ke belakang dan ia berdecak. Tak lama kemudian, Eren memilih keluar dari ruangan itu dan meninggalkan Mikasa, "… aku sendiri tidak tahu." Gumam Eren yang semakin menjauh.
Mikasa semakin terisak di dalam ruangan yang gelap itu, untung saja tidak ada orang lain yang melihatnya saat ini, "Buku itu… sangat penting bagiku…"
.
.
To Be Continued
.
.
A/N :
Oke, jadi segitu dulu untuk chapter satu nya. Hope you like it!
Jangan lupa buat #ThankYouHajimeIsayama #ThankyouMappa
Vote and comment ya kalau suka, kalau enggak ya gausah gapapa, serah dah wkwkwk
Regards, Reye
31 Maret 2021
