Chapter 1. Trip

.

'

Mati aku, mati aku!' Begitulah jerit Thorn berulang-ulang dalam batinnya. Kedua kakinya dipaksanya berlari sekuat tenaga melompati akar pohon dan semak-semak rendah yang menghalanginya berlari.

Thorn telah melakukkan sebuah kesalahan besar dan kini benar-benar menyesal telah mengacuhkan peringatan adiknya yang terkecil pada awal perjalanan hiking kedalam daerah hutan pegunungan.

Karena sekarang Thorn mendapati dirinya tengah dikejar oleh seekor margasatwa liar yang terusik habitatnya karena perbuatannya sendiri. Dalam pelariannya, Thorn tidak sempat lagi menyesali rusaknya acara rekreasi hiking bersama keenam saudaranya karena kelalaiannya. Acara hiking bersama Halilintar, Taufan, Gempa, Blaze, Ice, dan Solar yang seharusnya menyenangkan kini bertukar menjadi perwujudan sebuah mimpi buruk yang menjadi nyata.

Padahal pada awalnya semuanya sudah terencana dengan baik. Ketujuh bersaudara kembar yang berkediaman di pulau rintis telah mengatur sebuah kegiatan bersama untuk mengisi waktu liburan sekolah mereka.

Dari berbagai macam alternatif rekreasi untuk mengisi waktu libur, mayoritas dari ketujuh bersaudara kembar itu setuju untuk mencoba ide dari Gempa. Kecuali Halilintar dan Ice, semuanya setuju untuk melakukkan perjalanan hiking ke pegunungan diluar Pulau Rintis dan menginap dialam terbuka selama beberapa hari.

Bentuk acara sudah disetujui dan giliran Solar untuk memilih tujuan perjalanan mereka. Sebuah kawasan wisata yang masih jarang dikunjungi orang menjadi pilihannya dengan anggapan daerah pilihannya itu belum terlalu banyak terkena campur tangan manusia namun masih relatif aman.

Karena jarak yang tidak terlalu jauh dan perimbangan biaya, Gempa menyetujui usulan Solar itu. Persiapan tidak memakan waktu lama, apalagi mereka hiking kedaerah wisata, bukan hutan belantara berbahaya yang belum terjamah manusia.

Diawal perjalan hiking, Solar telah memperingatkan semua kakak-kakaknya untuk tidak memberi makan satwa-satwa liar. Menurut si adik, memberi makan satwa liar adalah tindakan berbahaya karena bau makanan itu bisa mengundang binatang lain yang tidak diinginkan.

Sayangnya peringatan terkadang dianggap sepele. Ketika sedang beristirahat untuk makan siang, Thorn melihat seekor binatang kecil berbulu hitam. Tanpa pikir panjang, ia mencoba memanggil binatang itu layaknya seseorang memanggil seekor anak anjing dengan menjentikkan jari.

Jadilah binatang itu dan Thorn saling bertemu pandang. Netra hijau tua bertatapan dengan sepasang mata bundar yang lebarnya tidak lebih dari sekeping koin.

Kontan Thorn langsung jatuh hati lengkap dengan kedua bola matanya yang berbinar-binar membulat. Tanpa pikir panjang, ia membuka kotak bekal yang dibawanya.

Beberapa potong nugget ayam goreng diberikan oleh Thorn yang berpikir bahwa binatang itu tidak berbahaya. Tentu saja nugget ayam itu dilahap dengan rakus oleh satwa liar yang dilihatnya itu.

Tidak tahan lagi, Thorn mengulurkan tangannya untuk membelai binatang yang terlihat seperti sebuah boneka dimatanya. Kembali nugget ayam goreng menjadi umpan untuk mengundang satwa itu supaya semakin mendekat.

Namun sebuah suara raungan keras menghentikan Thorn sekaligus membuat keenam saudara-saudaranya menengok kearah saudara mereka yang tercengang dan sumber suara raungan itu.

"Beruang madu." Menurut Solar itulah nama binatang yang diberi makan dan hendak dibelai oleh Thorn. Sementara yang meraung keras itu adalah induknya yang menganggap Thorn adalah ancaman bahaya bagi anaknya.

Halilintar, Taufan, Gempa, Blaze, Ice dan Solar berusaha untuk mengusir beruang madu itu. Semua peralatan hiking dari panci lapangan sampai tongkat dibentur-benturkan untuk menghasilkan bunyi berisik guna menakuti anak beruang madu itu beserta induknya.

Seharusnya usaha itu bisa berhasil ...

Kalau saja Thorn yang panik tidak berpencar dengan keenam saudaranya dan berlari masuk kedalam hutan.

'Habislah ... habislah ... tamatlah aku!' jerit Thorn dalam hatinya. Suara gesekan badan induk beruang madu dengan semak dan pepohonan terasa semakin dekat terdengar pada indera pendengaran Thorn.

Sempat Thorn mencoba untuk menengok kearah belakang. Walaupun tidak melihat wujud beruang madu yang mengejarnya, ia masih bisa menangkap gerakan semak-belukar yang bergoyang dan bergerak mendekati dirinya.

Menengok kearah belakang membuat pengelihatan Thorn melewatkan adanya sebatang akar pohon yang cukup besar.

Keseimbangan tubuh Thorn mendadak hilang ketika ujung sepatunya tersangkut pada akar pohon yang tidak sempat dilihatnya. Diiringi jeritan kesakitan, Thorn limbung dan jatuh tersungkur.

Habis sudah harapan hidup Thorn ketika ia melihat induk beruang madu yang mengejarnya.

"HUAAAAA!" Thorn menjerit sejadi-jadinya ketika beruang madu itu melompat hendak menerkamnya. Telapak kaki depan beruang itu mengembang selebar-lebarnya ketika menerkam. Seluruh kuku pada kaki depan beruang madu yang berukuran besar seakan mencuat keluar.

Tidak mampu berbuat apa-apa lagi, Thorn hanya bisa memejamkan kedua matanya erat-erat dan melindungi kepalanya sebisa mungkin.

.

.

.

Dengan bermodalkan sebilah parang, Halilintar dan Solar berusaha untuk membuka jalan menuju ke arah yang mereka perkirakan Thorn berlari. Bagian hutan yang tengah mereka lalui terlihat sedikit sudah terbuka akibat terlanggar oleh seseorang yang berlari menerobos hutan

"Bodoh!" ketus Halilintar seraya mengayunkan parangnya dan menebas semak belukar yang terlihat bekas dilalui orang. "Padahal kamu sudah bilang ke Thorn, jangan memberi makan binatang liar kan!" Kembali Halilintar mengayunkan parangnya untuk memperlebar jalan yang sudah sedikit terbuka.

"Yah namanya juga Kak Thorn ..., " keluh Solar seraya menyeka keringat yang menitik pada sekujur tubuhnya yang berbalut baju tanktop abu-abu. "Pelan-pelan Kak Hali," ucap Solar lagi.

Sebilah parang tajam tergenggam pada tangan kanan Solar. Memang ia tidak ikutan menebasi semak dan pepohonan untuk membuka jalan, namun tugasnya lebih untuk menjaga bagian belakang Halililintar atau menjadi sepasang mata tambahan untuk mengawasi apa yang menghadang di hadapan mereka.

Tiba-tiba Solar menarik kakaknya mundur pada pinggangnya.

Halilintar terkejut ketika dirinya ditarik mundur mendadak dengan kuatnya. "Hey!" dengkusnya sembari melangkah mundur dan menjaga keseimbangan badannya supaya tidak terjatuh. "Ada apa?!" ketus Halilintar yang kini menengok ke arah Solar.

"Ular ..." Solar menunjuk pada sesuatu yang terlihat seperti ranting berwarna kecokelatan di atas tanah. Warna cokelatnya terlalu mengkilap untuk sepotong ranting dan terlihat sesekali bergerak-gerak.

Halilintar meneguk ludahnya. Urung terlihat takut, Ia mengulurkan parang yang berada dalam gengamannya kearah tubuh ular yang ditunjuk oleh Solar.

"Hey, jangan dibacok, kak! Kasihan," ketus Solar ketika ia melihat kakaknya yang mengulurkan parang kearah mahluk yang tidak bersalah itu.

Halilintar menggelengkan kepalanya. "Ngga kok," ucapnya dengan suara yang pelan. Dengan menggunakan sisi tumpul pada parang yang digenggamnya, Halilintar mengangkat tubuh ular yang tadi ditunjuk oleh adiknya.

Ukuran ular itu tidak terlalu besar, tidak lebih dari dua meter panjangnya. Bahkan ular itu seperti memilih untuk melarikan diri daripada menyerang orang yang mengganggu ketenangannya.

Halilintar mengayunkan parang yang digenggamnya sekaligus melemparkan ular yang berada diatas sisi tumpul parang itu menjauh.

Sejenak Halilintar mengelus dadanya seraya menghela napas lega. "Ayo, lanjut ... Perasaanku ngga enak. Thorn ngga ada suaranya ..."

Solar mengangguk dan berjalan mengikuti Halilintar. "THOORN!?" teriaknya, mencoba memanggil kakaknya yang tidak terlihat batang hidungnya atau terdengar lagi suaranya.

Sejenak Halilintar menghentikan langkahnya. Bagian depan kaus armless merahnya disibakkan sedikit untuk menghapus titik-titik keringat yang terbentuk pada wajahnya. Kemudian, dengan kedua matanya sedikit terpicing sembari mengamati keadaan sekelilingnya Halilintar berteriak memanggil, "THORN?!"

Hanya kesunyian yang menjadi jawaban atas teriakan Halilintar dan Solar

Halilintar mulai terlihat semakin gelisah. Sebagai kakak yang dianggap tertua seharusnya dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan semua adik-adiknya. Sekarang, salah satu adiknya malah tidak terlihat jejaknya sama sekali.

"Kamu yakin Thorn lari kearah sini?" Halilintar menengok kearah Solar yang masih sibuk menyeka titik-titik keringat yang terlihat tak kunjung berhenti bermunculan pada lengan, badan dan wajahnya.

"Arahnya aku yakin," jawab Solar yang menatap balik pada kakaknya. "Tapi aku ngga tahu pasti lari kemana Kak Thorn setelah hilang kedalam hutan tadi."

Jawaban Solar itu tidak membuat perasaan Halilintar menjadi lebih baik. "Duh ... padahal hutan ini lumayan lebat ... semoga kita ngga ikutan tersasar."

Kali ini Solar sedikit tersenyum. "Jangan khawatir," ucap Solar sembari mengeluarkan sekumpulan tali rafia berwarna kuning yang sudah ia potong-potong dari saku belakang celananya. "Kutandai kok jejak kita. Tinggal ikuti saja tali kuning yang kuikat ke ranting pohon."

Paling tidak jawaban Solar itu membuat Halilintar merasa sedikit lebih tenang. "Beruntung aku masih punya adik yang cerdas sepertimu, Sol," puji sang kakak dengan sebuah kebanggaan yang tersirat dibalik sebuah senyuman tipis.

"Memang aku yang paling cerdas diantara semuanya." Solar yang samasekali tidak peka dengan pujian tulus sang kakak tertua hanya mengedikkan bahunya. "Nah, sekarang bagaimana kak?" tanya si adik terkecil seraya mengembalikan parang yang dipegangnya kedalam sarung parang yang tergantung dari sabuk pinggangnya.

Halilintar lansung mendecih selepas Solar berkomentar balik. "Kamu ini memang ngga bisa dipuji ya." ketus sang kakak seraya memutar kedua bola matanya keatas. "Ayo kita coba terus."

Halilintar dan Solar melanjutkan pencarian mereka. Kali ini keduanya sedikit mengubah strategi. Solar berjalan menyusuri hutan pegunungan itu sedikit terpencar dari Halilintar namun tidak terlalu jauh.

"THORN!" panggil Halilintar dan Solar bergantian.

Tidak ada yang menjawab panggilan-panggilan yang diserukan kedua kakak-beradik itu.

Hutan belantara itu semakin lebat seiring waktu yang berlaku ketika Halilintar dan Solar merambah masuk semakin dalam. Mustahil rasanya seorang Thorn bisa berlari sampai sejauh itu

Akhirnya Halilintar memutuskan untuk memanggil Solar supaya mendekat dan bertemu kembali.

Dengan napas yang terengah-engah dan dengan tubuh yang benar-benar banjir keringat Solar menghampiri sang kakak tertuanya. "Bagaimana, Kak?" tanya si adik seraya menyarungkan parang yang digenggamnya

"Ngga mungkin Thorn bisa sampai sejauh ini deh," ucap Halilintar sembari memandang kearah hutan yang semakin lebat. "Tapi aku ngga bisa balik tanpa Thorn." Raut wajah Halilintar terlihat semakin kaku dan tegang karena tidak ada tanda-tanda keberadaan Thorn.

Solar menghela napas panjang. "Kita cari lagi deh kak ... Memang hutan ini kawasan wisata yang katanya aman, tapi tetap saja aku khawatir," ucap si adik terkecil sembari mencabut parangnya keluar dari sarungnya.

"Ya, coba kita telusuri ulang." Halilintar menganggukkan kepalanya.

Halilintar dan Solar membalikkan badannya untuk menelusuri kembali jalan yang telah mereka lalui. Kembali mereka membuat jarak dan berjalan dengan berpencar guna memperluas area pencarian. Sesekali Halilintar dan Solar saling berpandangan, memastikan tidak ada dari mereka yang ikutan tersesat karena berpencar terlalu jauh.

"KAK HALI!" Tiba-tiba Solar berteriak dan mengangkat parang yang digenggamnya setinggi mungkin supaya lebih mudah terlihat.

Halilintar langsung menoleh kearah suara adiknya itu. Ia melihat parang milik Solar yang terangkat dan langsung menghampiri posisi adiknya itu.

"Ada apa?" tanya Halilintar ketika ia sudah berada didekat Solar.

Dengan parangnya Solar menunjuk pada sekumpulan semak yang lebat dan kemudian kakinya sendiri. Cairan berwarna merah pekat membasahi punggung kaki Solar yang terbungkus sepatunya. "Aku curiga itu darah ...," ucapnya sembari menyarungkan parangnya. Dengan hati-hati Solar berjongkok dan mengusap cairan berwarna merah pekat itu dengan jarinya.

Halilintar memperhatikan adiknya yang tengah mengendus cairan yang berwarna merah pekat itu. "Darah?"

Solar meneguk ludahnya. Ia menengadahkan kepalanya, menengok kearah Halilintar. Sebuah anggukan kepala menjawab pertanyaan dari kakaknya itu. "Bau amis darah, tapi ngga tahu darah apa atau darah siapa."

"Semoga bukan Thorn." Halilintar terlihat semakin gelisah dengan tangannya mengepal semakin erat.

"Sepertinya ... Kak Thorn..."

"Apa?"

Solar merogohkan tangannya kedalam semak pepohonan yang berada cukup dekat. Dari dalam semak belukar yang tertutup pepohonan lebat itu ia menarik sebuah benda yang sangat dikenalnya.

Sebuah topi berwarna hitam dengan corak tribal yang menyerupai akar tanaman. Hampir seluruh bagian topi berwarna hitam itu terlihat basah dengan cairan pekat yang berwarna merah

Sekali lagi Solar mengulangi jawabannya. "Sepertinya ... Ini darah Kak Thorn ...," gumam Solar sembari memperlihatkan topi itu kepada Halilintar.

Darah Halilintar seakan membeku ketika dilihatnya topi yang biasa dipakai oleh Thorn penuh dengan noda darah. Berbagai kemungkinan terburuk langsung melintas dalam benaknya. "Bi-bisa jadi terlepas waktu dia lari tadi!" ujar Halilintar menawarkan alasan dengan intonasi suara yang jauh dari kata meyakinkan.

Dengan bertumpuan pada gagang parang miliknya, Solar mendorong dirinya kembali berdiri tegak. "Mungkin saja, tapi kemana Kak Thorn?"

Baru saja Halilintar hendak berbicara dan membuka mulutnya ketika ia dan Solar mendengar suara gesekan sesuatu yang melangkah melewati lebatnya semak pepohonan.

"THORN?!" Solar berteriak sekuat tenaga kearah sumber suara yang didengarnya.

"So-solar!" Kali ini terdengar suara jawaban. "Tolong!"

"THORN!" Tanpa membuang waktu Halilintar dan Solar langsung bergegas membuka jalan kearah suara yang menjawab panggilan mereka. Ayunan dan tebasan parang kedua kakak beradik itu dengan cepat membawa mereka semakin jauh kedalam hutan tropis yang terasa lembab.

Alangkah leganya Halilintar ketika ia melihat sosok remaja yang berpakaian kaus lengan pendek hijau muda. "Thorn!" panggilnya lagi ketika Halilintar mengenali sejumput surai putih diantara rambut hitam remaja yang dilihatnya.

Kelegaan Halilintar tidak berlangsung lama, apalagi ketika Thorn yang dicarinya berjalan terhuyung-huyung semakin mendekat sembari memegangi lengannya yang terlihat basah oleh cairan berwarna merah pekat.

Halilintar langsung bergerak menghampiri Thorn yang pucat pasi. Ia langsung menangkap tubuh adiknya yang hendak terjatuh. "Apa ini? Kenapa?" tanya Halilintar dengan suara gemetar seraya memeriksa lengan Thorn.

Sebuah luka sobek besar terlihat menganga pada lengan sebelah kiri Thorn. Dalamnya luka itu bahkan sudan memperlihatkan benda berwarna keputihan pada lengan remaja yang bernetra hijau tua itu, yang tidak lain adalah tulang lengan atasnya.

"Kak ... Halii ..." Thorn meringis dibalik kedua rahangnya yang terkatup rapat menahan rasa sakit yang luar biasa. Air matanya menitik dan mengalir turun dari sudut matanya karena rasa sakit yang tak kunjung reda. "La-lari, Kak ... Kita harus lari."

Bahkan Halilintar yang terkenal bermental baja karena sifat dan masa lalunya yang keras merasa perutnya seakan diaduk-aduk setelah melihat secara detail luka pada lengan Thorn. "Kamu ngomong apa sih? Cakaran beruang tadi itukah?"

Solar mengamati luka yang menganga lebar pada lengan kakaknya. Ia hampir percaya kalau itu akibat dicakar beruang, namun ada sesuatu yang janggal. "Ini bukan cakaran beruang." ucap Solar yang kini terlihat gelisah.

"Lalu? Apalagi yang bisa membuat luka sebesar ini?"

Solar mencoba mengamati luka pada lengan Thorn itu lebih dekat lagi. Berbeda dengan Halilintar, ia terlihat sedikit lebih tenang ketika mengamati luka pada lengan kakaknya itu dari berbagai sudut.

"Lukanya tembus dari depan sampai belakang ... bersih pula," gumam Solar yang memeriksa bentuk luka pada lengan Thorn. "Kalau beruang pasti lukanya lebih dari satu ... dan tidak akan seperti ini lukanya."

"Kita ... harus lari," racau Thorn yang ketakutan. Apalagi setelah ia mendengar ada suara ranting terpatah dan suara sesuatu tengah bergerak menembus hutan.

"Beruang itu lagi?" Halilintar meneguk ludahnya. Ia memposisikan parang yang digenggamnya menjadi melintang didepan tubuhnya sebelum memasang kuda-kuda bertahan.

Thorn menggelengkan kepalanya dan berusaha untuk berjalan menjauh dari tempat itu. "Beruang itu sudah mati-"

"DAPAT JUGA KAU!"

Suara teriakan lantang membuat Halilintar, Solar, dan Thorn terkejut. Mereka langsung menoleh kearah suara teriakan itu.

Halilintar merasakan jantungnya terjun bebas ketika menemukan dirinya bertatapan dengan sebuah laras senapan. Keberaniannya yang legendaris itu berangsur lenyap di bawah todongan senjata api.

Wakaupun begitu, Halilintar masih merasa memiliki tanggung jawab sebagai kakak yang tertua. Ia merasa wajib untuk melindungi kedua adiknya, terlebih Thorn yang terluka.

Seorang pria berbadan besar dan tegap berdiri dan membidikkan senapan laras panjang kearah tiga kakak beradik di tengah hutan itu. Raut wajah orang itu jauh dari kata bersahabat. Daun telinganya yang hilang sebelah tidak membantunya memberikan kesan baik kepada ketiga kakak beradik yang ditatapnya melalui alur pembidik senapan miliknya.

"Mereka yang membunuh beruang itu," gumam Thorn yang sudah berada dibalik badan Halilintar.

Tiga orang lagi datang menghampiri pria yang bersenjatakan senapan laras panjang itu. Masing-masing ketiga orang itu pun bersenjatakan senapan laras panjang.

Pria yang berbadan tegap itu mengkokang senjata api miliknya tanpa mengalihkan bidikannya."Kau kira bisa lolos dari aku? Pemburu bayaran terhebat didunia," ucap pria itu sembari tersenyum sinis.

"Pemburu haram ...," dengkus Halilintar seraya membentangkan tangannya, melindungi Thorn dan Solar. "Tidak ada hebat-hebatnya."

"Begitu? Akan kubuat kalian menyesal telah berurusan denganku, BoraRa. Pemburu bayaran terbaik didunia!" ketus pemburu itu yang kemudian memberi isyarat kepada kedua bawahannya. "GagaNaz, KikiTa, ringkus mereka!"

GagaNaz, bawahan pemburu haram yang berbadan besar itu langsung mendekati ketiga kakak beradik yang sudah terdesak itu.

Sementara KikiTa, perempuan bawahan sang pemburu itu mengarahkan senapan miliknya pada ketiga kakak beradik yang dihampiri GagaNaz.

Menolak untuk menyerah begitu saja, Halilintar meraih parang yang berada ditangan Solar. Dengan dua bilah parang tajam ia menghadang dan menghentikan langkah GagaNaz yang hendak meringkusnya.

"Kak Hali, kamu gila!" desis Solar yang berlindung dibelakang Halilintar sekaligus melindungi Thorn yang terluka dibelakangnya.

Halilintar sedikit menolehkan kepalanya kearah Solar sementara kedua matanya tetap terpaku kedapa GagaNaz yang mendekat. "Kita lebih bernilai dalam keadaan hidup bagi mereka," bisiknya kepada si adik. "Lagipula, mereka ngga akan ambil resiko menembak teman sendiri."

GagaNaz menurunkan senapan yang dipegangnya sebelum melepaskan lilitan tali yang menggantung di tubuhnya yang akan digunakan untuk meringkus ketiga kakak beradik itu.

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Halilintar yang langsung mengayunkan parang ditangan kanannya secara horisontal kearah kepala GagaNaz

Serangan Halilintar yang hampir secepat kilat itu hampir saja mengenai sasaran kalau saja lawannya itu adalah orang biasa. Reaksi GagaNaz cukup cepat untuk menggunakan popor senjata apinya untuk menghalangi ayunan parang Halilintar.

Masih memanfaatkan momentum menyerang dan enggan memberi kesempatan pada lawannya, Halilintar kembali menyerang dengan ayunan parangnya dari tangan kirinya.

Percikan api berloncatan ketika bilah parang Halilintar bertemu dengan batang laras senapan yang menjadi sarana bertahan GagaNaz.

"Hebat juga kau nak." desis GagaNaz yang menyeringai senang karena mendapatkan lawan yang seimbang..

Halilintar memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik napas panjang. "Jangan sentuh adik-adikku!" ketusnya sebelum melancarkan sebuah tendangan kearah GagaNaz.

Serangan mendadak itu tidak diduga oleh GagaNaz yang terdorong mundur karena tendangan Halilintar yang mendarat di dadanya.

Dibawah todongan senjata KikiTa dan seorang lagi kaki tangan BoraRa, Halilintar langsung merangsek maju dan memperkecil jaraknya dengan GagaNaz.

"Hey nak, kenapa kau tak gabung dengan kita saja. Untungnya besar lho." sahut BoraRa yang menyaksikan jalannya pertarungan sengit antara Halilintar dan bawahannya, GagaNaz.

Halilintar mengacuhkan ajakan BoraRa dan terus saja menyerang GagaNaz tanpa memberi kesempatan musuhnya melawan balik. Tidak sia-sia latihan karate Halilintar selama ini, ia berada diatas angin bahkan mampu menyudutkan GagaNaz.

Kedua parang Halilintar yang mengayun hampir tanpa jeda secara terus menerus tak ayal menggoresi lengan GagaNaz yang tidak sempat menghindar.

"Berhenti!" Teriakan tiba-tiba dari KikiTa menghentikan pertarungan Halilintar dan GagaNaz.

Halilintar menolehkan kepalanya. Remaja bernetra merah darah itu hanya bisa menggeram kesal ketika ia melihat para pemburu itu mengarahkan senjata mereka pada Thorn dan Solar. Dalam gejolak pertarungannya, Halilintar lalai menjaga kedua adiknya yang kini berada dibawah todongan senjata.

"Menyerah... Ayo, buang parangmu itu... Setan kecil!" perintah KikiTa seraya mengkokang senapan laras panjangnya. Suara dentingan logam menandakan bahwa senapan itu terisi peluru dan siap ditembakkan.

Tidak punya pilihan lain, Halilintar membuang parangnya dengan cara melemparkannya sampai menancap ditanah. "Pengecut!" ketus Halilintar seraya membentangkan kedua tangannya, menandakan dirinya tidak lagi bersenjata.

"Bocah tengik!"

Itulah kata-kata terakhir yang didengar Halilintar meluncur dari mulut GagaNaz sebelum popor senapan milik pemburu itu menghantam kepalanya

Pandangan mata Halilintar langsung menggelap ketika popor senapan GagaNaz itu mendarat pada pelipisnya. Namun Halililintar masih sempat mendengar kedua adiknya itu meneriakkan namanya.

.

.

.

Bersambung.