.

Seseorang pernah mengatakan bahwa takdir tidak bisa dilawan, akan tetapi nasib bisa diubah.

Karena takdir adalah tujuan akhir suatu perkara dan nasib adalah prosesnya.

...

..

...

"Aku Mayuzumi Chihiro dari pegunungan Rakuzan." Si pemilik wajah datar memperkenalkan diri dengan intonasi monoton.

Mendengar nama tersebut Silver tampak terdiam. Aomine dan Kise saling pandang. Mereka tidak mengenal siapa itu Mayuzumi.

"Tidak seharusnya kau membuat keributan disaat upacara penting ini, Silver. Tunjukkan rasa hormatmu sebagai seorang calon dewa."

Silver masih diam. Tidak membantah, tidak juga membalas. Dia hanya membuang muka, tak peduli.

"Langit punya aturan. Membuat kekacauan adalah pelanggaran yang bisa dihukum," lanjutnya lagi ditujukan pada semua orang dalam ruangan itu yang terlibat dalam perkelahian.

Tak mendapat reaksi apapun dari mereka semua, Mayuzumi menghela napas. Pandangannya teralihkan pada si pemuda bertongkat arang yang juga balas menatapnya dengan alis bertaut.

Mereka saling bersitatap untuk beberapa saat. Ada percikan ketidaksukaan yang terpancar dari masing-masing bola mata abu-abu itu. Mayuzumi menjadi pertama memutuskan kontak mata. Dia balik badan sambil berkata, "Ada yang ingin kutunjukkan pada kalian. Ikutlah bersamaku."

Namun langkah kakinya sempat berhenti sejenak tepat di samping Akashi. "Kecuali kau. Pergilah ke ruang kontrol. Nash-sama menunggumu."

...

..

...

Keributan yang terjadi di dapur dan aula tempat peristirahatan para calon dewa terdengar sampai ke telinga Nash. Ia duduk angkuh di atas singgasananya.

"My Lord, lebih baik beristirahatlah di dalam kamar. Semua kekacauan ini, biar saya yang mengurus-"

Ucapan dari tangan kanannya terpotong oleh tanda isyarat Nash yang memerintahkan untuk diam. Ia mendebas sinis ketika merasakan adanya sihir berbeda dari para penghuni langit di antara calon dewa.

"Aku sudah mengutus seseorang untuk menanganinya. Lagipula ada yang harus aku pastikan dulu."

Nash beranjak berdiri. Melemaskan otot lehernya sampai terdengar suara -krek!- dengan mantap. Ia juga memutar sedikit lengan kiri berisi ukiran tato. Seolah ia tengah melemaskan otot tubuhnya untuk siap menghadapi pertarungan yang besar kapan saja.

Kemudian melirik ke arah daun pintu berukir. Salah satu sudut bibirnya terangkat ketika mendapati sosok pemilik iris ruby. Akashi baru saja memasuki ruangan.

"... Seijuuro."

Akashi membalas dengan dengusan tidak suka. Melangkah memasuki ruangan dan berhenti dijarak tiga meter depan Nash.

Nash mengedikkan dagu pada si tangan kanan, memberi isyarat untuk keluar ruangan yang langsung dimengerti dan segera berlalu, meninggalkan mereka berdua dalam ruangan luas itu.

Mereka saling berpandangan untuk sesaat. Satu menatapnya penuh arti dan satunya lagi menatapnya tidak peduli.

Nash mulai mempersempit jarak dengan melangkahkan kaki. Tangannya terulur, hendak menyentuh wajah putih Akashi, namun belum sempat tersentuh, Akashi bahkan sudah melangkah mundur, menghindar.

Mendapatkan penolakan tersebut, tentu membuat Nash agak kecewa. Ia mendebas. Menurunkan tangannya kembali.

"Aku telah mengirimmu pada penguatan spiritual selama seratus tahun dan sikapmu masih tak berubah juga."

Akashi memicing. "Seharusnya itu menjadi kalimatku, Tuan Raja," sarkasnya tajam.

"Sudah seratus tahun berlalu, sikapmu yang hobi menghancurkan tempat di Bumi tak jua kauhentikan."

"Heh, itu sudah menjadi tugasku. Lagipula tidak semua kuhancurkan. Hanya beberapa tempat yang berisi para iblis."

"Seharusnya hanya iblis saja yang perlu kaumusnahkan, tidak dengan makhluk hidup lainnya yang berada di satu tempat bersama iblis itu."

"Yeah, sudahlah Seijuuro. Jangan mengajakku berdebat." Nash menepuk bahunya untuk kemudian dicengkram, menahan agar Akashi tak menghindarinya lagi.

Akashi merasa risi, ia berusaha menyingkirkan cengkraman Nash dipundaknya, tapi tenaganya kalah kuat. "Bisa kau lepaskan tanganmu?!"

Nash menghiraukan. Tangan satunya yang menganggur mulai terulur. Mengusap pipi halus itu.

"Sampai saat ini, aku tidak mengerti mengapa Masaomi-sama masih mempercayaimu untuk menjadi penerusnya."

"Apa maksudmu?" Kali ini Akashi bisa menepis tangan Nash di wajahnya.

Nash tidak masalah dengan itu. Ia melanjutkan perkataannya, "Kau terlalu lembut dan memerdulikan orang lain. Seharusnya seorang dewa tidak memerlukan itu."

Tidak mendapati balasan dari Akashi, ia melepas cengkramannya dan balik badan. "Tapi ini adalah keinginannya. Maka aku akan mengajarimu secara perlahan."

Melihat Nash berjalan menuju ke sebuah alat dengan alas lingkaran besar dan beberapa cincin raksasa yang mengelilingi lingkaran itu, Akashi mengekor.

"Mari kita lihat, apakah kau masih bisa membuka mata langitmu?" kata Nash lagi sambil menunjuk alat tersebut.

Setelah memasuki lingkaran itu, Akashi terpejam. Mencoba berkosentrasi mengeluarkan energinya. Ia merasakan kekuatannya sedikit demi sedikit menguap dari dalam tubuh bersamaan dengan itu cincin-cincin yang mengelilinginya mulai berputar.

Namun, itu tidak cukup. Mata langitnya tak jua mau terbuka.

"Kautahu mengapa mata langitmu tidak bisa terbuka?" Nash mendengus.

Akashi membuka matanya, ia menyerah. Menatap Nash dengan tatapan tidak mengerti. "Kenapa?"

"Karena dalam hatimu, pikiranmu masih memikirkan orang lain. Teman-temanmu, orangtuamu. Buang jauh-jauh hal itu, Seijuuro. Menjadi seorang dewa tidak butuh orang lain."

...

..

...

Mayuzumi menuntun mereka memasuki sebuah lorong panjang. Di ujung jalan terdapat pintu gerbang yang memiliki ukiran rumit.

"Dewan takdir berlokasi diketinggian tiga puluh enam langit."

Ia menarik benda kecil dari dalam saku bajunya. Sebuah benda berbentuk balok putih. Ketika benda itu diarahkan pada daun pintu, secara otomatis pintu itu bereaksi. Ukiran rumitnya bersinar dan perlahan terbuka lebar.

Sembari terus melangkah, Mayuzumi melanjutkan, "Dewan ini memerintah tiga alam serta lima elemen yang mendorong Yin dan Yang."

Setelah melewati pintu itu, mereka diperlihatkan sebuah jembatan sepanjang kurang lebih sepuluh meter. Ada semacam puing-puing berantai yang memisahkan jembatan itu dengan tembok sebelah kanan kirinya. Di bawah jembatan terdapat ruangan hitam tanpa ujung.

Aomine dan Kise menatap penasaran. Begitu juga dengan si pemuda bertongkat di barisan paling belakang. Sedangkan Silver hanya bersikap biasa saja.

"Ini adalah jembatan ajaib yang menuntun pada pengendali takdir. Juga sebagai pembatas memisahkan dunia manusia dan kerajaan langit."

Mayuzumi menoleh sekilas pada orang-orang di belakangnya untuk melihat reaksi mereka. "Jika kalian terjatuh, kekuatan sihir kalian secara otomatis akan hilang karena jembatan ini akan menyedot semua kekuatan abadi kalian. Lalu kalian akan lenyap. Mati tanpa jejak," jelasnya penuh dengan penekanan.

"Hee, mengerikan juga ya." Kise menelan ludah agak ngeri ketika melongokkan kepalanya pada ruang hampa di bawah jembatan tersebut.

Setelah keluar dari ruang jembatan itu, Mayuzumi menutupnya kembali menggunakan sihir dengan perantara benda kecil ditangannya.

Sepasang manik abu milik seseorang di barisan paling belakang menatap benda itu penuh minat.

Lalu mereka semua dituntun memasuki ruangan besar berisi alat-alat kontrol. Di ujung ruangan terdapat sebuah lingkaran dengan beberapa ukiran cincin besi besar yang berputar. Ada Akashi yang baru saja keluar dari tempat itu. Nash berdiri tepat diluar lingkaran.

Mayuzumi mengangkat kedua tangannya yang menyatu dan ditekuk di depan dada sambil sedikit menundukkan kepala. "Berikan salam pada baginda Raja!"

Yang lain mengikuti kecuali si pemuda bertongkat.

Nash menyambut para calon dewa dengan anggukan kecil. "Selamat datang kalian para calon dewa. Di sini adalah ruang kontrol. Langit, bumi, matahari, bulan serta perubahan empat musim. Semua kejadian langit yang disaksikan manusia di bumi, dioperasikan dari sini."

Nash menunjuk lingkaran yang baru saja dimasuki Akashi. "Ini adalah alat pengendali takdir. Merupakan area tengah dalam dewan takdir."

Kemudian matanya menyapu wajah-wajah calon dewa di depannya dan berhenti tepat pada manik abu milik si pemuda bertongkat. Matanya berkilat dengan seringai terukir kembali.

"Hal pertama yang akan kalian pelajari adalah mempelajari keseimbangan langit dan bumi."

Tangan kiri berisi ukiran tatonya terangkat. Mengarah pada lingkaran cincin besar. Menjadikan alat itu sebagai pengganti layar monitor. Memperlihatkan sebuah pegunungan di Bumi. "Ini adalah gunung Teikuo. Iblis pernah bereinkarnasi di sana. Tiga ratus tahun yang lalu. Karena itulah kami menerima perintah langit untuk memusnahkan iblis itu."

Nash melirik sekilas untuk melihat reaksi si pemuda bertongkat. Mendapati kalau pemuda itu memicingkan mata. Wajahnya tampak mengeras. Lalu ia melanjutkan.

"Kobaran api dan es menutupi gunung itu selama bertahun-tahun. Sepenuhnya membersihkan seisi gunung Teikuo."

Diperlihatkan kehancuran gunung tersebut dalam layar sihir, membuat kobaran amarah dalam diri si pemuda seperti tersulur api. Matanya berkilat menghujami sosok Nash yang masih menjelaskan dengan santai, tapi penuh sindirian.

"Dan akhirnya memulihkan keseimbangan langit dan bumi. Sekarang tanah ini pasti telah pulih. Akan tetapi karena bencana bertahun-tahun, kehidupan di sana tentu tak berarti lagi selain keputusasaan."

Si pemuda bertongkat menggertakan giginya. Ia jelas tahu kalau Nash tengah memancing emosinya dan untuk secara tidak langsung menunjukkan sosok yang sesungguhnya. Meski tampaknya Nash sudah tahu identitas pemuda itu.

Sekali lagi, sepasang manik biru milik Nash menghujaninya dengan tatapan remeh. "Kemungkinan iblis itu masih hidup. Dengan pengampunan para Dewa, saatnya membersihkan tanah itu lagi dari iblis yang masih tersisa."

Sudah tidak tahan lagi, si pemuda berambut hitam itu hendak merengsek maju, tapi ucapan tak terduga dari Akashi menghentikannya.

"Itu kejam!" Suara Akashi membuat Nash juga menoleh padanya. Begitu juga dengan yang lainnya.

"Dulu tentunya itu adalah tanah yang indah. Sekarang terlihat begitu karena kekejamanmu. Mengapa tak kau beri kesempatan mereka untuk terlahir kembali?" Kini giliran mata ruby-nya yang memicing menatap Nash.

Nash membalas. "Iblis itu makhluk hina, Seijuuro. Mereka yang berdosa harus dihukum."

"Tapi makhluk hidup di sana tidak bersalah. Jika begitu, aku akan menolak perintah apapun dari langit." Akashi menghadap sepenuhnya pada Nash. "Jawablah pertanyaanku. Jika itu adalah saudaramu sendiri, apa kau masih tega membunuhnya?"

Nash tampak terdiam untuk beberapa saat. Mengalihkan perhatiannya pada Akashi dan menjawab, "Jika memang takdirnya, tentu akan kulakukan tanpa pikir panjang."

Mendengar hal itu, Akashi agak terkejut. Lalu ia terdiam menunduk. Kedua telapak tangannya mengepal erat.

Bukan hanya Akashi yang tampaknya kecewa atau marah mendengar ucapan Nash, tampaknya salah satu dari calon para dewa pun merasakan hal yang sama.

Aomine melirik Kise yang menunduk dengan tangan terkepal erat. Kedua sudut bibirnya melengkung ke bawah.

Sabenarnya Aomine pun merasakan kesal juga. Dia ingat dulu sebelum ia bereinkarnasi di Bumi, Aomine dan Kise menjadi salah satu penghuni langit.

Saat itu Aomine sebagai dewa yang mengendalikan meteor menaruh hati pada salah satu dewa penjaga bintang. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kise Ryouta.

Tanpa diduga, Kise pun memiliki perasaan yang sama. Kise bahkan berani menyatakan perasaannya duluan.

Berita itu sampai di ketahui oleh para dewa. Ketika itu langit baru saja dipimpin oleh Nash. Dan memang aturan langit untuk tidak boleh menaruh perasaan pada sesama penghuni langit. Maka mereka berdua dijatuhi hukuman.

Salah satu dari mereka akan dijatuhkan ke Bumi untuk menjadi manusia biasa tanpa kekuatan. Kise merelakan diri mendapati hukuman itu sendirian.

Aomine tentu tak akan diam saja melihat sang kekasih mendapati hukuman itu. Maka ia rela menemani Kise menjalani hukuman itu bersama.

Dan sampai saat ini, diam-diam mereka berdua masih memiliki perasaan yang sama.

...

Mengabaikan Akashi, Nash melangkah. Melewati para calon dewa dan berhenti tepat di depan si pemuda bertongkat. "Siapa namamu eh? Kudengar kau bukan dari seksi manapun, wahai makhluk asing?"

Pemuda itu ikutan menyeringai. Ia mempersempit jarak. Ekspresinya menantang.

"Dengarkan ini baik-baik!" katanya menunjuk tidak sopan.

"Selama seribu tahun ke depan, ingatlah bahwa aku adalah Nijimura Shuuzo, penguasa dari Bumi. Yang tak terkalahkan dan yang terkuat, bahkan pengendali takdir seperti kaupun tak akan bisa mengendalikanku!"

Nash membalas dengan tawa terbahak. "Haha, lelucon macam apa ini?"

Sedangkan yang lainnya menatap Nijimura dengan berbagai ekpresi. Akashi merasa agak tertarik dengan tingkah si orang asing.

"Bodoh," komentar Mayuzumi melihat orang itu berani bersikap tidak sopan pada Nash.

Pemuda ber- yah, sebut saja Nijimura berdecih agak jengkel mendengar tawa itu. Sedangkan Nash menghentikkan tawanya dan mentapnya rendah. "Apa kau sepede itu berpikir bahwa tidak ada yang bisa mengendalikanmu?"

"Ya tentu saja. Di Bumi, tidak ada yang bisa mengendalikanku," beo Nijimura menjawab dengan percaya diri.

"Heh." Ukiran tato dari leher sampai ke pangkal lengan milik Nash bersinar. Tangannya terangkat untuk menciptakan sebuah tongkat berukuran setengah meter. Berwarna emas menyala.

"Oh? Apa kau ingin menguji cobaku? Ingin mencoba bertarung?" Nijimura menyeringai senang. Baginya ini terlihat seperti permainan anak kecil.

"Tidak. Aku hanya ingin memberimu sedikit hadiah." Setelah berkata begitu, sebuah cincin mahkota emas terbentuk ketika Nash memberi mantra menggunakan tongkatnya. Ia menoleh, mengode pada Mayuzumi untuk mendekat.

Mayuzumi mengangguk. Berjalan mendekat untuk mengambil mahkota emas itu dan melangkah kembali pada Nijimura.

"Woah, sebuah mahkota? Apa ini semacam penghargaan? Orang-orang langit memang menarik. Baiklah berikan itu padaku."

'Dasar bodoh,' batin Mayuzumi dengan eskpresi flatnya. Langsung saja ia memakaikan benda emas itu di kepala Nijimura.

Nijimura menyentuh mahkota yang melewati kepalanya sebatas dahi. "Hmm, hanya begini saja?"

Masih dengan seringai yang terpatri di wajahnya, Nash mendengus. Mengangkat tongkatnya untuk memberi sedikit energi, sehingga membuat tongkat tersebut bersinar. Saat itulah senyuman Nijimura lenyap bersamaan dengan erangan kesakitan ketika mendapati tekanan dari mahkota itu di kepalanya. Membuatnya pusing dan jatuh tak sadarkan diri.

Nash balik badan. Ekspresinya terlihat puas.

"Orang itu memang terlihat menyebalkan dan aku sempat melihatnya membuat keributan di dapur." Akashi berkata ketika Nash baru saja melewatinya. Tangannya menengadah tepat di depan Nash.

"Tolong berikan tongkat itu padaku. Biar aku saja yang mengendalikan dan mendisiplinkannya."

Nash mengangkat sebelah alis. Terdiam untuk beberapa saat sebelum berkata, "Mendisiplinkan diri sendiri saja kautidak bisa, bagaimana mungkin kau mau mendisiplinkan orang lain?"

Akashi tak menjawab. Ia hanya menunduk dengan tangan yang masih menengadah.

Meski berkata begitu, pada akhirnya Nash tetap memberikan tongkat emasnya dan berlalu begitu saja.

...

..

...

Hujan butiran salju berjatuhan memenuhi seisi pegunungan Teikuo tiga ratus tahun yang lalu. Seorang kakek-kakek yang rambut putihnya sudah memutih secara keseluruhan, berjongkok. Ia memangku sebuah batu hitam bersinar di kedua tangannya.

"Jantung batu hitam dari iblis pemberontak," gumamnya sambil mengusapi batu itu dengan sebuah sihir berbentuk asap putih yang keluar dari dalam telapak tangannya.

"Semua penghuni langit mencarimu untuk dimusnahkan." Secara perlahan, batu itu semakin bersinar membentuk anak manusia berwujud bayi laki-laki setengah siluman monyet.

"Aku akan menyembunyikan kekuatanmu dengan membentukmu menjadi manusia," katanya lagi sehingga membuat bayi itu benar-benar menyerupai anak manusia.

"Dan namamu adalah Nijimura Shuuzo."

Beberapa tahun kemudian, Nijimura tumbuh menjadi anak laki-laki tangguh. Dia memiliki cita-cita ingin menjadi yang terkuat di bumi.

"Kenapa kau begitu ingin menjadi kuat?" tanya si kakek padanya.

Nijimura kecil tampak menunduk dengan bibir melengkung ke bawah. Ia membetulkan letak syal merah di lehernya, sebelum berkata, "Supaya bisa melindungi orang-orang yang kusayang dan ... aku ingin mereka hidup dengan damai di pegunungan Teikou ini. Aku ingin bisa mengendalikan takdirku sendiri," jawab Nijimura sambil memanyunkan bibir.

Si kakek terkekeh geli. "Semua manusia di bumi, dikendalikan oleh pengendali takdir langit. Mereka memiliki sebuah mesin takdir. Dengan alat itu, kerajaan langit bisa mengendalikan tiga alam dan menguasai semua jiwa."

"Aku tidak peduli." Nijimura kecil menghentakkan salah satu kakinya. Lalu mendengus sebal. "Aku akan pergi ke kerajaan langit dan menghancurkannya!"

...

..

...

Nijimura mengerjapkan mata. Ia mengerang. Menyentuh kepalanya yang masih mengenakan cincin mahkota emas. Pandangannya agak sedikit berputar.

Saat matanya sudah kembali normal, hal yang pertama di dapatinya adalah merah. Merah dari surai yang tampak halus dan sepasang mata ruby.

"Akhirnya kau bangun juga," katanya mengukir senyum tipis.

Nijimura langsung terduduk dan meneliti si merah dengan alis bertaut. "Siapa kau?"

Masih dengan ukiran senyum tipis, Akashi menjawab, "Aku Akashi seijuuro dan akan menjadi tuanmu saat ini."

Akashi menunjukkan sebuah tongkat emas milik Nash, seolah berkata bahwa ia bisa mengendalikan Nijimura jika berulah dengan tongkat itu.

Nijimura terkekeh. "Apa kau tidak tahu?"

Ia berdiri sambil menepuk dadanya dengan agak keras, membuat Akashi reflek melangkah mundur. "Aku dari neraka. Tanganku berlumuran banyak darah. Wanita, anak-anak, orangtua, bahkan kau! Tidak akan lolos dri kemurkaanku, jadi jangan pernah berpikir bisa mengendalikanku. Mengerti?!"

"Kau tidak ingat?! Kau terikat dengn benda ini." Akashi menunjuk lagi tongkatnya dan sebuah mahkota emas yang masih berada di kepala Nijimura.

Nijimura tertawa. Menggunakan ujung jempolnya untuk menunjuk cincin mahkota di kepalanya. "Kau pikir benda seperti ini bisa menghentikanku?!"

Dipegangnya sisi cincin mahkota tersebut. Nijimura mencoba menarik benda itu. Namun benda tersebut tak dapat dilepaskan dengan mudah.

Akashi mendengus melihat usaha siasia Nijimura. "Percuma saja kau berusaha melepasnya. Benda itu terikat dengan mantra. Hanya dia yang dapat melepasnya. Bahkan akupun tidak bisa, jadi kau tak punya pilihan selain tunduk padaku."

Mendengar hal itu, tentu Nijimura tidak terima. Ia tidak suka tunduk pada siapapun. Tangannya terangkat hendak mencekik leher Akashi, tapi Akashi bergerak cepat memegang tongkat emas.

"Eh, eh, tunggu, tunggu! Baiklah, aku tidak akan melawan." Sebelum Akashi mengeluarkan energinya, Nijimura buru-buru menekuk lutut. Akashi tersenyum puas.

"Nah, memang seharusnya begitu sedari awal, dasar monyet kecil." Merasa gemas melihat tingkah Nijimura, Akashi tak tahan menepuk-nepuk puncak kepala bersuarai hitam itu seperti sedang menepuk kepala anak kucing.

Nijimura hanya bisa merengut jengkel. Hal itu menciptakan seringai usil dari Akashi. "Sekarang duduklah dengan posisi seperti seekor anjing!"

Nada suaranya terdengar menyebalkan di telinga Nijimura. Awalnya Nijimura hendak menolak sebelum kemudian buru-buru menurut ketika melihat Akashi mengancamnya dengan mengangkat tongkat lagi.

"Bagus, bagus, aku suka anjing penurut." Sekali lagi Akashi menepuk-nepuk puncak kepala Nijimura. Seringainya terlihat meledek. Merasa lucu mempermainkannya.

"Eh tunggu, tapi kan kau monyet bukan anjing ya," kata Akashi lagi sambil menahan tawa geli. Melihat ekspresi kusut dari Nijimura tampaknya membuat Akashi merasa terhibur.

Nijimura yang tak bisa menahan emosinya pun mulai jengkel. Merebut tongkat Akashi dan melemparnya ke sembarang arah. Lalu dengan cepat mendorong Akashi hingga terlentang di atas meja makan. Nijimura bahkan tak segan untuk mengunci kedua pergelangan tangan putih itu di masing-masing sisi kepala. Salah satu kakinya menginjak meja tepat di sebelah pinggang si merah.

"Jangan pernah membuatku marah atau kau akan menyesal, GRRR!!" katanya menggeram sambil menunjukkan kedua gigi taringnya yang memanjang secara perlahan.

Akashi terkesiap. Bukan karena takut. Ia terdiam mematung saat menyadari posisi mereka. Jantungnya mulai berdetak kencang mendapati wajah Nijimura hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya.

Melihat Akashi diam saja, Nijimura menatap bingung. Tidak sadar dengan posisi mereka yang terlalu dekat.

Keheningan yang ada membuat telinga Nijimura dapat mendengar sesuatu berdetak dalam tubuh Akashi.

"Sebentar, suara apa itu?" Merasa penasaran Nijimura mendekatkan telinganya untuk ditempelkan tepat di dada sebelah kiri Akashi. Kemudian meneliti wajah Akashi yang memerah.

Saat itu Akashi tidak mengerti mengapa ia begitu gugup merasakan jantungnya yang bertalu-talu.

Secara bersamaan, tongkat emas Akashi menggelinding jatuh dan berhenti menabrak kaki seseorang yang baru saja memasuki ruangan tempat Nijimura dan Akashi berada. Kedua iris mata milik orang itu berkilat tidak suka.

...