Disclaimer: All characters of Naruto belongs to Masashi Kishimoto-sensei. And I'm just playing with it.


Selama dalam perjalanan Sakura hanya diam. Bukan, bukan sedang menahan buang air atau tidak percaya diri menaiki mobil mahal. Dia hanya tidak mau memperkeruh keadaan, setelah melihat kerutan muka Fugaku yang sedikit panik dan khawatir, meskipun banyak spekulasi dan pertanyaan yang muncul dalam benaknya.

"Tadi, Izumi bilang istri bapak kejang lagi."

Sakura langsung menatap Fugaku dengan cemas, dia sangat khawatir terutama pada Izumi yang terkenal mudah panik—hei, memangnya kau kenal Izumi itu siapa?—apalagi sekarang mereka masih terjebak macet padahal pintu masuk rumah sakitnya berjarak sepuluh meter di depan.

Ah, mengapa kota yang bukan ibukota ini bisa macet dan memangnya kemacetan bisa menular seperti flu? Hmm, ingatkan Sakura untuk mencari jawabannya di mesin pencarian.

"Maaf, ya. Bapak jadi narik kamu." Sakura meresponsnya dengan gelengan kepala, tumben.

"Saya ngerti kok dan janji enggak akan minta bayaran."

Hadeh, lagi-lagi otak alien campuran ras kingkong ini geser. Melenceng dari garis khatulistiwa.

Fugaku tersenyum kecil dan mengacak rambut Sakura. Bapak dua anak ini memang suka out of character jika bersama satu anak didik yang paling tengil itu. Pandangan Fugaku masih fokus kepada jalanan yang padat merayap meskipun terkadang melirik Sakura yang masih duduk gelisah.

Sepertinya mantu cilik bapak ini memiliki jiwa empati sangat tinggi meski sifat nyentriknya lebih dominan.

"Kau enggak usah khawatir."

"Bapak sendiri keliatan panik gitu," gerutu Sakura enggak mau kalah. Apa sih, ini bukan lagi di Land of Dawn.

"Yeh, saya kepala keluarganya. Kamu kira hanya alien seperti kamu yang boleh panik?" Sakura bergumam terserah sebagai respons.

Jalanan masih macet dan masih belum ditemukan penyebabnya apa, mungkin karena imajinasi saya menginginkan hal ini. Sah-sah saja, bukan?

Namun yang jadi aneh, di tengah keadaan ini malah membuat pemikiran sok ide Sakura bermunculan seperti sekarang. "Pak, mending Bapak lari aja. Duluan masuk nanti saya parkirin mobilnya."

"Hah?"

Mendengar Bumi merespons panggilan dengan sinyal cengo, Sakura mendelik. "Pokoknya mobil Bapak aman sama saya. Papa saya mantan tukang ketok magic."

Fugaku balas mendelik. "Enggak menjamin, lagi pula tinggal delapan meter lagi pintu masuk." Tunjuknya ke sebuah palang otomatis di depan. "Aduh ... duh, Sara. Jangan dorong-dorong!"

Sakura tetap mendorong Fugaku. Memaksanya untuk segera keluar dan akhirnya Fugaku menyetujui meski tidak ikhlas dan jelas khawatir akan masa depan mobilnya, persetujuan dari paksaan begal ini ditandai dengan beliau keluar saat Sakura melompat ke kursi kemudi.

"Awas saja kalo lecet sedikit, kamu langsung berurusan sama saya!" ancam Fugaku.

Sakura menutup kaca jendela mobil sembari memberikan senyuman miringnya. Dia seolah-olah merasa sedang syuting Fast and Furious. Terserah, lah.

Untuk beberapa saat Sakura bernapas lega melihat Fugaku sudah berlari menuju rumah sakit karena dia meyakini kalau istri beliau sangat membutuhkan kehadiran suaminya.

Jalanan masih padat merayap dan mobil depan bergerak maju kurang lebih satu meter di depannya. Sakura hampir menurunkan rem tangan sebelum akhirnya tersadar, melihat sesuatu yang beda dengan mobil yang pernah dikendarainya. Ow, shit.

DIA ENGGAK BISA NYETIR MOBIL MANUAL.

"KENAPA BAPAK ENGGAK BILANG?" dia menjambak rambutnya karena frustasi.

Umur legal baru disandangnya beberapa bulan yang lalu, Kartu Tanda Penduduk saja belum jadi apalagi surat resmi izin mengemudi? Dan lagi dia baru dua kali diajari cara menyetir mobil oleh mamanya (saat mamanya pulang). Itupun terpaksa, juga mobil yang dibawa itu selalu matic. Nah kan, azab. Gegayaan sih ...

"AAAAAAAAAAA, MATI DEH!" dia masih histeris.

Mobil di belakangnya masih belum mengklaksoninya, belum. Mungkin nanti? Mengingat itu dia kembali histeris, jantungnya semakin berdebar sangat kencang karena panik.

Cobaan apalagi ini? Padahal tadi dia sudah bersikap keren. Baru kali ini saya lihat dia benar-benar keringat dingin, sedikit pucat dan berharap nyawanya masih bertahan pada raganya. Kasihan, wkwk.

Oke, tenang. Ini hanya tujuh meter lagi dalam keadaan macet Sakura. Kau pasti tidak bisa dan jelas akan mati. Shannaro!

Sakura mencoba memberanikan diri dan menyemangati dirinya yang sok heroik. Dia sedikit menyesal karena tidak begitu mendengarkan teori-teori menyetir mobil manual yang sering diajarkan saat ia menumpang mobil kakaknya. Harusnya dia mendengarkannya dan membuat catatan ringkas di notes ponsel.

Penyesalan memang sialnya selalu datang belakangan.

Duh.

Yang paling parah kalau sampai kakaknya tahu hal ini, sudah pasti Sakura auto habis ditebas dan tidak akan diberi uang jajan bulanan. Atau bahkan mungkin saja Sakura akan dibuang ke Mars untuk bahan percobaan jadi mutan dan sama sekali tidak diizinkan kembali ke Bumi. Oke, pikiran yang terakhir terlalu hiperbolis.

Sakura hampir menangis di saat mobil depannya berjalan maju kembali. Kali ini agak jauh, hampir pintu masuk rumah sakit. Klakson mobil-mobil di belakang sudah pasti terdengar menuntut, tidak ada satupun orang yang mau membuang detik waktunya untuk hal yang lama. Tch, saya tahu kalian tidak tahu dan peduli akan perasaan Sakura sekarang. Dasar tidak punya hati.

DIN, DIN, DIN, DIIIIIIIIIIN.

Ya, Gusti, tasukete ...