"Aku dengar di kota ini tempat menghilangnya empat anak itu."

"Karena itu kau memilih kota ini sebagai tempat wisata? Tidak ada yang menarik di sini."

"Tentu ada. Anak hilang, artinya pembunuhan berantai. Menarik bukan."

"Apanya yang menarik, horror tahu."

"Tentu saja menarik. Kalau kita berhasil menemukan mayatnya, kita bisa jadi pahlawan dan mendapat penghargaan."

"Kau gila. Kita ke kota ini bukan cari masalah. Tapi liburan. Kau yang hilang bagaimana?"

"Ah, tak mungkin. Korbannya kan anak SMP. Sementara aku anak kuliah. Mana mungkin aku jadi incaran. Relasiku dengan pelaku apa?"

"Tak ada sih."

"Jadi aman kan. Kau tak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja."

"Kau memang. Awas ya kalau ada apa-apa. Aku tidak mau ikut campur."

"Oke, kau tenang saja."

Percakapan itu terdengar. Dia sang monster tersenyum tipis. Melirik pada pemuda yang menyombongkan diri akan kebanggaannya akan menemukan para korban. Dengan menoleh sedikit dia sudah mengenal wajah itu.

Kembali pada apa yang dia lakukan. Tangannya yang besar sudah gatal akan memegang pisau, mencium aroma darah yang pekat, mendapat perlawanan yang kuat, dia haus akan ringikan putus asa.

Monster itu, mendapatkan akan apa itu sebuah kepuasan.

.

.

.

Mereka yang Menyayangi Dia

Chapter 01: Ilalang

Boboiboy (c) Monsta

Mereka yang Menyayangi Dia (c) Valkyrie Ai

.

.

.

Itu masih pagi buta dan Kaizo sudah berada di kedai Kokotiam. Dia masuk dari pintu belakang. Pertama dia mulai bersih-bersih, menyapu lantai lagi walau kemarin malam sudah dia sapu. Mengelap meja juga menata beberapa barang. Gelas dengan berbagai ukuran sudah tertata rapi, meja dan kursi juga sudah pada tempatnya. Kaizo membuka pintu kaca depan dan menahannya dengan sebuah batu yang menjadi hiasan tanaman di depan toko. Gorden belum dia naikkan. Dia hanya ingin mengganti hawa di dalam kedai sejenak sementara AC dimatikan.

Kaizo mengambil selang air. Dia menyalakan keran dan mulai menyiram tanaman juga jalanan, begitu selesai Kaizo mulai menyapu halaman. Tidak ada yang berubah di rutinitas paginya selain bersih-bersih kedai juga menyiapkan apapun yang diperlukan. Tok Aba masih di rumah, beliau memang menyerahkan kunci pintu kedai pada Kaizo. Dia satu-satunya anak buah yang Tok Aba percayai, tidak merubah fakta juga kalau Kaizo satu-satunya karyawan Tok Aba semenjak pemuda itu lulus SMA.

Kaizo kembali ke dalam kedai. Dia duduk di kursi sembari memakan sehelai roti tawar untuk mengganjal perutnya. Rasa roti itu sudah manis, Kaizo juga menyiapkan segelas teh hijau panas. Dia duduk bersantai sambil membaca hasil penjualan kemarin. Hasilnya bagus, Kaizo cukup puas.

Kepala Kaizo mendadak tersentak begitu mendengar suara kursi yang bergeser. Letaknya ada di pojok berhadapan langsung dengan jendela. Posisinya bergeser sedikit.

Bukannya takut Kaizo malah tersenyum. Dia menompang dagunya dengan tangan kirinya dan menatap lembut pada meja yang kosong itu.

"Fang, kau rindu dengan abang ya?" tanyanya lembut. Tidak ada sahutan yang jelas, pagi buta itu masih sunyi. Hanya orang tidak waras yang mau bicara pada udara kosong.

Kaizo tidak merasa dirinya gila, dia tahu adiknya ada di sana. Duduk menatap dirinya. Maka Kaizo memilih tersenyum sebagai balasan.

"Abang masih di sini, Fang. Kau tenang saja. Abang tak akan ke mana-mana. Abang akan selalu menemanimu di kota ini. Walau kau dinyatakan menghilang, kau masih bisa datang ke sini menemui abang kapan pun yang kau mau."Kaizo kembali memakan helai roti yang lain. Meraupnya habis tanpa perlu menambahkan selai atau margarin. Kaizo menelan kunyahan terakhir, dia kembali menatap kursi kosong itu lagi, "Kau sudah menjelajahi kota ini sampai mana? Sampai pelosok? Sampai pantai? Sampai kebun bunga?"

Kursi itu kembali bergeser. Senyum Kaizo hilang, mata delimanya jadi beralih pada catatan hasil penjualan. Tangannya kembali meraih potongan roti lain, "Kenapa kau selalu pergi begitu aku membahas kebun bunga? Apakah kau takut, Fang?"

Kaizo kembali meraup sehelai roti itu. Memakannya dalam diam di pagi yang berkabut itu. Membiarkan adiknya pergi begitu saja.

.

Kelas mulai ramai oleh para murid sementara Boboiboy menguap lebar. Dia sandarkan dagunya pada bangkunya. Menatap nanar pada papan tulis putih kosong. Dia menghela napas. Rasanya ingin kembali tidur dan bermimpi. Senin pagi memang benar menjadi kesialan semua orang.

"Pagi Boboiboy." Seseorang menyapa. Murid berambut hijau mengambil duduk di depannya.

"Ah, Nut. Selamat pagi." Balas Boboiboy.

Murid bernama Nut itu duduk. Berbalik menatap Boboiboy yang masih lesu, "Ini masih pagi. Semangat dong."

Boboiboy mengerang, "Tak bisa. Aku ngantuk banget. Kemarin malam aku begadang nonton horror."

Tertawa kekal, Nut membalas, "Kau ini. Jangan mentang-mentang indigo tidak kenal takut nonton horror."

"Habis konfliknya itu yang bikin berdebar. Siapa sangka kalau hantunya itu ternyata ibunya sendiri yang ternyata dibunuh oleh ayah mereka hanya karena cemburu buta. Kan kasihan anaknya yang dihantui."

"Kelihatan menarik. Tapi aku tidak mau nonton. Gak mau gak bisa tidur."

"Hah, kau dan Gopal sama-sama penakut. Aku nonton horror sendirian jadinya."

Nut menyengir, "Maaf, demi kebaikan bersama. Mending nonton genre mecha atau action. Kan seru. Oh, kau sudah nonton seri zoid yang baru?! Best tahu, makin keren modelnya."

"Betul kata Nut, zoidnya makin keren." Gopal, entah dari arah mana mendadak muncul bagai hantu dan mengangetkan Boboiboy yang hampir terjungkal dari kursinya.

Boboiboy jadi reflek meninju lengan gempal Gopal sampai sang korban mengaduh kesakitan, "Dei, kenapa memukulku?!"

"Kau membuatku kaget! Kalau aku jatuh bagaimana?"

"Maaf." Gopal hanya tersenyum tanpa merasa bersalah.

Nut menggeleng saja, "Eh, Boboiboy, soal hantu, kau melihat keempat anak itu lagi?"

Mendengar itu Boboiboy mengalihkan perhatiannya pada Nut. Dia diam sejenak menunduk sebelum akhirnya membuka mulutnya, "Aku melihat Shielda di depan rumah Kak Sai."

"Sungguh?! Apa yang dia lakukan?!" Gopal bertanya penuh antusias.

"Sepertinya mengikuti Kak Sai ke kantor polisi. Mereka kan kembar."

Nut menghela napas, "Kasihan Kak Sai. Sampai sekarang jasad Shielda tidak ditemukan. Dia pasti mencarinya ke mana-mana."

Gopal mengangguk setuju, "Kak Sai terus membaca file hilangnya keempat anak berulang kali. Tak sampai hati aku melihatnya."

"Kira-kira siapa pelakunya? Tempo hari aku bertanya pada Yaya dan Ying kenapa tidak mau menyebutkan nama pelakunya." Ucap Boboiboy, matanya terfokus pada bangkunya yang masih bersih.

"Jawabannya bagaimana?" Tanya Gopal.

Kedua tangan Boboiboy mengepal kuat, mimiknya mengeras mengingat jawaban mereka berdua, "Kata mereka, karena mereka menyayangi pembunuh itu."

Kedua anak itu membelalakkan mata mereka. Tidak mempercayai jawaban yang disebutkan Boboiboy. Terlalu mengejutkan untuk segi anak sekolah.

"Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu?!" seru Gopal tak percaya.

Nut berbeda. Dia menompang dagu berpikir, "Itu artinya pelakunya dekat dengan mereka kan. Contohnya seperti orang yang ditaksir."

Boboiboy membeliak. Dia mendadak berdiri dan mencengkram kedua bahu Sai kuat, "Nut, kau kau jenius."

"Eh?"

"Nanti kalau ketemu mereka lagi akan aku tanyakan. Akan aku paksa mereka menjawab." Seru Boboiboy bersemangat, "Dengan ini mungkin bisa sedikit membantu Kak Sai."

Bel tanda masuk berbunyi. Murid-murid secepatnya menempati bangku masing-masing dan memulai pelajaran. Dan di sana Boboiboy kembali bersemangat dengan kilat mata bersinar. Dia merasa yakin akan menemukan petunjuk.

.

Kantor polisi Pulau Rintis memiliki beberapa sektor. Dan Sai berada di bagian khusus pembunuhan dan kekerasan. Dia sudah memecahkan banyak kasus bersama rekannya, Ejo Jo, Ayu Yu, dan Lahap. Mereka berempat satu tim. Dengan ketua mereka Tarung. Biasanya Sai akan berpasangan dengan Lahap. Ejo Jo dengan Ayu Yu. Mereka akan bekerja sama memecahkan kasus yang rumit.

Namun di sana hanya Sai yang terus menggeluti kasus hilangnya empat orang anak. Alasan lainnya jelas karena korbannya adalah adiknya sendiri. Dia mencoba berbagai macam deduksi, mencari bukti akan hilangnya mereka.

Namun itu hanya membuat Sai semakin frustasi. Dia menjambak rambutnya dan mengerang lelah.

"Shielda, kau di mana..."

Sai tersentak ketika pundaknya ditepuk. Dia menoleh mendapati Tarung tersenyum sendu padanya. Tanpa mengatakan apapun, bossnya itu memberikan segelas teh hangat yang asapnya masih mengepul.

"Ah, terima kasih." Sai menerima gelas itu.

Tarung menarik kursi, dia mendudukkan diri di sebelah Sai, "Jangan mengorbankan dirimu sendiri. Kau ada kami yang membantu."

Sai menunduk, tak berani menatap mata Tarung, "Saya hanya merasa bersalah. Gara-gara saya juga adik saya menghilang."

"Bukan salahmu Sai. Ini salah pembunuh itu." Ucap Tarung, "Kau seorang korban di sini, Sai. Aku tahu kau tersiksa, maka dari itu aku sedia menolongmu. Aku akan terus mencari bukti dan mengantarkanmu pada adikmu yang hilang."

"Terima kasih, pak." Sai tersenyum kecil.

Tarung lalu terbatuk kecil, "Ngomong-ngomomg, selamat karena sudah menangkap pelaku pembunuhan di rumah kosong itu."

"Anda terlalu berlebihan pak. Saya hanya menjalankan tugas saja. Dan kebetulan saat itu saya hanya mengandalkan insting."

"Tapi siapa sangka pelakunya sampai membeli bangunan kosong hanya untuk membunuh satu orang karena balas dendam. Sungguh ironi." Tarung berhenti sejenak, "kejahatan selalu menghantui kota ini ya."

Sai mengangguk seraya menyesap tehnya yang mulai hangat, "Kota ini seperti menyimpan banyak misteri."

"Benar, banyak sekali misteri. Banyak kasus orang hilang di sini."

"Banyak?" heran Sai, dagunya terangkat.

Anggukan menjadi jawaban, "Sebelum kasus empat anak itu, sebelumnya ada kasus orang hilang yang lain. Pelakunya sudah ketemu, dia mengatakan itu adalah pembelaan diri karena dia hampir diperkosa."

Alis Sai mengkerut, "Itu kasus kapan, Pak?"

"Sudah lama. Tapi aku ingat apa kata perempuan itu. Dia berkata, Aku membiarkan mereka tidur di taman surga yang sangat indah. Di sana mereka harus menebus dosa mereka. Kalian bisa menemukan taman itu. Taman yang sangat cantik, taman itu cinta pertamaku. Begitu katanya."

"Lalu, taman itu ditemukan?"

Tarung menggeleng, "Sayangnya kami tidak bisa menemukannya. Di kota ini tidak ada taman bunga. Jadi kami tidak tahu di mana mayat mereka dikubur. Sampai sekarang."

"Dan di mana pelakunya sekarang?"

Telunjuk Tarung menunjuk ke langit, Sai langsung paham, "Dia bunuh diri di sel tahanan. Bersama suaminya. Entah bagaimana pria itu bisa masuk."

"Ah, begitu." Sai diam sejenak menatap kilau tehnya, "Apa menurut anda kasus wanita itu berhubungan dengan empat anak yang hilang?"

"Aku rasa tidak. Mereka sudah bunuh diri lama sebelum kasus empat anak itu hilang."

Sai jadi menompang sikutnya pada lututnya, "Boleh saya membaca berkas kasus itu?"

"Boleh," Tarung mengangguk, "Kau bisa pergi ke ruang arsip. Aku yakin Koko Ci yang mendapat tugas menjaga ruangan."

"Terima kasih, pak."

"Ah, tapi jangan lupa dengan kasus sekarang ya." Telunjuk Tarung mengetuk arsip kuning yang tergeletak di atas meja, "Kita harus memecahkan alasan pelaku melakukan kekerasan pada Henry."

"Itu sudah pasti. Saya akan menemukan alasannya." Sai tersenyum penuh arti. Senyum penuh tekad dan semangat yang Tarung suka.

Gelas itu ditaruh di tatakan gelas. Sai membuka arsip kuning itu dan membacanya. Dia lalu teringat, "Ah, soal masalah ini, pak. Kami berencana membahasnya di Kokotiam sore ini. Apa anda mau ikut?"

"Oh, kedai coklat itu ya? Boleh. Kebetulan aku juga ingin meminum yang manis-manis."

"Kami berencana berangkat jam enam sore."

"Baik, nanti tunggu saya."

"Baik, pak."

.

Langkah kaki Boboiboy gontai. Dia lelah setelah menjalani hari hanya untuk belajar. Apalagi pelajaran hari ini adalah pelajaran yang sangat menguras tenaganya. Otaknya serasa diperas habis dan itu berefek pada tenaganya, membuatnya loyo. Hal ini juga berlaku pada teman gempalnya. Mereka berjalan gontai menuju Kokotiam. Rutinintas tujuan utama mereka sebelum memilih pulang ke rumah masing-masing.

"Haih, Boboiboy, kenapa kedai atokmu terasa jauh sekarang." Keluh Gopal menyeka keringatnya.

"Entah. Padahal kita sudah ambil jalan pintas." Balas Boboiboy ikut mengeluh.

"Ish, kenapa juga kita mesti sekolah."

"Ini adalah propaganda pemerintah, Gopal. Otak kita dicuci untuk membuat kesetaraan yang nyatanya malah menghancurkan dunia."

Mendengar itu Gopal menghela napas kasar dan melirik temannya lelah, "Kau kebanyakan nonton film lah, Boboiboy. Mana ada hal semacam itu. Dikira kita ini apa."

Tawa kecil tercipta, Boboiboy menggaruk punggung kepalanya canggung, "Biar kedengarannya keren saja."

"Kau ini, eh. Itu Nenek Chong." Seru Gopal, telunjuknya mengarah pada nenek tua yang berjalan tanpa arah di pemukiman warga yang sepi ini. Lebih tepatnya pada gang sempit yang kotor ini.

"Huh, kenapa beliau ada di sini?" heran Boboiboy menggaruk pelipisnya heran.

Gopal menggelengkan kepalanya, "Kau tak ingat. Beliau itu neneknya Ying. Anak yang hilang itu. Katanya beliau memang sering hilang dan berjalan keliling Pulau Rintis untuk mencari cucunya. Kesayangan katanya."

"Ohhh... Begitu." Boboiboy mengangguk paham. Dan saat itu dia melihat sosok anak hilang yang dimaksud. Ying, berjalan di belakang sang nenek mengikutinya. Boboiboy jadi diam melamun. Menarik perhatian Gopal yang mendapati Boboiboy hanya diam membisu.

Pundak temannya yang lebih pendek itu ditepuk, "Boboiboy, kau kenapa?"

Dengan nada datar Boboiboy menjawab, "Ying, ada di belakang Nenek Chong."

"Apa?!" Gopal reflek langsung bersembunyi di belakang Boboiboy dengan gemetaran, dasarnya memang pemuda gempal ini takut pada hantu, "Jangan bercanda kau Boboiboy. Aku takut nih."

"Tapi memang benar lah. Uh, aku dekati dia dulu." Seru Boboiboy berlari meninggalkan Gopal dan menghampiri Nenek Chong dan Ying.

"Dey, Boboiboy, tunggu!!"

Dengan nada lembut, Boboiboy memanggil sosok yang lebih tua itu, "Nenek Chong."

Yang dipanggil menoleh, "Oh, Boboiboy..."

Senyum lembut tertarik dan menenangkan sang nenek, "Kenapa nenek ada di sini?"

Nenek Chong balas tersenyum, "Aku sedang mencari Ying. Dia sudah lama tak pulang."

Boboiboy melirik Ying. Melihat jelas ekspresi sedih sang anak yang menahan tangisnya agar tidak menetes.

Tangan Nenek Chong diraih. Diremas pelan memberikan kasih sayang yang membuat candu, "Nenek aku antar pulang ya. Kasihan keluarga nenek mencari."

"Tapi Ying belum pulang..."

"Ying pasti pulang kok. Nenek tunggu saja di rumah." Balas Boboiboy. Dia tersenyum pada Ying dan mengangguk. Memberi arti kalau niatnya kali ini baik. Dan Ying tanpa ragu tersenyum membalas kebaikan Boboiboy.

Bersama Gopal, Boboiboy mengantar Nenek Chong pulang dengan Ying mengikuti di belakang. Hanya sekedar menemani, namun juga rindu rumahnya. Seandainya mereka tahu Ying selalu ada di dekat mereka, entah apa yang terjadi. Mungkin tangis yang pecah dan meronta-ronta ingin sosok yang dirindukan cepat pulang.

Namun Ying tak bisa. Dia tak ingin.

Setelah memastikan Nenek Chong sudah sampai kediaman, Boboiboy langsung berbalik mendekati Ying dengan kerutan kesal, "Kalau saja kau mau menyebutkan siapa pelakunya, nenekmu tidak sampai begini."

Mendengar itu Ying membelalakkan matanya. Manik biru itu berkilat marah, "Kau menyalahkanku?!"

"Tidak, aku memberi tahumu agar bicara. Kasihan keluargamu."

Tawa remeh Ying bertalun, "Kasihan? Apa kau tahu soal kasihan?" telunjuk Ying menunjuk tanpa arah, "DIA LEBIH KASIHAN, BODOH! DIA LEBIH MENDERITA DARIKU!"

Dia? Siapa maksud Ying, "Maksud kau dia siapa?"

"Monster itu, dia lebih kasihan." Balas Ying.

Berdecak, Boboiboy tanpa ragu menarik kerah Ying tanpa peduli kalau yang dia ajak bicara adalah hantu perempuan, "Kau lebih memilih kasihan pada orang yang kau sebut monster? Pembunuhmu sendiri? Kau sudah gila apa? Di mana kewarasanmu?!"

"Aku memang sudah gila semenjak bertemu monster itu!" balas Ying sama marahnya, dia balas menarik kerah seragam Boboiboy, "Tahu apa kau rasanya menjadi aku? Ha?! Tahu apa kau?!"

Boboiboy menggeram. Dia ingin membalas, namun pundaknya keburu ditepuk Gopal yang jelas ketakutan. Maniknya memohon untuk lebih baik mereka pulang. Apalagi Boboiboy jadi pusat perhatian tetangga. Mereka mulai berbisik dan bergosip, menganggap Boboiboy aneh.

Seraya berdecak, Boboiboy melepas remasannya. Dia menatap manik biru Ying dalam dan penuh tekad, "Aku akan menemukan kalian dan mengembalikan kalian pada keluarga kalian. Juga, aku akan menemukan yang kalian sebut monster agar mendapat hukuman yang setimpal." Ucapnya lalu berjalan pergi meninggalkan Ying yang hanya berdiri di sana. Gopal jadi menyusulnya. Hanya diam saja mendengar Boboiboy yang diaggap bicara sendiri. Walau nyatanya dia bicara pada anak yang hilang.

.

Dengan membawa nampan berisi lima gelas minuman dengan menu yang berbeda, Kaizo menjadi pusat perhatian dari kelima polisi yang bekerja di satu tim. Coklat, matcha, vanilla, kopi, dan jus buah. Masing-masing dari mereka memesan apa yang mereka sukai. Kaizo menyajikannya pada setiap orang di meja bundar itu.

"Sejak kapan Kokotiam jadi markas milik polisi? Apalagi kalian lagi." Ucap Kaizo begitu minuman sudah tertata manis di atas meja.

Tarung tertawa kecil, "Ganti suasana. Bagaimana kabarmu, Kaizo? Kau baik-baik saja?"

Balas tersenyum, Kaizo menjawab, "Saya baik-baik saja, pak."

Ayu Yu mengangkat gelasnya. Menyeruput susu vanilla kesukaannya dan berucap, "Kami mau berdiskusi. Kaizo, bisa kau pergi?"

"Kau mengusirku?"

"Kau bukan polisi."

"Aku karyawan di sini tahu."

"Tapi ini diskusi khusus."

"Dan aku tak ada hak mendengarkannya?"

"Benar."

Satu tarikan napas itu keluar. Kaizo terpaksa meninggalkan meja dengan menggaruk punggung kepalanya yang tidak gatal. Mengundang rasa tidak enak pada yang lain.

Lahap memukul pelan lengan Ayu Yu tanpa ada rasa sakit. Namun itu masih mengusik kenyamanan gadis itu. Dia melirik pada Lahap, menanyakan apa maksudnya memukul lengannya dari tatapan matanya saja.

Lahap yang memang duduk di sebelah kiri pas Ayu Yu pun berbisik, "Jangan terlalu keras pada Kaizo. Kau tahu kan, dia..." Lahap tidak melanjutkan kalimatnya. Fokus matanya beralih pada meja.

"Kasihan? Aku paham. Tapi kita tidak bisa membiarkan orang luar ikut campur dalam masalah ini." Ucap Ayu Yu yang mendapat anggukan setuju dari Ejo Jo, "Aku paham kau teman seangkatan Kaizo, Lahap. Tapi kita harus profesional. Aku harap tidak ada rahasia diantara kita. Apalagi dalam pekerjaan ini."

"Iya deh iya. Aku menyerah." Lahap angkat tangan.

Aura meja itu mulai serius. Sai yang membuka berkas map kuning lebih dahulu. Manik hijaunya satu per satu meneliti setiap rekan kerjanya, memastikan kesiapan mereka dalam kasus ini. Dalam satu tarikan napas Sai menenangkan diri, dia hembuskan dari mulut dan memejamkan mata sejenak. Lalu terbuka, "Mari kita bongkar kasus ini."

Mereka mengangguk. Tarung tersenyum lembut penuh arti.

"Henry, enam belas tahun. Korban kekerasan fisik atas penganiayaan oleh ayah tirinya. Ibunya sudah lama meninggal. Ayah kandungnya entah di mana sekarang. Diduga kekerasan akibat ayah tirinya yang stress dengan tekanan pekerjaan." Ucap Sai menjabarkan secara singkat identitas sang korban.

"Jangan lupakan dia masih sekolah. SMA pulau rintis." Sambung Ejo Jo.

"Tidak ada yang aneh dalam kasus ini. Anak menjadi korban kekerasan orang tuanya. Banyak kasus seperti ini." Tambah Lahap.

Sai mengangguk setuju, "Sekarang Henry sedang menjalani terapi di rumah sakit Pulau Rintis. Dia mengalami trauma dan syok. Walau di lingkungan sekolah dia terkenal anak yang biasa saja, tapi ketika pulang teman-temannya menyadari keanehan dia."

"Lalu, kenapa kita harus membahas kasus ini? Pelakunya sudah ketemu kan?" tanya Ayu Yu.

"Itulah masalahnya," sahut Tarung, "Penyebab ayah tirinya stress adalah karena pemerasan."

"Pemerasan?" Ayu Yu mengerutkan alisnya tak paham. Meminta penjelasan pada atasannya.

"Ayah tiri Henry, Agustinus, memiliki tanah di mana-mana. Termasuk gedung apartemen juga beberapa kantor. Dia kaya, aku akui. Tapi aneh mengingat dia asalnya bukan orang yang keras, apalagi pada anak-anak. Kau ingat Ejo Jo, dia rutin mengadakan amal untuk memberi santunan pada panti asuhan?"

"Saya ingat. Saya menemani acara amal itu beberapa kali."

"Nah, aku mengecek rekening bank Agustinus beberapa kali. Dia kerap mengambil uang tunai secara berkala pada bank."

"Untuk sekolah Henry, mungkin?" Lahap beramsumsi.

Sai menggeleng, "Henry bersaksi, dia sering mendengar ayah tirinya seperti memohon malam-malam pada orang yang menelpon ayahnya. Meminta untuk tutup mulut dan akan memberikan uang sebanyak-banyaknya agar dia aman."

"Aneh bukan. Jelas ini pemerasan." Ejo Jo memperjelas.

"Benar, sampai sekarang Agustinus masih menggunakan hak diam untuk kasus ini. Dia menolak bicara." Sai menjawab.

"Apakah... Nyawa Agustinus dalam bahaya kalau dia bicara?" tanya Ayu Yu.

"Itu yang menjadi kecurigaanku." Kata Tarung, menompang dagunya berpikir, "Mungkin orang yang memeras Agustinus adalah orang besar yang kepolisian tidak berani sentuh."

"Atau tak tersentuh." Lahap menimpal.

Memejamkan matanya sejenak, Tarung berpikir akan apa yang akan dia dan timnya lakukan. Jelas ini kasus besar, hanya karena kekerasan pada anak menggiringnya pada pemerasan dengan alasan yang tidak diketahui. Tarung akhirnya membuka matanya dan mengambil perintah, "Ayu Yu, Sai, kalian berdua dampingi Henry dan buat dia mau bicara tentang tingkah laku mencurigakan Agustinus, kalian paling cocok dengan anak-anak."

Ayu Yu dan Sai mengangguk mengerti, "Baik, pak."

"Lahap, kau periksa setiap cctv dan riwayat panggilan Agustinus. Kalau ada nomor yang mencurigakan segera hubungi kami."

Lahap mengangguk paham.

"Ejo Jo, kau selidiki tanah dan gedung milik Agustinus. Wawancarai relasi kerjanya juga. Temukan apa yang aneh."

"Baik."

"Anda sendiri bagaimana, pak?" tanya Lahap penasaran.

"Aku akan buat Agustinus mau bicara."

Keempat anggota polisi itu meneguk ludahnya takut. Jelas tahu cara atasannya agar membuat pelaku bicara tidak akan lembut. Mereka terkadang memilih diam di ruang pemantau dan menonton atasannya hampir menghabisi sang pelaku. Mencatat hasil reka introgasi yang berjalan beringas kadang.

Pintu kedai terbuka mendadak. Muncul kedua anak yang sangat familiar. Yang bertopi orange langsung mendekati Sai, "Kak Sai, apa kabar?"

"Ah, Boboiboy. Baik kabarku. Bagaimana sekolahmu? Lancar?"

Gopal langsung menuju ke meja depan Kaizo, sementara Boboiboy masih setia berdiri di samping Sai, "Lancar. Ah, tadi aku ketemu Nenek Chong. Dia tersesat lagi."

Senyum kecut Sai terbentuk, "Mencari Ying lagi?"

Boboiboy mengangguk. Dia menunduk sedih mengingat bagaimana tadi sang nenek begitu tiba di rumah.

Ayu Yu mencondongkan tubuhnya, meneliti lekat pada sosok bocah SMP yang khas dengan warna jeruk, "Kau benar indigo?"

Mendengar pertanyaan itu Boboiboy cukup kaget, dia mengangguk menjawab, "Kenapa kak?" tanyanya balik.

"Aku hanya berpikir. Kalau kau memang bisa membuat hantu-hantu itu bicara, itu tidak akan cukup untuk menuntaskan kasus hilangnya empat anak itu. Kita butuh bukti, bukan omong kosong anak indigo."

"Ayu yu." Lahap memanggil memberi peringatan.

"Ini fakta Lahap." Timpal Ejo Jo, "Kita butuh bukti yang kuat untuk menemukan pelakunya."

Boboiboy menunduk, dia sadar akan ucapan orang dewasa. Kata-kata para hantu tidak akan menggerakkan kasus kalau tidak ada bukti yang kongkrit dan nyata. Maka dari itu dia ingin membantu, setidaknya menemukan di mana mereka dikubur. Di mana jasad mereka. Setidaknya itu membantu untuk membawa pulang mereka pada rumahnya masing-masing. Boboiboy sudah bertekad soalnya, dia akan menemukan siapa monster itu sampai mereka tidak mau bicara.

"Dey, Boboiboy, kau mau pesan apa?!" panggil Gopal dari kursinya. Boboiboy segera menghampiri tanpa berpamitan pada kelima polisi itu. Membiarkan mereka sibuk dengan apa yang mereka diskusikan kembali.

.

Gopal dibuat mengerang tak suka. Dia dipaksa appanya sore itu menjaga kedai es krim dan dilarang mengambil satu pun es krim yang dijual. Sementara appanya sedang sibuk mengantar pesanan. Dia bosan. Ingin pergi ke kamar main game saja atau tiduran. Pokoknya bukan di toko dan dipaksa mengerjakan PR.

Dengan malas Gopal meraih gawai pintarnya. Dibuka fitur chat dan membuka kontak chat dengan Boboiboy, kawan baiknya itu.

'Kau di mana? Mampir lah ke sini. Temani aku ngerjain PR.'

Gopal baru mau menaruh kembali gawainya sebelum benda itu bergetar. Boboiboy ternyata membalasnya dengan cepat, 'Tak bisa. Nenek Chong hilang lagi. Aku lagi bantuin nyari nih.'

Gopal membacanya cukup kaget, 'Tiga hari lalu sudah hilang sekarang hilang lagi. Alah, nenek itu suka banget hilang.'

'Namanya saja kangen cucu. Bantulah aku cari beliau, aku lagi di gudang dekat sungai bareng Kak Sai.'

Gopal langsung berdiri, dia punya alasan untuk kabur, 'Segera berangkat.'

Gopal segera menutup toko dan meninggalkan catatan memo di atas meja, memberi tahu appanya kalau dia pergi mencari Nenek Chong bersama Boboiboy dan Sai. Dengan tergesa-gesa pemuda bertubuh gempal itu belari ke tempat tujuan. Ke gudang terbengkalai dekat sungai pulau rintis yang besar, tenang, namun dalam.

Begitu sampai dia melihat Sai di kejuahan masuk ke dalam gudang yang tidak ada pintunya. Dengan senternya dia menelusuri setiap sudut gelap gudang, kali saja sang nenek itu meringkuk di sana entah atas alasan apa.

Dan Gopal melihat Boboiboy yang mau menuju ke lahan ilalang dekat sungai. Tanpa ba-bi-bu Gopal berlari menyapa dan berjalan di samping sang kawan.

"Bagaimana kau tahu kalau nenek Chong hilang lagi?" tanya Gopal, menuruni anak tangga menuju ladang ilalang yang tanahnya agak basah itu. Untung dia pakai sepatu yang kedap air.

"Tadi waktu santai di kedai mendadak Bibi Yang datang dan meminta tolong buat mencari Nenek Chong. Jadi aku dan Kak Sai langsung berangkat mencari." Jelas Boboiboy.

"Oh, begitu. Abang Kaizo juga ikut cari?"

"Enggak lah. Abang Kaizo harus jaga kedai. Atok kebetulan pas keluar beli stok bahan buat kedai."

"Ohh..." Gopal mengangguk paham.

Telunjuk Boboiboy teragkat, menunjuk sisi kiri Gopal, "Kau cari di sana, aku cari di sebelah sana." Ucapnya, di kalimat terakhir telunjuknya berpindah ke sisi kanannya.

"Alah, tak bisa kita cari sama-sama ka? Takut tersesat aku." Keluh Gopal lesu.

"Ish, ini biar lebih cepat. Turuti saja lah, nanti kalau udah ketemu aku traktir ice choco. Janji."

"Benar? Ka-kalau begitu aku ke sana ya." Gopal dengan terburu-buru berjalan cepat ke sisi yang ditunjuk Boboiboy. Ada manik antusias saat Boboiboy memancingnya dengan traktiran.

Boboiboy sendiri hanya tersenyum. Dia mulai mencari ke sisi lain sambil sesekali memanggil nama sang nenek yang hilang. Dia menoleh ke kanan, ke kiri, menyibak jalur ilalang yang menghalangi jalannya. Berharap menemukan hasil atas pencarian ini.

Dan nyatanya senyum cerah itu terukir. Dia menemukan sang nenek sedang berjalan tanpa arah di tengah ilalang.

Boboiboy berjalan pelan, "Nenek Chong." Panggilnya penuh kelembutan.

Yang dipanggil menoleh. Senyumnya ikut terukir.

"Nenek sedang apa di sini?"

"Aku sedang mencari Ying." Jawabnya.

Boboiboy menahan diri untuk tidak emosional. Dia memilih mendekat dan menggenggam tangan penuh kerutan itu, "Ayo pulang, nek. Semuanya mencari nenek. Ying nanti pulang menyusul kok." Bujuk Boboiboy, dia terpaksa berbohong.

"Benar? Ah, syukurlah." Sang nenek menghela napas lega. Dia berjalan melewati ilalang dan membawanya ke halaman yang semula.

Namun di sana Boboiboy berhenti. Bukan karena sang nenek yang tiba-tiba tidak mau jalan. Namun akan sosok berkerudung pink yang di seberangnya tersenyum padanya. Senyum yang tak bisa Boboiboy artikan.

"Kau menemukannya." Ucap Yaya, tangannya dia tautkan di punggungnya. Lembayung sore entah kenapa membuatnya terlihat mempesona.

Tapi Boboiboy tidak paham akan apa maksud Yaya. Dia ingin menanyakannya, namun gadis itu sudah membuka mulutnya.

"Perlahan kau akan menemukan kami, Boboiboy. Aku, Shielda, dan Ying. Ini titik awal kami bertemu dengan dia. Juga titik awal Fang yang akan membawamu pada kebenaran."

Boboiboy ingin mengadukan pertanyaan. Dia melihat jari Yaya terangkat, telunjuknya ditempelkan di atas mulutnya, tanda untuk tutup mulut, "Ini rahasia kami. Dan aku berharap kalian tidak membuka kota rahasia itu." Ucap Yaya. Dia lalu berbalik, memilih menghilang di antara ilalang yang tinggi.

Tidak paham, jelas. Apa maksud Yaya akan perkataannya barusan? Sangat tidak maksud akal. Lalu apa maksudnya? Boboiboy jadi berpikir lama. Dia dibuat berpikir terus sampai mengantarkan Nenek Chong pada jalanan. Jelas Sai langsung menyambut mereka. Merasa lega kalau sang nenek berhasil ditemukan.

"AAAAA!!!! BOBOIBOY!!! BOBOIBOY!!!" Teriakan itu menggema. Jelas itu teriakan Gopal. Terikan yang Boboiboy tangkap teriakan penuh ketakutan khas dari Gopal. Jelas Boboiboy langsung berlari menghampiri kawannya.

"Kau di mana, Gopal?!" panggil Boboiboy memastikan di mana temannya, "Angkat tanganmu biar aku bisa melihatmu!"

Mendengar perintah itu Gopal mengangkat tangan kanannya, Boboiboy bisa melihatnya jelas walau samar-samar. Berlari tergesa-gesa bahkan hampir terjerembap ke tanah berlumpur, dia menghampiri kawan baiknya yang terduduk lesu penuh ketakutan. Matanya menatap horror pada sesuatu di depannya.

"Ada apa, Gopal? Kenapa kau ketakutan?"

Gopal menunjuk pada sesuatu di depannya. Sebuah tangan, kering, tulang berbalut kulit yang terkubur oleh lumpur. Sontak membuat kedunya kembali berteriak ngeri akan ditemukannya jasad yang tidak diketahui itu siapa. Menarik perhatian Sai yang ada di sana. Segera berlari menghampiri sumber setelah memastikan orang yang hilang di tempat yang aman.

"Kalian kenapa berteriak?" tanya Sai kebingungan.

Dengan mata gemetar dan suara serak, Boboiboy menjawab, "A-Ada mayat kak."

"Huh?"

"Itu..." Boboiboy menunjuk tangan kering itu, Gopal sudah memeluk perut teman karibnya tidak berani melihatnya lama-lama, "ada mayat..."

Manik hijau itu membeliak. Membeku akan temuan sesuatu yang tidak terduga. Mereka hanya diam bagai patung di sana. Memproses akan semua informasi, apa yang terjadi sebenarnya?

.

.

.

Bersambung...

.

.

Terima kasih buat yang udah favo, follow, dan review fanfic ini. Saya mau fokus ke fanfic ini dulu. Mau lanjutin pelan-pelan aja. Hehe, doakan ya. Nama Nenek Chong aku ambil dari pengisi suara aslinya. Gitu aja deh, tunggu chap selanjutnya dengan sabar ya.