Chapter 1: The 'Student' I Remembered from High School
xxx
Chanyeol kembali ke Michigan, kampung halaman yang telah ia tinggalkan untuk merantau lebih dari 5 tahun. Kota kecil tempat ia lahir dan dibesarkan kini telah menunjukkan cukup banyak perubahan dan kemajuan. Selain menjamurnya gedung-gedung cafe dan restaurant disepanjang jalan, keberadaan mobil mewah kelas A seperti Tesla hingga Lamborghini yang berlalu lalang menjadi salah satu tanda bahwa Michigan kini telah menjadi rumah bagi orang-orang yang cukup sukses dikehidupan perekonomian.
Pandemi yang menjangkit seluruh bagian benua menjadi alasan utama Chanyeol menyetir Mercedes Benz miliknya kembali ke jalan menuju rumah orang tuanya hari ini. Tidak, Chanyeol tidak kehilangan pekerjaannya di Los Angeles California. Hanya saja kantor perusahan teknologi di pusat kota terpaksa inactive sementara dan para pegawai dari mulai teknisi hingga pengembang aplikasi diperintah serentak untuk bekerja dari rumah.
Chanyeol berpikir, jika ia bisa bekerja dari dalam apartment, kenapa tidak dengan bekerja dari rumah masa kecilnya? Tanpa banyak pertimbangan berarti, Chanyeol segera mengemas barang-barang dan peralatan yang ia perlukan untuk bekerja (sejujurnya, ia hanya butuh laptop dan beberapa berkas penting) dan berangkat meninggalkan apartment townhouse miliknya sebelum subuh.
Guitar case miliknya adalah tas paling besar yang ia bawa hari ini, tergeletak rapi di belakang kursi penumpang. Ia hanya butuh ransel hitam untuk menampung beberapa potong pakaian, karena pada dasarnya Chanyeol bisa bertahan seminggu hanya dengan sepasang jeans, kaus hitam dan juga hoodie. Bukan berarti dirinya tidak higienis. Tapi memakai baju yang sama berulang-ulang bukanlah hal buruk bagi Chanyeol. Sudah menjadi kebiasaanya untuk muncul di kantor dengan kaos, jeans, atau hoodie yang sama seperti yang ia pakai 3 hari lalu. Jangan salah, beberapa pria di kantornya juga sering melakukan hal yang sama, apalagi jika cuaca sedang sangat dingin.
Musim semi sudah berlalu setengah jalan, momen puncak dimana sebagian besar tanaman dan bunga mulai indah bermekaran. Chanyeol yakin pohon lemon dibelakang rumahnya sudah memiliki banyak buah yang siap dipetik. Ibunya akan menyimpan sebagian besar lemon didalam peti agar saat musim panas tiba di bulan selanjutnya, mereka punya cukup persediaan untuk membuat lemonade dan beberapa dibagikan ke para tetangga. Chanyeol tersenyum mengingat dirinya diusia 7 tahun sedang mengetuk pintu bibi Powell di siang hari dengan sekantung lemon ditangan.
Wilayah perumahan tempatnya tinggal kini sudah masuk jarak penglihatan. Chanyeol memelankan laju kendaraanya karena almarhum sang ayah selalu memperingati untuk lebih hati-hati dalam mengemudi jika berada dijalan yang terdapat anak kecil berlalu lalang mengendarai sepeda. Lincoln 9th street tidak pernah sepi dari suara anak-anak yang bermain. Akhirnya, Chanyeol kembali ke rumah. Michigan adalah rumah sesungguhnya bagi sebagian orang perantauan di Los Angeles, dan Chanyeol adalah salah satunya.
Seorang gadis 17 tahun duduk di teras dengan pandangan yang fokus pada layar handphone ditangannya. Ah, lihatlah gadis kecil itu. Sekarang dia sedang bergaya untuk menangkap beberapa selfie yang cantik. Keasyikannya itu sementara terhenti saat suara rem tangan di tarik dan mobil Chanyeol diparkir tak jauh dari pekarangan.
"I-ibu!!! Lihatlah siapa yang datang!"
Alih-alih berlari mendekati Chanyeol yang baru saja keluar dari kemudi, Park Seyeon, si bungsu di keluarga Park justru buru-buru masuk mencari ibunya yang kemungkinan berada di dapur.
Chanyeol menggeleng kecil melihat kelakuan adik bungsunya yang tidak pernah berubah. Dengan bahu kanan dan kiri yang masing-masing diselempangi guitar case dan ransel, serta kedua tangan yang kini menggandeng tas laptop dan juga dua lusin donat krispy kreme kesukaan keluarganya, Chanyeol kini menaiki tangga menuju teras.
"CHANYEOL, MY SON!"
Sang ibu datang berhamburan untuk langsung memeluk sang putra yang terakhir ia temui saat natal tahun lalu. Tidak peduli betapa padatnya barang bawaan yang menempel ditubuh Chanyeol, sang adik ikut memeluk si lelaki tinggi yang berusaha sebaik mungkin untuk membalas pelukan kedua wanita tersebut.
"Kakak! Kenapa kau tidak memberitahu kami jika kau akan pulang?!"
Seyeon cemberut selepas memeluk kakaknya. Chanyeol mengoper kantung berisi donat kepada sang adik lalu mengusap puncak kepalanya gemas.
"Surprise. Jangan bilang kau tidak tahu istilah itu."
"Tentu saja aku tahu! Tapi jika tiba-tiba begini... Aku jadi curiga. Jangan-jangan kau dipecat, iya kan?"
"Jika aku dipecat, tidak akan ada iphone 12 pro untukmu kali ini."
Seyeon membelalakkan kedua bola mata cantiknya seketika. Sang ibu menatap Chanyeol tak kalah terkejut seperti si bungsu.
"S-sungguh?! A-apa kau serius kak?! i-Phone twelve pro?! Untukku?!"
Awalnya Chanyeol ingin memberikan handphone baru untuk adiknya sebagai kejutan saat makan malam. Tapi apa boleh buat, sepertinya sang adik tidak akan bisa diam jika belum disodori hadiah favoritnya.
Chanyeol meletakkan kunci mobil mewah miliknya diatas tangan sang adik.
"Pergi ambil hadiahmu didalam dasbor. Jangan lupa ambil beberapa kantung lain di kursi belakang. Itu hadiah untuk Ibu dan juga kak Yoora."
"Yeay! Kakakku yang tampan, kau memang yang terbaik!" Setelah memeluk singkat Chanyeol untuk terakhir kali, Seyeon berlari meninggalkan teras menuju mobil Chanyeol yang terpakir di halaman rumah.
"Chanyeol, kau tidak pernah berubah. Kau terlalu memanjakan Seyeon. Baru beberapa bulan lalu kau membelikannya MacBook dan juga iPhone. Entah jenis iPhone apa lagi yang kau berikan untuknya kali ini, Ibu sudah tidak tahu."
"Ini versi yang terbaru lagi, Bu. Aku tahu Seyeon pasti menginginkannya."
Sang ibu hanya menghela nafas pasrah dan menggeleng kecil. Mau diberitahu sebanyak apapun, Chanyeol pasti akan tetap memanjakan adiknya; memanjakan seluruh anggota keluarganya.
"Kebetulan minggu lalu ibu sudah bereskan kamarmu, dan ternyata kau tiba-tiba pulang hari ini. Cepat taruh barang-barangmu diatas. Ibu akan menunggumu diruang tengah lalu kita makan camilan bersama."
"Siap, ibuku sayang."
Chanyeol bersyukur karena ia masih memiliki rumah tempatnya pulang, dimana keluarganya selalu setia menunggu dengan sambutan dan pelukan yang hangat.
xxx
Entah darimana beritanya bisa menyebar, tapi 3 dari sekian belas anggota teman grup Chanyeol di sekolah telah mengetahui kepulangannya ke Michigan kemarin sore. Ia menerima beberapa pesan yang semua berbunyi senada; "Kemana saja kau? Kenapa baru sekarang pulang ke Michigan? Terakhir kami melihatmu disini 3 tahun lalu saat pemakaman Ayahmu, setelah itu kau menghilang." dan blablabla sebagainya.
Mereka semua benar. Chanyeol sudah tidak pernah lagi menginjakkan kakinya ke Michigan pasca kepergian Ayahnya 3 tahun lalu. Mungkin duka yang begitu mendalam bukanlah satu-satunya alasan, tapi perasaan itu tetap saja memukulnya paling keras dan Chanyeol memilih untuk menjauh dari hal-hal yang berpotensi menyakitinya. Dia tidak lari. Hanya saja butuh waktu untuk kembali pulang tanpa harus tersesat ke jurang duka di masa lalu. Dan 3 tahun ditambah gilanya pandemi membuatnya cukup yakin bahwa ia siap untuk pulang kali ini.
3 tahun belakangan ini, sang ibu dan 2 saudaranya selalu datang ke Los Angeles di musim liburan. Mereka tahu kondisi Chanyeol, dan mereka tidak ingin memaksanya melakukan sesuatu yang belum bisa dia lakukan. Jadi untuk sementara waktu mereka saja yang mengalah. Pada akhirnya setiap Natal dan Thanksgiving tiba mereka ber-4 akan menghabiskan waktu bersama di Los Angeles, di townhouse milik Chanyeol yang cukup luas untuk menampung seluruh anggota keluarga mereka.
"Dari mana para berandalan itu tahu kalau aku ada di Michigan saat ini."
Chanyeol menggumam pada ibunya sambil melahap quesadilla buatan sang ibu di ruang makan.
"Dari aku, tentu saja."
Chanyeol dan ibunya kompak menoleh ke arah Seyeon yang meminum smoothienya tanpa rasa berdosa. Si gadis tampak tenang sambil terus memainkan jari-jarinya dilayar iPhone 12 pro baru pemberian sang kakak.
Merasa dirinya menjadi pusat perhatian di ruang makan, Seyeon menatap balik wajah kakak dan ibunya.
"Kenapa terkejut? Tentu saja mereka tahu lewat selfieku bersama kakak yang aku upload ke akun Facebook-ku semalam. Bukan salahku kalau mereka melihatnya. Orang-orang di Michigan semuanya saling berteman di akun Facebook, benar kan."
Ya, Seyeon benar. Di kota kecil ini, everyone knew everyone dan mustahil rasanya jika Seyeon tidak bermutual dengan teman-teman Chanyeol di sosial media.
Sang ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala merasa maklum pada kelakuan si bungsu Seyeon. Chanyeol pun sudah tidak mau mempermasalahkannya lagi. Pada akhirnya berita kepulangannya pasti akan diketahui oleh orang-orang di Michigan, mengingat Chanyeol juga tidak akan mungkin selamanya mengurung diri dirumah selama ia berada di kampung halaman.
"Jadi bagaimana, Chanyeol? Apa mereka sudah membuat rencana untuk menemuimu nanti?"
"Ya, Bu. Segera. Nanti malam mereka ingin mengundangku minum beer di kedai terbuka dekat Watson. Tempat kami biasa minum waktu SMA."
"Wait, what are you? A broke highschool kid who drink cheap canned beers in front of convenient store?"
Suara Yoora yang baru saja masuk dari pintu depan memotong pembicaraan Chanyeol dengan sang ibu.
"Exactly."
Seyeon menyahut sindiran kakak perempuannya dan mereka berdua kompak terkekeh bersama.
Chanyeol memutar bola mata malas karena akhirnya anggota duo sisters kini sudah lengkap, yang artinya mereka akan kembali berkomplot untuk terus menggoda Chanyeol setiap waktu kurang lebih 24/7.
"Kenapa kau kemari? Pulang sana temani suamimu."
"Aku kesini karena kudengar kau punya oleh-oleh untukku. Dimana? Sini, berikan padaku."
Chanyeol pada akhirnya ikut terkekeh saat sang kakak perempuan menegadahkan tangan didepan wajahnya seperti sedang menagih hutang. Chanyeol dan Yoora memang seperti ini. Mereka saling menukar insults seperti Tom Jerry sepanjang waktu namun saling menyayangi satu sama lain.
"Nanti saja membahas oleh-olehnya. Yoora, kau sudah sarapan? Mau quesadilla dan smoothie?"
"Aku mau smoothie saja, Bu. Tadi aku sudah sarapan bersama Josh sebelum dia berangkat kerja."
Sang ibu mengangguk dan segera menyiapkan Smoothie untuk Yoora.
"Oh iya, ngomong-ngomong soal Josh, dia juga akan kemari hari ini untuk makan malam. Kau ada dirumah kan?"
"Hhmm. Aku akan dirumah sampai makan malam. Sesudahnya, baru aku akan pergi untuk minum bersama teman sekolahku."
"Ooh, your broke highschool friends, huh."
"Shut up."
Chanyeol mengunyah sarapannya cepat-cepat agar ia bisa lanjut membalas setiap godaan dan ejekan yang dilempar Yoora kepadanya. Sungguh pagi yang hangat dan penuh kebahagiaan dikediaman keluarga Park.
xxx
Chanyeol sedang memainkan gitarnya di balkon kamar ketika seorang gadis dengan white summer dress bermotif sunflower dan rambut panjang tergerai datang memasuki pekarangan rumahnya. Tangan gadis itu menggandeng tote bag berwarna cream yang cukup besar. Karena tak bisa melihat wajahnya dari atas sini, Chanyeol berakhir hanya memperhatikan gadis itu dalam diam sampai akhirnya suara bel pintu rumahnya berbunyi.
Tak ada yang menjawab bel di pintu depan. Chanyeol mengutuk kebodohannya sendiri karena ia baru ingat bahwa ibunya pergi ke Costco bersama Seyeon 30 menit lalu dan tidak ada siapa-siapa dirumah selain dirinya siang ini.
Chanyeol meletakkan gitarnya diatas tempat tidur dan bergegas turun kebawah sebelum gadis itu pergi meninggalkan pintu depan rumahnya dengan kecewa.
"T-tunggu!"
Chanyeol sedikit terengah ketika ia membuka pintu dan memanggil kembali gadis yang hampir pergi meninggalkan teras rumahnya.
Dan oh, Tuhan...
Jarum detik pada jam berhenti berputar.
"B-Baekhyun?"
xxx
"D-do you want some tea? Wait, it's quite warm today for a tea but... I don't know? B-Baekhyun do you like soda?"
Prang! Bruk!
"Damn I'm such an idiot! Mom would definitely get mad at me. Wait a second, I'll clean up the counter for a bit. Please make yourself at home!"
Chanyeol membuat kegaduhan luar biasa di dapur kesayangan ibunya, dan itu semua hanya karena satu hal;
Byun Baekhyun.
Yup, Byun Baekhyun, teman sekolah (tunggu, Chanyeol sama sekali tidak ingat jika Baekhyun pernah menganggapnya sebagai teman, karena berbagai alasan), dan dia... Cantik. Demi Tuhan dia sangat cantik. Jauh lebih cantik bahkan dibandingkan Baekhyun dimasa sekolah, yang masih cukup jelas Chanyeol ingat di berkas memori paling sudut didalam kepalanya. Sebuah memori sinematik usang yang mungkin saja ia lupakan, namun Chanyeol sendiri tidak mengerti mengapa ia tidak bisa melupakannya.
"It's okay, Chanyeol. Air putih saja sudah cukup."
Suara lembut dan penuh kehati-hatian itu kembali menciptakan debaran baru di dada Chanyeol. Dan lelaki itu diam-diam menggerang frustrasi karena tak bisa berhenti bertingkah bodoh di situasi 'genting' seperti ini.
Selesai membersihkan bubuk wedding tea yang berserakan diatas counter dengan cukup asal-asalan, Chanyeol bergegas membuka karton jus jeruk kesukaan adiknya dan menuangkannya kedalam gelas paling cantik yang ia lihat di lemari perabot kesayangan sang ibu.
Setidaknya warna jus ini cukup senada dengan dress bunga motif sunflower yang dikenakan Baekhyun. Oh, tidak. Chanyeol mengutuk dirinya kembali dalam hati karena berani-beraninya ia malah memikirkan soal dress Baekhyun di hari pertama mereka bertemu. Stop being a creep, Park Chanyeol!
"Aku harap kau suka jus jeruk. Ini minuman paling biasa yang disukai oleh adikku."
Demi Tuhan, Chanyeol bersumpah. Semakin banyak ia bicara, maka semakin jelas dirinya terlihat seperti badut didepan Baekhyun.
Baekhyun menerima gelas pemberian Chanyeol, meneguk jusnya pelan dan sedikit. Chanyeol memperhatikan dari sofa diseberang Baekhyun. Caranya memegang gelas begitu anggun. Chanyeol mulai khawatir jika Baekhyun benci jus jeruk karena gadis itu tidak meneguk minumannya sampai tandas.
Chanyeol, kau terlalu berlebihan. Baekhyun tidak sedang mati kehausan. Lagipula dia bukan lelaki berutubuh besar dan brutal seperti dirimu yang biasa menghabiskan 500ml air dalam 3 detik.
"Maaf jika aku tiba-tiba datang dan merepotkanmu. Aku tidak tahu jika Seyeon tidak ada dirumah sekarang. Harusnya aku menelpon dulu sebelum datang kemari."
"Hey, tidak apa-apa, sungguh. Kau tidak merepotkan siapa-siapa. Lagi pula aku senang-..."
Kalimat Chanyeol terputus di tengah jalan. Kau senang kerena apa, Park Chanyeol? Berhentilah menakuti Baekhyun dengan bertingkah seolah kau maniak seperti ini, demi Tuhan. Batinnya memarahi dirinya sendiri. Otak Chanyeol memproses ribuan kata perdetik namun tak ada satupun kata yang dapat diucapkan oleh mulutnya.
Baekhyun hanya menunduk, menunggu dengan gugup namun tak mau berekspektasi apapun. Karena Chanyeol tak kunjung melanjutkan perkataannya, kini giliran Baekhyun yang mengisi kekosongan dan atmosfir canggung diantara mereka.
"Aku... Aku sedikit tetkejut karena kau masih mengingatku. Maksudku... Aku... Sudah banyak hal yang berubah."
"Ya... Cukup banyak."
Tanpa Chanyeol sadari sama sekali, matanya sudah terpaku pada sepasang gundakan padat, menonjol dan indah di bagian dada Baekhyun.
Merasa dadanya diperhatikan oleh Chanyeol, Baekhyun bergerak dengan hati-hati mencoba menyilangkan kedua lengannya didepan bagian tersebut. Sadar akan pergerakkan tak nyaman Baekhyun, Chanyeol cepat-cepat menggelengkan kepala dan membawa kedua telapak tangannya untuk mengusap wajah dengan kasar.
"M-maaf. A-aku-..."
Chanyeol tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lagi.
Kini Chanyeol telah resmi menyandang gelar laki-laki paling tidak sopan, paling brengsek dan juga bajingan bersertifikat di Michigan. Apa yang baru saja kau lakukan, Park Chanyeol? Ini sama sekali diluar kendalinya. Chanyeol menunduk untuk beberapa saat, terlalu larut dalam kebencian akan dirinya sendiri sampai suara Baekhyun kembali memacu detak jantungnya menjadi lebih cepat.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu, Park Chanyeol?"
Chanyeol pelan-pelan menaikkan wajahnya sampai matanya kembali bertemu dengan sepasang kristal berkontak lensa biru milik Baekhyun. Bulu mata indah tersapu maskara itu nampak begitu teduh memayungi matanya. Bibir pinknya terlapisi lembut oleh paduan antara lip cream dan juga lip gloss. Sedikit rona peach terbubuh manis disepasang tulang pipinya yang begitu tirus. Hidungnya yang mungil, rambut coklatnya yang tergerai lembut, semua yang ada di diri Baekhyun terlihat begitu agung dan sempurna.
Chanyeol harus mulai berhenti mengamati wajah itu terlalu dalam.
"Aku... baik. Terimakasih. Bagaimana denganmu, Baekhyun? Kau bekerja di Michigan?"
"Aku baik, Chanyeol. Aku mendesign dan membuat baju dirumahku setiap hari. Dan tujuanku datang kemari sebenarnya untuk menyerahkan dress kelulusan yang di pesan oleh Seyeon tempo hari."
Chanyeol mengikuti arah penglihatannya pada tote bag cream yang kini sedang dibuka oleh Baekhyun. Kertas coklat membungkus rapi sesuatu yang Chanyeol yakini sebagai dress milik Seyeon yang dimaksud Baekhyun barusan.
Chanyeol segera menerimanya begitu Baekhyun menyerahkan benda itu. Ia terkagum sejenak begitu menyadari bahwa dress yang akan dipakai adiknya di hari kelulusan bulan depan adalah hasil jahitan dan karya tangan indah Baekhyun.
Tangan indah itu...
Chanyeol kembali mengingatnya, disebuah kejadian paling membekas yang pernah dialaminya dimasa SMA. Tangan yang pernah merawat lututnya yang terkilir akibat terjatuh dari plafon ruang olah raga. Ceritanya... mungkin sedikit rumit. Chanyeol mencoba naik diantara tumpukan meja dan kursi untuk mengambil tas selempang Baekhyun yang entah bagaimana bisa tersangkut diantara atap plafon yang berlubang. Chanyeol bersikeras bertanya siapa pelaku sialan yang menaruh tas Baekhyun disana. Namun Baekhyun lebih memilih untuk tetap diam. Sorot matanya yang tertunduk justru menunjukkan rasa bersalah karena Chanyeol jadi terluka akibat telah menolongnya.
Memori itu kembali berputar dengan sangat jelas seolah semuanya baru terjadi kemarin.
"Aku akan langsung memberikannya pada Seyeon nanti setelah dia pulang. Terimakasih, Baekhyun."
Baekhyun hanya tersenyum sebagai jawaban. Chanyeol kembali terjebak dalam labirin yang membuatnya bingung harus bereaksi bagaimana selanjutnya. Chanyeol tidak pernah seburuk ini dalam menghadapi siapapun. Tapi didepan Baekhyun? Chanyeol mendadak dungu. Mungkin karena Baekhyun terlalu spesial. Walau Chanyeol tidak begitu jelas mengerti apa yang membuat Baekhyun begitu berbeda dibanding yang lainnya.
Karena Chanyeol sudah terlalu banyak diam, Baekhyun mulai berpikir kalau keberadaannya disini sudah mengganggu ketenangan sang tuan rumah.
"C-Chanyeol, maafkan aku jika aku membuatmu merasa tidak nyaman. Sebaiknya aku segera pu-..."
Baekhyun bangkit dari kursi dengan gerakan yang cepat dan grogi.
"Hey, t-tunggu! Baekhyun, apa maksudmu?"
Chanyeol menahan Baekhyun dengan cara spontan menarik pergelangan tangan kirinya yang terbalut gelang manik berwarna-warni.
Baekhyun menatap bergantian antara Park Chanyeol dan pergelangan tangannya yang saat ini digenggam oleh pria itu.
"Kenapa kau berkata seperti itu? Apa maksudmu kau membuatku merasa tidak nyaman? Sungguh aku tidak mengerti."
"Kau pasti tahu... Aku... Dulunya aku tidak begini..."
Setelah berkali-kali gagal mencoba menatap mata Chanyeol secara langsung, akhirnya Baekhyun menyerah dan hanya bisa menunduk selagi menjawab dengan suara terbata-bata.
Dahi Chanyeol semakin mengerut tidak mengerti.
"Apa bedanya? Maksudku, ya, kau terlihat lebih cantik dan dewasa. Oh shoot! M-maaf jika aku sudah lancang bicara. Tapi kau tetaplah Byun Baekhyun."
"Tidak, Chanyeol. Aku bukan Byun Baekhyun, aku bukanlah seorang Byun. Hanya Baekhyun."
Chanyeol ingin sekali bertanya "mengapa?", namun tentu saja ia tidak mau menekan Baekhyun terlalu jauh untuk saat ini.
"Baiklah, kau adalah Baekhyun. Lantas kenapa? Kau tetap-..."
"Tidak, Chanyeol! Bukankah kau sudah melihatnya sendiri? Dadaku, suaraku, pinggulku, semuanya! Aku sudah merubah semuanya! Tidakkah itu membuatmu merasa... entahlah, jijik?"
Suara Baekhyun terdengar semakin lemah di penghujung kalimatnya.
Lagi dan lagi, Baekhyun membuat Chanyeol kehilangan kemampuannya mengeluarkan lisan. Sesuatu yang panas menyerang dadanya secara bertahap. Chanyeol tidak dapat merasakan emosi yang lain selain... marah? Baekhyun membuatnya frustrasi namun Chanyeol tidak ingin melampiaskan perasaan itu secara langsung didepan Baekhyun. Ia tidak bisa.
"I'm sorry. I have to go now."
Baekhyun menarik pergelangan tangannya yang semula masih digenggam oleh Chanyeol, menyabet tote bag miliknya yang bertengger di kursi lalu segera berjalan keluar kediaman Park dengan cukup terburu-terburu.
Kini telapak tangan Chanyeol hanya menggeggam sesuatu yang kosong. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi yang begitu signifikan. Namun debar didalam dadanya berkata lain. Dan buku-buku jarinya yang mulai memutih akibat terkepal terlalu kuat ikut memberi tanda bahwa sesuatu didalam dirinya sedang tidak baik-baik saja.
xxx
To be continued
A/N:
Terimakasih untuk kalian yang menekan fav/bookmark dan mau menulis sedikit komen/review untuk cerita ini. Sampai bertemu di chapter berikutnya
