Chapter one - Sexy Step Mother

Levi Ackerman x Mikasa Arlert (Ackerman)

Sorry for typos!

AU / rated-M / Marriage life / Hurt

Mohon dikoreksi jika menemukan kesalahan nama, karena cerita ini adalah remake dari cerita saya di wattpad :) terimakasih


Levi masih menghentakan miliknya dengan tempo cepat. Erangan demi erangan sudah terlantur dari bibirnya yang terbuka bergantian mengulum buah dada berisi milik lawan main di bawahnya. Sudah satu jam permainan panas itu berlangsung, begitu pula pandangan matanya yang tidak pernah menatap sang wanita walau penyatuan tubuh itu berlangsung liar. Tidak ada ungkapan cinta selain desahan nafsu yang kadang sengaja ia tahan.

Memasuki waktu yang nampaknya menjadi akhir dari penyatuan panas mereka, ketika merasa sudah berada di titik puncak kenikmatan, Levi mengerang sekali lagi sebelum melepas semua kontak tubuhnya dari seorang wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya sejak dua bulan lalu.

Tidak ada yang Levi lakukan selain kembali berbaring ke samping, berbalik tanpa menghadap istrinya dan menutupi sebagian tubuh telanjangnya dengan selimut.

Sementara wanita di sampingnya tidak membuang waktu untuk sekedar ikut istirahat bersama pria itu. Ia beranjak bangun, mengambil kimono yang terjatuh di kaki ranjang dan segera memakainya cepat.

"Shit!"

Umpatan yang hampir menyerupai bisikan keluar dari bibir wanita itu saat merasakan perih di area selangkangan pahanya. Permainan pria itu terlalu bringas, bahkan tidak pernah peduli dengan keadaan Mikasa yang begitu tersiksa di sana.

Tidak ada henti Mikasa mengumpat kalimat kasar untuk pria itu. Walau tanpa suara, ia rasa pria itu sudah tahu. Levi adalah orang yang paling bisa membuatnya marah walau setelah bercinta sekalipun. Pria itu sangat handal melakukan itu. Buktikan saja, jika kalian tidak percaya.

"May devil bless you, Mr. Ackerman."


Duduk di stool dapur ditemani oleh kopi panas adalah hal yang tengah Mikasa lakukan saat ini. Waktu sudah menunjukan pukul dua malam, tetapi Mikasa tidak berniat untuk tidur walau tubuhnya terasa lelah karena penyatuannya bersama Levi satu jam yang lalu.

Benar melelahkan.

Semua yang ia jalani saat ini adalah suatu hal paling melelahkan. Hidup sebagai istri kedua seorang Levi Ackerman adalah sebuah bencana mana kala pria itu sama sekali tidak pernah menganggapnya ada, sekalipun di atas ranjang saat bercinta.

Kehadirannya memang tidak diharapkan oleh pria itu. Pernikahan yang dilakukan ini adalah sebuah keterpaksaan yang hanya diperuntukan untuk kebahagiaan putra pria itu.

Mikasa sadar bahwa dirinya hanya seorang pengganti istri sementara atau bahkan hanya sebagi pemuas nafsu bagi pria itu. Tidak pernah ia berharap pria itu akan memberikan sedikit cinta untuknya. Tidak berharap karena memang tidak akan pernah terjadi.

"Tante Mika?"

Ketika itu datang seseorang bertubuh agak mungil yang mengenakan piama tidur corak awan. Menghampiri Mikasa yang tersadar dari lamunannya dan ikut duduk di stool yang berhadapan dengan Mikasa. Agak lama untuk anak itu duduk, karena harus memanjat pijakan besi itu terlebih dahulu.

"Hai, tidak bisa tidur?" tanya Mikasa memberikan senyum pada Falco, putra tirinya.

"Aku terbangun."

"Kenapa? Mimpi buruk?"

Bocah itu menggeleng kecil, "lapar,"

Ada kekehan kecil yang keluar dari bibir Mikasa. Untuk kedua kalinya ia mendapatkan alasan yang sama dari Falco, setelah minggu kemarin anak itu mendatangi kamarnya karena merasa lapar.

"Terlalu malam untuk merasa lapar ya, Fal?"

Falco tersenyum cerah saat mendapati pergerakan Meira yang kini menuju kulkas mengambil sesuatu yang akan ia masak saat ini.

"Sepertinya satu mie rebus sudah cukup membuatku kenyang, Tan." Falco menyahut saat Mikasa masih sibuk memilih makanan apa yang sekiranya bisa ia buat untuk anak itu.

"Dan berharap Ayahmu marah lagi karena memakan mie dua kali dalam minggu ini?" Mikasa menjawabnya dengan kerlingan mata seram, membuat Falco mengerucutkan bibirnya.

"Harusnya Ayah tidak marah. Dia tidak akan tahu aku makan mie,"

Mikasa berhasil memilih beberapa tomat ukuran sedang dan dua butir telur ayam. Sambil menuju area kompor ia kembali menimpali ucapan Falco.

"Harusnya begitu. Tapi sayang, Ayahmu bukanlah tipe yang tidak peka soal seperti ini. Dia akan mengetahuinya."

Terdengar suara decakan malas dari belakang yang Mikasa yakini adalah suara bocah laki-laki itu.

"Yeah, i know," Falco memutar bola matanya, "baiklah, tolong buatkan aku makanan apapun itu yang bisa membuatku kenyang dan bisa kembali tidur, Tante Mika."

Di sela memotong tomat, Mikasa sempat berbalik sedikit hanya untuk memberikan jawaban 'Ok' untuk anak itu. Well, tengah malam ini sepertinya acara lamunannya akan sedikit terusik dengan adanya tugas memasak. Tapi tidak masalah. Mikasa menyukai apapun hal yang bocah itu pinta.

Satu mangkuk sup merah tomat telah tersaji di hadapan Falco. Aromanya tidak begitu menyeruak karena Mikasa bukanlah orang yang handal dalam membuat makanan lezat. Katakan saja dia payah karena harusnya sebagai seorang pengganti ibu, ia diwajibkan untuk bisa memasak, bukan? Tetapi apalah kekurangannya, Mikasa tetap bersyukur karena Falco masih bisa menikmati makanan yang ia buat. Bocah itu tidak pernah rewel atau mengkomplain masakannya, such a good boy. Tidak heran Mikasa mencintai bocah itu. Sepertinya sifat hangat anak itu menurun dari ibunya dulu, dan tidak ada sedikit pun sifat dingin yang diturunkan oleh Levi kepada Mikasa. Oh! Mikasa bersyukur untuk kedua kalinya.

"Tante Mika,"

"Ya?"

Arah pandangan Falco masih menuju kuah sup walau bibirnya sudah menyerukan kecil nama ibu sambungnya itu.

"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan,"

"And i'll do best for the answer."

Falco mengerjapkan kedua matanya yang kini bersitubruk dengan bola mata menyerupai onyx hitam milik Mikasa.

"Apa Ayah menyakitimu?"

Empat kata yang meluncur dari bibir anak itu. Kini Mikasa sukses mengubah raut wajahnya menjadi datar atau sebut aja terkejut. Sedikit.

"Selama Tante di sini, Ayah sama sekali tidak berbicara pada Tante. Dia tidak pernah memelukmu sama seperti yang ia lakukan saat Mama dulu. Wajahnya selalu tidak bahagia saat kamu ada di sini. Apakah dia tidak menyukaimu?"

Bagi bocah seukuran Falco, mungkin wajar jika ia bertanya seperti itu. Tentu anak itu sadar dengan perlakuan Levi selama ini, setelah menikah dengan Mikasa. Falco menyaksikan bagaimana keterpaksaan yang dilakukan Ayahnya untuk menerima wanita baru di rumah ini. Bukan, di keluarga ini.

Lama menjawab, bukan berarti Mikasa lari dari pertanyaan. Wanita itu memberikan senyum simpul usai menyodorkan gelas berisi air putih pada sang anak sambung.

"Jika Ayah tidak menyukai Tante, lantas apakah kamu juga akan ikut tidak menyukaiku?"

Falco menggeleng tanpa pikir panjang.

"I like you."

Syukurlah. Mikasa memanjatkan dalam hati.

"Tidak menyukai bukan berarti membenci 'kan, Fal? Rasa tidak menyukai itu akan hilang kapan saja di saat Ayah kamu menginginkannya." Mikasa berkata pelan memberikan arahan pada Falco. "Berbeda dengan rasa benci yang susah untuk dihilangkan karena sifat itu sudah mendarah daging."

"Itu berarti Ayah akan menyukai Tante tidak akan lama lagi?" Ada reaksi cerah yang ditunjukan Falco saat mempertanyakan hal itu.

Membuat Mikasa lagi-lagi hanya bisa memberikan senyum kecut, sebagai jawaban yang ia sendiri tidak ketahui.

Yah, sejujurnya Levi bukan sekedar tidak menyukainya. Mungkin pria itu membencinya, sampai mendarah daging.

Tbc~