MORE THAN WORDS

KookTae / KookV

Cast :

Jeon Jeongguk

Kim Taehyung

Author : Tian Yerin a.k.a Wulan Titin

Genre : Drama, Romance

Disclaimer :

Cast(s) belongs to god, their entertainment, and their parents but the story line belong to me

.

.

.

"More Than Words"

HAPPY READING

.

.

.

Cinta tak butuh alasan logis untuk dapat dipahami khalayak umum. Cinta itu bisa dibilang cinta hanya jika ada dua objek berbeda yang melebur menjadi satu komponen.

Tepat di enam bulan yang lalu, aku memberi batasan pada diriku sendiri. Tak mudah memang, tapi aku sadar, cinta dengan komponen tak lengkap bukanlah cinta. Aku hanya sendiri dan kau telah berdua. Kau sudah memiliki apa yang dinamakan cinta karena kalian telah saling melengkapi. Tapi aku di sini hanya selalu memandang iri. Setidaknya dulu, sebelum kau menikamku terlampau dalam.

.

.

.

"Hai, hyung! Kabarmu baik?"

Jeon, si adik tingkat menghampiri sahabatnya, Kim Taehyung yang sedang disibukkan dengan pencarian bahan untuk presentasinya minggu depan.

" Ah- oh- aku... baik saja. Kau pun pasti begitu."

Senyumnya. Jeon melihat senyum itu telah berubah. Ia melihat si Kim menarik beberapa buku dengan pasti dan memapahnya menjauh dari rak tinggi di sana.

"Kemarikan hyung, biar aku yang bawa."

Kim tersenyum dan menggeleng, ia menolak.

"Ini tidak berat. Lagipula meja bacanya dekat. Aku duluan, Jeon."

Jeon terdiam. Ia hanya bisa memandang punggung yang berjalan kian menjauh. Tatapannya menyendu. Ia melihat Kim duduk di ujung meja sana dengan seorang laki-laki bersurai perak. Diketahui laki-laki itu adalah teman kelas masa SMP Kim. Namanya Park Jimin. Ia juga ada di tingkat yang sama dengan Kim saat ini dan sedang mengambil mata kuliah yang sama juga.

Tiba-tiba saja Jeon geram saat melihat tangan itu mengacak-acak surai madu milik Kim. Tampaknya api cemburu sedang merasuk ke dalam jiwanya. Padahal itu bukan haknya, tapi entah kenapa dirinya ingin sekali marah dan menarik Kim menjauh darinya.

.

Senja itu Kim tampak berjalan menyusuri lorong. Sedari jauh ia melihat siluet tegap milik Jeon seorang. Ia sontak mengeratkan genggamannya pada buku yang sedang ia papah hingga buku-buku jarinya tampak berubah warna. Ia menundukkan kepalanya dan berjalan lebih lambat. Pikirannya melayang entah ke mana. Ia berharap waktu akan berjalan cepat, namun kenyataannya kakinya memperlambat semuanya.

Jeon berhenti tepat dihadapannya dan itu membuat Kim yang sedang setengah melamun menubruk dadanya dengan cukup keras. Bukunya pun berserakan ke lantai. Dengan sigap Kim memunguti buku-bukunya, tentu saja dibantu oleh Jeongguk.

Tanpa sengaja tangan mereka bersentuhan dan Jeongguk membuka suara.

"Apa tali sepatumu terlepas lagi, hyung?"

Deja vu. Taehyung merasa dirinya ditarik ke masa SMP nya dulu. Saat di mana pembagian kelas bagi siswa baru. Jeon Jeongguk, siswa yang sedari awal kehadirannya di sekolah itu telah merebut banyak perhatian siswi di sana. Tampilannya yang rapi dan auranya yang bak pangeran. Visualisasinya sungguh tak terelakkan. Awalnya Kim tak mengenalnya sampai ketika ia tak sengaja menubruk tepat di dada juniornya itu hanya karena tali sepatunya yang tiba-tiba terlepas.

" Hey, hyung! Kau melamun lagi?"

"Ah! Maaf, aku tak melihatmu tadi, Jeon."

"Tidak masalah. Kuperhatikan kau melamun sedari ujung lorong sana. Kau memikirkan sesuatu?"

Jeon berdiri dan menggenggam 2 buku yang awalnya dipapah Kim.

"Tidak ada. Kemarikan Jeon. Ada yang sedang menungguku."

Dahi si yang lebih muda mengernyit. Siapa yang sedang menunggunya?

"Tak apa, sekalian saja hyung. Aku juga mau ke parkiran. Kau juga, 'kan?"

Kim mengangguk. Jadilah mereka berjalan berdua beriringan dengan perlahan. Kali ini Kim bungkam. Biasanya ia akan jadi sosok yang banyak omong bila bersama Jeongguk. Yah, bila situasinya belum berubah.

" Eum, hyung?"

"Ya?"

"Tentang ucapanku waktu itu... aku minta maaf."

"Ucapanmu yang mana? Aku tak mengerti."

"Kau bukan sampah hyung. Akulah yang sampah karena nyatanya aku kini menyuka-"

"Tae! Kenapa lama sekali?"

Jeon dan Kim spontan menoleh. Tepat sekali. Park Jiminlah orang yang sedang menunggu itu.

"Ah, Chim! Maaf. Aku ada perlu dulu tadi. Ayo kita pergi sekarang atau ibumu terlambat kontrol."

Jeon mengamati interaksi keduanya. Pandangan hyungnya tampak lebih cerah saat bersama pria Park itu. Dan tatapan si pria itu tampak seperti tatapan yang sangat mendamba Kim. Jeon berpikir. Apa semudah itu Taehyung berpaling? Apa dampak luka yang digoreskannya akan sebesar ini?

"Jeon, bukuku?"

" Ah! Ini hyung. Hati-hati di jalan."

Sekali lagi, Kim tersenyum lembut dengan pandangan yang menyendu.

.

.

Jeon dengan sengaja melewati rumah Taehyung. Alisnya menukik. Ada seseorang bertamu ke rumah itu. Siapa? Apakah si pria Park kemarin? Atau...

"Dengar Kim Taehyung. Kau sudah bukan anak kecil lagi. Usiamu sudah 23 tahun. Eomma tahu persis bagaimana orientasi seksualmu. Kalau kau tak mau eomma paksa menikah dengan Jieun, kau harus bisa mencari pasanganmu sendiri sebelum usiamu genap 24 tahun. Jika tidak, eomma akan menarik seluruh asetmu juga."

"Tapi eomma-"

" Ah, eomma ada ide. Bagaimana dengan anak dari pasien eomma yang kau antar kemarin? Eomma sudah kenal betul kedua orang tuanya. Anaknya juga lembut dan sopan sekali. Bagus. Pilih saja di antara mereka berdua."

"Jimin hanya temanku eomma..."

"Tidak ada pengecualian lagi, Tae. Eomma sudah meringankan pilihanmu bukan? Jadi pilihlah baik-baik. Eomma pergi dulu. Sampai jumpa lagi, sayang."

Jeon mendengarnya sayup-sayup dari luar gerbang. Pikirnya melayang. Ia termenung memikirkan perkataan ibu si Kim. Apa katanya tadi? Menikah dengan Jieun atau Jimin? Apa-apaan pilihan itu? Kim bahkan sudah lebih dari cukup dewasa untuk menentukan sendiri siapa yang akan menjadi pilihannya.

Tepat setelah ibu Kim pergi, Jeongguk masuk dan menghampiri Taehyung yang masih berdiri di ambang pintu. Ia melamum lagi. Jeon segera menepuk pundaknya dan membebaskannya dari lamunan panjang.

" Oh, Jeongguk. Kapan kau masuk?"

"Tidak penting, hyung. Apa benar ibumu memaksamu menikah, hyung?"

"Kau sudah lama rupanya di sini, Jeon. Maaf, aku tak bermaksud merebut Jieun darimu. Aku sama sekali tak berniat memilihnya."

"Lalu kau akan memilih Jimin?"

Kim termenung sejenak.

"Kurasa itu lebih baik."

"Apa kau menyukainya seperti cara kau menyukaiku, hyung?"

Kim tertegun. Lidahnya kelu. Ingin rasanya ia berteriak sampai memaki di depan wajah itu bahwa ia masih mencintainya. Namun, ia pun harus memilih dan tak ingin egois lagi.

"Perasaanku lega sekali saat mendengar bahwa ternyata selama ini Jimin itu hanyalah temanmu. Kupikir ia adalah kekasihmu. Dan kupikir kesempatanku akan benar-benar habis. Hyung, aku menyukaimu sama seperti caramu menyukaiku."

"Kau salah, Jeon. Aku mengaku pada eomma hanya karena tidak ingin ia mengorek info jauh lebih dalam tentang Jiminie... Aku tak suka bila ia menjadi tak nyaman bersamaku lagi."

Kali ini Jeon yang tertegun. Apa maksudnya kata-kata itu?

Kim seolah tahu apa yang ingin dikatakan oleh mata itu. Dengan mengumpulkan segala ketegaran yang ia miliki selama ini, ia balas menatap pasang jelaga itu dengan dengan lembut mengatakannya dengan jelas.

"Jimin adalah kekasihku. Sejak 3 bulan yang lalu."

.

.

Tiga hari berlalu. Jeon merasa buruk sekali.

' Jadi, begini rasanya...'

Jeon termenung, tergugu di balik tembok jurusannya. Tepat di balik sana, ia melihat siluet si rambut perak sedang duduk bersama dengan Kim, orang yang saat ini didambanya. Mereka tampak saling memandang dan si Park tampak memajukan sedikit tubuhnya. Tidak akan ada yang melihat mereka karena mereka ada di halaman belakang gedung jurusan Jeon.

Tangan Jeon mengepal. Untuk apa ia bersembunyi? Bukankah seharusnya ia ikut berbahagia atas pernikahan yang akan diselenggarakan beberapa bulan lagi? Jimin mungkin orang yang tepat, bukan? Lelaki itu tampak tulus dan acap kali berlaku lembut di hadapan seorang Kim Taehyung, kekasihnya.

"Haruskah aku mundur dan membiarkanmu bahagia dengannya, hyung? Atau bolehkah aku menjadi jahat dan merebutmu paksa?"

" Yah, kupikir kau harus merebutnya paksa atau aku yang akan merebut Kim manis itu dan memaksanya menjadi suami sejati?"

Jeon terlonjak. Siapa itu yang baru saja berbicara?

" Noona? Kau-"

"Kenapa? Kau pikir aku tak tahu kalau kau menyukai lelaki itu? Kau dengan pikiran kalau gay itu sampah."

"Bagaimana bisa kau tahu itu?"

Jieun menghela napasnya kesal. Ia lantas menarik Jeon menjauh dari tempat itu dan duduk di area taman yang tak jauh dari kantin utama.

"Jelaskan, noona."

"Malam itu, kau tidur di rumahku. Saat aku tak sengaja terbangun, aku mendengarmu mengigau nama Taehyung dan kau mengatainya sampah karena ia seorang gay."

Kedua pasang jelaga itu membola. Benarkah ia mengigau seperti itu?

"Iya, kau mengigau begitu. Tapi sepertinya kau menjilat ludahmu sendiri, ya?"

Jeon mendesah pasrah. Jieun benar. Ia termakan karma secepat ini.

"TaeTae dulu menolakku dengan tegas. Ia mengatakan ia sudah menyukai seseorang. Awalnya kupikir itu Irene, perempuan paling cantik di kelasnya. Kalau itu dia, aku tak heran... Sekali, aku pernah melihat poni panjangnya itu tertiup angin tanpa sengaja saat tahun pertama. Matanya indah sekali. Sepasang hazel itu seolah menghipnotisku. Belum lagi ada tahi lalat di ujung hidungnya. Aku suka sekali. Fitur wajahnya sangat menawan. Kali kedua aku melihatnya menunjukkan wajahnya adalah saat kau membawanya ke acaraku, 9 bulan lalu."

Jieun tersenyum simpul, sedangkan Jeon masih setia menunggu kelanjutan ceritanya.

"Maaf Jeon, sebenarnya aku tak pernah menaruh hati padamu, sedikitpun. Aku menerimamu hanya demi bisa mengenal jauh sahabatmu."

" Ah, pantas saja kau selalu antusias saat Taehyung ada. Bodohnya aku, bisa tertipu olehmu, noona."

" Haha. Maafkan aku. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya agar bisa mendekatinya. Dia selalu menjaga jarak dengan semua orang dan hanya bergaul denganmu saja. Bahkan Jimin, hanya sesekali aku melihat mereka bersama. Hanya saja, belakangan ini ada rumor kalau Jimin berpacaran dengan Taehyung. Sepertinya itu benar... perkataan eomma TaeTae tempo hari padaku benar adanya."

Jeon menunduk. Ia menimang semua perkataan Jieun. Sebenarnya apa alasan ibu Kim memberi pilihan antara Jieun dan Jimin?

" Noona, apa yang membuat eomma dari Taehyung membuat pilihan antara kau dan Jimin?"

"Kau tak tahu? Taehyung anak dari salah satu kepala rumah sakit di Daegu. Ibunya juga seorang dokter ahli syaraf. Dia sendiri sudah mulai menaruh saham yang ia punya ke beberapa instansi rumah sakit dan menjadi donatur tetap kampus ini. Eomma kim hanya ingin anaknya setara dengan calonnya nanti."

"Maksudmu, Kim Taehyung yang kukenal adalah konglomerat?"

Jieun menoleh dan menatap tidak percaya.

"Kau sungguh sahabat Kim Taehyung? Wah, kau lebih bodoh dari yang kukira, Jeon. Sudahlah, aku pergi-"

Tunggu. Jeon belum selesai mendengarkan. Ia menarik tangan Jieun dan menyuruhnya kembali duduk. Tetapi Jieun tak mau duduk. Jadilah ia berdiri menunggu apa yang akan dikatakan Jeon.

"Bagaimana ia menolakmu dulu?"

"Dia bilang, dia sudah menyukai orang lain. Orang dengan inisial JJ."

.

.

Taehyung duduk di sisi gerbang rumahnya. Ia sengaja meletakkan bangku di sana dan duduk seolah menunggu sesuatu.

Tepat sekali. Tak lama, ada lengan seseorang yang terjulur menggapai slot berusaha untuk membukanya.

"Jeon, ini bukan rumahmu. Biasakan memencet bel."

Jeon terlonjak. Ia tak tahu di balik gerbang itu ada Kim Taehyung.

"Kau menungguku, hyung? Senangnya..."

"Tentu tidak. Aku sedang ingin duduk di sini saja. Kau, ada apa ke sini?"

"Apa aku tidak boleh masuk dulu, hyung?"

Kim berjalan masuk mendahului Jeon. Ia membiarkan pintu rumahnya terbuka dan mempersilahkan Jeon untuk duduk atau mengambil minumnya sendiri seperti biasa.

" Hyung, apa yang sedang kau rasakan saat ini?"

"Saat ini? Seperti biasa."

"Seperti biasa itu seperti apa?"

Kim menatap mata itu sepersekian detik. Lantas ia tersenyum simpul.

"Kau tahu apa yang sedang kurasakan. Tak usah basa-basi. Apa yang kau ingin bicarakan padaku, Jeon?"

"Tak ada. Aku hanya ingin ke sini saja. Kalau dipikir-pikir, sudah lama aku tidak main ke sini. Kupikir mungkin kau akan menungguku."

Kim tergelak. Tawanya menandakan bahwa ia baik-baik saja. Tapi entahlah, matanya tampak berkata sebaliknya.

Jeon memperhatikan. Ia menyodorkan air putih yang tadi sempat diambilnya di awal. Kim mengernyit. Untuk apa air itu?

"Minumlah. Kau terlihat sedang berusaha menipuku."

"Bicara apa kau, bocah?"

Dengan cepat Taehyung meraih dan menenggak habis air itu. Ia gugup dan Jeon tahu itu.

" Hyung, apa yang kau akan lakukan kalau aku menyukaimu sama seperti caramu dulu?"

"Aku tak mengerti maksudmu."

"Jangan pura-pura hyung. Anak orang besar sepertimu yang punya saham di mana-mana, tak mungkin tak paham apa yang kumaksud."

Kim mendesah lembut. Ia menatap mata Jeon dan sekali lagi tersenyum.

"Kau tahu betul aku bagaimana ya? Tapi, maaf Jeon. Aku sudah memilih Jimin. Sampai saatnya tiba, tepat di usiaku yang ke-24 nanti, aku akan mengenalkannya pada eomma. Kalau kau lupa, aku ini sampah Jeon. Pangeran sepertimu hanya butuh seorang putri dan Jieun sangat cocok untukmu."

"Bukankah aku sudah minta maaf tempo hari? Kau masih marah?"

"Ini bukan perihal kau sudah minta maaf atau belum, Jeon. Ini masalah luka yang kau sebabkan di sini."

Kim menunjuk tepat di dadanya. Ia tersenyum sekali lagi dan menatap jelaga itu dengan tatapan terluka. Jeon paham. Ia memang sudah menyakiti hati itu terlampau dalam.

"Biarkan aku berjuang menebus dosaku. Bagaimanapun hasil dan keputusanmu, aku akan terima."

.

.

Jeon gila? Iya. Dia tahu Kim sudah dengan yang lain tapi masih mengibarkan bendera perang. Jeon mengakui salahnya dan dengan terang-terangan ingin menebus dosanya.

Kini Jeon sudah tiba di kediaman Kim. Ia menunggu di sana dengan motor kesayangannya.

"Jeon, kau di sini? Menungguku?"

"Ayo hyung, aku tahu kelasmu akan mulai satu jam lagi."

"Tapi, Jimin sedang dalam perjalanan ke sini-"

"Bilang saja kau ada urusan dengan dosen dan tak sengaja bertemu denganku."

Kim tampak berpikir, dan ia mengangguk. Ia meyakinkan bahwa Jimin akan baik-baik saja dan tak akan marah padanya. Semoga saja.

"Baiklah. Bawa motornya pelan sa-"

"- yak! Jeon Jeongguk! Jangan ngebut! Bahaya!"

Jeon tersenyum penuh arti. Ya, tangan itu melingkar erat di perutnya. Dari kaca spion, ia melihat Kim menutup matanya erat-erat. Meskipun tampak ketakutan, Jeon malah senang bukan main.

Sesampainya di jurusan Taehyung. Ia segera memarkirkan motornya dan berjalan menyusul Taehyung. Ia melihatnya berjalan tergesa menuju kelas si pemilik marga Kim itu. Membuntutijya dari belakang dengan senyum mengembang.

"Mau sampai mana kau mengikutiku? Bukannya kau ada kelas sebentar lagi?"

"Kuingatkan lagi bahwa Jeon Wonwoo itu hyung ku. Ia tak akan menghukumku bila aku sedikit telat."

"Sesukamu saja, Jeon."

"Oh ya hyung. Ibuku menanyakanmu. Katanya kenapa kau tak ke rumah lagi? Sesekali berkunjunglah. Jangan membuat jarak itu terlalu terlihat. Setidaknya oleh ibuku."

'Pikirmu siapa yang membuat semua jadi sulit bagiku, Jeon?'

"Baiklah. Aku akan berkunjung akhir pekan bila tak ada acara lain. Sekarang pergilah ke kelasmu dan jangan membolos."

.

.

Akhir pekan tiba dan Kim tampak bimbang dengan keputusannya. Apakah ia akan benar-benar pergi ke rumah Jeon? Ataukah ia harus mengurungkan niatnya dengan berbohong bahwa hari ini sedang ada acara dengan Jimin?

Tidak. Kim bukan tipikal pembohong seperti itu. Tidak salah memberi kesempatan pada Jeon untuk berusaha, 'kan?

Kim berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah Jeon. Ia punya mobil tapi hanya terparkir manis di garasi saja. Bukannya tak bisa menyetir, hanya saja Kim lebih suka berjalan kaki ke rumah Jeon. Selain jaraknya yang tak jauh, ia juga bisa melihat taman bermain anak-anak di perjalan nanti.

"Jeon, aku harus bagaimana menghadapimu? Kau terlalu peka untuk mengetahui semua sifat dan tingkah lakuku."

Kim bermonolog di sepanjang perjalanannya. Bagaimana dan bagaimana? Hanya itu saja yang berputar di kepalanya. Hingga tak sadar...

" Hyung! Kemari!"

Kim tersentak. Spontan ia menoleh ke sumber suara dan mendapati dirinya ternyata sudah sampai dan hampir saja melewati kediaman Jeon bila Jeongguk tidak meneriakinya tadi.

" Hey, kau memikirkan sesuatu? Hampir saja kau melewati rumahku."

" Ah, tidak. Aku memang mau ke toko sebelah sana tapi kau mengagetkanku."

Alibi. Dasar Kim Taehyung.

"Baiklah. Langsung masuk saja. Kami sudah menunggumu."

Kim beranjak memasuki rumah itu. Tidak sebesar miliknya, namun rumah itu hangat dan Kim selalu menyukainya.

" Eomma..."

" Aigoo, uri Taehyungie... Apa akhir-akhir ini kau bertengkar dengan uri Jeonggukie? Apa anak itu membuat masalah?"

" A-ah, tidak eomma. Jeongguk tak membuat masalah dan kami tak sedang bertengkar. Hanya saja aku sudah di tingkat akhir, jadi, aku sedikit sibuk. Maaf eomma, aku sudah lama tak mampir ke sini."

" Gwaenchanna... jja! Kita makan dulu."

Kim mengangguk. Pelukan hangat seorang ibu ia terima untuk pertama kalinya di sana. Sapaan lembut dan sikap ramah keluarga itu membuatnya selalu betah untuk berlama-lama.

"Taehyung, Jeongguk sering bolos belakangan ini, apa dia bersamamu?"

Itu suara Jeon Wonwoo. Dosen sekaligus hyung dari Jeongguk.

"Tidak, hyung. Jeongguk mungkin bersama Jieun."

" Anniyo! Aku tidak membolos bersama Jieun. Kami sudah putus 2 bulan lalu."

Putus? Dua bulan yang lalu?

"Betul. Kalau Jeongguk ada denganmu kau pasti akan langsung memberitahuku. Lagipula aku tidak mengenal Jieun. Anak itu tak pernah membawanya ke rumah. Aku pikir yang pacarnya malah kau, Tae. Haha."

" Ah, tidak mungkin hyung..."

"Iya, tidak mungkin hyung, Tae hyung sudah punya pacar."

Wonwoo menoleh dan menatap tak percaya ke arah Taehyung.

"Benarkah? Memang sih wajahmu tampan sekaligus cantik. Jadi, siapa pacarmu? Apakah anak fakultas kedokteran juga?"

Taehyung bersemu dipuji seperti itu.

"Ya, hyung. Satu jurusan denganku dan namanya Jimin. Dia laki-laki."

" Oh, aku tau. Yang berambut perak dan suka sekali memakai white long sleeve, 'kan? Yang belakangan ini menempel denganmu."

Kim mengangguk. Ia memandang ragu satu persatu keluarga itu. Mulai dari ibu Jeon, ayah Jeon, dan Wonwoo. Tak ada yang terkejut atau berbicara aneh. Apa mereka menerima hal semacam itu?

"Apa itu wajar, hyung?"

"Bagiku asalkan keduanya bahagia tak masalah. Kurasa ayah juga sepemikiran denganku."

Tampak ayah Jeon menganggukkan kepalanya setuju. Tak lama, ibu Jeon bersuara.

"Tak apa Tae. Jangan merasa kami risih denganmu dan jangan anggap dirimu berbeda. Kau selalu diterima di sini, kau tahu itu."

Hati kim berdesir hangat. Ia tersenyum pada ibu Jeon.

"Terimakasih, eomma."

"Aku akan merebutnya dari Jimin. Bagaimana menurut kalian?"

.

"Jeongguk, apa maksudmu berbicara seperti itu tadi?"

"Aku mau tahu apa pendapat mereka. Dan lihat? Mereka mendukungku dan ingin kau benar-benar menjadi bagian dari kami ke depannya."

"Gila. Kenapa kau nekat sekali?"

Jeon merebahkan dirinya di atas kasur. Ia menghadap ke arah Taehyung yang sedang mengusak rambutnya yang basah sehabis keramas.

"Aku sudah bilang akan berjuang untukmu. Kali ini aku tak main-main. Aku tak akan menyakitimu lagi."

Kim duduk di sofa dan menunjukkan gelagat akan tidur di sana. Segera, Jeon bangkit dan menduduki sisi lain sofa itu.

"Minggir Jeon, aku ingin rebahan."

"Di kasur saja seperti biasa."

"Tidak. Aku di sofa saja."

"Kau takut? Aku janji tidak akan macam-macam."

Kim mendesah, ia mengalah dan merebahkan dirinya di sofa. Bukan ia takut Jeon akan macam-macam. Ia hanya tak mau goyah.

"Tidurlah. Tapi setidaknya biarkan aku mengeringkan rambutmu dulu. Sini, hyung."

Jeon menepuk pahanya dua kali. Mengisyaratkan Kim untuk meletakkan kepalanya di sana. Kim menurutinya dan melakukannya seolah tak pernah ada perasaan canggung di antara keduanya.

"Usap terus sampai kering ya, Jeon."

"Siap. Kau boleh tidur kalau kau mau. Aku tak akan mengganggumu, hyung."

Kim memejamkan matanya dan membiarkan Jeon mengeringkan rambutnya dengan handuk. Perlahan ia lakukan itu agar Kim tak merasa terganggu dalam tidurnya. Jeon senang, ia dapat melihat wajah itu sedekat ini lagi.

Jeon merasa surai madu itu telah kering. Ia menyampirkan handuk itu dan telunjuknya menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi matanya.

Ia memandang wajah itu lama. Seolah terhipnotis dengan rupawannya wajah itu, tanpa sadar ia mempertipis jarak mereka. Namun, ketika hampir saling bersentuhan, Jeon teringat janjinya. Cepat-cepat ia segera menarik wajahnya menjauh dan membelai kepala Kim dengan penuh kasih.

" Hyung, kembalilah padaku. Kali ini saja, percayalah padaku."

.

.

Tiga bulan semenjak kejadian penolakan telak itu, Kim menjadi lebih pendiam dari biasanya. Ia hanya sesekali menimpali tingkah laku serta ucapan Jeon. Ia tidak marah meskipun hatinya sakit. Apa haknya marah? Masing-masing pribadi punya pendapatnya sendiri tentang gay. Tapi ia juga tak mudah mengabaikan semua seolah tak terjadi apa-apa.

Jangan lupakan fakta bahwa Jeon telah menyakiti hati kecilnya yang mampu memberikan cinta kasih tulus tanpa imbalan apapun. Cukup satu pintanya. Jangan pernah menyakitinya karena semua tak akan sama lagi.

Tuhan itu Maha Adil. Saat Kim merasakan sakit karena Jeon. Kini Jeon merasakan hal yang sama. Ia dibuat sadar akan perasaan terdalamnya pada Kim yang kini telah memiliki kekasih.

Jeon tengah duduk dan memperhatikan pasang muda di hadapannya sedang tertawa bersama. Taehyung dan Jimin. Jeon tersenyum melihat pujaannya tampak ceria. Seperti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Jeon lantas berdiri dan berpamitan. Berkata bahwasanya ia akan ada kelas sebentar lagi. Dan itu langsung diiyakan oleh Jimin yang sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan Jeongguk di sana meski sejak 40 menit lalu.

"Kau oke, Tae?"

"Kenapa memangnya? Apa aku terlihat lelah?"

"Ya, kau tampak lelah dengan semua ini, sayang. Kau yakin akan meneruskannya? Tidak mau kembali dan bersanding dengan Jeon brengsek itu?"

Kim tergelak dan spontan memukul paha Jimin dengan cukup keras.

"Apa-apaan itu bahasamu, Chim?"

"Sakit TaeTae..."

Jimin balas mencubit pipi Kim dengan gemas dan tanpa mereka tahu, adegan itu dilihat oleh Jeon dari sudut matanya.

Jimin tahu dan melihatnya karena ia tidak membelakangi posisi berdiri Jeon saat ini. Berbeda dengan Kim. Meski Jimin tahu, ia tetap melakukannya. Ia hanya ingin memanas-manasi si Jeon.

Jimin menarik sudut bibir manakala melihat Jeon mengepalkan tangannya dan ekspresinya berubah sinis pada Jimin. Seketika itu juga Jeon pergi dengan langkah panjangnya.

"Tapi jujur Chim, aku merasa sesak tiap kali melihat matanya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadaku bila melihatnya tersenyum. Belaiannya di kepalaku tempo hari membuatku nyaman dan terasa seperti aku telah jatuh lagi padanya. Bagaimana ini Jiminie? Aku akan menyakitimu bila terus begini."

Jimin mengusap punggung tangan Kim dengan penuh sayang. Suaranya pun ikut melembut.

"Semua keputusan ada padamu, Taetae. Jangan sampai kau menyesal di akhir. Pikirkan baik-baik. Aku di sini pun tak akan merebut paksa hatimu darinya. Pikirkanlah baik-baik, sayang."

.

Jeon masih terdiam di kelasnya meski jam kuliahnya sudah usai. Ia meletakkan kepalanya di atas tangan yang terlipat di atas meja. Ia memejamkan matanya dan berpikir.

Banyaknya kejadian akhir-akhir ini, membuat Jeon tampak kelelahan. Bibirnya tampak pucat dan tampak ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Seratus persen tepat. Ia sedang kelelahan karena memikirkan banyak hal.

Lima menit cukup bagi Jeon untuk sekadar menghilang pening di kepalanya. Ia menegakkan tubuhnya dan memfokuskan pandangannya sebelum ia bangkit dan menenteng buku panduannya menjauh dari gedung jurusan.

Motornya diparkir di fakultas kedokteran. Cukup jauh dari gedungnya sendiri. Ia berjalan perlahan dengan pandangan menunduk. Lamat-lamat ia perhatikan jalan dan kepala terasa semakin berputar. Apa vertigo nya kambuh lagi?

Tinggal beberapa langkah lagi ia sampai di motornya. Namun ia malah berhenti dan berjongkok di dekat selokan. Ia muntah. Wajahnya pucat sekali.

"Jeon! Kau sakit?"

Suara Kim Taehyung.

Jeon menggeleng. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapannya. Perlahan ia menegakkan tubuhnya kembali dan berusaha tersenyum tapi itu semua hanya bertahan selama beberapa detik saja. Setelah dirinya sok kuat, ia kembali muntah dengan sebelah tangan menopang badan dan sebelah lainnya memegangi kepala.

"Kau kuat jalan ke klinik?"

Jeon menggeleng. Kepalanya berputar.

"Baiklah. Aku akan ambilkan obat. Vertigomu kambuh?"

Jeon mengangguk perlahan.

"Baiklah. Tunggu sebentar ya. Jangan ke mana-mana."

Beberapa menit Jeon menunggu di sana. Tidak bergerak sedikitpun dari pijakannya. Tak lama Kim datang dan segera menyodorkan botol mineral yang tutupnya sudah ia buka.

"Ini obatmu. Ayo buka mulutmu."

Jeon menurut. Ia membuka mulut dan membiarkan Kim memasukkan obat ke dalam mulutnya. Setelah dirasa masuk, ia segera meneguk air dan menelan obat itu. Mereka menunggu beberapa menit hingga vertigo itu dirasa samar-samar menghilang.

"Terimakasih hyung. Sebagai gantinya, ayo makan malam di rumahku."

"Dengan apa? Kau masih merasakan pusingnya, 'kan?"

"Motor, tentu saja. Ayo."

Kim ragu. Ia memandang Jeon dengan tatapan bertanya-tanya.

"Aku saja yang menyetir, Jeon."

"Memang kau bisa?"

"Diam dan lihat saja, dasar kau tukang meremehkan."

.

" Wah, hebat sekali itu tadi hyung! Kau bahkan mahir menaiki motorku. Kenapa kau tak pernah memakai kendaraan sama sekali kalau begitu?"

"Malas dan merepotkan. Aku tak suka. Kau tahu itu."

Jeon mengangguk selagi melangkah mendekati pintu. Ia mengetuknya tiga kali.

"Ya, aku tahu. Ternyata itulah alasan mengapa kau selalu menumpang padaku."

" Hey! Aku tak pernah meminta. Kau yang sukarela menawariku."

" Haha. Iya hyung, iya..."

"Loh kenapa tidak ada yang membuka, Jeon? Apa tidak ada orang di rumah?"

"Oh, benar! Lampunya juga mati, hyung. Sebentar. Aku akan menanyai mereka."

Jeon sibuk dengan ponselnya. Ia menelpon keluarganya dan mereka semua bilang tak akan pulang ke rumah karena ada acara di luar.

"Keluargaku ada acara di luar hyung. Bagaimana? Kau ingin kuantar pulang saja?"

"Lalu kau pulang bagaimana? Dengan motormu? Tidak boleh. Vertigo mu masih belum hilang betul. Kau di sini saja. Aku bisa pulang sendiri."

" Hyung, bagaimana kalau kau menginap di sini saja? Kau mengkhawatirkanku, 'kan?" tawar Jeon.

"Tidak Jeon, tidak. Aku pulang saja."

"Kalau kau bersikeras untuk pulang sendiri, aku pun akan bersikeras juga untuk mengantarmu."

Kim mengacak surai madunya kesal. Jeon itu keras kepala, begitu pun dirinya.

"Baiklah. Aku akan menginap di rumahmu kali ini."

Dan ya, Jeon tersenyum menang.

.

" Hyung, kau mau menonton film porno lagi denganku? Atau mau melakukan aktivitas malam seperti yang sudah lalu itu?"

Deg. Apa-apaan itu tadi? Jeon mengatakannya kepalang lancar. Apa dia lupa? Kali pertama ia menghancurkan Kim Taehyung adalah saat mereka menghabiskan malam di ranjang.

"Tidak. Kau pikir aku bodoh? Sewa saja perempuan atau laki-laki manis di luar sana. Jangan jadikan aku objekmu lagi, Jeon."

Kim duduk dengan santai di atas sofa dan menguasai remot tv. Tangan lainnya sibuk memasukkan popcorn rasa caramel yang ada di kulkas Jeon ke mulutnya.

" Eum, hey, hyung. Aku akan menemanimu besok. Aku tak punya kekasih sekarang. Jadi, kupastikan besok kita akan bersama seharian."

Kim mendengkus. Mudah sekali ya, Jeon.

"Mungkin kau lupa, Jeon. Kaulah yang merenggut paksa kepercayaanku dan kau pula yang menghancurkannya sedemikian rupa. Ingat saat malam itu? Kau membuatku percaya dengan kata-kata cinta yang kau lontarkan untukku dan paginya kau tetap pergi setelah mengatakan bahwa kata cinta itu hanya pemanis agar hubungan itu terasa hidup dan bergairah."

Jeon bungkam. Ia melihat Kim yang arah pandangnya masih lurus ke arah televisi. Siapapun yang melihat pasti tahu, kalau Kim sama sekali tak sedang menontong acara di depan sana. Ia hanya mencoba terlihat tak menyedihkan di mata sahabatnya itu.

" Hyu-"

"Jika kau ingin berusaha, berusahalah setulus hatimu, Jeon."

.

.

" Hey, pengecut! Apa kau akan terus diam di sini dan mengintip kejadian di balik tembok itu? Ya ampun, kapan kau akan bergerak maju?"

Oh tidak. Jieun lagi. Kenapa dia senang sekali muncul dan mengagetkannya?

" Noona, berhenti mengekoriku. Apa kau stalker ku sekarang?"

Jieun memandang datar. Ia sedang tak mood bergurau.

"Kalau kau tak mau ia diambil dalam waktu tiga bulan ke depan, kau harus melangkah maju tanpa ragu. Kalau tidak, Jimin akan merebutnya dan membuatnya tak bisa keluar dari sangkarnya lagi."

"Maksudmu-"

Jieun pergi meninggalkan Jeon begitu saja. Kata-katanya membuat Jeon termangu sejenak. Ia nemproses dan mencoba memutar kepala untuk mencari cara yabg paling tepat. Jieun benar, ia harus segera melangkah.

Tepat saat Kim selesai dengan Jimin, ia menggenggam lengan itu dan mengajaknya ke suatu tempat, yaitu ke taman kampus yang memiliki air mancur. Di jam ini tak banyak mahasiswa/i yang terlihat karena biasanya jam perkuliahan sedang berlangsung. Paling hanya ada beberapa orang saja yang berlalu lalang.

Dalam diam, mereka duduk berdampingan, memandangi air macur yang tak jauh di sana. Jeon menggenggam serta membelai lembut punggung tangan Kim.

" Hyung, apa kau sudah benar-benar menyukai laki-laki itu? Apku ingin tetap berjuang, tapi kalau kau sudah menyukainya, aku tak akan mengganggumu lagi. Kali ini, kumohon jujurlah hyung."

Desahan halus terdengar dari belah bibir Kim. Ia menarik perlahan tangannya dari genggaman hangat Jeon.

"Lalu kau sendiri bagaimana, Jeon? Apa kau benar menyukaiku seperti caraku? Bukan karena kau kasihan atau takut kehilangan perhatianku saja? Kau sudah mencari tahu dan memastikannya?"

Jeon tergugu. Itu betul. Betulkah itu cinta? Rasa yang sama seperti yang Kim miliki?

Jeon memang belum memastikannya, tapi ia sudah mencari tahu tentang apa yang diinginkan hatinya. Itu hanya Kim Taehyung.

"Sejak aku menyakitimu dan kau yang mulai menjauh, kupikir awalnya aku hanya akan kehilanganmu sebagai seorang sahabat. Tapi, lambat laun, saat Jimin mulai mendekatimu lagi, aku merasa tak nyaman. Saat kau mulai terus berada di dekatnya dan saat ia menggenggam tanganmu lalu meenciummu, aku merasa ada yang sedang meremat sesuatu dalam dadaku. Rasanya menyesakkan... Saat aku duduk berdua dan menghabiskan waktu walau sebentar denganmu, aku merasa nyaman sama seperti dulu."

"Kau hanya melihatku sebagai sahabat, Jeon..."

"Ya, kupikir rasa nyaman itu benar-benar seperti dulu. Tapi, hyung, rasa itu tidaklah seluruhnya sama."

Jeon menoleh dan menatap pasang hazel milik Kim.

"Aku mencintaimu, hyung. Sungguh. Kumohon, sekali saja, hyung..."

Kim menunduk, ia merenungkannya sejenak.

"Jujurlah hyung dengan perasaanmu..."

Jujur? Jujur ya katanya...

"Kau tak akan menyesali perkataanmu dan menariknya suatu saat nanti?"

"Apa 9 bulan masih kurang untukku?"

Kim mengernyitkan dahinya.

"Maksudmu?"

"Hukuman untukku. Kau menjauhiku sejak 6 bulan setelah aku menyakitimu ditambah 3 bulan kau bersama Park Jimin."

"Kau menghitungnya?"

"Bahkan setiap detik bila kumampu, hyung."

Kim membungkam mulutnya. Ia tertawa lepas pada akhirnya. Dan Jeon yang kali ini mengernyit bingung.

" Ah, maaf Jeon. Kau lucu. Aku tak tahu kau begitu tersiksa..."

"Memang. Wajar saja, kau menjauh karena salahku."

"Ya, itu memang salahmu tapi aku tak mempermasalahkannya lagi. Asal kau berjanji untuk tidak menyakitiku lagi dan memegang kata-kata yang baru saja kau ucapkan."

"Kau serius?"

Kim mengangguk sembari tersenyum.

"Tapi aku harus meluruskan segalanya pada Jiminie dan kau harus bersiap untuk menghadapi ibuku."

.

.

.

Ini bukan akhir. Ini adalah awal, Jeon. Kau harus berusaha lebih keras agar janjimu tak menguap ke depannya. Kau juga harus berusaha menjadi lebih dewasa dariku. Kau pun harus kuat luar dalam untuk bisa memberiku kekuatan. Tapi sampai sini, aku cukup berterimakasih padamu yang sudah mau berjuang dan menarikku kembali. Bila tidak, mungkin tahun depan aku sudah tak berada di Korea lagi. Terimakasih, Jeongguk.

.

.

.

END / TBC ??

.

.

.

Jadi, saya end kan saja atau mau di lanjut?

Rencana sih mau bkin part lanjutan ttg perjuangan Jeon mengahadapi ibu Kim dan ya maj coba sisipin rate M yang yah mungkin bisa dibilang sedikit erotis?

Haha