"Dengan kedatanganmu di acara amal RFA pasti akan memberi dampak baik pada banyak orang."
Zen memiliki senyum yang menawan, aku yakin tidak ada satu orang pun yang akan menyangkalnya. Jadi aku tidak akan menghakimi sikap Rui yang seketika salah tingkah menghadapi pesona aktor musikal tersebut.
"Ahaha… Zen, aku sangat menantikan penampilanmu di acara itu." Ucapnya sambil menepuk pelan bahu Zen. Setelah meeting di kantor Rui usai, lelaki itu bersedia mengantar kepergian kami sampai ke lobi.
"Rui, terima kasih sudah berkenan menyumbang beberapa karyamu untuk dilelang. Kami menantikan kedatanganmu lusa nanti."
"Aku yang berterima kasih karena telah diundang." Rui tersenyum, namun setelahnya ia menghela napas. "Kau tahu, awalnya aku enggan untuk datang lagi ke acara itu sejak Jihyun meninggal. Tapi presentasimu tadi meluluhkan hatiku, Thea."
Pujian itu membuat dadaku terasa sesak. Rasanya seolah aku dapat merasakan perasaan yang sedang disembunyikan fotografer handal itu di balik senyumannya. Aku tidak sanggup berkata apapun, lantas hanya membalasnya dengan tersenyum.
"Kami turut berduka, Rui." Zen membantuku menanggapinya.
"Kalian juga sedang berduka bersamaku, bukan?" Rui tertawa getir. "Ah, bocah itu sudah menjadi kawan yang baik selama hidupnya."
Sebuah bayangan tidak lantas pergi hanya karena sinar yang meneranginya menghilang. Dia akan tetap berada di tempat yang sama, menanti sepercik api menyala dalam kegelapan atau terus mengharap fajar akhirnya menyingsing agar siapapun dapat kembali mengakui keberadaannya.
Sama halnya dengan kenangan. Sejenak mungkin kita tidak akan mengingatnya karena sengaja tidak lagi memikirkannya demi hidup yang harus terus berlanjut. Namun dia tidak pernah pergi. Kenangan itu akan terus menanti sampai akhirnya kita kembali menoleh ke belakang dan mengakui bahwa dia pernah ada.
Aku melambaikan tangan pada Rui yang bergegas pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Di balik pintu masuk gedung yang terbuat dari kaca, kegelapan sudah merajai langit Seoul meski tetap terlihat gemerlap oleh lampu-lampu gedung pencakar langit. Aku termenung, alih-alih terpukau pada pemandangan metropolis aku justru merindukan gugusan bintang di tempat kelahiranku.
"Thea?"
Aku menoleh. "Ya, Zen?"
"Aku tahu sebelumnya pernah mengatakan ini. Tapi–" Zen tersenyum. "Terima kasih karena tidak menyerah pada RFA."
Meskipun Zen menutupi hampir separuh wajahnya dengan topi, aku masih dapat melihat kesedihan yang terpancar dari kedua matanya.
Aku tidak pernah menduga akan terlibat dalam kisah ini. Kami melakoni peran yang krusial antara satu dengan yang lainnya karena terhubung oleh sebuah ikatan tak kasat yang sama. Aku bertanya-tanya, apakah akan lebih baik jika ikatan itu aku putuskan saja sehingga kami bisa berhenti saling menyakiti.
"Zen,"
"Hm?"
"Mungkin aku terlalu lancang karena memikirkan ini secara sepihak, namun RFA sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri." Aku tersenyum lebar. "Dan aku bertahan karena kau selalu ada di pihakku. Terima kasih sudah menjadi kakak yang selalu mendukungku, Zen."
Zen hanya terdiam memandangku sejenak. Wajah rupawan itu merona, lalu suara tawanya mengalun merdu di antara riuh keramaian kota malam ini.
"Anak baik!" Seru Zen sambil mengacak rambutku dengan gemas.
"Ah, Zen! Aku bukan anak kecil!" Runtukku seraya ikut tertawa.
"Kalau begitu izinkan aku menjadi kakak yang bertanggung jawab pada adiknya."
"Eh?"
"Kau tidak perlu ke halte untuk naik bus. Aku yang akan mengantarmu ke apartemen Jaehee dengan motorku." Zen tersenyum, dan kali ini terlihat lebih tulus dan bersinar seperti senyum yang selalu ia tunjukkan saat tampil di atas panggung. "Kita juga bisa berkeliling kota sebentar, mencari bintang sepertinya menyenangkan. Kau mau menemaniku, Thea?"
Aku tersenyum, lantas mengangguk semangat.
Dalam hati aku menghela napas lega. Barangkali jika aku tidak bisa memutuskan ikatan ini begitu saja, setidaknya aku bisa berusaha mengobati tiap luka yang muncul karenanya selama aku berada di sini.
.
.
.
MYSTIC MESSENGER © Cheritz
BENANG MERAH © Cloudsoup
.
.
.
Hangat sapaku kian mendingin
Sehari, seminggu, sebulan, setahun, dan luput sosokku
.
.
.
Dia benar-benar datang.
Dari kaca jendela kedai aku dapat melihat siluet mobil sport yang berkilau meski berada di tengah kegelapan. Di balik kemudinya, pemilik tatapan senja itu terus memperhatikanku sejak jam shiftku berakhir setengah jam yang lalu.
Menghela napas, akhirnya aku memutuskan untuk berpamitan dengan seniorku. Bunyi denting pintu kedai terdengar nyaring ketika aku mendorongnya, dan suara itu seolah berdentang sampai ke telinga lelaki di seberang jalan itu, karena setelahnya dia langsung menegakkan punggung serta merta melambaikan tangan menyambut kedatanganku dengan riang.
"Hola. Hola. Thea!"
"Aku ingin mengembalikan jaketmu. Sudah kucuci."
"Whoaaaaa terima kasih! Hmm… wangi citrus. Thea, apa kau petani lemon?" Saeyoung menerima paper bag berisi jaket yang dipinjamkannya beberapa hari yang lalu, lengkap dengan gurauan recehnya.
"Kau terlihat bersemangat, Saeyoung." Aku tidak dapat menahan senyum melihat wajahnya yang cerah di tengah malam begini.
"Tentu saja! Aku sangat menanti kedatanganmu!" Ucapnya sambil terkekeh. "Masuklah! Sesuai janjiku, ada yang ingin aku berikan padamu."
Situasi ini terasa janggal bagiku. Aku baru bertemu dengannya dua hari yang lalu di kampus dan dia sudah mengetahui tempat part time bahkan sampai jadwal shiftku di akhir pekan tanpa aku beritahu. Aku bergeming, dan sepertinya Saeyoung menyadari sikap defensifku.
"Aku hanya ingin menepati janjiku padamu, Thea." Mataku berkedip beberapa kali ketika tangannya terangkat menunjukkan sebuah amplop berisi setumpuk dokumen. "Kau bisa percaya padaku."
Semua orang mengetahui seberapa besar ambisiku mendapatkan beasiswa untuk bisa masuk ke perguruan tinggi di Seoul, bahkan sampai hati meninggalkan makam ibuku yang masih segar bunga dukanya di Muji dengan dalih menuntut ilmu. Namun yang mereka tidak tahu– dan tidak akan pernah kuberi tahu, adalah besarnya keinginanku untuk bisa menemui ayah.
Semua orang tidak akan menyadari kalau aku masih peduli pada lelaki brengsek yang telah meninggalkanku dan ibu dalam kesengsaraan di desa. Umurku baru lima tahun kala itu, dan yang aku ingat hanyalah suara tangisanku ketika berusaha menahan kepergiannya dengan putus asa.
Aku tidak pernah mengatakan keinginanku itu pada orang lain. Selama hampir tiga tahun ini aku berusaha sendirian untuk bisa menemukannya. Aku hanya ingin menatap matanya, lantas memberitahu bahwa ibu telah meninggal. Hatiku sakit ketika menghadapi duka sendirian.
Ibuku adalah malaikat bagiku dan malangnya hanya ada aku seorang yang melepas kepergiannya. Tanpa orang tua, sanak saudara– bahkan tanpa suaminya. Aku ingin ayah tidak memalingkan wajah dan sejenak ikut mengenang tentang lembutnya hati ibuku, tentang indah senyumnya semasa hidup, tentang dia seutuhnya.
Tapi selama hampir tiga tahun ini, nihil. Tidak ada barang satu informasi pun tentangnya yang aku dapatkan. Kabar terakhir yang aku dengar hanya tentang keberadaannya di Seoul sebagai pekerja kasar. Aku tidak punya koneksi dan aku enggan menyampaikan kesusahanku ini pada orang lain.
Dan sialnya, lelaki yang sedang duduk di sampingku ini memegang kelemahanku itu. Entah bagaimana caranya, dia tahu tentang besarnya keinginanku untuk mencari ayahku.
Apa dia sedang memanfaatkanku untuk sesuatu?
"Kim Haejoon. April ini akan berusia lima puluh tahun. Pindah ke Seoul pada musim panas sekitar lima belas tahun yang lalu, bekerja sebagai buruh pabrik dan beberapa pekerjaan kasar lainnya."
Saeyoung menjelaskan sambil memperhatikanku yang sedang membuka setumpuk berkas yang ia berikan. Aku termangu, semua berkas di dalam amplop ini seluruhnya berisi informasi tentang ayahku.
"Dia sempat masuk penjara karena bekerja sama dengan gembong narkoba dan dibebaskan lima tahun yang lalu. Mungkin kau kesulitan mencari informasi darinya karena ayahmu sudah mengganti identitasnya."
Lidahku kelu, sepertinya napasku kian menipis sejak awal Saeyoung mulai bicara. "Mengganti identitas?"
Saeyoung mengangguk. "Beliau mengganti identitas setelah melakukan operasi plastik, lalu memulai sebuah bisnis. Ayahmu berhasil mendapat banyak investor, bahkan bisa menarik hati seorang politikus hingga bertunangan dengannya. Itu pula alasan mengapa paparazzi tidak bisa mendapatkan informasi ini, karena back up yang dimiliki ayahmu sangat kuat. Jika kau mendengar nama barunya, kau juga pasti bisa mengenalinya–"
"Hei, Saeyoung."
Seketika kepalaku terasa pening.
"Apa kau sedang mempermainkanku?"
Dia terdiam sejenak. "Aku hanya mengatakan fakta."
Ah, tatapan senjanya meredup. Sepertinya aku sudah menyakiti hatinya dengan menunjukkan keraguanku secara terang-terangan begini. Sebelah tanganku memijat pelipisku yang berkedut, lantas menghela napas panjang.
"Jika paparazzi saja tidak bisa menemukan informasi ini, lalu kenapa kau bisa mendapatkannya dengan mudah?"
Aku lelah– tidak ingin lagi berharap pada seseorang. Aku hanya ingin mengandalkan diriku sendiri. Namun tatapannya yang serupa kilau senja membuat harapanku seketika melambung. Kakiku hampir tidak berpijak, melayang di atas kenyataan. Aku benci harus mengakuinya, tapi keberadaannya seolah telah memberiku ruang untuk bernapas lebih lega.
"Kau menyuruhku untuk percaya padamu," Aku menghela napas panjang, berhenti sejenak untuk kembali menata kalimatku.
Sebenarnya aku merasa sedikit tenang, karena aku tahu setidaknya tidak lagi terjebak di jalan buntu. Aku masih memiliki kesempatan untuk menemukan ayahku. Tapi berapa harga yang diharapkan Saeyoung atas kebaikannya ini?
"Jadi katakan padaku, sebenarnya kau ini siapa?" Aku menatapnya dengan putus asa, berharap dia memanglah orang yang tepat untuk menggantungkan harapanku. "Apa imbalan yang kau inginkan untuk bantuanmu ini, Saeyoung?"
Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku. Sejenak hanya menatapku dan membiarkan hening menyelinap di antara kami. Aku pun sama keras kepalanya, mataku tanpa segan membalas tatapannya. Kubiarkan diriku tenggelam di dalam iris jingganya yang berpedar indah di tengah kegelapan malam.
"Namaku Choi Saeyoung, dan aku seorang hacker." Akhirnya Saeyoung memecah keheningan kami. "Aku hanya ingin membantumu karena aku pikir–"
Dia bergeming.
"Saeyoung?"
"Aku pikir kita terjebak dalam takdir yang sama."
Sesaat aku menahan napasku. Lampu jalan yang hanya menyorot ke tengah jalan membuat raut wajah lelaki itu hanya terlihat samar-samar. Perlahan, kuhembuskan napas, menyebabkan kabut putih keluar dari mulutku. Pemanas di dalam mobil ini tidak cukup untuk membuatku merasa lebih hangat. Aku merapatkan cardigan yang melekat di tubuhku.
"Apa ini ada hubungannya dengan alasanmu tidak bisa menolongku ketika dirundung?"
Saeyoung menggigit bibir bawahnya, lantas mengangguk tanpa bersuara.
"Apa ini ada hubungannya dengan–"
Aku termenung, kembali menyusun kalimatku di tengah riuhnya pikiranku saat ini. Sejak pertemuan pertama kami, aku terus memperkirakan motif di balik penawarannya untuk membantuku. Saeyoung adalah orang asing bagiku, kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Bahkan jika dia tidak sengaja mendapati aku sedang dirundung oleh seseorang, itu bukan berarti dia memiliki tanggung jawab moral untuk berhutang padaku.
Lantas, kenapa? Dia bilang kami terjebak dalam takdir yang sama. Memang ada seseorang yang memiliki kendali begitu besar sampai mempengaruhi takdir kami sedrastis ini?
"–Rika?" Aku hanya menyebutkan nama yang terlintas di pikiranku, namun tidak kusangka dampaknya sampai membuat tubuh Saeyoung tersentak. "Dia hanya seniorku di kampus, dia hanya seorang perundung, lantas apa hubungannya denganku dan ayahku?"
"Thea," Lelaki itu menghela napas, sedalam yang ia bisa. Lantas tanpa mengalihkan pandangannya padaku, ia mengambil selembar foto di antara tumpukkan berkas di dalam amplop. "Nama baru ayahmu–"
Ia menggenggam foto itu di depan wajahku, serta merta mataku bergulir memandang sosok yang tampak di sana.
"–adalah Park Oh Rion." Ungkapnya. "Calon ayah Rika."
Mungkin akan lebih mudah jika aku menyerah. Memalingkan wajah dan bersikap seolah hal yang buruk tidak sedang terjadi adalah keahlianku. Mungkin akan lebih baik jika kami tetap saling menjadi orang asing saja, bersikap seolah tidak pernah terlibat di dalam kehidupan masing-masing.
Kepalaku terasa berat. Aku menyandarkan kepala pada sandaran kursi dan memejamkan mata sejenak. Semua ini terlalu rumit jika harus aku cerna sekaligus. Semua informasi yang aku dengar sekarang, juga beberapa lembar fakta yang harus aku baca nanti, semuanya seolah menghantam kepalaku hingga retak. Mual. Aku harus menenangkan pikiranku sejenak agar bisa memahami semua alur takdir ini.
"Aku akan mengantarmu pulang."
Saeyoung menyalakan mobilnya, lantas langsung menelusuri jalan kota sesuai dengan rute menuju apartemenku. Aku memandang deretan toko-toko yang masih benderang, ini sudah lewat jam malam dan banyak mata yang masih terjaga. Sisi jalan menyisakan beberapa orang yang berjalan sempoyongan karena mabuk, beberapa di antaranya terlibat perselisihan ringan. Di jalan raya hanya ada segelintir kendaraan, termasuk mobil Saeyoung yang berderu lembut membelah keremangan. Pemandangan yang biasa– metropolis yang menyesakkan. Mataku menerawang.
"Aku bahkan belum mengatakan alamatku."
"Wohoho… aku hacker, ingat?"
Aku menoleh padanya yang sedang nyangir kuda, berusaha untuk mencairkan suasana. Sebenarnya aku merasa terganggu karena privasiku terancam oleh kehadirannya, namun aku terkejut mendapati diriku malah tertawa.
"Jadi sebanyak apa kau tahu tentang aku, hacker-nim?"
"Hmmm… entahlah, sampai ukuran bra-mu?"
Mataku melotot. "Saeyoung!" Serta merta aku memukulnya dengan amplop tebal di tanganku. Lelaki itu meringis kesakitan, namun malah tertawa kencang hingga terjungkal.
"Aku hanya bercanda! Huaaa… hentikan! Ini namanya pelecehan!"
"Penganiayaan, bodoh!"
.
.
.
Gadis itu meringkuk di sudut malam
Menumpas kesendirian kala ia terlelap
.
.
.
"Aku tahu kau akan begadang, Jaehee."
Wanita berambut pendek itu menoleh, terkejut melihat kedatanganku.
"Ah, apa kau kurang nyaman tidur di ranjangku, Thea?"
Aku tertawa kecil. "Bukan kok. Aku punya insomnia, jadi aku memutuskan untuk menemanimu bekerja." Semerbak aroma yang menenangkan keluar dari cangkir yang aku sodorkan padanya. "Kopi?"
"Wah, terima kasih!" Wajahnya terlihat dingin, namun mata cokelatnya berbinar dengan menggemaskan. Ia langsung mengesap kopi yang aku buatkan untuknya, lantas terpukau pada rasanya. "Eh, kau meraciknya dengan sangat baik, Thea."
Aku terkekeh. "Benarkah?"
"Sepertinya aku akan merekrutmu menjadi barista di kedaiku nanti." Jaehee tertawa.
"Ah, benar juga. Kau akan resign setelah acara amal RFA." Aku mengesap kopi panasku. "Sepertinya Jumin akan kerepotan, apalagi ketika ada perjalanan bisnis seperti sekarang."
"Aku bisa membayangkan wajahnya yang bingung kemana harus menitipkan Elizabeth 3rd."
Kami tertawa bersama. Di sudut sofa, Elizabeth 3rd yang sudah terlelap mengeong sesaat dan menggaruk telinganya. Bulu-bulu halusnya berterbangan seperti butiran salju yang cantik.
"Tapi walau bagaimanapun, aku harus mengambil kembali hidupku. Meskipun berat meninggalkan tempat di mana aku menaruh loyalitas selama ini, aku harus tetap melangkah ke suatu tempat untuk melanjutkan hidupku." Jaehee tersenyum penuh arti, sosoknya yang telah menemukan impiannya terlihat begitu berkilauan.
Seteguk kopi kembali menjelajah lidahku, aku terdiam menikmati rasa pahitnya. Ucapan Jaehee membawa anganku berkeliaran. Dalam hati aku mengamini bahwa setiap orang yang terpaku terlalu dalam terhadap sesuatu berhak untuk pergi ke suatu tempat yang mungkin jauh lebih indah di banding harus terjebak dalam pusaran waktu yang sama terus menerus.
Helaan napas keluar dari mulutku, namun tidak cukup untuk membuat sesak di dadaku menghilang.
"Mungkin aku juga harus pergi ke suatu tempat–"
Suaraku menggantung di udara, dan pikiranku terus mengawang jauh.
.
.
.
Halo Halo, kalian! ^^)/
Yahooo… Terima kasih banyak sudah membaca fanfic Benang Merah .
Saran dan kritik yang membangun sangat diperbolehkan. Semoga untuk chapter selanjutnya pun kalian bisa terhibur yaa ^.^
Semoga tersampaikan dan dapat terkenang.
Sincerely, Cloudsoup.
