Hari ini hati Akutagawa dipenuhi kedamaian. Tak ada panggilan delving, tak ada pula tugas. Para sastrawan bisa menikmati rutinitas masing-masing dengan disinari langit cerah dari luar perpustakaan.
Akutagawa dan Saku disuguhi teh oleh Saisei. Mereka bertiga sedang duduk di tempat yang sering digunakan untuk diskusi. Semua berawal dari Akutagawa yang menyapa Saisei di lorong, kemudian mereka melihat dari kejauhan Saku terjatuh saat hendak mengambil buku di rak. Setelah menanyakan keadaannya dan memunguti buku yang tercecer, mereka menempati meja sembari mengobrol ringan.
"Nggak ada lagi yang kalian ingat?"
Tentu saja topik yang paling Akutagawa ingin bahas adalah ini. Energinya sudah kembali sejak kemarin dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulai.
"Hmm ... apa, ya?" Saisei bertopang dagu. "Kayaknya semuanya udah kita ceritain."
Saku memegang cangkir teh dengan kedua tangannya. Cangkir tersebut menyembunyikan mulutnya. "Yang kuingat cuma dulu kita pernah makan unagi bareng."
"Duh, kamu ngomong unagi jadi bikin aku laper, deh."
"Ayo, kita bikin!"
Insiden beberapa hari lalu terbayang kembali. Sebuah kompetisi masak di mana ia dan Saku membantu Shiga dalam melawan Dazai dan kawan-kawannya. Berbekal makanan kesukaan Saisei (labu), sebuah masakan yang seharusnya tidak pernah dimasak manusia tercipta di piring mereka.
Seketika wajah Saisei pucat. Kenangan ia pingsan masih tersisa di sekujur tubuhnya. "Eh ... lain kali saja, deh."
"Fufu ..."
"Ada apa, Ryuu-kun?"
"Aku bisa membayangkan Akutagawa di masa lalu yang mengalami hal serupa." Senyum Akutagawa mengembang diikuti oleh kekehan kecil. "Entah kenapa aku bisa merasakannya, meski sedikit."
"Oh, baguslah." Saisei ikut senang melihatnya. "Mungkin butuh proses untuk mendapat semua ingatanmu."
"Iya."
"Kita bakal bantuin kamu, kok. Tenang saja."
"Hmm."
"Sai ..." Saku yang tidak bersuara sejak tadi entah kenapa sekarang dipenuhi aura suram. "Apa aku nggak bakat masak?"
"Si-siapa yang bilang gitu?!" Saisei spontan menghentak meja. "Kalau ketemu orangnya, akan kulawan dia!"
Sebuah potongan informasi bagai kilat tiba-tiba memenuhi kepala Akutagawa.
"Kamu ... mau ngelawan orang sambil lempar-lempar kursi, Saisei?"
"Hah?" "Ryuu-kun?"
"Eh, aku ... aku juga bingung." Akutagawa menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Rasanya aku teringat sesuatu di masa lalu. Sesuatu tentang kamu dan kursi."
Saisei melirik Saku. Temannya itu sama terkejutnya dengan Saisei. Namun, dibalik keterkejutan itu, terdapat rasa malu yang sedikit demi sedikit membesar.
"I-itu ... emang pernah kejadian, sih." Dengan menahan malu, Saisei menyentuh bagian belakang lehernya. "Aku nggak nyangka dari banyak hal, yang berhasil kamu ingat malah itu."
"Seperti apa?" kejadiannya.
"Dulu pernah ada orang yang mengganggu Saku." Saisei masih hapal sosok orang yang bicara di saat Saku sedang membaca pidato di sebuah acara. "Lalu aku ... menyerangnya dengan kursi. Begitulah."
"Kalau nggak salah, beberapa hari kemudian Ryuu-kun mengirimi Sai surat tentang insiden itu," tambah Saku. "Keiai suru Muroo Saisei, isu o furimahase, isu o furi mahase. Kamu menyemangatinya."
"Wah, aku yang dulu benar-benar suka ngomporin, ya." Akutagawa tertawa lagi. "Aku jadi tahu sisi Akutagawa Ryuunosuke yang lain."
"Syukurlah—"
"Sensei!" teriakan seseorang mengalahkan suara Saisei. Yang berteriak adalah Oda. Ia sedang berlari menghampiri ketiganya. "Kanchoudairi memanggil kita semua. Kayaknya ada buku yang terkena noda."
.
.
.
Rust-colored Gear
Ch 2: The Holy Family Part 1
Disclaimer: Bungou to Alchemist belongs to DMM Games
Warning(s): high references from a certain book but with a twist, please love tabata gang, canon divergence starts now
.
.
.
Ternyata memang tiada hari tanpa delving. Padahal Akutagawa masih ingin mengobrol lebih banyak lagi tentang masa lalunya; ingatannya yang kembali meski hanya sedikit tadi meyakinkannya akan masa depan yang dekat jika ia terus membahasnya.
Namun, buku yang diserang harus disucikan. Itulah yang Akutagawa katakan pada Dazai dulu.
"Buku siapa?"
"Sei Kazoku ... buatan Hori Tatsuo. Iya, betul. Itu."
"Hori?" Saisei kebingungan. "Aku nggak kepikiran bukunya bakal diserang."
"Kamu kenal dia?" tanya Akutagawa. Respon Saisei terasa janggal.
"Hori-kun itu muridmu, Ryuu-kun," jawab Saku, menggantikan Saisei yang masih bingung. "Sei Kazoku adalah karya yang dia persembahkan untukmu."
"Untukku?"
Teriakan sang kucing terdengar. Oda segera berlari sembari berkata, "Ceritanya nanti saja, kita harus kumpul dulu!"
"Lama sekali, sih, Oda Sakunosuke?!"
"Maaf, maaf." Oda sedikit membungkuk dihadapan Neko. "Tadi aku jelasin buku dan penulis yang membuatnya dulu."
"Daripada itu ..." Akutagawa memotong pembicaraan mereka. "Bagaimana situasinya?"
Neko mengembalikan fokusnya pada buku yang melayang-layang di atas. Api hitam kecil berkobar-kobar di sana. "Proses penodaannya belum terlalu banyak, tapi keadaannya bisa jadi lebih buruk kalau kita tidak segera mensucikannya."
"Terus gimana? Mau kita semua langsung delving aja?" Dazai tidak mengenal Hori Tatsuo sama sekali. "Aku udah siap, kok."
Dazai maju ke depan. Tangannya terulur dengan niatan menyatukan diri dengan buku tersebut. Bagai disetrum, ia buru-buru menarik tangannya kembali.
"Seperti kasus sebelum-sebelumnya, tidak semua orang bisa masuk ke dalam buku seseorang." Neko menghadap tiga pendatang yang baru saja datang. "Yang lain sudah mencobanya dan semuanya tidak bisa. Hori Tatsuo pasti hanya mengizinkan orang yang ia kenal baik saja untuk masuk ke dalam bukunya."
"Dan kebetulan kita orang yang cukup dekat dengannya, ya?" Saisei menangkap inti pembicaraan. "Berarti ini waktunya kita bertiga pergi delving bersama, Saku, Akutagawa."
"Aku bakal ikut kalau Sai pergi."
"Karena dia ini dulunya muridku, aku ingin menyelamatkannya." Akutagawa mengulurkan tangannya seperti yang dilakukan Dazai tadi. "Selain itu, aku juga ingin mengetahui penulis seperti apa dirinya melewati Sei Kazoku ini."
"Jadi, sudah sepakat, ya." Neko bergeser agar Saisei dan Saku bisa segera mengikuti Akutagawa. "Akutagawa, Muroo, Hagiwara, sucikan buku itu dan selamatkan penulisnya!"
"Baik!"
Dari tangan yang terulur itu perlahan-lahan sebuah cahaya menyilaukan pandangan Akutagawa. Ia tak bisa mendengar suara orang-orang, yang ia tahu, kesadarannya semakin mengabur hingga ia benar-benar tidak sadarkan diri.
Semoga kami bisa menyelamatkanmu ... Hori Tatsuo.
"Kematian itu bagai permulaan sebuah musim yang baru."
Saat membuka mata, pemandangan yang menyambut Akutagawa adalah upacara pemakaman. Saisei tidak bersamanya; ia hanya berdua saja dengan Saku, berusaha memahami konteks situasi di sini sembari mempertanyakan keberadaan teman mereka.
"Kamu tahu bagaimana alur ceritanya?"
Dibanding menjawab, Saku justru menggumamkan nama sahabatnya. Wajahnya pucat, ia sangat panik. Prospek-prospek buruk yang bisa terjadi pada Saisei menguasai pikirannya. Ia tak mendengar sama sekali pertanyaan Akutagawa.
"Sakutarou-kun?" Usahanya mungkin sia-sia, tapi meski begitu, Akutagawa butuh bantuannya. "Aku belum membaca karyanya. Kurasa kalian yang mengenalnya paling tidak sudah tahu isinya."
"... apa kita bisa menemukan Sai?"
"Tentu saja." Akutagawa lega Saku masih mau menjawab walau lebih terlihat sebagai pertanyaan balik. "Selama kita tahu alur dan penulis yang perlu kita selamatkan, Saisei pasti bisa kita temukan."
Saku mengunci mulutnya. Ia sedikit meragukan ucapannya. Akutagawa menambahkan, "Dulu aku pernah terpisah dengan Dazai-kun di buku Sakaguchi-kun, tapi buktinya kami bisa pulang sama-sama, kok."
Perubahan dari putus asa menjadi secercah harapan membuat Akutagawa semakin lega. Saku akhirnya menjawab, "Ceritanya tentang seorang guru yang meninggalkan murid-muridnya. Pemeran utamanya Henri. Dia bertemu dengan Hosoki, seorang istri dari keluarga Hosoki, dan anaknya yang bernama Kinuko."
"Jadi, ini upacara pemakaman gurunya?"
"Iya." Saku mengangguk. "Aku sudah agak lupa keseluruhan ceritanya, tapi yang jelas, cerita ini fokus pada hubungan Henri dan keluarga Hosoki dengan gurunya—Kuki—yang menghubungkan mereka, yang nantinya berakhir dengan Henri pindah kota, meninggalkan dua Hosoki itu."
"Terima kasih." Akutagawa merasa cukup dengan informasi yang ada. "Ayo, kita harus mencari Henri dan memastikan alurnya sesuai."
Saisei terbangun di sebuah kamar. Tak ada yang aneh di sana, itu adalah kamar biasa yang tersusun rapih. Mentari menyinari kamar lewat jendela, namun cahayanya tak sampai pada beberapa setelan hitam yang dibiarkan bertumpuk di atas meja. Sebuah surat terlipat rapih menarik perhatian Saisei. Ia membacanya dan menyadari bahwa sepertinya ada upacara pemakaman yang perlu didatangi si pemilik kamar.
Kemungkinan besar ini adalah kamar Henri, Saisei pikir. Ia pernah membaca Sei Kazoku ini ketika Hori baru saja menerbitkannya. Saisei ingat karya ini dimaksudkan untuk Akutagawa dari Hori yang berduka atas kepergiannya.
"Berarti ini masih bagian awal, ya."
Suara pagar yang ditutup menandakan seseorang baru keluar. Saisei mengintip lewat jendela, dan orang berpakaian serba hitam itu ia duga sebagai Henri yang hendak mendatangi pemakaman Kuki, gurunya. Ia menaiki mobil.
Tanpa membuang waktu, Saisei segera berlari menuju luar. Ia harus mengikuti si protagonis untuk memastikan alur cerita yang sesuai. Terpisah dengan Akutagawa dan Saku sempat membuatnya khawatir, tapi keberhasilan menyelamatkan buku Hori merupakan prioritas utamanya.
"Jadi ... apa kamu punya bayangan seperti apa kira-kira Henri itu?"
Akutagawa dan Saku menyenderkan punggung mereka di salah satu sudut yang sedikit jauh dari kerumuman upacara pemakaman. Sepanjang acara dimulai, yang mereka temui hanya orang-orang serupa; berpakaian serba hitam dengan wajah sendu. Mereka sibuk mengobrol satu sama lain. Ada yang membicarakan kenangan saat si guru masih hidup, ada pula yang membahas apa yang perlu mereka lakukan setelah si guru sudah meninggal.
Singkatnya, Akutagawa tak bisa membedakan mana karakter penting di sini.
"Entahlah." Saku juga sama-sama tidak tahu. "Yang jelas, tempat ini akan jadi pertemuan si protagonis dengan Hosoki."
"Dan Hosoki itu wanita, ya." Akutagawa mengorek isi kantong kimono-nya. Tak menemukan apapun, ia menghela napas. "Di saat begini rokok malah nggak kebawa ..."
"Kamu mau ngerokok di tempat upacara pemakaman?"
"Aku udah nahan ngantuk dari tadi."
"Kita harus mulai gerak." Saku tak tahan harus menunggu lebih lama. Entah apa yang akan menimpa Saisei sekarang jika ia hanya berdiam diri dengan Akutagawa di sudut ruangan. "Kita harus menemukan Sa—"
Karena fokusnya teralih, Saku tak sengaja menabrak seseorang. Barang bawaan orang yang ia tabrak berjatuhan ke lantai. Saku panik dan dengan sigap Akutagawa langsung memunguti barang tersebut.
"Ma-maaf ..." ucap Saku terbata-bata.
"Silakan." Akutagawa menyerahkan tas genggam wanita pada orang tersebut. "Maafkan kami."
"Ah, tidak apa-apa." Wanita pemilik tas genggam itu menerima pemberian Akutagawa. Ia tersenyum. "Saya juga kurang fokus saat berjalan."
Parasnya yang cukup cantik seketika meleburkan pemandangan di sekitar. Perbedaannya dengan orang-orang berpakaian serba hitam di sini terlihat jelas. Rasanya tidak masuk akal membuat tokoh tidak penting dengan sosok seperti ini. Jadi, Akutagawa mau sedikit bertaruh.
"... Anda Hosoki-san?"
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Saya ... kenalan Kuki-sensei." Akutagawa menyikut Saku saat ia menyadari wajah Saku sedikit bingung. "Nama saya Yanagawa."
"Salam kenal, Yanagawa-san." Hosoki menunduk sebagai gestur hormat.
"Kepergian Kuki-sensei sangat disayangkan, ya." Akutagawa memasang senyum getir sembari menatap kerumunan di depan sana. "Padahal masih banyak yang ingin saya bicarakan dengannya."
"Saya juga."
"Anu." Keduanya beralih pada Saku yang baru saja menginterupsi. "Apa Anda tahu Henri-san?"
"Henri-kun?" ia memproses pertanyaan Saku perlahan-lahan sebelum menjawabnya kembali. "Aku lihat dia ada di luar. Mungkin sedikit lagi dia akan—Ah, itu dia."
Seorang pemuda bertubuh kecil memasuki ruangan dengan pakaian serupa. Mendengar seseorang yang seakan membahasnya, ia menengok. Matanya melihat tiga orang—satu wanita dua pria—sedang berdiri di sudut ruangan dengan tatapan mereka mengarah padanya.
"Hosoki-san." Ia menghampiri mereka. Sesampainya di sana, ia membungkuk hormat. "Selamat siang. Nama saya Henri."
"Nama saya Yanagawa dan ini teman saya ... Hagiwara."
(Saku berbisik ke Akutagawa soal kenapa Akutagawa memalsukan namanya sedangkan dirinya tetap menggunakan nama asli)
"Salam kenal, Yanagawa-san, Hagiwara-san."
"Mereka kenalan Kuki-sensei." Hosoki menjelaskan sebelum Henri bertanya. "Kami baru saja berkenalan tadi."
"Oh, begitu."
"Sudah lama kita nggak ketemu." Hosoki membuka topik baru pada Henri. "Terakhir ketemu di Karuizawa. Pas kamu umur 15 tahun, kamu masih mungil sekali. Sekarang kamu sudah cukup dewasa meski ..."
"Meski masih bertubuh kecil?" Henri menyambungkan kata-katanya. Meski kesannya ketus, sejujurnya ia hanya bergurau. "Semua orang yang kutemui di luar juga bilang begitu."
"Betul, betul. Kamu benar-benar kebalikannya dari Kuki-sensei, ya." Hosoki tersadar akan sesuatu. Ia melihat Akutagawa dan Saku sembari bertanya, "Saya mau menyalakan dupa dulu. Apa kalian mau ikut?"
"Kami sudah melakukannya tadi." Akutagawa menyuarakan jawaban. "Hosoki-san dan Henri-san bisa pergi ke sana. Maaf sudah terlalu lama menahan Anda sekalian."
"Tidak apa-apa." Henri tersenyum manis. "Entah mengapa saya nyaman bersama kalian. Rasanya bisa sedikit terhibur di tengah duka kematian Sensei."
Setelah berpisah dengan Hosoki dan Henri, mereka berdua bertemu dengan Saisei yang terjebak di luar lantaran pakaiannya yang tidak seperti ingin mendatangi acara pemakaman. Saku menangis haru kala Saisei ada di hadapannya dan baik-baik saja. Di sisi lain, Akutagawa larut dalam pikirannya sendiri.
"Bagaimana menurutmu, Akutagawa?" Saisei menghentikan lamunannya. "Saku bilang kalian interaksi dengan Henri dan Hosoki."
"Protagonis dalam buku ini, Henri, kemungkinan Hori Tatsuo."
"Eh?"
"Ini hanya kesimpulan yang diambil dari kejadian-kejadian sebelumnya." Akutagawa melipat kedua tangannya di depan dada. "Dazai-kun menjadi Melos, Sakaguchi-kun menjadi bandit tak bernama, dan aku sendiri pernah menjadi Yoshihide. Tak aneh jika Henri yang bicara dengan kita tadi adalah Hori Tatsuo."
(Entah mengapa saya nyaman bersama kalian)
Mungkinkah secara tidak sadar Hori menganggap ada hubungan spiritual antara dirinya dengan Akutagawa? Padahal Akutagawa sendiri masih belum memahami masa lalunya, lebih lagi sosok Hori yang begitu muda di luar bayangan Akutagawa.
Pertanyaan akan terus bertumpuk, jadi ia perlu menyicil jawabannya.
"Benar juga." Saisei sepemikiran. "Alurnya masih berjalan normal, ya."
"Iya." Akutagawa mengiyakan. "Kita harus terus memantaunya sampai di satu titik ceritanya mengalami perubahan."
"Siapa dari kita yang bisa menyengsarakan orang lebih banyak?"
Hari berganti. Alur cerita berjalan pada bagian Henri mendatangi rumah Hosoki. Di sana ia mulai mengenal anak Hosoki (Kinuko). Mereka membicarakan kumpulan foto milik Kuki yang dijual Henri ke sebuah toko buku lantaran ia membutuhkan uang. Tak ada yang aneh sampai Henri pulang ke rumah dan memimpikan sesuatu. Paginya, sebuah surat membuat Henri pergi kembali ke toko buku.
"Dia beli kumpulan foto itu lagi?" Akutagawa memantau dari jauh. "Padahal dia baru saja menjualnya."
"Soalnya di surat yang dia baca, Hosoki minta dia buat mendapatkan buku itu kembali." Saisei menawarkan sekotak rokok pada temannya. "Mau?"
"Sakutarou-kun bilang nantinya dia bakal liatin isinya ke keluarga Hosoki." Satu rokok linting Akutagawa ambil dari dalam kotak pemberian Saisei. Pemantik yang juga kepemilikan Saisei ia pakai untuk menyalakan rokok. "Dan bagian setelahnya bagian yang menentukan akhir ceritanya. Kita harus waspada."
Mereka mengikuti Henri dan bersembunyi di antara pepohonan saat pemuda itu sampai di kediaman Hosoki. Benar kata Saku, Henri menunjukan isi kumpulan foto tersebut. Saat baru membukanya, mereka membahas betapa kuatnya bau rokok yang sangat menjadi ciri khas Kuki. Pada bagian itu, Akutagawa terpikirkan sesuatu, tapi ia tidak tahu apa.
Di antara foto-foto yang ada, mereka berhenti di sebuah foto Bunda Maria yang kata Saku begitu mirip dengan Hosoki. Di sisi lain, Kinuko mulai paham mengapa Ibunya menganggap Henri bagaikan kebalikan dari Kuki dan mengapa Ibunya mencintai Kuki selayaknya Kuki mencintainya.
Seharusnya sedikit lagi Henri memutuskan untuk—
"Terima kasih sudah memperlihatkan kumpulan foto ini." Hosoki mengelus foto tersebut dengan penuh kelembutan. "Saya benar-benar bahagia bisa melihatnya lagi. Rasanya saya bisa menyongsong masa depan mulai hari ini."
"Be-benarkah?"
"Benar." Hosoki menatap anak perempuannya. Keduanya sama-sama tersenyum. "Sudah waktunya kita melepaskan diri dari masa lalu dan memulai lembaran baru. Bukankah lebih baik menyayangi masa depan ketimbang tersakiti lantaran masa lalu?"
"Kuki-san ... pasti juga berpikiran yang sama." Kinuko melanjutkan. "Ibu dan aku sudah bisa melepas kepergiannya. Aku harap Henri-san dapat melakukan hal yang sama, bersama kami."
"Gawat, ceritanya berubah." Saisei menyadari kejanggalan dari situasi di kediaman Hosoki. "Seharusnya Henri mulai bimbang dan menjauhi mereka."
"Apa yang harus kita lakukan, Ryuu-kun?"
Akutagawa memperhatikan raut wajah Henri. Bebannya seperti diangkat sebanyak mungkin hingga pundaknya ringan. Jika dibiarkan, bisa-bisa ia mengiyakan ajakan keluarga Hosoki dan tidak jadi pergi berjalan selama setahun demi memulihkan diri dari rasa lelah.
"Kita—"
"Bi-biarkan saya pikir terlebih dahulu!" suara yang sedikit meninggi dari Henri mengejutkan semua pendengarnya. "Sa-saya sangat senang mengetahui hal itu, tapi tolong biarkan saya memikirkannya sekali lagi. Semuanya terlalu tiba-tiba. Saya perlu mempersiapkan diri."
Normalnya dari tempat mereka mengintip akan sulit mempelajari Kinuko yang tertutup tubuh Ibunya, tapi di saat momentum Ibunya membungkuk ke depan untuk menutup buku, Akutagawa menangkap ekspresi kesal yang rasa-rasanya tidak terlihat bagai karakteristik dirinya.
"Ah, Henri pamit pulang." Saisei berbalik, bersiap-siap menunggu kemunculan Henri keluar dari rumah. "Kita harus mengikutinya."
"Mungkin daripada sembunyi-sembunyi, sebaiknya kita bertemu langsung dengan Henri." Akutagawa mengikuti Saisei, hanya saja pembedanya ia membiarkan sosoknya terlihat di pinggir jalan. "Kita yakinkan dia agar alurnya kembali seperti semula."
To Be Continued
Author's Note: Paling syahdu itu ngawalin cabang canon divergence dengan grup Tabata. Kalo yang belum tau, Akutagawa, Sai, Saku, Hori itu sama-sama penulis Tabata. Untuk ceritanya sendiri, Sei Kazoku (The Holy Family), itu pure baca-baca dari arasuji di wikipedia jp dan beberapa referensi analisis paper tentang Hori (iya, nyari yg fokus sei kazoku nggak nemu). Dua kutipan yang dibikin ada di tengah itu kutipan dari novelnya. Kebetulan juga karya yang ini dibuat setelah 3 tahun kematian Akutagawa dan di beberapa sumber bilang ditunjukan untuk Akutagawa. Pas banget buat mulai perjalanan Akutagawa nyari memorinya yang ilang berdasarkan karya yang dibuat setelah dia meninggal.
Kadang sedih juga sama animenya. Geng Tabata punya banyak potensi buat diperdalam soal Akutagawa (yah, bakal susah juga sih buat direalisasiin - mengingat fokus bunani itu dazai dan akutagawa, jadi mau gak mau karakter disekitarnya gak keeksplor banyak). Saya sendiri baca-baca soal mereka, meski sedikit, jadi ngerasa kalo masih banyak 'tentang Akutagawa' yang belum kelihatan. Kalo gak liat sendiri, bahkan kedekatan Sai Saku ke Akutagawa juga gak begitu nampak (kecuali dari surat Saku buat Akutagawa dan memoria card collab sama museum Tabata).
Yah, segitu dulu. Saya bersyukur bisa upload ch 2. Masih awal biasanya masih semangat, tapi kita nggak tahu ke depannya gimana. Semoga bisa nulis ch 3 dan ngelanjutin. Saya udah bayangin banyak hal, tinggal nulisnya aja yang belum. Makasih udah baca.
(Sedikit mengingatkan, gak semua adegan/percakapan cerita Sei Kazoku di sini pure dari novelnya. Seperti yang saya bilang, saya ambil referensi dari arasuji yang kurang lebih 6-7 paragraf tentang keseluruhan cerita. Jadi kalo mau memahami seluruh konteksnya, silakan baca novelnya langsung)
