Chapter 2. Menguji Teori
Dengan susah payah, Solar dengan bantuan Thorn mengangkat tubuh Ice yang terlihat seperti tidak bernyawa lagi itu ke atas sebuah meja operasi yang sebesar ranjang dan berbahan logam.
"Yeeet!" pekik Thorn ceria ketika ia melemparkan kedua kaki Ice ke atas meja operasi Solar.
Dibawah pengaruh obat bius Solar, Ice tidak menunjukkan reaksi sedikit pun. Si penguasa elemen es itu tetap terlelap dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Hanya suara dengkuran lembut seperti seekor kucing yang menandakan Ice masih bernyawa.
Setelah Ice diamankan di atas meja operasi, Solar dan Thorn masing-masing langsung mengenakan jubah laboratorium panjang berwarna putih. Tidak lupa mereka mengenakan masker yang juga berwarna putih untuk mencegah kontaminasi pada obyek eksperimen mereka.
"Mau kita apakan Ice ini?" tanya Thorn seusainya ia memakai masker di wajahnya.
"Pertama kita teliti dulu tangan esnya." Solar mengamati tangan kanan Ice . Tangan si penguasa elemen es itu dibentangkan selebar mungkin oleh Solar untuk diteliti.
Dengan sebuah lensa cembung pembesar, Solar mengamati permukaan tangan Ice yang terbuat dari es itu. "Permukaannya betul-betul seperti es, ngga ada rambut halus atau apapun yang tumbuh ...," gumam Solar sebelum mengamati tangan Ice lebih teliti lagi. "Ngga ada pembuluh darah didalammya."
Thorn mencatat apa yang dikatakan Solar pada sebuah kertas yang beralaskan papan kecil.
Solar mengetuk-ngetuk permukaan tangan Ice dengan menggunakan ujung jarinya. "Padat ...," gumam Solar sebelum ia menarik napas panjang. "Baiklah, saatnya kita bekerja Thorn."
"Eh?" Thorn memiringkan kepalanya. Kedua netra hijau tuanya yang membulat menatap pada Solar yang membuka lemari yang terletak di bawah meja operasinya.
Thorn meneguk ludahnya ketika ia melihat apa yang dipegang oleh si penguasa elemen cahaya itu.
-FWOOOOSSHHH!-
Sebuah blowtorch yang menyemburkan lidah api merah kebiruan berada dalam genggaman tangan Solar. Dengan hati-hati Solar mendekatkan lidah api dari blowtorch itu pada tangan kanan Ice.
"Wow," gumam Solar selagi ia memperhatikan efek lidah api itu pada tangan Ice.
Tidak ada kerusakan apa pun pada tangan Ice yang terbuat dari es itu. Kalaupun ada esnya yang meleleh pun dalam sekejap mata langsung membeku kembali.
"Hebat juga tangannya." Solar terkagum-kagum dengan ciri fisik Ice yang membuatnya paling berbeda dengan pecahan elemental-elemental yang lainnya termasuk diri Solar sendiri.
"Sekarang apa lagi, Sol?" tanya Thorn masih dengan ekspresi wajah (UwU) khasnya.
"S, O, L, A, R. Solar," desis Solar yang tidak suka namanya disingkat-singkat secara semena-mena. "Sekarang kita coba apakah tangan Ice tahan benturan."
Solar menyimpan kembali blowtorch miliknya di dalam lemari bawah meja operasinya. Sebagai gantinya, Solar mengeluarkan sebuah palu yang berukuran dua kali lipat kepalan tangannya.
-Ktung! Ktang!-
Berkali-kali palu yang dipegang Solar dipukulkan pada tangan Ice.
Bahkan Thorn yang menyaksikan metode ilmiah Solar itu meringis-ringis setiap kali palu di tangan Solar mendarat pada tangan atau lengan Ice.
-KTUNG! KTANG!"
Bunyi hantaman yang terdengar semakin mengeras seiring dengan semakin keras Solar menghantamkan palunya pada lengan Ice.
-KRAAK-
Terdengarlah bunyi sesuatu yang pecah.
Awalnya Thorn mengira bunyi itu adalah gagang palu Solar yang retak. Namun setelah pengamatan lebih detail, Thorn bisa melihat keretakan pada tangan esnya Ice.
Kembali Solar mengganti alat operasinya. Yang dikeluarkan Solar kali ini benar-benar membuat Thorn meneguk ludah.
-WREEEENGGG!-
Begitulah bunyi raungan sebuah gergaji mesin kecil yang kini berada dalam genggaman tangan Solar. Bahkan Thorn heran darimana Solar mendapatkan barang itu dan bagaimana si penguasa elemen cahaya itu menyimpan gergaji mesin tanpa diketahui pecahan elemental yang lain.
"Hey, Solar! Kamu mau membunuh Ice ya?" Bahkan Thorn secara sukarela mundur dan menjauh dari si ilmuwan dadakan itu.
Solar terkekeh melihat Thorn yang mulai terlihat ketakutan. "Jangan khawatir, Thorn. Aku cuma bercanda," ucap Solar seraya menyimpan kembali gergaji mesin miliknya di bawah meja operasinya.
Thorn langsung menghela napas lega. "Fiuhh ... kamu membuatku takut, Solar," keluh si penguasa elemen tanaman itu sembari menyeka keringat dinginnya yang sempat menitik di dahinya.
"Aku cuma mau bereksperimen dengan Ice kok, bukan membunuhnya," ujar Solar seraya menggelengkan kepalanya. "Lagipula ... lihat ...," ucapnya lagi seraya menunjuk pada tangan Ice.
"Woaaahhh." Thorn tercengang melihat hasil karya Solar pada si penguasa elemental es itu. "Ngga ada darah sama sekali."
"Iya," ujar Solar dengan dada yang terbusung bangga. "Siapa dulu dong dokternya?"
Thorn tertawa terbahak-bahal melihat Solar yang bertolak pinggang seakan ia adalah mahluk terkeren sejagad raya. "Solar gitu lho!" sahut Thorn seraya menepuk-nepuk pundal Solar. Sebagai asisten, walau dadakan, pantaslah Thorn ikutan berbangga diri.
"Sedang apa kalian?"
"Kami sedang eksperimen," jawab Thorn tanpa menengok ke arah suara yang bertanya
"Ya, aku lagi coba memutuskan tangan Ice ini," jawab Solar dengan entengnya.
"Oooh ... kalian mau memutuskan tangan Ice?"
"Iya, Gem ... eh?" Perlahan-lahan Solar memutar tubuhnya untuk melihat orang yang menegurnya dan Thorn. Kedua netra perak Solar bertatapan langsung dengan sepasang netra cokelat madu.
"Alamak. Gempa?!" cicit Thorn yang merasakan nyalinya mendadak ciut.
Begitupun Solar yang bercucuran keringat dingin. "Tu-tunggu, aku bi-bisa jelaskan!" ujar Solar dengan terbata-bata sembari mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Bahkan ia mulai melangkah mundur menjauh dari Gempa.
Gempa yang berdiri berhadapan dengan Solar dan Thorn langsung bertolak pinggang. Ditatapnya Ice yang masih tertidur lelap dan mendengkur lembut. "Kalian ini ..." Gempa menggeram sembari mengalihkan tatapannya kembali pada Solar dan Thorn. Jangan lupa aura gelap setan yang menguar di belakang Gempa seiring dengan tatapannya yang semakin tajam.
Gempa yang menggeram sudah cukup untuk menciutkan keberanian menjawab Solar dan Thorn yang sudah semakin menipis. Bahkan kedua mahluk elemental itu hanya bisa komat-kamit saja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun dari mulutnya yang membuka-tutup.
"Sini kalian!" pekik sang penguasa elemental tanah itu seraya mengulurkan kedua tangannya yang sudah terbungkus sarung tangan batu legendarisnya.
"HUAAAA! AMPUN GEM!" jerit Thorn sejadi-jadinya ketika jari-jemari Gempa yang terbungkus sarung tangan batu itu menjepit daun telinganya.
"AMPUN! KAMI NGGA ULANGI LAGI!" Begitu pula dengan Solar yang meringis-ringis sembari menjerit.
"Ayo sini!" ketus Gempa seraya menyeret kedua pecahan elemen yang melakukkan eksperimen sembarangan itu keluar dari kamar mereka.
Tidak berapa lama berselang, masuklah Blaze ke kamar milik Solar dan Thorn. Ia baru saja menyelesaikan tugas mengusir alien asing bersama Taufan dan Halilintar. Dari raut wajahnya yang berseri-seri dan ceria bisa disimpulkan bahwa tugasnya itu telah sukses dilakukkan.
"Nah tidur disini rupanya kamu Ice," ujar Blaze yang menemukan si penguasa elemental es itu tertidur lelap di dalam kamar milik Solar dan Thorn. "Tumben amat dia tidur di kamar lain," gumam Blaze ketika ia mendekati Ice yang mulai bergerak-gerak.
"Uh ..." Suara lembut Ice mengalun keluar dari mulutnya yang sedikit membuka. Perlahan-lahan kedua kelopak mata Ice membuka sebelum mengedip-ngedip beberapa kali. Pandangan netra biru terangnya masih berbayang dan mengabur, namun ia bisa mengenali sosok berpakaian armless hitam berpadu merah yang berjalan mendekatinya.
"Blaze?" gumam Ice dengan suaranya yang lembut. "Kamu ... datang menyelamatkan aku?"
Blaze yang mendengar pertanyaan Ice itu terlihat bingung. Si penguasa elemental api itu menggaruk-garuk kepalanya sementara dahinya mengerenyit. "Kamu ngomong apa sih Ice?" tanya Blaze sembari meletakkan telapak tangannya di atas kening Ice. "Ngga demam? Tumben kamu mengigau?"
"Solar ... Thorn ... mereka-"
"Nanti saja, ayo kembali ke kamar kita. Ada yang harus kuceritakan waktu aku, Halilintar, dan Taufan bertarung melawan alien asing tadi," ujar Blaze yang antusias dan sangat bersemangat. Dia langsung mengamit tangan kanan Ice untuk menarik pemiliknya berdiri.
"Eh? Kamu ringan sekali? Kamu dikasih resep obat diet dari Solar ..." Ada yang tidak beres karena Blaze merasakan Ice jauh lebih ringan daripada biasanya. Oleh karena itu Blaze menengok ke belakang.
Memang Blaze masih memegangi tangan Ice, masalahnya pemilik tangan itu tidak ikut tertarik beserta tangannya. Dengan kata lain, Blaze memegang tangan Ice yang sudah terputus dan terpisah dari tubuhnya.
Butuh waktu bagi otak Blaze untuk mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Tangan Ice yang terputus berada dalam genggaman tangannya. Apa yang ia teorikan tadi pagi kini terjadi di depan matanya.
Perlahan-lahan warna wajah Blaze berubah menjadi pucat dan bibirnya menjadi gemetaran.
"WUAAAAAARRGGHHH!" Menjeritlah Blaze sejadi-jadinya sebelum netra merah terangnya bertukar menjadi putih total. Seiring dengan berubahnya warna mata Blaze, menyurut pula kesadarannya. Akhirnya si penguasa elemental api itu tumbang, jatuh ke atas lantai dan terkapar pingsan.
.
Setengah jam kemudian ...
.
"Hu hu hu hu ... hiks ... hiks ... hueeee." Dengan berlinang air mata ditengah isak tangisnya, Blaze memegangi sebuah gelas besar berisikan air. Di dalam gelas itu terdapat juga powerband milik Ice. Tangan Ice yang terputus itu dicoba untuk diselamatkan oleh Blaze dengan cara ditaruh didalam gelas, namun tangan es yang sudah terpisah dari pemiliknya itu segera mencair. Tinggalah powerband milik Ice berada di dalam gelas yang berisikan air hasil lelehan dari tangan esnya.
"Lho? Tanganku yang putus kok malah kamu yang nangis, Blaze?" tanya Ice. Ekspresi wajah penguasa elemental es itu tidak menunjukkan rasa sakit sama sekali, bahkan hanya datar-datar saja.
"Aku kasihan denganmu ... hiks ... hiks ... hueeee." Lanjutlah Blaze menangis tersedu-sedu.
Ice menghela napas panjang melihat penguasa elemen api itu menangis. Spontan saja Ice menepuk-nepuk tengkuk Blaze selembut mungkin dengan menggunakan tangan kiri yang masih tersisa. "Cup, cup, cup. Ngga apa-apa kok Blaze ... ngga sakit."
Pintu kamar milik Blaze dan Ice mendadak dibuka. Di balik daun pintu kamar itu berdirilah Gempa dan dibelakang Gempa mengekor Solar dan Thorn. "Siapa yang berteriak tadi?" tanya Gempa selagi melangkah masuk ke dalam kamar milik Blaze dan Ice.
Solar dan Thorn mengikuti Gempa masuk ke dalam kamar. Keduanya nampak meringis-ringis sembari memegangi daun telinga mereka yang merah hampir menyala terang. Bagaimana tidak? jeweran telinga Gempa memang legendaris, apalagi efeknya di dobel dengan sarung tangan batunya yang keras dan tidak mengenal ampun.
Gempa mematung ketika ia melihat Ice tanpa lengan kanannya. Kedua bibir sang penguasa elemen tanah itu berkedut gemetar ketika ia mencoba menemukan kata-kata untuk diucapkan setelah melihat hasil karya Solar dan Thorn.
"Ice bin Amato! Apa yang terjadi dengan tanganmu?!" tanya Gempa setengah berteriak
"Lho ... Ice masih ada disini? Padahal tangan powerband-nya putus!" ujar Solar, yang tentu saja mengundang tatapan maut dari Gempa dan Blaze.
"Hoi!" ketus Blaze seraya netra merah terangnya menyipit dan menatap kepada Solar. "Kau mau Ice mati ya?"
Tentu saja keributan yang terjadi di kamar itu menarik perhatian elemental-elemental yang lainnya. Kurang dari lima detik berselang dan datanglah Halilintar bersama Taufan ke dalam kamar milik Blaze dan Ice.
Halilintar yang berwajah cemberut dan masam langsung membuka suara. "Ada apa ribut-ribut begi-" Kata-kata si penguasa elemen listrik itu terhenti ketika kedua matanya melihat Ice yang lengan kanannya sudah patah.
"ICE?!" pekik Halilintar dengan kedua netra merah rubinya yang mendelik. "Si-siapa yang berbuat ini? Katakan! Kubuat mereka menyesal!" Dari tangan Halilintar berloncatan kilatan-kilatan listrik berwarna kemerahan yang dibarengi suara mendenging.
"Tuu ..." Blaze langsung menunjuk kepada Solar dan Thorn ...
Yang langsung pucat pasi ketika Halilintar mengeluarkan kedua pedang berwarna merah andalannya. "Aku yakin ini bukan ide Thorn ...," geram Halilintar sambil berjalan mendekati Solar. "Kau mau membunuh Ice ya? Tuan Populer?" tanya Halilintar seraya mendekatkan bilah pedangnya pada leher Solar.
"Ish bukan!" sahut Solar sebelum dirinya terkena sengatan listrik dari pedang milik Halilintar. "Aku cuma mau tahu apakah Ice akan hilang atau tidak kalau tangan esnya itu patah!"
"Apa ngga ada cara lain?!" ketus Taufan yang langsung sewot setelah mendengar penjelasan Solar. "Kalau Ice betulan hilang bagaimana? Mau cari gantinya dimana?"
Thorn langsung menjawab, "BaGoGo?"
Tak ayal usulan asal-asalan Thorn itu membuat dirinya dihadiahi lirikan maut dari semua pecahan elemen-elemen yang lain.
"Tenang-tenang semuanya. Eksperimenku ini penting," ucap Solar yang berusaha menenangkan Halilintar, Gempa, dan Taufan sebelum ketiganya mengamuk. "Aku sudah tahu kenapa Ice masih tetap ada disini."
"Jelaskan, kalau begitu," desis Gempa, masih dengan raut wajah yang sangat tidak senang.
"Sama seperti Tok Kasa dan Retak'ka, sebetulnya ... Tanpa powerband pun, kita masih ada sisa residu kuasa elemental kita masing-masing." Solar menjelaskan kesimpulan dari hasil eksperimennya bersama Thorn. "Aku belum tahu apa efek jangka panjangnya jika powerband itu terlepas, apalagi kalau BoBoiBoy memanggil kita semua untuk bersatu kembali. Tapi yang jelas, tidak ada efek buruk jangka pendeknya."
"Oke, itu bagus," ketus Blaze yang masih sewot dengan hasil karya Solar. "Lalu bagaimana dengan tangan Ice?" ucap si penguasa elemen api itu seraya menunjuk kepada Ice.
Perhatian Solar kembali tertuju kepada Ice. "Hmmm ...," gumam penguasa elemental cahaya itu sembari mengelus-elus dagunya. "Regenerasi? Mungkin? Coba kamu fokuskan pikiranmu untuk menumbuhkan tanganmu lagi, Ice."
"Ah, oke. Aku coba." Ice mengulurkan lengan kanannya yang patah. Dengan konsentrasi penuh ia membayangkan dalam benaknya kalau tangan kanannya itu tumbuh kembali.
Sementara itu keenam pecahan elemental yang lain memperhatikan dengan seksama. Ada yang menatap tanpa berkedip seperti Gempa. Ada juga yang terlihat khawatir seperti Blaze dan Taufan. Ada yang memperhatikan sembari mendekati seperti Halilintar. Namun ada juga yang datar saja, malah tersenyum-senyum seperti Thorn.
Hampir satu menit berlalu namun tidak terjadi apa-apa.
"Uh ... Ice?" panggil Gempa yang terlihat khawatir.
"Aku ngga bisa konsentrasi," ucap Ice.
"Hah? Kenapa?"
"Aku ... gugup ditonton kalian semua."
"Alamak!" Serempak Gempa, Halilintar, Taufan, Blaze, dan Solar jatuh terjengkang ke belakang setelah mendengar penjelasan Ice. "Sempat-sempatnya gugup ..."
"Coba lagi Ice!" pekik Thorn dengan antusias, seperti seorang bocah yang dijanjikan pergi ke toko cokelat atau toko permen.
Ice menarik napas panjang. Wajahnya kini terlihat lebih serius daripada sebelumnya. "Ayo ... tumbuhlah...," geram Ice seraya menatap lengan esnya yang dipatahkan Solar.
Dari sekeliling lengan Ice terlihatlah kepingan-kepingan kristal es yang tertarik dari udara di sekitarnya. Kepingan kristal es itu saling bertumpuk, mengikat dan menjalin sebuah tangan baru pada lengan kanan Ice.
Sampai akhirnya terbentuklah tangan baru yang tak bercela pada lengan Ice yang patah. Tanpa membuang waktu, Ice langsung memasangkan powerband miliknya pada pergelangan tangan kanannya.
"Waaah. Terbaik lah Ice!" pekik Thorn dengan wajah berseri-seri dan bola mata yang berbinar-binar. Si penguasa elemen tanaman itu langsung mencoba mengetuk-ketuk tangan Ice yang baru saja terbentuk. "Sama kerasnya dengan yang lama."
Pecahan elemen-elemen yang lainnya langsung bernapas lega setelah tangan Ice kembali normal. Bahkan Halilintar sekali pun terlihat jauh lebih tenang.
-Plakk!-
Taufan mengibaskan tangannya pada kepala Solar. "Lain kali jangan eksperimen yang aneh-aneh."
"Aduuuh ..." Solar mendesah lirih seraya mengusap-usap bagian kepalanya yang dikeplak Taufan. Beruntung Taufan hanya menggunakan tangan saja, bukan dengan hoverboard-nya. "Tapi eksperimenku ada hasilnya. Sekarang kita tahu kalau melepas powerband dalam jangka waktu pendek itu aman."
"Ish kau ini Solar." Blaze mendengus kesal. "Rupanya semua ini idemu? Kalau Ice mati bagaimana?"
"Alaaah, santai saja Blaze. Toh dia, aku, kita semua, bakalan hidup lagi. Selama BoBoiBoy hidup, kita ngga akan mati," jawab Solar dengan entengnya.
Blaze membuka mulutnya dan hendak menimpali kata-kata Solar. Namun si penguasa elemen api itu tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mendebat Solar.
"Huh ...," ketus Blaze sembari berbalik badan dan melangkah keluar dari kamarnya. "Mentang-mentang mereka semua pernah mati diserap Retak'ka ..." Blaze lanjut menggerutu dengan bibir monyongnya.
Sementara itu di kamar ...
"Taufaaaan," panggil Thorn dengan melagu, lengkap dengan kedua netra hijau yang nyaris membulat sempurna dan alis mata yang melengkung ke atas. "Habis ini pinjam hoverboard-mu yaaaa. Aku dan Solar mau eksperimen lagi."
"Ngga boleh!" Taufan langsung menjauhkan hoverboard miliknya dari tangan Thorn yang menggapai-gapai. "Nanti rusak!"
Thorn dan Solar saling berpandangan. Keduanya seakan bercakap bahasa verbal yang tak terucap sebelum Solar menganggukkan kepalanya.
Thorn pun langsung mengibaskan tangannya. "Akar-akar menjalar!" teriak Thorn selagi dia merapal jurus andalannya.
"Hoeeee! Jangan Thooorn!" jerit Taufan ketika hoverboardnya dililit akar menjalar Thorn dan direbut paksa. "Kembalikan hoverboard-kuu!"
.
.
.
Tamat
Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang.
Sampai jumpa lagi.
"Unleash your imagination"
