Es buah itu rasanya lezat sekali. Manisnya pas, juga tak terlalu dingin. Ice menikmatinya dengan pikiran separuh melayang-layang seperti biasanya. Memang dia selalu merasa mengantuk dan ogah melakukan apa pun kalau tidak terpaksa. Di tengah-tengah rasa nikmat itu, sebuah percakapan mengusiknya.

"Kak Duri, temani Solar ke sana, yuk!"

"Eh?"

"Ke tempat kembang api dinyalakan."

"Ayo, lah!"

Kedua adik kembarnya, Duri dan Solar, beranjak dari kursi. Mengingat watak Solar yang selalu ingin tahu dan Duri yang penurut tapi terlalu polos, Ice otomatis mengatakan hal yang logis,

"Izin dulu sama Tok Aba atau Kak Gempa ..."

Dari tempatnya duduk Ice bisa melihat di mana Tok Aba dan kakaknya, Gempa. Ice mengerjap pelan. Kenapa mereka jaraknya sejauh itu dari sini?

Solar sudah bicara lagi, matanya berbinar dengan keingintahuan, "Sebentar saja kok, Kak Ice. Sebelum mereka tahu, kita sudah akan kembali. Atau Kak Ice mau ikut?"

Hah? Buat apa ikut? Buang masa dan tenaga, tak perlu juga rasanya. Ice menggeleng perlahan. "Aku nonton saja dari sini."

Tapi ternyata Duri dan Solar tidak hanya pergi sebentar.

.

.

.

.

.


.

.

.

BoBoiBoy (c) Animonsta Studios

Bridge over Troubled Water (c) Roux Marlet

-Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun dari cerita ini-

Alternate Universe, Elemental Siblings without super powers

Family, Drama, Suspense

.

.

.


.

.

.

.

.

Chapter 2: Face it Calmly

.

.

.

.

.

BRANG BRENG BRANG BRENG!

"SAHUUUR! SAHUUUUUR!"

Suara cempreng familier bagai alarm itu langsung membuat Ice membuka mata. Benar, bukan suara pancinya yang lebih berisik yang memanggilnya dari alam mimpi. Sebetulnya tak perlulah Blaze menggunakan alat masak itu untuk menambah kebisingan, yang ada nanti dia bakal dijewer Kak Gempa yang mesti khawatir pancinya jebol.

"Ayo Ice, ini hari pertama puasa!" seru Blaze yang sepertinya sudah bangun dari tadi. Ice menguap sambil mengucek mata dengan gerakan lambat, posisi masih berbaring di kasur. "Ayo, ayo!"

"Sabar Kak Blaze," keluh Ice sambil memiringkan badan ke sebelah kanan, lalu dengan lengannya mendorong diri untuk bangun. Beberapa minggu belakangan ini dia kesulitan bangun dari posisi telentang—perutnya tambah gendut, kelihatan lipatannya saat dia mandi atau ganti baju. Salahkan Kak Halilintar dan Kak Gempa yang di masa pandemi ini tak hentinya bereksperimen kudapan-kudapan manis dari resep di internet. Tak ada susu keliling, kudapan rumahan pun jadi.

"Sudah bangun?" Sebuah suara mampir di ambang pintu kamar.

"Hei Solar!" sapa Blaze dengan riang. "Duri sudah bangun?"

Adik bungsu mereka mengangguk sambil membetulkan letak kacamatanya. "Barusan berhasil kubangunkan. Ya sudah kalau Kak Ice juga sudah bangun. Aku ke bawah, ya."

"Solar kok sudah rapi saja?" gumam Ice, menyeret kakinya untuk turun dari tempat tidur. "Tadi kau bangunkan dia kah, Kak Blaze?"

"Nggak. Waktu aku turun ambil panci, lampu kamar mereka sudah terang. Belajar semalaman, kali?"

"Hmmm," sahut Ice, masih berjuang melawan kantuk. Bertambahnya berat badan membuatnya harus berusaha ekstra untuk menangkis godaan kembali ke balik selimut, apalagi hawa subuh itu cukup dingin. "Ngapain Solar belajar semalaman?"

Blaze yang sedang menyisir rambut menoleh tak percaya. "Lha, Ice gimana sih! Besok kamu, Solar, dan Duri 'kan ada ujian fisika?!"

Kalimat itu membuat mata Ice terbuka lebar.

"Alamaaaak, baru ingat."

.

.

.

.

.

Selepas makan sahur dan salat Subuh, ketujuh bersaudara berkumpul di meja makan bersama Tok Aba.

"Nah, jadwal hari ini apa saja?" Tok Aba membuka percakapan.

"Belajar," ujar Solar dan Duri bersamaan, yang satu dengan nada tegang dan yang lain dengan cicit ketakutan.

Taufan tertawa. "Kalian kenapa?"

Solar menatap sang kakak nomor dua, tajam menusuk. "Kak Taufan nggak tahu. Ini ujian fisika terberat sepanjang masa."

Ice menelan ludah, sadar bahwa Blaze meliriknya dan Duri menatapnya penuh permohonan.

"Oh, iya ya," balas Taufan masih dengan nada santai. "Sori, kupikir kamu mau belajar bersihin ayam kayak kemarin."

"Besok saja ya," pungkas Solar tegas. "Kalau aku bisa mengerjakan dengan baik, sorenya aku mau ke dapur."

"Pasti bisa, Solar," ujar Gempa menenangkan. Jarang-jarang dilihatnya adiknya yang supercerdas itu cemas menghadapi ujian.

"Kak Gempa nggak tahu," cicit Duri dengan suara kecil. "Belum ada satu pun di kelas yang dapat nilai di atas enam puluh untuk bab termodinamika."

Wajah Solar memerah. "Aku dapat lima puluh sembilan waktu itu. Sulit."

Taufan melirik Halilintar, seolah tak percaya Solar pernah dapat nilai ujian seburuk itu. Tapi mestinya nilai-nilainya yang lain—yang kebanyakan sempurna—berhasil mendongkrak rata-rata nilainya sehingga Solar tetap dapat juara kelas.

"Fang dapat berapa?" celetuk Blaze usil.

"Empat-lima," balas Solar. "Nilaiku tertinggi sekelas, tapi ya hanya segitu saja."

"Jangan tanya Duri dapat berapa," timpal si pemilik nama sambil memelas menatap Tok Aba. "Maaf ya Tok?"

Sang kakek mengangguk dengan maklum. Tentu saja Duri sudah bilang kepadanya pada hari ujian.

Gempa merasa ini berita baru. Pantas saja Solar tampak selalu tegang beberapa hari terakhir. Dia bertanya, "Kalau sesulit itu, Ice dapat berapa?"

"Lima-delapan," sahut yang ditanya dengan nada tenang. "Memang sulit."

"Dan porsinya termodinamika dalam ujian ini hampir lima puluh persennya!" seru Solar agak gusar.

"Makanya kau sampai tidak tidur semalam?" tuding Halilintar blak-blakan.

Solar hanya merengut. Padahal sudah dibedakinya kelopak matanya yang berkantung, ternyata tetap kelihatan bekasnya begadang? Tapi mana mau dia ketinggalan sahur di hari pertama puasa? Solar merasa kalau dia berangkat tidur tadi malam dia bakal susah bangun.

"Nah, nah, kalau memang susah, bagaimana kalau kalian bertiga belajar sama-sama saja?" usul Tok Aba. "Siapa tahu yang sulit nanti mendapatkan jawaban."

Tujuh saudara saling bertukar pandang. Sepertinya akan ada yang tidak setuju …

"Aku bisa sendiri," ujar Solar percaya diri sambil menatap Ice. "Tapi kalau mau belajar bareng, aku minta di kamarku. Karena Kak Duri sekamar denganku. Kak Ice yang ke tempat kami."

"Ish, tak sopan dengan kakak sendiri!" cetus Blaze. "Kau dan Duri yang harusnya bertamu ke kamarku dan Ice!"

"Aku nggak apa-apa, Kak. Aku yang ke kamar mereka saja," Ice melerai. "Tapi aku perlu Kak Blaze di dalam kamar."

Duri bersorak gembira sedangkan Solar mengerang.

"Nanti kamarku jadi berisik!" pekik Solar tak rela.

"Yeay! Ada Kak Blaze!" balas Duri yang tampak senang.

"Buat apa Blaze ikut?" tanya Gempa lugas. Dia tak paham hubungan antara kehadiran Blaze dengan belajar fisika, toh yang bersangkutan jurusan ilmu sosial.

"Aku ini penjaga biar Ice tidak ketiduran waktu belajar!" Blaze menjawab sambil membusungkan dada sementara Ice hanya mengulum senyum.

"Kami bisa bangunkan Kak Ice kalau dia sampai tertidur," kilah Solar.

"Tak semudah itu, Solar," balas Blaze sambil menggoyangkan jari telunjuk. "Aku paham rahasianya. Kalian perlu aku."

"Kalau begitu di kamar kalian saja," ujar Solar berubah pikiran. "Aku tak mau kamarku diacak-acak Kak Blaze."

Si anak nomor empat menggembungkan pipi karena kesal. Dikira dia ini pengacau—eh, pada beberapa kasus ada benarnya juga sih.

"Setuju," sahut Ice.

"Setuju!" seru Duri sambil melempar tangannya ke udara.

"Hehehe, terbaik," komentar Gempa, lega melihat ada solusi.

"Yang lain jadwalnya apa?" Tok Aba kembali ke topik, geli juga mengamati tingkah cucu-cucunya yang tengah dan yang terkecil, beralih kepada tiga cucunya yang paling besar.

"Aku dan Gempa giliran jaga kedai Atok," sahut Halilintar.

"Aku giliran cuci baju," jawab Taufan sambil meringis. "Tapi 'kan bisa cepat selesai. Lalu nanti aku mau lihat adik-adikku belajar juga!"

"Eh? Kak Taufan jangan ikut-ikut, deh!" pekik Solar tak terima. "Sudah cukup ada Kak Blaze dan Kak Duri dalam satu ruangan!"

Taufan mengelus dada. "Aw, jahatnya ..."

"Taufan ikut aku saja jaga kedai," Halilintar memberi jalan tengah. Adiknya yang periang itu berpotensi mengacaukan sesi belajar serius kalau sudah bertemu Blaze dan Duri. "Gempa yang cuci baju. Kalian tukar jadwal."

"Ide bagus," sambar Solar secepat kilat.

"Lha besok bukannya aku jaga sama Duri ya," Taufan mengernyit, tak langsung setuju.

"Nanti kita atur ulang jadwalnya," potong Halilintar. "Gem, lain kali jangan biarkan dua troublemaker jadi satu jadwal. Lagipula Duri ujian, jadi besok dia pasti tukar."

"Gampang lah, Kak. Aku jaga dua hari berturut-turut juga nggak masalah," ujar Gempa lapang dada.

"Jangan Kak Gem, dua hari lagi giliranku dan Ice," tangkis Blaze. "Aku dua hari juga nggak apa-apa."

"Hari ini aku dan Taufan, besok Gempa dan Blaze. Besoknya Ice dan Blaze. Bagaimana?" Halilintar menutup diskusi.

"Boleh."

"Setuju."

"Terbaik," sahut Tok Aba. "Yang penting, puasa kalian jadi berkah, ya."

"Siaaap Tok!"

.

.

.

.

.

Blaze sudah tahu bahwa hari pertama puasa itu akan diisi keseriusan belajar oleh adiknya. Dia sudah menyiapkan segala peralatan yang dirasanya akan diperlukan oleh Ice, dan rupanya ada hal di luar rencana: kunjungan Duri dan Solar ke kamarnya. Tapi, tak masalah! Blaze selalu pandai berimprovisasi.

"Lucunya! Ini buat apa?" Duri bertanya lugu, menunjuk jam beker kecil berbentuk lumba-lumba di tengah meja belajar Ice.

"Alat bantu," sahut si empunya meja sambil menggosok mata. "Kak Blaze, yakin kita mau mulai sepagi ini? Solar kayaknya kurang tidur."

"Aku masih oke, kok," ujar si bungsu yang tengah mengeluarkan tumpukan buku dari tas yang tergeletak di lantai. "Jam itu alat bantu buat apa?"

"Lihat saja nanti," seringai Blaze sambil menggelar tikar di tengah ruangan. "Ice! Kalau sudah siap, panggil aku, ya. Aku mau bantu Kak Gempa sebentar."

"Oke."

Solar dan Duri mengeluarkan buku masing-masing dan menaruhnya di atas tikar. Mana cukup meja belajar Ice buat dipakai tiga orang? Solar masih menatap jam beker di atas meja dengan curiga. Baru disadarinya jam itu mati, menunjukkan jam dua belas tepat. Kalau jamnya mati, lantas buat apa?

"Kalian percaya saja. Ini cara Kak Blaze waktu aku nggak bisa minum kopi biar tetap terjaga," Ice membuka percakapan dengan kedua adiknya. Belum pernah Solar belajar bersamanya dan dia agak deg-degan juga. Nilainya sendiri tak pernah sebaik Solar meski juga biasanya tak buruk-buruk amat.

"Bukannya tadi suruh panggil Kak Blaze kalau sudah siap?" tanya Solar yang keheranan melihat Ice malah duduk bersila.

"Iya, biar saja. Paling dia ke sini sebentar lagi."

Benar saja, yang ditunggu muncul setengah menit kemudian, menenteng bola basketnya yang kemarin dipakai bermain di teras. "Sudah siap?"

Solar mengangguk, masih tegang, sementara Duri dan Ice mengiyakan. Blaze mengeluarkan baterai dari sakunya dan memasangnya pada jam beker.

"Kita mulai …" Blaze menyeringai sambil mengacungkan jempol.

"Langsung ke termodinamika, ya?" Ice memulai, menghadapi kedua adiknya. "Yang termudah yang terakhir, biar masih semangat."

"Logis, Kak Ice," komentar Solar sambil membuka buku meski masih heran apa gunanya jam beker itu. "Ayo."

"Tolong aku ya ..." Duri meringis pasrah.

Ice menepuk kepala Duri. "Dari rumus yang pertama dulu? Apa bunyinya?"

Blaze duduk di kursi Ice sambil memutar-mutar bola basket. Sesi pertama adalah yang paling krusial. Kalau Ice berhasil melewati yang ini, Blaze bisa turun sebentar membantu Tok Aba berkebun atau Kak Gempa mencuci, lalu kembali untuk sesi yang keempat. Sesekali dibukanya ponsel sambil menunggu. Beberapa saat kemudian dia berjingkat ke arah meja belajarnya sendiri dan mengeluarkan sebuah perangkat. Ketiga orang yang belajar masih fokus hingga tak sempat mengamati tingkah Blaze.

Tepat pada menit kedua puluh lima, jam beker berdering nyaring. Duri dan Solar tersentak kaget. Blaze menekan tombol untuk mematikan, lalu berdiri dari kursi. "Sekarang … ayo kita senam sebentar."

Terdengar musik riang berirama konstan dari mini speaker yang tersambung ke ponsel Blaze—musik untuk senam aerobik!

"Apakah?" celetuk Solar, tapi dia sudah ditarik berdiri oleh Ice, demikian pula Duri yang keheranan.

"Ikuti gerakan instruktur Blaze!" seru si pemilik nama sambil mengangkat kedua tangan lurus-lurus. Dilihatnya Ice langsung mengikuti, Duri juga dengan agak terlambat, tapi Solar tidak mau bergerak.

"Senam dulu, Solar!" perintah Blaze.

Solar tak langsung patuh. "Ini buat apa?"

"Biar kamu nggak cepat ngantuk!" seru Blaze dan Ice bersamaan.

"Haaaa?"

.

.

.

.

.

Namanya teknik Pomodoro: dua puluh lima menit belajar, lima menit istirahat. Ulangi sesi 25-5 sampai empat kali lalu istirahat panjang sampai satu jam. Selanjutnya siklus diulang dari awal. Cara ini sudah sering diterapkan Blaze ketika bulan puasa dan Ice tidak bisa menggunakan kopi untuk bertahan tidak tidur saat belajar. Cukup efektif dan membuat tubuh segar untuk belajar dalam waktu lama! Solar yang gengsi sekalipun harus mengakui bahwa kantuknya pelan-pelan hilang setelah tiga kali sesi 25-5. Sebuah metode belajar tahan lama yang Blaze dapat dari Fang, yang diajari oleh kakaknya yang kini seorang dokter. Kaizo, semasa kuliahnya, harus membaca banyak buku tebal hanya untuk satu bab pelajaran. Beruntung dosennya menyampaikan teknik itu pada para mahasiswanya sehingga tak perlu ada yang sampai sakit menjelang ujian.

Nah, sekarang setelah urusan ketiga adik yang belajar bisa ditinggal sebentar, Blaze akan bantu Kak Gempa dan Tok Aba. Lalu mungkin bisa ditengoknya sebentar kabar Kak Halilintar dan Kak Taufan di kedai.

Sebelum nanti malam menyiapkan kejutan ulang tahun untuk Fang!

.

.

.

.

.

"Terbaik lah Blaze," puji Gempa malam itu, setelah semuanya berbuka puasa. Yang disebut hanya terkekeh bangga. Ice dan Duri bertahan belajar seharian sedangkan Solar mengambil jeda enam jam sampai waktu Dzuhur untuk menyaur kekurangan tidurnya semalam. Yang penting, termodinamika sudah menjadi cerah di pikiran Solar agar bisa tidur nyenyak.

"Ice sama sekali nggak ketiduran?" Taufan masih tak percaya. Ice hanya tersenyum.

"Mantap lah. Aku mau diajarin, dong," ujar Halilintar tanpa malu-malu. Kalau soal belajar, kakak sulung mereka tak peduli gengsi lagi.

"Boleh!" Senyum Blaze terkembang.

"Aku mau tidur," ujar Ice singkat, padat, jelas.

"Aku juga," sahut Duri tanpa menahan kuapnya.

"Aku pun," timpal Solar. "Memang tadi segar, tapi sekarang capek sekali."

Blaze menghela napas. "Nah ini dampaknya. Bahan bakar akhirnya habis. Kalian kalau mau langsung tidur saja, nanti bisa nggak bangun waktu sahur."

Memang energi itu kekal menurut ilmu fisika, tapi setelah dikuras sedemikian hebat maka perlu diisi ulang.

"Ya sudah. Besok ujiannya pagi, 'kan? Kalian istirahatlah. Blaze juga, kamu mungkin nggak ikut belajar tapi mesti capek juga," ujar Gempa.

"Ooh, aku sih masih nanti, Kak Gem," Blaze menyahut dengan cengiran. "Aku ada sesuatu yang harus dikerjakan." Dia menatap Gempa penuh arti, berterima kasih untuk sesuatu yang berhasil dipinjamnya dari sang kakak yang ikut ekskul handicraft.

Sesuatu itu tentu saja video call ke Fang setelah mereka bubar dari meja makan dan Ice sudah terkapar di kasur.

"Halo?"

"Selamat ulang tahun, FAAAAANG!"

"WAAAAAAA!"

Pemuda yang hari ini berusia tujuh belas di seberang sambungan terlonjak sampai ponselnya dilempar. Blaze bisa mendengar bunyi kemeresak setelahnya, mungkin ponsel Fang jatuh ke rumput. Dia tertawa berderai-derai di balik topeng kayu buatan Gempa.

"Alamaaak? Blaze?"

Wajah Fang kembali muncul di layar, terlihat masih kaget dan agak kesal.

"Panjang umur, Fang! Sehat selalu! Semoga Corona segera minggat dari dunia, ya, biar kita bisa tanding basket lagi!"

"Dasar! Tapi kuamini, deh. Terima kasih ya," balas Fang yang segera merasa geli. "Topeng dari mana itu?"

Blaze melepas topeng warna merah menyala berbentuk oni alias setan Jepang itu. "Buatan Kak Gempa," sahutnya sambil menggigit bibir, merasa sukses dengan kejutannya. Seharian ini dia berusaha menyenangkan hati kakaknya yang memang sudah baik hati itu. Untung sekali Kak Gempa dan Kak Taufan tukar jadwal jaga kedai.

Fang geleng-geleng kepala. "Memang selalu ada saja ulahmu, Blaze. Bisakah kasih ucapan ulang tahun dengan normal? Seperti saudaramu yang lain?"

"Aku 'kan suka tampil beda," kilah Blaze yang tak mau mengaku saja bahwa dirinya usil. "Memang Kak Taufan dan Duri biasa saja memberimu ucapan? Kami bertiga 'kan troublemaker di rumah?"

"Si Taufan tadi delivery es cokelat Kokotiam ke rumahku, bayangkan!" sahut Fang menggebu, merasa senang. "Masih mending Halilintar, Gempa, atau Ice yang kirim chat dengan stiker atau emotikon. Duri bikin voicenote subuh-subuh tadi, sama Solar. Mereka curang, kasih ucapan berdua waktu aku masih tidur. Mana Solar kasih ucapan sekaligus tantangan, pula."

Blaze terkekeh geli, pantas saja Taufan tadi terlihat lelah sekali. Dia bersepeda sampai kediaman Fang yang memang jauh jaraknya itu? "Tantangan apa?"

"'Kamu mau jadi dokter seperti abangmu, 'kan, Fang? Ayo kita bersaing.' Jadi Solar sudah memutuskan mau kuliah kedokteran?"

Cengiran Blaze agak memudar. "Yaa, singkatnya begitu. Ceritanya agak panjang. Eh, kenapa latarmu ramai dan banyak lampu?"

Fang menoleh ke belakang, lalu menyorotkan kamera ponsel ke latar. Memang tampak dan terdengar sedang ada pesta. Musik populer dengan irama beat dan suara-suara orang berpadu dengan bunyi gelas yang saling beradu.

"Abangku gelar acara buka bersama buat ultahku," Fang bersuara dari belakang kamera.

"Buka bersama? Kamu dan keluargamu 'kan nggak puasa?"

Sekali lagi gambar berganti dengan wajah Fang yang tersenyum. "Memang enggak. Tapi kalau pestanya siang seperti biasa, nggak banyak yang datang. Lagipula lebih semarak lebih senang, 'kan?"

Blaze ikut tersenyum, merasa agak terharu. "Terbaik lah Fang."

"Coba kau lihat abangku. Dia yang di tengah," Fang berujar lagi, tampilan layar berganti. "Dia sama teman-teman dokternya tuh lagi beraksi."

"Beraksi?"

Di layar, Blaze bisa melihat sekelompok orang muda, pria maupun wanita, sedang nge-dance mengikuti irama lagu. Yang paling heboh adalah personil yang jingkrak-jingkrak di tengah, dan dari siluetnya bisa dikenali bahwa itu memang Kaizo, abang Fang. Blaze tertawa terbahak-bahak.

"Itu Dokter Kaizo?"

"Nggak percaya 'kan? Aku tadi baru mau rekam momen langka ini waktu kamu telepon."

"Ungg, Kak Blaze?" Terdengar suara Ice seperti mengigau. "Bisa tutup jendela?"

"Eh, sori Ice, tidurmu terganggu ya? Ini bukan dari luar jendela, aku lagi video call Fang."

Ice sudah tertidur lagi dan tidak menyahut. Aneh, biasanya setelah memakai teknik Pomodoro, Ice bakal tidur lelap sampai pagi. Apakah berisiknya ia dan Fang keterlaluan hebohnya? Blaze mengecilkan volume suara panggilannya.

"Ice sudah tidur rupanya? Maaf kalau mengganggu. Memang di sini suaranya keras sekali."

"Iya, dia sudah berjuang belajar hari ini. Sudah dulu ya Fang, sukses ujian kalian besok!"

"Oke. Terima kasih ya."

Sambungan diputus, lalu Blaze mematikan lampu kamar. Sambil beranjak ke tempat tidur, Blaze menyempatkan diri menengok wajah damai adiknya di ranjang bawah.

"Semangat Ice, kamu pasti bisa! Maaf ya aku nggak nemani kamu ujian besok, aku jaga kedai sama Kak Gempa," bisiknya sebelum memanjat naik.

.

.

.

.

.

Sahur kedua masih sama tegangnya bagi Solar. Belum pernah dia menghadapi ujian setertekan ini. Tambah lagi muka Duri waktu bangun tidur sama saja tegangnya. Setidaknya mereka bersama Ice sudah lebih maju memahami termodinamika, tapi Solar tetap belum merasa aman tenteram sampai ia melihat soalnya.

Pagi itu Taufan memilih berkebun bersama Tok Aba di lantai bawah. Halilintar pergi belanja dan bersih-bersih dapur. Sebelum berangkat ke kedai, Gempa dan Blaze memberi penyemangat kepada tiga adik yang akan ujian via daring.

"Pasti bisa!"

"Tenangkan pikiran, jangan lupa berdoa sebelum ujian."

Hanya Ice yang bisa merasa tenang pagi itu. Dia sendirian di dalam kamar, sedangkan Duri dan Solar di meja masing-masing dalam satu ruangan. Tak mungkin mereka saling contek, lagipula kamera harus dinyalakan sehingga pasti kelihatan kalau ada murid yang curang saat ujian. Pak Guru Papa Zola memang keras soal kebenaran dalam menguji.

Dan … ujian pun dimulai.

.

.

.

.

.

to be continued.

.

.

.


.

.

.

Author's Note:

Setelah ngetik bab ini, rencananya jadi tamat dalam lima bab ya :")

Gempa dan Kaizo sudah muncul! (Yeay!)

Akhir kata ... terima kasih sudah membaca, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya ^_^

08-09.05.2021