Hai... Maaf malah publish cerita baru. Lagi pengen nulis yang nyesek2 soalnya.

Di wattpad sudah publish sampai beberapa bab, kalian bisa mampir kalau penasaran. ^^

Btw, inget ini ratenya M+

Tolong bijak dalam memilih bacaan. Nanti saya kasih warning supaya kalian yang masih dibawah umur bisa langsung skip. Thx!

Ok, selamat membaca!

.

.

.

Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it

Pairing : SasuFemNaru

Rated : M+

Warning : Gender switch, OC, OOC, typo (s)

Genre : Hurtcomfort, angst, romance, family

The Last Promises

Chapter 1. Keputusan

By : Fuyutsuki Hikari

Naruto memilih mengabaikan semua notifikasi masuk dari kekasihnya, sore ini. Bahkan saat Sakura mengingatkan jika telepon genggam milik Naruto terus bordering, ia hanya mengangkat bahu tak acuh dan memilih mematikan benda pipih tersebut.

Ia tidak bisa menampik jika dirinya masih kesal terhadap Sasuke. Naruto marah, dan memutuskan untuk membuat jarak dengan sang kekasih hingga perasaannya sedikit lebih tenang. Sore ini ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Duduk, bercanda di dalam sebuah café nyaman sembari menikmati segelas esspreso dingin. Sejenak, untuk sejenak saja Naruto ingin menjadi gadis remaja biasa, dan saat memutuskan untuk pulang, hari sudah gelap sepenuhnya.

Seperti biasa, terdengar suara gelak tawa dari ruang keluarga. Untuk beberapa saat Naruto berdiri di depan pintu, menarik napas panjang lalu melangkah tanpa beban menuju ruang keluarga. "Aku pulang!" ucapnya membuat semua orang yang berada di dalam ruangan itu menoleh ke arahnya.

Naruto berjalan menuju sofa tempat adik kembarnya duduk, menunduk lalu dikecupnya lembut puncak kepala yang lebih muda. "Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanyanya sembari mendaratkan pantat di sofa kosong di samping Naruko.

Satu alisnya diangkat tinggi saat melihat ayah dan ibunya menatapnya dengan kedua tangan dilipat di depan dada. "Ada apa ini?" tanyanya. Ia melirik ke Naruko dan Sasuke bergantian, lalu ditatapnya wajah sang ibu yang kini menyipitkan kedua mata hingga membentuk sebuah garis tipis.

"Pergi kemana?" Minato akhirnya buka suara. Pria paruh baya itu berdecak, menggelengkan kepala pelan dan kembali bertanya, "Kenapa pulang larut?"

"Membeli buku," jawab Naruto, memasang ekspresi lugu. "Telepon genggamku habis baterai jadi aku tidak bisa memberi kabar," sambungnya.

Helaan napas panjang terdengar, dari ibunya kali ini. "Jangan sering pulang malam!" tegurnya. "Adikmu kesepian, untung Sasuke datang dan menemaninya, sepanjang sore."

"Maaf!" ucap Naruto, mengusap lembut punggung telapak tangan Naruko. "Lain kali aku akan memberi kabar terlebih dahulu jika akan pulang malam—"

"Tidak boleh pulang malam!" potong Minato, membuat Naruto menutup mulut rapat. "Bukankah ayah sudah memberitahumu berulangkali jika adikmu membutuhkan perhatianmu, Naruto?"

"Ayah, tidak apa-apa," kata Naruko, memeluk lengan kakaknya erat. "Maaf, karena aku sering mnyusahkanmu!" ucapnya membuat hati Naruto teriris oleh rasa bersalah. Yang lebih tua menggelengkan kepala, dipeluknya erat Naruko hingga adik kembarnya itu tersenyum, menepuk-nepuk punggung yang lebih tua, lembut.

"Maaf!" ucap Naruto, lirih. "Maaf karena aku sering meninggalkanmu di rumah!"

Naruko tersenyum. "Tidak apa-apa," balasnya, merdu. "Kau berhak memiliki kehidupan normal. Salahku yang selalu menjadi bebanmu."

Naruto kembali tertohok. Ia tidak bisa membenci adiknya. Naruko sangat baik. Keadaanlah yang membuat semuanya menjadi rumit. Naruko terlahir dengan kelainan jantung bawaan, membuatnya sering sakit dan menghabiskan seluruh hidupnya di rumah. Karena alasan itu kedua orang tua mereka menginginkan Naruto menjaga adiknya hingga ia nyaris tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang seperti remaja pada umumnya.

"Sudah, maaf karena ayah terlalu keras!" kata Minato, ikut tersentuh oleh interaksi kedua putrinya. Jauh di dalam hati pria itu tahu jika selama ini ia dan istrinya tidak bersikap adil terhadap Naruto. Sakit Naruko bukan kesalahan putri sulungnya, bukan juga menjadi kewajiban Naruto untuk mengorbankan masa remajanya demi menjaga yang lebih muda. Namun, sikap Naruko yang tidak suka bergaul membuat orang tuanya tidak memiliki pilihan selain memberikan beban berat itu kepada putri sulung mereka.

"Sudah makan malam?"

Naruto mengangguk, menjawab pertanyaan ibu mereka. Ia masih enggan menatap Sasuke yang sejak kepulangannya masih menutup mulut rapat. "Aku naik dulu. Badanku lengket." Naruto berpura-pura mengeluh. Setelah mengecup pipi kanan sang adik, ia pun melenggang pergi, naik ke lantai dua, masuk ke dalam kamarnya yang gelap.

Mengembuskan napas keras, ia menekan saklar lampu membuat kamarnya menjadi terang benderang. Naruto melempar tas tangannya asal ke meja belajar, lalu membuka kaos kaki sebelum membaringkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat ia memejamkan mata lalu berkelana ke alam mimpi.

.

.

.

Peringatan konten eksplisit!

Naruto mengerang pelan saat merasakan tubuhnya sedang disetubuhi kasar. Seketika kedua kelopak mata itu tebuka, menatap pelaku yang dengan kurang ajarnya menyerang saat dirinya terlelap tidur. "Sasuke?" Ia berusaha mendorong dada bidang pria yang tengah mengukungnya saat ini. Namun, usahanya sia-sia. Sasuke bergeming, pria itu malah mempercepat tempo sementara bibirnya dengan rakus meraup puncak payudara kekasihnya yang telah menegang.

"Ini yang kau inginkan bukan?" Sasuke bertanya dengan suara serak setelah melepaskan noktah kekasihnya. Pria itu memaksa Naruto menatapnya, sebelum menyatukan bibir mereka, keras. "Kau sengaja mengabaikan panggilan teleponku agar aku tahu jika kau marah, bukan? Kau ingin aku mengejarmu lalu meminta maaf. Iya?" tanyanya tanpa menurunkan tempo. Pelepasannya sudah hampir sampai.

Naruto tidak menjawab. Wanita itu memilih menatap ke sisi ranjang, menyembunyikan air matanya yang sudah turun dan membasahi pipi. Ia masih terdiam saat Sasuke mendapatkan pelepasannya. Pria itu menarik karet pengaman dari selatannya, lalu membuangnya ke dalam tempat sampah di sisi ranjang, sebelum memaksa Naruto untuk duduk.

"Kenapa kau mengabaikanku?"

"Kenapa menyetubuhiku saat aku tidur?"

Sasuke tidak langsung menjawab. Tangannya menyibak poni kekasihnya yang lepek oleh keringat akibat kegiatan mereka tadi. "Aku marah," jawabnya, parau. "Aku marah karena kau mengabaikanku beberapa hari ini. Kau pikir kenapa aku bertahan hingga larut malam di rumahmu? Aku menunggu orang tuamu untuk menawariku menginap," akunya licik.

Ada jeda pendek sebelum akhirnya Sasuke kembali bicara. "Selain itu aku juga rindu. Sudah lama aku tidak memelukmu. Kesehatan Naruko yang memburuk membuat kita tidak memiliki waktu untuk meluangkan waktu berdua."

Naruto masih tidak menjawab. Tubuh telanjangnya gemetar menahan sedih sekaligus sakit hati. Ia masih bergeming saat Sasuke mulai mengecup leher, bahu dan terus turun hingga payudaranya. Lama pria itu bermain-main di sana hingga dua tangan kekar itu membawa tubuh kekasihnya untuk duduk di atas pangkuan, dan tanpa aba-aba Sasuke kembali menyatukan tubuh mereka. "Kau yang terbaik!" pujinya mendaratkan kepala di ceruk leher kekasihnya.

"Tolong mengerti posisiku! Aku tidak bisa meninggalkan Naruko saat ia membutuhkanku."

"Kita putus saja," ucap Naruto tiba-tiba membuat Sasuke mendongak, gerakannya terhenti. "Aku sudah lelah dengan semua ini, jadi lebih baik kita akhiri saja!" sambungnya berusaha melepaskan diri dari Sasuke.

Naruto segera mengenakan pakaiannya yang berceceran di atas lantai setelah berhasil melepaskan diri dari Sasuke. "Bukan hanya kau yang ingin dimengerti. Aku pun ingin dimengerti dan aku sudah sangat lelah untuk bisa mentolerir sikapmu terhadapku selama ini."

"Aku melakukannya demi Naruko," balas Sasuke tegas. Dengan tergesa ia mengenakan celana dalam dan jeansnya. Marah, pria itu sangat marah karena tanpa alasan jelas Naruto meminta hubungan mereka diakhiri. "Dia adikmu, jika kau lupa," sambungnya, geram. "Kenapa kau egois?"

Naruto tertawa hambar. Ia membawa kedua tangannya ke udara. "Aku egois?" beonya tidak terima. "Aku tidak egois, aku hanya bodoh karena menerima semua peraturan sialanmu dalam hubungan kita," desisnya, menatap nyalang. "Aku lelah harus selalu mengalah. Aku lelah untuk selalu mengerti dirimu. Aku sudah sangat lelah jadi sebelum aku benar-benar kehilangan jati diriku sendiri, lebih baik kita akhiri saja." Ia menandaskan dengan tegas.

.

.

.

TBC