Suri tiba dengan sekelebat jingganya, menjalari udara dan mengintip lewat tirai-tirai jendela rumah. Masih ada waktu sebelum malam tiba, dan masih cukup lama hingga sang ayah pulang dari tempat kerjanya. Ibu dari kembar Boboiboy pun kini melakukan kebiasaan lamanya, yaitu menyetel beberapa video rekaman kala kedua anak itu masihlah dua bayi yang menggemaskan. Bagaimana lensa kamera menangkap banyak sekali momen yang akan selalu diingat oleh ayah dan ibu.
Pada televisi berukuran cukup besar, kini terpampang bagaimana tingkah kedua kembar itu: Blaze dan Ice. Kedua anak itu menonton dengan seksama, terheran-heran bahwa bayi mungil dan gempal itu adalah mereka saat masih berumur dua tahun. Seringkali Blaze ribut bertanya kalau itu dedek bayi siapa.
Video berdurasi pendek itu kini menampilkan Blaze kecil yang langsung sumringah begitu lagu 'Old MacDonald Had A Farm' terdengar. Anak itu berdiri dan melompat-lompat lincah seperti kelinci. Tangannya yang masih memegang mainan balok ikut bergoyang menyusul irama lagu. Blaze pun ikut bernyanyi, walau yang baru bisa ia lakukan adalah mengeluarkan racauan tak jelas yang membuat sang ibu tertawa geli.
Melihat kakak kembarnya itu menari-nari riang, Ice kecil tertawa dan sesekali bertepuk tangan. Atensinya tak lama pecah dan melirik sang ibu dengan tatapan kebingungan. Namun Blaze di sampingnya kini kehilangan keseimbangan dan jatuh menabrak Ice hingga keduanya ambruk di lantai bersamaan. Video pun ditutup dengan rengekan keduanya.
.
.
Boboiboy © Monsta Studio
Fanfiction by Koyuki17
-Serkah-
.
.
Menjadi anak kembar bukan sebatas rupa yang mirip dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sebab hal itu bukanlah jaminan bahwa keduanya akan persis sama tabiatnya. Banyak penggalan video mereka sejak kecil menjadi bukti bagaimana perkembangan keduanya, Blaze dan Ice, mengarah pada pribadi yang jelas berbeda.
Blaze si kakak kembar telah menunjukkan kecenderungan pribadi ekstrovert sejak lama. Ia senang pada lingkungan baru, berkenalan dan cepat akrab dengan anak-anak sebayanya. Ia mudah sekali bosan, hingga kedua orang tua mereka harus sabar dan terus mengalihkan atensinya pada hal-hal yang sekiranya menarik bagi anak itu. Hampir setiap hari langkah kaki ributnya terdengar menjelajahi rumah, naik turun tangga, sebelum akhirnya ia bermain bola di halaman belakang. Menambah lagi rekor pot bunga yang dipecahkannya karena tendangan keras yang salah sasaran.
Berlainan dengan sang kakak kembar, Ice memiliki bawaan tenang dan cukup patuh. Ia selalu bersembunyi di balik meja ruang tengah jika ada tamu yang datang, dan untuk beberapa waktu ia akan menjadi pengamat yang lihai. Jika orang asing itu dirasa ramah, maka Ice akan keluar dari tempat persembunyiannya. Ia senang sekali menghabiskan waktu dengan tidur siang, bukan hal aneh jika anak ini ditemukan terlelap di sofa, karpet, bahkan tempat-tempat yang ajaib sekalipun.
Karena perbedaan itulah, warna yang unik selalu muncul dalam keseharian keluarga mereka. Bagaimana sisi yang bertolak belakang itu tak pernah sampai membuat mereka semakin menjauh dan tak lagi akrab. Termasuk salah satu insiden yang membuat Blaze memahami sesuatu yang tak pernah Ice ucapkan secara gamblang padanya.
-S-
"Ayo Ice! Kita main di rumah pohon!"
Kedua manik biru es itu menatap saudaranya, lalu melirik pintu kaca menuju halaman belakang rumah mereka. Di luar sana, kelabu pekat awan telah tumpah menjadi hujan lebat. Angin kencang membuat dahan-dahan pohon beradu. Tak luput pun kilat yang sesekali membelah temaram angkasa, disusul gemuruh di tempat yang cukup jauh di sana. Ice menatap saudaranya lalu menggelengkan kepala. Ia mencoba untuk terlihat sibuk dan melanjutkan gambar pemandangan alam yang baru setengah digarapnya.
"Ayooo dong Iceeee." Tak menerima penolakan, Blaze pun menarik kaki Ice. Namun saudaranya pun mencengkeram karpet dan mencoba membuat badannya lebih berat lagi untuk ditarik.
"Di luar kan hujan, nanti kalau basah gimana?" Kini Ice angkat bicara.
Blaze melepaskan kaki Ice, sebuah seringaian di bibirnya membuat Ice tahu bahwa saudaranya itu masih belum menyerah. Ice mengamati kembarannya itu berlari ke luar ruangan, namun tak sampai satu menit ia kembali dengan dua jas hujan dan dua pasang sepatu bot kepunyaan mereka.
"Kalau pakai ini kan gaakan basah!" ujar anak itu sembari mulai memakaikan jas hujan berwarna biru pada Ice.
Tentunya Ice masih enggan, namun sekali lagi ia melirik Blaze. Raut wajah yang penuh semangat itu adalah pertanda bahwa Blaze serius dan itu adalah hal yang ingin dilakukannya sekarang juga. Membayangkan bagaimana saudaranya itu akan uring-uringan jika keinginannya ditolak, Ice akhirnya menyanggupi permintaan itu. Kedua orang tua mereka sedang menjemput Tok Aba dan tak ada di rumah sekarang. Tak ada lagi yang bisa mencegah Blaze kalau sudah begini.
Setelah memakai sepatu dan memastikan jas hujan telah terkancing sempurna, kedua anak itu membuka pintu kaca dengan digeser. Seketika seruak angin menerbangkan carik-carik kertas yang mereka gambari sedari tadi. Udara dingin membuat Blaze sedikit menggigil, namun ia tak peduli dan berlari menuju pohon besar di halaman belakang. Ice mengekorinya, namun tangannya sibuk memegangi tudung jas hujannya yang nyaris tersibak.
Cukup sulit untuk menjejaki tangga yang terbuat dari tali tambang yang besar. Belum lagi tangga itu begoyang-goyang mengikuti arus badai dan hujan membuat tali semakin. Setelah sepuluh menit, keduanya pun sampai dengan aman di hamparan lantai kayu.
Rumah pohon itu memanglah tempat favorit mereka. Ayah mereka membuatnya khusus di hari ulang tahun mereka yang ke delapan tahun lalu. Bentuk rumah pohon ini seperti crow nest namun memiliki tutup atap. Jendela panjang berada pada bagian depan dan belakang memuaskan mereka dengan pemandangan yang tersaji. Walau hari ini semuanya dikaburkan oleh badai tentunya.
"Hebat! Suasananya kayak badai di laut beneran!" Blaze tertawa riang.
Ice tak menanggapi dan membuka pintu dan masuk ke dalam rumah pohon. Anak itu menyalakan lampu dan seketika cahaya terang melingkupi ruangan mungil itu. Hanya ada karpet bulat dan peti 'harta karun' berisi mainan mereka di sana. Satu-satunya hal lain adalah sebuah replika roda kemudi (bisa diputar-putar tentunya), yang tepat berada di balik jendela kaca. Melengkapi konsep rumah pohon itu sebagai perahu yang selalu siap berlayar di samudra imajinasi anak-anak itu.
"Blaze, mainnya sebentar kan? Nanti ayah ibu keburu pulang dan kita bisa dimarahi loh." Ice rupanya masih mencoba membujuk Blaze. Entah kenapa ia punya firasat buruk sejak keluar rumah tadi.
"Iya, iya." Blaze melangkah menuju peti dan mengaduk-ngaduk isinya, "Aku pegang kemudi, kamu yang mengawasi!"
Blaze melemparkan sebuah teropong monokuler pada Ice. Lalu dengan semangat ia pun memberi aba-aba dan petualangan mereka di tengah badai pun dimulai. Hujan di luar sana membuat suasana nyata, seolah perahu mereka sedang menghadang cuaca buruk di lautan. Seruan Blaze seringkali kalah dengan sergapan angin yang menggiring gerombolan rintik hujan. Ice mengamati bagaimana badai mengaburkan pemandangan di sekitar mereka. Dalam hati ia berharap-harap cemas agar tidak menangkap dua sorot lampu mobil yang mendekati rumah.
-S-
Hujan berangsur reda, menyisakan gerimis dan hawa dingin yang melebur bersama malam yang sebentar lagi menyambung waktu. Blaze kini tak lagi berada di depan kemudi, berdiri tepat di balkon dan memandangi bentangan horizon selagi ia bisa.
"Blaze, yuk pulang…" pinta Ice entah untuk yang keberapa kalinya.
"Nanti kalau hujan lagi, kita main di sini lagi pokoknya." Blaze menggerutu. "Aku bosan di rumah."
Ice bergumam mengiyakan, tak ingin memperpanjang topik ini sehingga mereka bisa kembali ke dalam rumah. Ia sudah sangat mengantuk sejak beberapa menit yang lalu. Ice kini melirik Blaze, yang berlari kecil menuju tangga.
"Blaze, jangan lari di˗" belum saja perkataannya itu selesai, Ice mendapati Blaze terpeleset tepat di bagian balkon yang tidak berpalang. Tubuh anak itu seketika oleng ke kiri, di mana tidak ada yang menahan kejatuhannya.
"Blaze!" Pekikan Ice sampai pada telinga Blaze, tepat seiring tubuhnya oleng dan ia melirik tanah halaman yang berjarak setidaknya empat meter dari rumah pohon mereka.
Blaze merasakan cengkeraman tangan Ice pada bajunya, yang mencoba menariknya ke kanan. Lalu dengan tenaga yang tak pernah Blaze kira, Ice menarik saudaranya itu hingga berbalik dan jatuh dengan aman ke lantai kayu. Blaze ketika didengarnya sesuatu jatuh menabrak tanah di bawah sana. Lalu ia bangkit dan menyadari bahwa Ice tak bisa ia temukan di sampingnya.
"Ice! Ice!" teriakan panik Blaze semakin lantang. Membelah sunyi yang untuk kali pertama begitu mencekam baginya.
.
.
.
Anak yang biasanya diliputi energi tanpa batas itu kini duduk termangu di kasurnya. Selimut putih menyembunyikan wajahnya yang kacau. Benaknya masih memutar ulang apa yang terjadi dengan saudaranya itu. Blaze masih belum bisa melupakan bagaimana Ice mengerang kesakitan sembari memegangi kakinya, tergeletak di tanah tanpa bisa bangkit. Bagaimana ia kebingungan harus meminta tolong pada siapa. Untunglah orang tua mereka pulang tak lama setelahnya dan Ice segera dibawa ke dokter. Sudah lebih dari satu jam sejak saat itu, dan Ice masih belum pulang.
"Blaze…? Ayo makan dulu." Tok Aba, yang mau tak mau menjaga Blaze pun masuk ke dalam kamar. Lamunan Blaze seketika pecah dan anak itu melirik sang atok dengan sirat mata penuh harap.
"Tok, Ice bagaimana?" Blaze mengharapkan kabar tentang saudara satu-satunya itu.
"Kakinya terkilir dan tidak ada luka lain, sebentar lagi mereka pulang kok. Dan kalau nanti dia sudah sehat, kalian bisa bermain bersama lagi." Tok Aba mencoba mendapat perhatian Blaze, dirangkulnya bahu anak itu. "Lain kali mainnya hati-hati ya."
"Tapi tok, bagaimana kalau Ice nggak bisa jalan?" suara Blaze kini mulai mengeluarkan isakan yang masih dicoba untuk ia tahan. "Kalau… Ice nggak mau lagi main denganku?"
"Blaze, dengarkan atok," kini Tok Aba pun berjongkok sehingga matanya bisa sejajar dengan mata Blaze. "Kalian itu kan saudara. Kalau Blaze meminta maaf pasti Ice akan mengerti."
"Kau tadi tidak sengaja kan Blaze?" Anak itu mengangguk, namun ia masih merasa bersalah. "Tidak apa-apa, bahkan atok pun dulu pernah membuat kesalahan pada orang lain dan atok pun lekas minta maaf."
"Nah, ayo kita makan dulu. Setelah itu cepat tidur. Jangan sampai kamu malah masuk angin." Tok Aba pun tersenyum dan mengacak rambut Blaze.
.
.
.
Blaze terbangun ketika terdengar suara mobil yang memasuki garasi rumah tepat jam sepuluh malam. Dengan mata terkantuk-kantuk, ia pun bangun dan berusaha untuk lekas terjaga dengan menepuk-nepuk kedua pipinya. Sekarang juga, ia harus meminta maaf pada Ice.
Terdengar suara ayah dan ibu yang membuka pintu lalu bercakap-cakap dengan suara pelan. Lalu tak lama, suasana hening kembali. Anak itu melirik ke tempat tidur Ice yang kosong di sisi kamar yang lain. Pastilah saudaranya itu menempati kamar di lantai bawah. Blaze turun dari tempat tidurnya, dan dengan gerakan yang hati-hati ia membuka pintu kamar dan beranjak ke lantai bawah.
Kamar tamu di lantai bawah sedikit terbuka, dan siluet anak lelaki di dalamnya adalah Ice. Jantung Blaze berdetak kencang, ia berusaha menyingkirkan bayangan Ice yang acuh dan tak lagi peduli padanya. Mereka sudah lama bersama-sama. Pastilah Ice takkan bersikap seperti itu padanya.
"Pssst, Ice. Kau sudah tidur?" bisik Blaze dari balik pintu.
"Belum. Nggak bisa tidur." Ice segera menjawab dengan suara pelan. "Masuk saja."
Namun Blaze bergeming dari tempatnya berada. Ia menimbang-nimbang, sebelum akhirnya mendorong pintu dan melihat Ice berbaring di kasur dan menatapnya dengan sepasang iris biru mudanya. Ekspresinya masih sama datarnya seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Perhatian Blaze kini beralih pada kaki kiri Ice yang dibalut oleh perban dan disangga oleh bantal.
"Sakit tidak Ice?" pertanyaan itu langsung mendapat jawaban berupa gelengan kepala Ice.
"Beneran nggak sakit?" kembali Blaze bertanya dengan nada ragu.
"Nggak sakit kok." Kini Ice menjawab dengan lugas.
"Tapi tadi kamu sampai nangis begitu," celetuk Blaze.
Ada jeda cukup lama setelah perkataan Blaze itu. Raut wajah Ice jelas menunjukkan bahwa ia mengingat apa yang terjadi padanya sambil memandang langit-langit kamar.
"Nggak, cuma… kaget," jawab Ice.
Ice pun memberi isyarat agar saudaranya itu mendekat. Dan dengan langkah canggung, Blaze pun menurutinya dan berhenti tepat di samping Ice. Sekonyong-konyong kedua tangan Ice memegang pipi saudaranya itu.
"Jangan pernah lakukan itu lagi. Paham?" Ice pun menarik kedua pipi Blaze dengan gemas. Entah berapa kali ia melihat saudaranya itu kurang hati-hati, dan hari ini adalah yang paling membuat Ice kesal.
"Hiyaa… haham (paham)," tak bisa mengelak, Blaze pun berkata demikian.
Ice melepaskan pipi Blaze dan menghela napas panjang. Sorot matanya masih menyelidik dan ia pun bertanya kembali. "Janji?"
"Iya," balas Blaze sembari cemberut. Ia mengusap pipinya yang merah dan berdenyut sakit.
Blaze terperanjat kaget ketika kedua tangan Ice tahu-tahu meraih punggungnya. Menarik anak itu dalam sebuah pelukan erat. Ice membenamkan wajahnya pada bahu kiri saudaranya itu. Blaze menyadari bagaimana tubuh Ice gemetar. Menangkap sirat rasa takut dan khawatir dari saudaranya itu. Walau yang bisa ia lakukan adalah membalas pelukan itu. Dielusnya punggung Ice, berusaha menenangkannya.
Walaupun Ice selalu diam dan tak pernah berkata apapun, bukan berarti ia tak peduli dengan Blaze. Dalam sepersekian detik itu, saat Blaze nyaris saja jatuh, Ice merasa darahnya berdesir dan napasnya terhenti. Ia ketakutan, jika Blaze benar-benar jatuh dan celaka. Karena ia lebih tidak menyukai jika melihat saudara penuh energinya itu menangis dan harus merasakan sakit.
.
.
.
Tok Aba yang panik di pagi hari itu segera mencari Blaze yang menghilang dari kamarnya. Setelah lima menit mencari, ternyata Blaze tertidur di kamar tamu di bawah, bersama dengan Ice. Anak itu pastilah ingin mengawasi sampai Ice terlelap. Karena sofa yang kini berpindah ke samping kasur menjadi tempat dimana Blaze tidur meringkuk.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan memang dengan kedua anak kembar itu. Mereka pasti selalu bisa menemukan titik temu. Semua akan baik-baik saja.
.
.
A/N: Ingat bagaimana Api dulu merasa bersalah dengan Daun karena menendang pot tanaman dulu? Oneshot ini terinspirasi dari sana :')
Terima kasih untu review dari kak KurohimeNoir dan kak Solar no hikari.
Sampai jumpa lagi di oneshot selanjutnya! ^^
