Pangeran Gagak

Haikyuu FurudateHaruichi, aku menulis cerita ini hanya karena aku mencintai Libero Mungil yang bernama Nishinoya Yuu.

Warning : OOC AF, POV 1, ini cerita manis-manis doang, Kerajaan karena aku lagi seobses itu sama cerita kerjaan, jadi kemungkinan banyak yang salah, karena aku nggak pernah bikin cerita nobleman. Cerita ini bisa membuat norang sakit mata, jadi mohon siapin lem G, eh bukan obat mata di sebelah anda.

Pairing : Atsumu x Nishinoya (Thanks requestnya dari Indonesian Otaku. Aku nyediain request nggak, ya, enaknya.)

Summary

Nishinoya adalah satu-satunya gagak yang tersisa. Semua orang menganggap keberadaannya merupakan pembawa sial dan mulai mengucilkannya. Namun dia bukan Gagak lemah yang menyedihkan. Bila mereka menganggap dia adalah pembawa sial, maka dia tak segan membagikan kesialan itu. Hingga akhirnya dia tidak sengaja membawa kesialan itu pada Miya Atsumu. Rubah mengerikan yang tidak segan membunuh orang yang tak disukainya.

Happy Reading

Satu-satunya informasi berguna dari penyelinapanku tadi malah hanyalah, Atsumu tahu sesuatu tentang peristiwa itu, dan dia memilih untuk menyembunyikannya. Informasi yang kudapat dari informan yang mengklaim mengetahui hal itu hanyalah, ada sekelompok penyihir yang menginginkan Batu Malam dari keluarga Gagak, karena batu itu dipercaya bisa membuka gerbang kematian.

Nah, aku tahu informasi itu sejak lama, dan keberadaan Batu Malam itu hanyalah mitos bahkan dikalangan keturunan Gagak itu sendiri. Lagipula aku tidak peduli kenapa mereka melakukannya, tetapi siapa. Sehingga aku memilih untuk memutar penyelidikanku menjadi 'Siapa Miya Atsumu sebenarnya'. Awalnya lelaki itu hanya terdiam, dan menjawab;

"Dia adalah putra sulung keturunan Rubah. Dia yang seharusnya menjadi penguasa, tetapi membuangnya, entah karena alasan apa, sehingga Miya Osamulah yang mengambil alih. Tuan Atsumu terkenal bisa membunuh orang tanpa pandang bulu, dan karena saya tidak ingin kehilangan klien saya, lebih baik Anda tidak pernah berurusan dengannya, Tuan."

Jalan buntu. Informan ini juga tidak tahu apa pun tentang Atsumu selain rumor yang sudah beredar. Akan tetapi sampai mana rumor itu benar? Rumor tidak bisa dipercaya, aku telah menjadi korban dari rumor, dan rumor-rumor brengsek itu bahkan jauh dari kenyataan. Meskipun benar Atsumu tadi malam memang berniat untuk membunuhku, tapi ketika dia membuka topengku ... Aku menyentuh luka di leherku. Dia benar-benar berniat membunuhku. Akan tetapi, ekspresi Atsumu saat itu. Kenapa dia bisa bersikap demikian? Kenapa dia bisa memintaku untuk terus menjadi kekanakan dan ... ugh ... dia seorang informan, pasti tahu tentang hal itu.

Aku tidak tahu. Aku tidak peduli. Dan yang pasti aku tidak mau mendengarnya.

Yang terpenting sekarang adalah setelah ini bagaimana. Kalau mereka memang mencari batu malam itu, apakah mereka menemukannya? Apakah itu alasan mereka tidak lagi menyerangku? Memang apa pentingnya Batu Malam itu hingga mereka tidak segan membunuh Hinata yang masih berusia lima tahun?

"Nishinoya!" kata Sugawara lembut.

Aku segera terbangun. Aku masih bisa mendengar omelan panjang lebar Sugawara dan kepanikannya ketika tahu leherku terluka. Perlu berjam-jam bagiku mendengar omelannya ketika dia mengobati leherku, dan memergoki kepergianku saat malam. Setelah akhirnya satu jam terakhir aku bebas darinya, Sugawara kembali berdiri di depan pintu. Apa dia belum puas memarahiku? Aku memang memintanya tidak bersikap sebagai pelayan saat hanya berdua denganku, bukankah amarahnya keterlaluan? Yah ... meskipun aku sadar betul semua kejadian semalam pasti membuatnya khawatir setengah mati, karena mengingat betapa pucatnya dia, dan betapa suaranya penuh rasa syukur ketika tahu aku tidak terluka di tempat lainnya.

Sebaiknya aku lebih berhati-hati. Aku bersyukur Sugawara setuju untuk menyembunyikan hal itu sementara, tetapi dia juga mengancam akan memberi tahu kakek jika hal yang sama terjadi lagi. Beruntungnya aku belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Ada apa?"

"Tuan Miya Atsumu meminta bertemu denganmu."

"Ha?" Sugawara hanya menunduk sopan melihat keterkejutanku. "Kapan?"

"Beliau menunggu di ruang depan," katanya. "Apa seharusnya aku tidak memperbolehkannya masuk?"

"Kakek tahu tentang itu?"

"Ya. Beliau yang meminta Tuan Miya masuk."

Bukankah seharusnya dia mengirim surat terlebih dahulu. Haa ... pada akhirnya statusnya sebagai pahlawan perang membuatnya bisa bersikap semaunya. Lagipula apa yang bisa dilakukan bangsawan terlantar sepertinya? Keluarga Miya juga merupakan pelindung yang membuat keluargaku terus bertahan, kakek tentu tidak bisa mengabaikan kedatangannya.

Masalahnya adalah kenapa dia datang? Apa dia ingin mengungkit penyusupanku ke kediamannya semalam? Kalau memang benar begitu, bukankah lebih baik dia menangkapku semalam, dan menyeretku ke hadapan Kakek?

"Tidak," jawabku pada akhinya. "Aku akan menemuinya."

"Baik."

Sugawara undur diri. Aku mengecek penampilannya sebentar kemudian keluar. Dia bukan Lady yang perlu bersiap ketika seorang lelaki bangsawan datang menemuinya. Lagipula, Aku tidak tahu kenapa orang itu datang. Perban di leherku terpasang sempurna. Bagus. Ayo keluar dari cari tahu apa yang diinginkannya.

Atsumu duduk dengan tenang, dan memperhatikannya menuruni tangga. Sepasang mata rubahnya tampak awas memperhatikan setiap gerakanku seolah dia siap menerkamku begitu aku memilih melarikan diri. Dadanya membusung dengan penuh percaya diri, seolah sofa ruang pertemuan kami adalah singgasana yang terbuat dari emas.

Ini adalah sarangku, jadi aku mengangkat kepala penuh percaya diri. Tanpa kuduga, Atsumu tersenyum, tidak menyeringai, padaku, seolah menantang pandanganku. Tidak ada penyawal yang menemaninya. Pun pakaian yang digunakannya bukanlah pakaian resmi, melainkan pakaian berlatih biasa—dan aku bersyukur tidak mau repot-repot berpakaian yang sepantasnya ketika dia tidak mau repot-repot melakukannya—meskipun begitu dia tetap terlihat begitu mempesona. Ada pedang yang menggantung di sisi sofa.

Di meja, ada topengku yang terlepas tadi malam. Aku mengernyit tak suka.

"Apa yang kau inginkan hingga mau repot-repot kemari, Tuan Miya."

"Rude," balasnya tidak menjawab pertanyaanku. Matanya menatap fokus pada Sugawara yang berdiri di dekat pintu. "Kau yakin mau mendengar ceritaku sekarang, Nishinoya?"

"Sugawara, kau boleh pergi!"

"Tapi ..."

"Haruskah aku mengatakannya dua kali?"

Atsumu bersiul. Sugawara menunduk dan menghilang ke balik pintu. Aku menenangkan diri dan duduk di kursi terjauh dari Atsumu yang dimiliki ruangan ini. Rumor itu jelas salah, karena tidak menyantumkan semenyebalkan apa Atsumu sebenarnya. Bila dilihat dari dekat, Atsumu bukanlah lelaki bengis yang siap mengayunkan pedang ke leher siapa pun yang tidak dia suka.

Atsumu mengeluarkan topeng dengan bekas darah kering. Topeng yang kukenali sebagai milik informan yang kutemui kemarin malam.

Aku menarik ucapanku sebelumnya.

"Apa itu?"

"Kemarin kau pergi mendatangi informan itu tanpa topeng," jelasnya. "Itu tindakan terbodoh yang pernah kutahu. Jadi aku membereskannya untukmu."

"Dengan membunuhnya?" bentakku. Atsumu mengangkat sebelah alisnya, seolah dia baru saja melakukan hal terbaik yang bisa dia lakukan. Aku memijat kepala heran. "Kenapa kau melakukan hal itu?"

Sebelah alis Atsumu terangkat heran. "Untuk melindungimu, Bocah Dungu!"

Aku menggertakkan gigi. "Aku tidak minta dilindungi!"

"Akan kukoreksi," katanya santai. "Untuk melindungi kerajaan."

"Kenapa?"

Atsumu memangku kepalanya dengan tangan di atas meja. Matanya menatapku sungguh-sungguh. Ada sesuatu dibalik sorotnya yang bermain-main. Seolah Atsumu mahir menggunakan topeng untuk menutupi wajahnya yang asli. Sejujurnya, itu tidak mengherankan. Para rubah terkenal dengan kemampuannya dalam menipu.

"Sampai mana kau tahu tentang pembantaian keluargamu?"

Aku tidak menjawab saat itu juga. Sampai mana aku bisa menceritakan penyelidikan kecilku padamu, dan seberapa banyak yang kau ketahui.

"Aku kan hanya Bocah Dungu, menurutmu apa yang bisa kudapatkan?"

Atsumu mendengus. "Untuk ukuran Bocah Dungu kau tahu banyak hal."

Aku merengut. "Apa yang kau inginkan?"

"Seperti yang kukatakan kemarin," Atsumu berdiri. Dia mengambil topengku, dan berjalan ke arahku. Aku menatapnya menantang. Berharap dia mendapatkan pesanku bahwa aku tidak akan mundur. Namun alih-alih mengerti, Atsumu hanya tersenyum. Dia memasangkan topeng itu padaku. "Berhenti mencari tahu."

"Apa yang membuatmu berpikir aku akan menurutimu?"

Atsumu memiringkan kepalanya. Rambutnya menyibak, sehingga menunjukkan sedikit dahinya yang tergores luka peperangan. Setiap kali dia mendekatkan dirinya, aku sungguh berharap dia takkan mendengar detak jantungku. Intimidasinya berubah menjadi sesuatu yang lebih sensual ketika Atsumu tersenyum miring.

Tangannya meraih daguku, dan membawa tatapan kami bertemu. Aku bersyukur dia memasang topengku kembali, karena aku benar-benar merona.

"Tidak ada," katanya pada setelah akhirnya. "Kau adalah burung pemberontak kecil yang tidak mau mendengar ucapan orang lain. Bahkan saat pedang siap menggorok lehermu."

"Apa yang membuatmu sangat ditakuti?"

Mata Atsumu melebar sekilas, tetapi dia kembali pada ekspresinya yang tak terbaca. "Apa menurutmu? Bukankah kau juga takut padaku?" Aku tidak memiliki jawaban untuk itu. Atsumu tersenyum. "Apa yang akan kulakukan padamu sekarang?"

Atsumu menjauhkan dirinya, lantas menjatuhkan diri ke sofa, dan menyilangkan kaki. Aku baru mendapatkan kembali kesadaranku ketika dia kembali berbicara.

"Aku kemari karena Samu memintaku untuk membujukmu, tetapi tampaknya tidak akan berguna sama sekali."

"Karena itukah kau menggodaku?"

Sebelah alis Atsumu terangkat. "Percayalah, aku lah di sini yang tergoda denganmu."

"Darimananya? Aku ini laki-laki."

"Dan kau tergoda padaku, apa bedanya?"

Aku memberengut. "Dan mereka bilang kau adalah pembunuh berdarah dingin yang haus darah."

"Aku memang," jawab Atsumu sambil lalu. "Nah! Karena pembicaraan ini tidak akan mengarah kemana pun, bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?"

"Aku mendengarkan."

Atsumu tersenyum. "Aku akan membantumu mencari tahu tentang siapa saja yang terlibat, kenapa, dan membantumu balas dendam kalau perlu. Asal kau mau tinggal di kediaman rubah."

Aku mengerjap bingung. "Kenapa?"

Tanpa kuduga, Atsumu tersenyum lembut. "Sudah kukatakan sebelumnya, untuk melindungi kerajaan. Lagipula, kau tidak bisa menolak. Samu sudah mengatur semuanya, aku kemari hanya untuk menjemputmu."

"Brengsek!"

Aku segera bangkit, akan tetapi Atsumu telah memprediksinya. Dia segera mendorongku kembali duduk. Kedua tangannya mengukungku, dan memblokir jalan keluar. Seluruh tubuhnya menjulang tinggi. Matanya menatapku tajam, sementara dia menyeringai. Aku menggeram. Seharusnya aku membawa belatiku meski kami berada di daerah kekuasaanku.

Sugawara melangkah masuk. Siap dengan pedang, bersama lima penjaga berzirah lengkap. Atsumu hanya menatap mereka sekilas, dan memutuskan mereka bukan ancaman. Wajah Sugawara merah padam karena marah, dan aku hanya memandangnya sekilas, dan kembali pada Atsumu yang menjulang di depanku.

"Nah, mari jangan membuat keributan!" katanya. "Kalian pasti tahu apa maksudku."

Ruangan itu terasa semakin mencekam. Aku bisa melihat kilatan sihir muncul dan menyelimuti Atsumu dengan wujud aslinya. Rubah. Taringnya menyembul dari bibirnya yang penuh. Cakar-cakar mulai memanjang pada jemarinya di dadaku. Cakar-cakar tajam yang mampu membunuh orang tanpa kesulitan. Atsumu seolah mengatakan, dia bisa membantai semua yang menghalanginya, bahkan ketika pedangnya berada jauh di sana. Bagaimana bisa aku meremehkannya? Sekalipun dia bertindak sangat tenang seolah tidak mengancam sedari tadi, yang di depanku adalah Miya Atsumu. Sekalipun yang kudengar hanyalah rumor-rumor, tetapi satu hal tentangnya adalah kebenaran.

Bahwa dia tidak akan segan membunuh siapa pun yang tak disukainya.

Aku meneguk ludah susah payah, dan mengangkat tanganku pada Sugawara. Setidaknya, dia tidak boleh mati karena ini.

"Apa maumu?"

"Tinggal di kediaman rubah, dan aku akan memastikan seluruh anak buahmu baik-baik saja."

"Aku mengerti."

"Nishinoya!"

"Bagus," jawab Atsumu sembari tersenyum lebar. "Nah, segeralah bersiap-siap, karena kita akan berangkat sekarang."

Aku menatap Atsumu lekat-lekat, dan mendesah lelah.

Betapa rapuh titian tali yang akan kulewati mulai sekarang.

To Be Continued

Sesuai janjiku masih satu hari kan ya. Wkwkwk ... aku struggle banget sama cara ngomong mereka karena ini pertama kalinya aku nulis cerita historical, dan au ah, aku nggak pernah baca novel historical masa. I dig my own grave,and i jump in it with tears of joy. Tapi ya sudahlah. Apakah ini panjang, nggak tahu, harusnya enggak. Seperti yang kujanjiin kemarin, mungkin nggak akan lebih panjang dari Gagak yang tidak bisa terbang. Seharusnya sih.

Terima kasih sudah membaca, dan sampai jumpa di chapter depan.