Satu tahun yang lalu...

.

.

.

Sebuah mobil van hitam memasuki lokasi syuting yang terletak di komplek perumahan elit. Dari balik pintu yang terbuka, keluar seorang perempuan berambut hitam kebiruan, memakai setelan berwarna krem dengan celana bahan senada dan sepatu hak coklat. Ia mengenakan kacamata berframe hitam, juga menguncir rendah rambut panjangnya.

Setelah ia berdiri di samping pintu mobil, kini giliran seorang wanita muda berambut pirang muncul. Dari penampilannya jelas terlihat, bahwa dia salah satu dari aktris yang akan melakukan syuting hari ini.

Yamanaka Ino, adalah seorang aktris muda berbakat yang tengah naik daun. Semua drama yang dibintangi selalu mendapatkan rating tertinggi. Ia juga muncul di berbagai majalah fesyen, acara reality show, dan masih banyak lagi. Kesuksesannya tidak hanya berasal dari kerja keras, kedispilinan, dan bakatnya. Ada sosok lain yang menjadi faktor penting dalam karirnya sebagai idola, yaitu sang manager.

"Selamat siang semua. Mohon bantuannya hari ini, dan kebetulan ini ada sedikit makanan ringan untuk para staf."

Hyuuga Hinata, Manager Yamanaka Ino, umur dua puluh tujuh tahun, terkenal dengan sebutan Super Girl.

"Begitu juga dengan kami, mohon bantuannya." Seorang pria berambut perak membalas sapa. "Terima kasih untuk makanan ringannya, Hinata-san," sambungnya.

"Kami juga mohon maaf karena datang sedikit terlambat dari jadwal. Acara interview ternyata agak memakan waktu." Hinata melirik sekilas kegiatan syuting di belakang Kakashi dengan tatapan bersalah.

Pria bermata hitam itu tertawa santai, ia bahkan mengibaskan tangan. "Tidak perlu meminta maaf. Kebetulan kami harus melakukan re-take di beberapa scene."

"Hinata-chan! bisakah kau mengambilkan tasku di mobil?" suara Ino dari kejauhan terdengar.

"Baiklah, tunggu sebentar." sahut Hinata, ia kemudian pamit undur diri dan melangkah menuju mobil van untuk mengambil barang yang diminta aktris-nya.

Setelah menutup pintu mobil usai mengambil tas, ia tidak sengaja menabrak salah satu kru begitu membalik badan. Beberapa barang jatuh dari atas kardus, yang dibawa oleh pria tinggi dengan masker hitam menutupi separuh wajah. Hinata segera memungutnya, namun ketika hendak menaruh kembali, ia terdiam.

"Aku bantu bawakan ini, mau ditaruh di mana?" tanya Hinata sambil tersenyum tipis. Ia tidak tega melihat pria di depannya membawa banyak barang.

Pemuda dengan kaos lengan pendek berwarna hitam dan memakai topi itu membungkuk singkat. "Terima kasih," katanya lalu melangkah bersama Hinata di sampingnya.

Mata rembulannya melirik ke samping, memerhatikan penampilan laki-laki itu. Tubuh tinggi menjulang dengan kulit kecoklatan, pundak yang lebar, dan otot lengan yang terlihat. Pria ini memiliki tubuh ideal dan karisma seorang model. Ia bahkan tidak perlu melepaskan masker dan topi hitamnya untuk terlihat keren. Sangat disayangkan jika batu permata sepertinya tidak diasah.

"Apakah ada sesuatu di wajah saya?" pria itu tiba-tiba berucap, mengejutkan Hinata hingga ia tersenyum kikuk. Pemuda itu menaruh barang di atas meja, sebelum kembali berkata. "Anda memperhatikan saya cukup lama."

"Maaf jika sikap saya membuatmu tidak nyaman," Hinata lalu mengeluarkan kartu nama agensi tempatnya bekerja. Ia menyodorkannya dengan harapan, pria itu berniat mencoba menjadi seorang idola. "Saya merasa Anda memiliki aspek penting untuk menjadi seorang model. Jika Anda ingin mencoba, silahkan menghubungi saya di nomor ini."

Pemuda itu tidak langsung menerima kartu nama yang diberikan. Ia malah melihat Hinata dengan kening berkerut samar, tidak mengerti aspek apa yang membuatnya terlihat sebagai calon model? tak lama kemudian, sebuah gelengan ia berikan dan mendorong pelan kartu nama di tangan Hinata.

"Saya tidak ada minat menjadi model, saya lebih suka menjadi orang di belakang layar." ucapnya lalu membungkuk dalam, tanda ia benar-benar menolak tawaran Hinata.

Tanpa banyak bicara lagi, pria itu pergi meninggalkan sang manager. Hinata terdiam, menatap lekat punggung kekar yang mulai menjauh. Ia menghela napas pelan, sungguh rasanya sangat disayangkan, namun ia juga tidak berhak untuk memaksa. Akhirnya Hinata kembali melangkah menuju tempat Ino yang sedang dirias.

Sejak ia datang membawakan tas yang diminta, Ino tidak henti-hentinya menatapnya dengan sudut bibir terangkat. Hinata mencoba menghiraukannya, karena ia tahu bahwa aktris-nya itu sedang ingin menggodanya.

"Jadi siapa yang kau pilih? Kakashi-san atau pria bertopi hitam yang menolakmu?" tanya Ino sambil menaik turunkan alisnya. "Kalau pendapatku, kau lebih baik memilih Kakashi-san. Seorang wanita bisa bahagia jika dicintai, bukan mencintai."

Hinata berdecak pelan, ia menahan diri untuk tidak menyentil kening Ino, mengingat setelah ini adalah giliran aktrisnya berakting. Ia memutar bola matanya malas, "Tidakkah kau berpikir sangat disayangkan, jika laki-laki itu tidak menjadi model dengan tubuh proporsional dan karismanya itu."

"Cih! dikepalamu itu isinya hanya kerjaan saja. Tidakkah kau sadar, sudah waktunya kau itu mencari pendamping hidup, atau setidaknya teman kencan!"

"Lalu siapa yang akan mengatur jadwalmu, mencari tawaran pekerjaan, dan mengurusimu yang lebih merepotkan dari anak bayi?" Hinata mendengkus geli, lalu membuka jurnal, mengecek kembali jadwal Ino untuk hari ini. "Kau harus menyelesaikan bagianmu dengan sekali take. Jika tidak, maka jadwalmu akan mepet dan kita terpaksa pulang malam lagi."

Raut wajah Ino memucat mendengarnya, ia menggeleng ngeri membayangkan harus pulang subuh-subuh seperti dua hari yang lalu. "Tidak akan! kulitku butuh istirahat yang cukup agar tetap sehat dan cerah!"

Hinata menepuk pundak aktrisnya sambil tersenyum hingga kedua matanya menyipit. "Benar, semua tergantung dirimu, Ino. Semangat!" katanya sambil mengepalkan tangan.

Hari itu Ino berhasil melakukan bagiannya dalam sekali take, namun untuk pekerjaan selanjutnya mereka memiliki kendala. Ada saja masalah yang timbul, hingga memperlambat pekerjaan mereka. Stylist yang terjebak kemacetan, kamera yang mengalami down, sampai kesalahan teknis, membuat mereka terpaksa pulang larut malam.

Hinata tiba dirumahnya pukul tiga pagi. Setelah melepaskan sepatu, kemeja dan menggerai rambut panjangnya. Hinata melempar tubuhnya ke atas kasur, berbaring telungkup, menghela napas lelah. Tidak lama kemudian suara napas tipis terdengar, Hinata sudah tertidur pulas, tanpa sempat berganti baju, maupun mencuci muka.

...

Seminggu berlalu dengan kepadatan jadwal yang intens. Hinata duduk di bawah pohon rindang, memerhatikan Ino sedang berakting di kejauhan. Ia lalu mengeluarkan sebuah cermin bulat sebesar telapak tangan, Hinata meringis pelan ketika melihat noda hitam samar di kantung mata. Belum lagi rasa pening di kepala yang ia rasakan sejak tadi pagi.

Sebagai seorang manager, ia harus menjaga kesehatannya, harus lebih memiliki banyak stamina. Agar mampu melakukan yang terbaik untuk mendampingi idola mereka. Karena itu Hinata merogoh sebuah botol kecil berisi vitamin, menegaknya dengan bantuan air mineral.

"Sadarlah, Hinata!" ucapnya sambil menepuk kedua pipi, berharap tetap terjaga.

Namun cuaca saat ini benar-benar mendukung untuk tidur siang. Matahari yang tidak terlalu terik, embusan angin pelan serta udara yang hangat. Membuat perlahan kedua mata perak itu mulai terpejam. Tidak butuh waktu lama, Hinata sudah tertidur pulas di bawah pohon.

"Nona manager?" panggil seseorang, namun ketika melihat Hinata sedang tertidur, ia terdiam.

Laki-laki bertubuh tinggi dengan kulit kecoklatan itu, berdiri di samping Hinata. Ia mengangkat wajah, mencoba menghalau sinar mentari menggunakan tangannya. Ketika mata birunya beralih pada Hinata, dan melihat wajah wanita itu terkena bias cahaya matahari. Ia melepaskan topi hitamnya, berjongkok hingga tinggi mereka sejajar, kemudian memakaikan topi pada sang gadis dengan hati-hati agar tidak terbangun.

Sejenak ia memerhatikan lekat-lekat wajah tidur Hinata, sudut bibirnya sedikit terangkat. Pemuda itu kemudian bangkit, namun tidak ada niat untuk beranjak pergi, ia hanya berdiam berdiri di sana.

.

.

.

Continue...