Matahari bersinar cerah hari ini, bahkan kalah cerah dengan cengiran Taufan yang diobral sepanjang koridor. Tak lupa dia juga menyapa setiap orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Memangnya kenal? Tentu saja tidak. Dia hanya asal menyebut berbagai nama yang terlintas di pikirannya. Respons yang didapat cukup beragam. Ada yang cuek bebek, ada yang mengernyit, dan ada juga yang menatap seolah Taufan itu alien tersesat dari planet Atata Tiga.
Taufan tidak peduli, yang penting hari ini dia merasa senang. Usut punya usut, jam pertama hari ini adalah kelas olahraga, mata pelajaran favoritnya sepanjang masa. Karena, hanya dalam mata pelajaran olahraga, Taufan merasa tidak perlu memakai otaknya untuk berpikir terlalu keras.
Sampai di depan kelas, Taufan membuka pintu lebar-lebar ala tokoh utama kartun kalau sedang bahagia.
"Selamat pagi, mahluk fana!" sapanya pada para penghuni kelas yang jumlahnya tidak lebih banyak dari topeng-topeng di dinding.
Ada Solar yang khusyuk membaca buku—hanya dengan melihat ketebalannya saja membuat kepala Taufan mendadak migrain. Ada Yaya dan Ying yang asik bergosip tentang sains—yang terdengar seperti percakapan sehari-hari penduduk asli planet Atata Tiga. Terakhir Halilintar yang tidak melakukan apapun, selain bernapas dan menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangan di atas meja.
Taufan berjalan santai ke mejanya. Namun, matanya tak sengaja menangkap sebuah benda asing. Kemudian dia berjalan mundur sampai di depan benda itu dan mengerutkan alis saat melihat bayangannya sendiri.
"Kayaknya kemarin nggak ada deh," ujar Taufan entah ditujukan untuk siapa.
Di depannya ada sebuah cermin berukuran 40 cm x 60 cm berbingkai kayu minimalis berwarna putih, menggantung tak jauh dari papan tulis. Taufan rasa, kelas E tidak kekurangan dekorasi. Ayolah, ada banyak benda bernilai seni di kelas ini Jadi, untuk apa menambahkan cermin?
Taufan menatap penghuni kelas satu per satu, berharap salah satu dari mereka ada yang memberinya penjelasan. Begitu padangannya bersirobok dengan Ying, gadis itu tiba-tiba menggerakan kepalanya ke arah Solar yang sedang asyik sendiri. Taufan melongo, tak paham sama sekali. Selain sering menggunakan bahasa penduduk asli planet Atata Tiga, Ying juga diketahui kadang-kadang suka berbicara menggunakan bahasa kalbu, sayangnya hanya bisa dimengerti oleh segelintir orang terpilih.
"Apaan sih?" protesnya.
Ying menggerakan bibir tanpa suara, yang bisa diartikan: punya dia. Tak lupa kepalanya bergerak miring beberapa senti ke arah Solar. Taufan baru paham sekarang.
Tiba-tiba Solar menutup bukunya. Sebelum keluar dari kelas, dia menyempatkan mematut diri di depan cermin; membenahi rambut dan kausnya.
"Dih, orang lain bawa cermin yang bisa dikantongin, bisa-bisanya dia bawa cermin yang bisa digantung seenaknya di dinding kelas. Ukurannya gede lagi. Kalau aku yang begitu pasti langsung didamprat guru BK," cerocos Taufan setelah Solar pergi.
"Hidup emang nggak adil. Biasain diri, aja," celetuk Ying.
Taufan masih mencerocos dalam hati. Sepertinya aura cerahnya mendadak terserang masuk angin.
E Class
Story by Sky Liberflux
Disclaimer: Boboiboy sepenuhnya milik Monsta
Bab 3: Sticky Note
Warning: Indonesia!AU, OOC, dan gaje.
Bahkan sebelum bel masuk berbunyi, sudah banyak orang yang berkumpul di lapangan. Mereka adalah para siswa yang punya jadwal olahraga hari ini. Bukan karena rajin, tetapi karena takut diusir gurunya.
Walaupun sudah mendarat di sekolah itu setahun lalu, nyatanya pamor sang guru tidak juga lekang oleh waktu. Wajahnya yang mirip Kapten Amerika versi oriental membuatnya sering menjadi perbincangan panas, tetapi fokus perbincangan kali ini bukan pada wajahnya, melainkan karena kebiasaan on time-nya yang bisa membuat manusia malas mendadak punya semangat hidup, setidaknya hanya saat dia mengajar.
Selain topik tentang guru olahraga jelmaan Kapten Amerika, topik panas hari ini juga jatuh ke penghuni kelas E. Siapapun yang mendengar rumor soal pembukaan kelas baru pasti penasaran pada wajah-wajah penghuni kelas bungsu itu. Apalagi posisi kelas itu terpencil, jauh dari jajaran kelas para siswa tahun pertama. Sehingga kebanyakan dari mereka cukup kesulitan mengobati rasa ingin tahunya.
Namun, tampaknya para siswa kelas A cukup beruntung, karena dengan sendirinya para penghuni kelas E menampakkan wujudnya sebelum jam olahraga dimulai. Barulah mereka tahu, mulai hari ini sampai seterusnya kelas E akan bergabung dengan kelas A di kelas olahraga.
Tepat ketika bel pertama pagi itu berbunyi, Kaizo sudah berdiri menjulang seperti tiang listrik di lapangan outdoor. Beberapa anak terlihat terbirit-birit memasuki lapangan. Untungnya Kaizo masih mengizinkan mereka bergabung, meski diberi bonus istimewa.
Hari ini, materi yang akan dipelajari adalah permainan bola voli. Usai melakukan pemanasan dan lari berkeliling lapangan, Kaizo mengumpulkan mereka di salah satu sisi lapangan. Kaizo mencontohkan teknik-teknik dasar bermain voli, seperti passing bawah, passing atas, servis dan smash.
Kaizo melihat-lihat daftar nama siswa kelas A dan E miliknya. Matanya bergerak naik turun sebelum memilih beberapa nama secara acak. "Solar, coba praktekkan apa yang saya contohkan tadi," pintanya.
Air mukanya terlihat enggan, tetapi Solar tahu, dia tak bisa mengelak. Selain Solar, ada seorang lagi dari kelas A. Masing-masing dari mereka ditempatkan di sisi lapangan yang berbeda.
Praktek pertama, Solar diminta melakukan servis atas, sedangkan anak kelas A yang berada di depannya diminta melakukan servis bawah.
Solar memantulkan bola itu beberapa kali di tanah sebelum melemparnya ke atas, lalu bola itu dipukulnya dengan telapak tangan. Sayangnya, servis yang dilakukannya, tak sampai ke wilayah lawan, malah menabrak net dan mendarat di wilayah sendiri.
"Cukup bagus, Solar. Coba sekali lagi," ucap Kaizo sambil mencatat sesuatu di catatannya.
Solar mengambil bolanya, lalu berlari kecil ke belakang.
"Hitungan fisika-nya dipakai dong, biar bolanya tembus net. Masa anak pintar nggak bisa," celetuk seorang anak laki-laki kelas A dari sisi lapangan.
"Mana bisa, pintarnya juga karena orang dalam," sahut anak lain. Tak lama kemudian tawa mengejek terdengar dari gerombolan anak laki-laki itu.
Solar tak membalas ucapan mereka. Dia kembali melakukan servis atas sesuai arahan Kaizo. Kali ini bola melambung bukan hanya melewati net, tetapi keluar lapangan dan mengenai gerombolan anak laki-laki kelas A.
"Sorry, fans. Hitungan fisika-ku salah rumus," ucap Solar sambil mengangkat bahu tak acuh, mengabaikan gerombolan itu yang menggeram bagai kucing disiram air.
Kaizo meniup peluitnya kuat-kuat. "Solar, berhenti main-main. Saya tahu kamu bisa. Sekali lagi!"
Air muka Solar semakin masam. Solar kembali melakukan servis atas, meski terlihat asal-asalan, ajaibnya bola masuk ke wilayah lawan dengan mulus.
Sementara itu, di sisi yang lain Taufan bertepuk tangan riang melihat pertikaian itu, bahkan dia yang paling semangat menyoraki agar mereka saling baku hantam saja daripada cuma saling cibir satu sama lain. Taufan baru berhenti setelah mendapat toyoran dari Yaya.
"Topik itu masih aja dibahas," keluh Ying sambil menonton Solar yang sekarang tengah mempraktekkan gerakan smash. Ying duduk bersila, kedua tangan digunakan untuk memangku wajah. Wajahnya terlihat bosan.
"Udah nggak aneh, Ying."
"Orang dalam? Maksudnya Solar nyogok?" tanya Halilintar. Jujur saja, ada banyak hal yang membuatnya bingung. Dia merasa seperti makhluk yang baru keluar dari gua, walaupun pada kenyataannya memang kurang lebih seperti itu.
Baik itu Yaya, Ying dan Taufan menatap Halilintar seolah dia mahluk dari planet lain. Namun, ketika Taufan berbisik soal new comer, Yaya dan Ying mengangguk paham. Bagi mereka yang bukan alumni SMP Budi Asih, topik ini pasti tidak familiar dan membingungkan, meski Yaya dan Ying tak lagi heran kalau yang bingung itu Halilintar. Pasalnya anak itu memang sudah terlihat kebingungan sejak hari pertama mereka bertemu di kelas.
"Kamu udah dengar tentang Solar, ya?" tanya Yaya kemudian.
"Sedikit dari Taufan."
"Dia nggak cerita aneh-aneh tentang aku dan Ying, kan?"
Taufan menoleh sambil mengerucutkan bibir. "Nggak boleh suudzon gitu, Yaya."
"Solar memang punya orang dalam. Setahuku, ayahnya orang penting di Surya Farma, perusahaan yang mendirikan Yayasan Pendidikan Sang Perintis," ungkap Yaya.
"Sepenting apa ayahnya?"
Kali ini Taufan yang menjawab, "Nggak ada yang tahu. Tapi, beberapa kali aku pernah lihat ayahnya datang ke sekolah. Penampilannya sih memang kayak orang penting."
"Office boy juga orang penting," sela Ying.
"Ya nggak lah."
"Nggak ada office boy berarti nggak ada yang bersih-bersih. Nah, penting kan?"
"Iya juga, ya?" Taufan mengerutkan alis, mulai ragu dengan pengetahuannya sendiri. "Tapi, nggak mungkin ayahnya cuma office boy." Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan dahi, sementara itu asap tipis keluar dari pori-pori kulit kepalanya, itu menandakan otaknya sedang berpikir keras. Taufan berusaha memecahkan misteri seberapa penting posisi ayah Solar di Surya Farma, walaupun pengetahuan itu tidak penting bagi kehidupan sekolahnya.
"Omong-omong aku penasaran, Fan. Kamu kok masih bisa sekolah di sini? Aku pikir kamu udah di-blacklist sama yayasan" tanya Yaya, mengalihkan pembicaraan.
Taufan mengangkat bahu. "Nggak tahu, cuma keberuntungan, mungkin." Ketika matanya bersirobok dengan Halilintar yang kebingungan, Taufan tersenyum kering. "Nggak usah kepo, Hali."
~o0o~
"Kenapa disundul, kamu pikir sepak bola?" sembur Taufan setelah melihat cara Halilintar menerima bola.
Tangan Halilintar memang berusaha menerima bola sebagaimana mestinya, tetapi pikiran dan tubuhnya tidak sejalan. Alhasil, bukan tangannya yang bekerja, melainkan kepala dan membuat bola terlempar ke luar lapangan.
"Bolanya cepet banget!" teriak Halilintar tak kalah emosi. Sejujurnya dia kesal sendiri karena sejak tadi dituduh menjadi penyebab tim mereka kehilangan poin. Dari mulai bola yang diterimanya menabrak net karena dipukul terlalu lemah, atau bola terlempar ke samping karena dia belum bisa mengatur arah.
"Ya mana ada smash pelan-pelan!"
"Udah cukup, jangan berantem," ucap Gempa menengahi.
Karena jumlah yang tidak proporsional untuk membentuk tim voli, tadinya kelas E tidak akan diajak bertanding dengan skor lima poin dalam satu set. Namun, Taufan merengek di depan Kaizo demi bisa ikut bermain mewakili kelasnya. Awalnya Kaizo tidak menggubris, tetapi semakin didiamkan kelakuan Taufan semakin mirip cacing kepanasan yang habis menelan toa, berisik dan tidak mau diam. Akhirnya Kaizo mengizinkan asal dari kelas A ada yang mau menjadi penggenap, lalu Gempa yang mengajukan diri, maka terbentuklah koalisi EA.
Gempa tidak berekspektasi akan menang, toh memang simulasi ini gunanya hanya untuk mengukur sejauh mana kemampuan mereka. Namun, jiwa kompetitifnya tersulut setelah mendengar celotehan siswa kelasnya sendiri yang mengatakan koalisi EA tidak lebih dari sebuah rombongan sirkus.
Kekompakan adalah kunci dalam bermain voli, Gempa percaya itu. Namun bagaimana bisa kompak kalau masing-masing pemain punya ego sendiri. Makanya, dalam waktu kurang dari lima menit, timnya belum mencetak poin sama sekali. Walau sulit diakui, tetapi ucapan teman kelasnya sedikit benar. Gempa tak menyangka kerjasama kelas E sekacau ini.
"Ok, Fokus, guys!" ucap Gempa sedikit berteriak. Dalam situasi seperti ini, teriakan harusnya jadi penyemangat, tetapi justru malah menimbulkan percikan.
"Semangat banget, padahal lagi ngelawan kelas sendiri. Biar apa?" tanya Solar sambil melipat kedua tangan di dada, tubuhnya bersandar dengan satu kakinya.
"Yang penting ada kontribusinya. Nggak kayak kamu, udah jelas bola masuk malah dianggap out, pakai alasan takut tangan kamu sakit gara-gara kena bola lagi." Bukan Gempa yang menjawab, melainkan Taufan. Sempat-sempatnya Taufan menoleh ke arah Gempa dan mengacungkan jempolnya.
"Seenggaknya, mulutku nggak nyerocos sok ngatur-ngatur."
Wajah Taufan berubah dalam sekejap. Untungnya Yaya lebih dulu menengahi sebelum Taufan benar-benar meledak. "Udah, udah nggak usah ribut."
Solar tersenyum kering. "Kamu aja tadi ribut terus sama Ying, kenapa aku nggak boleh ribut sama Taufan?"
"Hei," panggil salah satu anggota tim kelas A, kepalanya menyembul dari balik net. "sampai kapan kalian mau berantem sendiri? Ngaku kalah ajalah. Kebobolan sekali lagi juga kalian kalah, kok."
"Berisik!" teriak Yaya, Solar dan Taufan kompak.
Gempa dan Ying segera menengahi. Mereka kembali ke posisi semula, yang mana Yaya dan Ying ada di posisi depan sebagai penyerang dan sisanya di posisi belakang sebagai pertahanan.
Permainan kembali dilanjutkan. Tidak seperti permainan sebelumnya, kali ini kedua tim sama-sama serius, meski sebenarnya tidak semua tim koalisi EA serius bermain.
Selama beberapa saat bola memantul dari sisi yang satu ke sisi yang lain, beberapa pasang tangan memukul bola agar berpindah dari wilayahnya ke wilayah lawan. Reli yang cukup panjang dari sebelumnya. Hingga saat beberapa pemain kelas A melakukan blocking di depan net, Yaya melihat ada kesempatan.
"Ying, umpan," pinta Yaya usai melihat celah.
Ying memberikan umpan yang diminta, dia membuat bola melambung dengan kedua tangan ke atas, lalu Yaya mengambil ancang-ancang sebelum memukulnya kuat-kuat. Gadis itu melancarkan smash keras yang sialnya mengenai wajah salah satu pemain kelas A. Anak itu mengaduh sambil menutup wajahnya yang menjadi sasaran bola.
Yaya terkejut sampai menutup mulutnya sendiri. "Maaf, aku nggak sengaja," ujarnya.
Dari sisi lapangan, Kaizo meniup peluitnya, membuat pertandingan terhenti sementara.
Taufan langsung menghampiri Halilintar dan Gempa yang sejak tadi menjaga posisi belakang. Tak lupa dia mengajak Gempa bertukar tos. Namun, ketika akan melakukan hal yang sama dengan Halilintar, dia malah bertukar tos dengan udara kosong, karena Halilintar sendiri malah menarik tangannya menjauh.
"Apaan sih? Tos sama aku nggak akan bikin tangan kamu kotor," Taufan mencibir.
"Nggak usah."
"Iya, mendingan nggak usah," ucap Gempa ikut-ikutan. Ketika Taufan bertanya penyebabnya, Gempa hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng.
Sementara itu, Solar mengambil bola voli yang menghantam wajah siswa kelas A tadi, mengamati bola itu dari berbagai sisi, kemudian matanya melirik Taufan yang berdiri membelakanginya; mengobrol berhadapan dengan Halilintar dan Gempa. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk menimpuk kepala Taufan. Solar mulai menghitung jarak dan presisi, kemudian dilemparkan bola itu ke arah Taufan.
Taufan tiba-tiba jongkok tepat sebelum bola benar-benar menghantam kepalanya. Bola itu kehilangan sasaran dan mendarat di dahi Halilintar dengan bunyi keras.
Halilintar terhuyung ke belakang, permukaan dahinya terasa cenat cenut. Dia menoleh ke arah datangnya bola dan menemukan Solar tengah menatapnya sambil mengangguk seperti hiasan mobil berkepala besar.
"Kamu ada masalah apa, Sol?"
Solar mengangkat bahu. "Bukan apa-apa. Cuma mau buktiin sesuatu, eh malah meleset."
"Buktiin apa? Sini kepalamu kulempar bola juga!"
Sementara itu, Gempa kesulitan menghentikan kakaknya yang bernafsu menyambar Solar.
~o0o~
"Tugas minggu ini …."
Padahal, Kaizo belum selesai bicara, tetapi mendengar 'tugas' disebut-sebut, hampir semua orang mengeluh berjamaah. Sudah menjadi rahasia umum, tugas dan pelajar adalah musuh bebuyutan, tetapi mereka tidak bisa dipisahkan.
"Pertama, buat rangkuman tentang sejarah perkembangan bola voli di dunia dan di Indonesia. Kedua, tonton video tentang pertandingan bola voli, lalu buat catatan tentang variasi dan kombinasi teknik dasar bola voli berdasarkan video yang kalian tonton. Ada pertanyaan?"
Taufan mengacungkan tangan. "Kenapa tugasnya banyak, Pak?"
"Mau saya tambahin, Taufan?"
Taufan bungkam seketika, terutama setelah dirinya dipelototi banyak orang, karena berpotensi menambah beban tugas mereka. Untungnya Kaizo tidak benar-benar menambah tugas untuk minggu depan.
Setelah itu mereka membubarkan diri. Halilintar berjalan santai bersama Gempa, sementara itu teman-temannya yang lain sudah lebih dulu melesat ke ruang ganti, ada juga yang melipir ke kantin.
"Gimana, sekolah asyik, kan?" tanya Gempa sambil menyikut main-main lengan kakaknya.
"Asyik apanya?" keluhnya. Namun, apa yang tampak tidak sejalan dengan apa yang dia rasakan. Tak bisa dipungkiri Halilintar merasa semua yang terjadi hari ini tidak seburuk yang dia kira. Dia menunduk, tanpa sadar sebuah senyum kecil tercetak di wajahnya. Sayangnya, senyum itu luntur secepat kedatangannya.
"Gempa," seru Kaizo dari arah belakang. "bisa bantu saya sebentar?"
"Bisa, Pak," jawabnya. "Kakak duluan aja." Gempa melesat mendekati Kaizo yang kesulitan membawa beberapa peralatan, bola-bola itu sebagian telah berpindah ke tangannya.
Halilintar melanjutkan langkahnya menuju ruangan yang letaknya tak jauh dari toilet di lantai dasar gedung satu. Ruangan itu khusus digunakan sebagai ruang ganti bagi kelas manapun, hanya dibedakan menurut gender.
Di ruangan itu Halilintar menemukan empat jalur lemari besi yang menjulang tinggi. Satu jalur lemari besi terdiri dari dua bagian. Lemari-lemari itu biasanya dimanfaatkan sebagai loker untuk menyimpan pakaian ganti.
Kemudian, Halilintar menghampiri loker tempat dia menyimpan barangnya. Harusnya hanya ada tas, topi dan pakaian ganti miliknya di sana, tetapi matanya tertuju pada benda asing dengan warna mencolok mata. Ada sebuah sticky note berwarna kuning es mambo di atas pakaian gantinya. Halilintar mencabut sticky note itu dan membaca isinya. Kemudian alisnya bertaut.
'Akhirnya aku menemukanmu, MG2-072.'
Halilintar membolak-balik sticky note itu, berharap ada nama atau inisial penulisnya, tetapi nihil. Dia memakai kemejanya dengan perasaan bingung. Apa maksudnya MG2-072? Terdengar seperti nama virus mematikan, batinnya. Namun, Halilintar tersinggung sendiri, kalau MG2-072 berarti virus, kenapa diletakkan di atas kemejanya? Dia manusia, bukan virus.
"Hei, anak kelas satu!" teriakan disertai gebrakan pada lemari besi membuat Halilintar terlonjak. Spontan dia memasukkan sticky note itu ke kantong celana olahraganya. Usai menutup pintu lemari, dia menemukan dua orang asing dengan cengiran lebar seperti kuda.
"Aku dengar larimu cepet banget," ujar seorang pemuda berkacamata di depannya.
"Kayak kilat," sahut pemuda lain. Gerakan tangannya membentuk kilat imajiner untuk menggambarkan kecepatan berlari Halilintar.
"Namaku Amar," kata pemuda berkacamata, tangannya diulurkan ke depan Halilintar, tetapi tangannya tidak kunjung disambut. Amar kembali menarik tangannya dengan salah tingkah. "Minat gabung ke ekskul atletik nggak? Aku yakin bakat kamu nggak akan sia-sia deh."
"Nggak, makasih," jawab Halilintar. Singkat, padat dan penuh pertimbangan.
Kedua siswa itu tak kunjung menyerah, bahkan mereka memblokir jalan Halilintar.
"Kamu tuh punya bakat jadi atlet lari lho. Percaya sama aku. Kalau kamu lari dari kenyataan, kenyataan bisa ketinggalan jauh di belakang."
Halilintar cukup tersinggung. Memangnya kenyataan itu apa sampai bisa disalip? Lagipula, siapa juga yang mau lari dari kenyataan?
"Aku ada kelas, permisi." Halilintar mengambil jalan memutar ke sisi lain lemari besi. Begitu berhasil keluar dari ruang ganti, dia buru-buru melesat ke gedung dua.
Gedung dua berdiri tepat di samping gedung satu. Gedung ini digunakan untuk kelas konsentrasi bagi tiga angkatan. Bentuknya seperti dua gedung yang digabung menjadi satu. Di lantai dasar, Halilintar disambut dua buah tangga besar yang berbentuk seperti buku-buku raksasa yang ditumpuk menuju lantai dua. Susuran tangganya terbuat dari kayu berukiran tanaman bunga hollyhock dan dicat serupa tanaman aslinya.
Benar kata orang, penyesalan itu selalu berada diakhir. Tempo hari, ketika panitia MOS mengajak para siswa angkatan baru tur berkeliling sekolah, Halilintar malah kabur ke suatu tempat. Akibatnya, sekarang dia tidak tahu tangga mana yang harus dilalui. Kanan atau kiri? Kata orang, pilih kanan dulu dibanding kiri, tetapi kalau salah bagaimana? Halilintar mengacak-ngacak rambutnya sendiri.
Berdirinya Halilintar di antara dua tangga besar itu mengundang berbagai tatapan orang-orang, bahkan ada yang menatapnya dari atas sampai bawah, Halilintar menyadari hal itu. Memakai dasi berwarna hitam putih tentu akan mencolok di antara para pemakai dasi berwarna cerah. Jujur saja, dia benci menjadi pusat perhatian. Namun, ada peraturan tertulis tentang kewajiban memakai dasi di lingkungan sekolah. Sebagai antisipasi, Halilintar memakai topi hitam kesayangannya dengan lidah topi mengarah ke depan, bertujuan agar wajahnya sedikit tertutupi. Setidaknya saat terpaksa menjadi pusat perhatian, dia tak akan melihat tatapan orang-orang. Halilintar berterima kasih pada Gempa dalam hati, karena memberinya ide semacam ini.
"Mencapai tempat yang tinggi dengan ilmu, itu salah satu motto sekolah. Lihat tangganya, bentuknya kayak buku, kan? Maknanya, buku adalah jalan buat mencapai tempat yang tinggi itu. Dua tangga ini beda arah tujuan, tergantung apa yang kita pilih. Sengaja tingginya dibuat sama, karena mau itu ilmu alam atau ilmu sosial, nggak ada yang lebih baik dari yang lain, semua bermanfaat di bidangnya masing-masing. Itu kata panitia MOS," papar Taufan sambil berjalan mendekati Halilintar, cengiran lebar tidak lepas dari wajahnya, barangkali wajahnya memang sudah diatur tersenyum lebar dari sananya.
"Omong-omong, style fashion baru, Hali?"
Taufan ikut berdiri di samping Halilintar yang dikira sedang menghayati motto sekolah yang terlukis di dinding. "Kamu nggak ke atas?" tanyanya. Namun, Taufan menyadari satu hal. "Jangan bilang kamu nggak tahu harus naik tangga yang mana?"
Wajahnya mendadak terasa panas. Halilintar segera memalingkan wajah dan menurunkan lidah topinya sampai menutupi hampir seluruh wajah.
Taufan bisa melihat semburat merah tipis di kedua pipi Halilintar. Kemudian dia tertawa terbahak. "Ilmu sosial ambil tangga sebelah kiri. Ya ampun, kalau nggak tahu tuh nanya dong. Masa kalah sama Dora."
"Berisik!"
Halilintar langsung menaiki tangga sebelah kiri, Taufan mengekor di belakang. Ornamen bunga hollyhock lebih banyak menghiasi koridor dibanding di lantai dasar. Halilintar mengamati setiap papan nama ruang-ruang kelas di lantai dua, kalau tidak salah, hari ini kelasnya ada di ruang B2-6.
"Kelas apa?" tanya Taufan lagi.
"Sosiologi."
"Yah, nggak sekelas. Aku di kelas sejarah," jelasnya tanpa diminta. Taufan mengamati Halilintar dari atas ke bawah. Wajahnya seperti ingin tertawa, tetapi berusaha dia tahan dengan mengigit bibirnya. "Kamu yakin mau masuk kelas pakai baju kayak gitu?"
Halilintar mulai kesal, sepertinya lama kelamaan tanduk bisa muncul dikepalanya. "Kenapa sih nanya terus?"
"Ok, aku nggak tahan. Kamu masih pakai celana olahraga."
Halilintar menunduk. Benar ucapan Taufan, dia masih pakai celana olahraga hitamnya, Halilintar baru ingat belum mengganti celana olahraganya karena dikagetkan anggota ekstrakurikuler atletik. Pantas sejak tadi orang-orang melihat aneh ke arahnya. Kemudian, dia menyabet kepala Taufan dengan topi.
"Kenapa nggak bilang dari tadi!?" Wajah Halilintar semakin memerah.
~o0o~
Alih-alih langsung pulang ke rumahnya, Halilintar malah mendorong pagar rumah sebelah. Diketuknya pintu itu dengan tidak sabar.
Rumah itu dihuni oleh seorang pria tua bernama Hangkasa. Halilintar memanggilnya Tok Kasa, meski pria itu lebih senang dipanggil 'Bro' dan akan protes setiap ada kesempatan.
Hangkasa—manula berjiwa remaja—muncul dari balik pintu dengan wajah masam, menambah gelambir di wajahnya. "Ngetuk rumah orang itu yang sopan dong." Omelan Hangkasa berhenti setelah melihat kemerahan aneh di dahi Halilintar. "Aih, jidatmu habis dicium apa?"
"Bola, Tok," jawab Halilintar tanpa minat. Mau tak mau dia kembali mengingat bagaimana bola Voli menghantam wajahnya pagi tadi.
Kekesalannya tak berlangsung lama, terutama setelah hidungnya mencium aroma sedap dari dalam rumah. Tanpa permisi, Halilintar masuk ke dalam rumah itu seolah tempat itu adalah rumahnya sendiri. Dia melesat secepat kilat ke dapur, di sana dia menemukan manula lain yang tinggi menjulang seperti pohon beringin. Pria itu Gaharum, manula penghuni rumah seberang, sahabat karib Hangkasa.
Gaharum memang sering berkunjung ke rumah Hangkasa, kadang juga sebaliknya. Bagi dua manula yang hidup sebatang kara, kunjungan-kunjungan semacam itu memang selalu dinantikan, dan Halilintar sering menjadi sosok ganjil di antara mereka. Sejak kecil, dia memang jarang bermain dengan anak-anak sebayanya—kecuali Gempa, pergaulannya terbatas di kalangan para manula.
"Kakek Gahar."
Gaharum menoleh, senyumnya merekah. "Halo, Halilintar," sapanya. "Kamu lapar? Saya sedang masak tom yum, tapi belum matang."
"Kakek tahu saja kalau aku lapar."
"Dasar anak muda jaman sekarang, pulang sekolah bukannya salam dulu sama yang lebih tua, malah langsung nyelonong aja, mau ngerampok makanan pula," sindir Hangkasa dari belahan dapur.
Senyum yang baru saja akan terbit mendadak terbenam. Halilintar menghampiri Hangkasa dan menyalami pria itu.
"Ya udah, duduk sana," kata Hangkasa. "Gimana, seru nggak di sekolah? Ayo cerita."
Halilintar mengistirahatkan pantatnya di sofa empuk yang menghadap televisi, sementara tangannya mulai meraih kue kering di meja. Salah satu hal yang disukai Halilintar dari rumah ini adalah ukuran televisinya yang berusaha menyaingi layar bioskop, tidak ada apa-apanya dibanding televisinya di rumah.
"Lumayan, tapi aku diteror Tok."
"Orang kurang kerjaan mana yang neror kamu? Emangnya kamu artis atau anak pejabat?"
"Mana aku tahu." Halilintar mengeluarkan celana olahraganya, dari kantong celana itu, Halilintar mengeluarkan sebuah sticky note berwarna kuning es mambo. "Nih, Tok. Isinya aneh."
Mata Hangkasa bergulir dari kanan ke kiri, dahinya yang sudah lebih dulu punya kerutan tidak lagi berkerut. Dia hanya menatap datar sticky note itu, kemudian dikembalikan pada Halilintar. "Nggak usah dipikirin. Itu cuma perbuatan orang iseng."
"Iseng gimana? Ini teror, Tok."
"Ya iseng. Kamu itu keseringan diam di rumah, mainmu kurang jauh, makanya nggak paham. Di luar sana banyak orang iseng berkeliaran. Mereka nggak punya tujuan hidup selain isengin orang. Cuekin aja."
"Tom yum sudah matang," ucap Gaharum datang dari arah dapur. Tak lupa pria itu membawa mangkuk berukuran sedang. "Ini untuk orang rumah, kamu makan di sini, kan? Ah, sepertinya saya ketinggalan obrolan, ya?"
"Di sini, Kek," jawab Halilintar. "Kakek tahu MG2-072 artinya apa?"
Gaharum tak langsung menjawab, dia malah menatap sahabat sesama manulanya. "Seperti nomor pesawat, ya?"
"Bukan kayaknya, Kek."
"Kalau gitu virus?"
Hangkasa menahan tawanya. Kalau tebakan Halilintar benar, manula yang satu itu tertawa karena Gaharum seperti menyamakan dia dengan penyakit, itu membuatnya tersinggung.
"Udah ah, aku pulang aja." Halilintar memasukkan sticky note itu asal-asalan ke dalam tasnya, wajahnya ditekuk seperti kertas fotokopian yang dilipat-lipat. Kemudian melangkah keluar, langkahnya dihentak-hentak seperti kapiten.
"Idih ngambek."
"Tom yum-nya nggak dibawa, Nak?" tanya Gaharum, di sampingnya Hangkasa menatapnya geli dengan kedua alis naik turun.
Halilintar berbalik. Tangannya segera mengambil semangkuk tom yum di meja.
"Porsinya tambahin sedikit, Kek. Aku kan nggak jadi makan di sini."
"Dasar anak muda jaman sekarang, dikasih hati malah minta jantung."
"Iri bilang, Tok."
Halilintar tak jadi minta porsi tambahan lantaran Hangkasa sudah siap menyabet kepalanya dengan tongkat.
.
.
.
Tbc
Halooo
Aku kembali ^ω^ Nggak kerasa ya, nunda-nunda nulis tau-tau udah sebulan lebih beberapa hari :v btw gak tau kenapa bab ini agak susah ditulis, harus bongkar pasang berkali-kali, setelah jadi dan dierami, aku masih ngerasa kurang puas sama hasilnya hueee (ㄒoㄒ) semoga gak terlalu mengecewakan.
Buat yang nunggu cerita ini, terima kasih banyak, kalau ada kritik atau saran bisa kalian kirim di kolom review. Sampai ketemu lagi di bab selanjutnya. Dah!
SkyLi.
