Would you make a scandal with me?
[ sakuatsu, bxb, idol x antifan!au, lemon ]
Seluruh karakter milik Haruchi Furudate. Pitik hanya bikin FF, tidak mengambil keuntungan apapun selain rasa senang.
. . .
Sepanjang jalan, Atsumu terus melirik argo taksi. Angka yang tertera terus menerus bertambah seiring perjalanan mereka. Ia menggigit jari dengan gugup. Selama menjadi penumpang, lelaki pirang itu menyadari banyak sekali kesalahan yang terjadi. Mulai dari keripik kentang yang tertinggal di meja hingga jaket bomber dan celana jeans kotornya yang masih berada di bak laundry. Sekarang ia masih mengenakan pakaian Sakusa Kiyoomi.
Terakhir ponselnya—
Sebuah jackpot. Bila takdir masih ingin mereka bertemu kembali, mengapa harus serepot ini? Padahal takdir boleh memilih jalan yang lebih indah, mungkin mereka bertemu di atas panggung setelah seorang pencari bakat mengakui talenta Atsumu dalam merobek poster Sakusa menjadi bagian-bagian kecil. Baik. Lupakan saja ide itu.
Yang jelas, sekarang. Ia kehilangan banyak hal. Setelah taksi ini berhenti di depan gedung kamar sewa, Atsumu juga harus merelakan sisa tabungannya.
Hanya ada kamar berantakan yang akan menjadi tempat untuk meratap. Lelaki pirang itu melompat ke atas ranjang dan memeluk bantal. Ia sedih dan bingung. Semuanya tidak berjalan dengan baik sejak Atsumu meninggalkan komentar memancing keributan di bawah artikel Sakusa Kiyoomi.
Dan sekarang ia berhalusinasi ada yang mengetuk pintu kamarnya.
Tidak. Ternyata bukan halusinasi. Benar-benar ada yang mengetuk. Atsumu yakin itu mungkin bibi pemilik gedung yang hendak menagih uang air dan listrik. Jadi ia menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan hati untuk kemungkinn terburuk.
Dan—
"Tsumu, kau tampak... menyedihkan," sambut Miya Osamu, sang kembaran. "Kamar ini juga seperti kapal pecah. Apa kau tidak pernah membersihkannya?" Lelaki berambut kelabu itu hendak masuk, namun Atsumu menghalangi. Ia menutup pintunya lagi, kemudian bersandar di bawah agar Osamu tidak bisa mendobraknya.
"Tsumu? Buka pintunya," mohon saudara kembarnya.
"Pergilah. Aku baik-baik saja. Tidak perlu kau tengok juga tetap akan baik-baik saja," usir Atsumu.
Di luar pintu, Osamu menghela napas. Mereka selalu bersama bahkan sejak dalam kandungan. Jadi sedikit banyak ia paham perangai Atsumu. Oh, tidak. Mungkin sangat paham.
"Ibu mengkhawatirkanmu. Aku juga, sedikit," ucap Osamu di dekat celah pintu, "apa kau benar baik-baik saja?"
Tidak. Astaga, Atsumu menyedihkan. Uang tabungannya baru saja habis beberapa saat yang lalu. Lalu ponselnya juga lenyap—karena bila tertinggal di rumah Sakusa pun, Atsumu enggan mengambil. Ditambah lagi, ia belum membayar tagihan listrik dan air.
Sangat tidak baik-baik saja.
"Ibu menitipkan uang sakumu padaku. Aku ada kuliah siang ini. Jika kau tidak ingin aku masuk, akan kutinggalkan amplopnya di depan pintu."
"Ambil saja. Bawa pulang," sahut si pirang. Ia merasa sangat terbebani jika harus mengambil uang dari sang ibu. Ia yang harus memberi uang, bukan sebaliknya.
"Tsumu. Atsumu," panggil Osamu lagi, "uang tabunganmu benar-benar masih ada, kan?"
Tidak ada. Lelaki pirang itu menarik napas dalam-dalam, sembari mengepalkan tangan erat. Ia harus membalas pertanyaan tadi dengan meyakinkan, agar kembarannya itu segera pergi.
"Aku mendapat banyak uang saat bekerja di kafe internet," bohongnya, "tahun depan aku akan menyusulmu kuliah."
Sejenak atmosfer di antara mereka berubah hening. Atsumu sibuk menahan isak. Entahlah, ia ingin sekali menangisi hidupnya. Baru kemudian, setelah beberapa saat Osamu menyahut, sebelum lelaki itu benar-benar pergi.
"Syukurlah. Kalau kau sudah lulus ujian universitas nanti, kabari aku."
Sudah selesai. Sesi bersandiwara Atsumu sudah selesai. Ia membuka pintu ketika langkah saudaranya itu sudah tidak terdengar lagi, mengintip punggungnya yang masih tegap dan sehat.
Atsumu yang tidak sehat. Ia baru saja menolak satu-satunya harapan untuk hidup. Apa yang akan lelaki itu lakukan sekarang?
Dengan ekspresi memelas, si pirang membuka pintu kamar sewanya. Ia duduk di depan, bersandar pada kusen. Tidak ada siapapun yang lewat di lorong. Karena itu ia tidak peduli seberapa menyedihkan rupanya.
"Selamat siang, Miya-san," sapa sebuah suara yang tiba-tiba saja terdengar dari sebelah.
"Selamat siang," sahut si pirang tanpa pikir panjang.
Setelah beberapa menit, baru ia menoleh dan mendapati seorang lelaki dengan pakaian tertutup—jaket bertudung, topi, serta masker yang kemudian dibuka untuk menunjukkan wajah.
"S-Sakusa Kiyoomi—bagaimana kau bisa kemari? Apa kau mengikutiku dari tadi?" histeris Atsumu. Ia hampir saja masuk dan membanting pintu bila Sakusa tidak menahan kedua tangannya. Si pirang terus memberontak, seolah lelaki itu adalah penculik.
"Tunggu! Dengar! Aku ke sini untuk mengembalikan ponselmu," ucapnya dengan nada panik.
Kemudian Atsumu menjadi lebih tenang, hanya sedikit karena jantungnya masih berdebar. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan Sakusa. Tapi ponsel lebih penting dari ego. "Mana ponselku?"
Sakusa memberikan sebuah tas yang ukurannya lebih besar dari ponsel—dan terisi penuh. Si pirang memandang bingung, tapi tetap mengambil barang itu dari tangan lelaki ikal.
"Apa saja ini?" Ia bertanya dengan nada ketus.
Namun Sakusa tersenyum sembari menjawab, "Keripik kentang, pakaianmu yang sudah kucuci dan kukeringkan kilat."
Atsumu mendecak kesal. Bukan. Bukan karena Sakusa sudah mencuci pakaiannya. Namun karena ia merasa berterima kasih dengan hal kecil ini di tengah keterpurukan hidup. Tapi karena Sakusa pula, ia harus membayar ongkos taksi dan menghabiskan sisa tabungan. Semua karena Sakusa.
Semuanya. Seluruh kemalangan hidupnya. Jadi lelaki itu tidak boleh pergi begitu saja.
"Hei," panggil Atsumu, "karena kau sudah menghilangkan kesempatanku untuk debut, bisa carikan aku sebuah pekerjaan? Yang bisa meminta bayaran di awal?"
Bagi seseorang yang sudah lama merindu seperti Sakusa Kiyoomi, kata-kata itu seharusnya terasa menyakitkan. Memang bukan salah Sakusa bila Atsumu gagal menjadi seorang artis. Namun fakta bahwa si pirang bertanya padanya memiliki arti bahwa ia sudah mulai membuka diri. Dan Sakusa merasa lega akan hal itu.
Kebencian Atsumu padanya mungkin sudah sedikit berkurang.
"Kalau kau bisa bersih-bersih, aku punya satu lowongan untukmu," ucap Sakusa.
"Kau pikir selama masa pelatihan, siapa yang menemanimu mengepel ulang aula demi bisa tidur di lantainya?"
Dia mengungkit masa lalu mereka. Miya Atsumu tidak melupakannya. Senyum tipis tersungging di bibir Sakusa sebelum ia bicara lagi, menyebutkan rincian pekerjaan bagi si pirang.
"Maukah kau menjaga apartemenku selama aku pergi? Aku tidak ingin tempat itu terbengkalai saat aku sibuk bekerja."
Sebelah alis Atsumu naik, memproses jenis pekerjaan yang Sakusa tawarkan. Kemudian ia melipat kedua tangan dan menatap tajam.
"Kau menyuruhku untuk menjadi pembantu?"
"Asisten rumah tangga," ralat Sakusa, "itu terdengar lebih baik."
Sama saja bagi Atsumu. Ia menghela napas dalam-dalam—sebenarnya ingin membanting pintu untuk melampiaskan kekesalan. Sakusa baru saja merendahkannya. Sangat rendah.
"Ini satu-satunya pekerjaan yang memenuhi syaratmu. Di agensi, tidak ada yang memberi bayaran di awal," jelas Sakusa sembari memasukkan kedua tangan dalam saku celana.
"Aku tahu. Aku pernah berada di sana," ketus si pirang sambil sedikit mencakar permukaan pintu. Ia geram, masih jengkel dengan tawaran pekerjaan Sakusa.
"Aku bisa memastikan kau mendapat upah yang wajar. Di tempat lain, mereka bisa saja mencurangimu. Upah asisten rumah tangga di apartemenku lebih besar dari jumlah minimal. Kau bisa menabungnya dan membayar biaya kuliah nanti. Tidak perlu bekerja di kafe internet. Tidak perlu menyesal karena menolak uang saku dari ibumu. Semuanya—,"
"Tunggu," sela Atsumu, "kau menguping pembicaraanku dengan saudaraku tadi?"
"Kalian... bicara dengan volume yang bisa kudengar." Jawaban yang begitu santai, membuat amarah lelaki pirang memuncak.
"Sialan," umpat Atsumu sembari—akhirnya—membanting pintu apartemen.
Sakusa terkejut, hampir saja melompat mundur karena suara kencang. Namun setelah beberapa detik, daun kayu itu kembali terbuka. Perlahan-lahan.
Atsumu mengintip di baliknya dan bertanya, "Berapa banyak kau akan membayarku?"
. . .
Miya pirang tidak menduga ia akan berada di sini lagi, di apartemen seseorang yang sangat ia benci dengan sepenuh hati. Sebenarnya tempat ini belum berantakan, dengan lukisan wajah besar yang ingin sekali ia hancurkan. Tapi tidak mungkin. Posisi lelaki itu sekarang adalah— asisten rumah tangga? Iya. Kata Sakusa itu terdengar lebih baik daripada pembantu.
Tapi tetap saja, apa bedanya?
Sembari menarik napas dalam-dalam ia menekan bel. Sakusa baru akan menjelaskan peraturan penjagaan apartemennya hari ini. Dan Atsumu berharap semoga tidak ada hal aneh seperti 'pembuatan skandal' tempo hari—meskipun video panas mereka masih bertengger di dalam ponselnya sampai hari ini; untuk berjaga-jaga.
"Selamat datang," sambut Sakusa dari balik pintu. Ia tersenyum tipis, tampak senang dengan keberadaan Atsumu di depan apartemen.
"Jadi apa yang harus kulakukan sebelum menjelajahi apartemenmu? Mandi?" Lelaki pirang itu balas menyindir. Tapi ternyata Sakusa langsung mengiyakan.
"Kau pasti akan menjadi asisten rumah tangga yang baik karena bisa menebak aturan pertama," sahut si ikal, membuat Atsumu ingin menendang tulang keringnya karena kesal.
"Kuanggap sebagai pujian," ujar lelaki pirang sembari melesat ke kamar mandi.
Sama seperti tempo hari, Sakusa sudah menaruh pakaian ganti di atas jemuran handuk. Ia benar-benar tidak ingin membuat kontak dengan kuman di luar rumah. Entah bagaimana kabar lelaki ini saat melakukan kegiatan sebagai idola. Atau mungkin saat melakukan handshake event? Pekerjaan sebagai artis terdengar sangat tidak cocok bagi seorang Sakusa Kiyoomi.
Setelah selesai mandi, Atsumu menemukan pemilik apartemen—tengah duduk di atas sofa dengan dua cangkir teh pada meja. Lelaki itu tetap berdiri di depan kamar mandi, memandang Sakusa dengan sorot tajam sampai ia sadar.
Ketika menoleh, barulah Atsumu mengungkapkan pikirannya, "Aku tidak akan minum teh. Aku masih trauma dengan kejadian kemarin."
"Teh tidak ada hubungannya dengan fakta bahwa aku ingin menjadikanmu sebagai milik—,"
"Hentikan," potong Atsumu sambil menutup telinga, "jangan ungkit kata-kata itu lagi. Aku tidak ingin mendengarnya."
Ada sengatan yang bermunculan di dada ketika Sakusa mulai mengulang kata-kata di malam itu. Dan Miya Atsumu masih ingat kalau ia belum merespons. Si pirang bahkan enggan memikirkannya.
"Baiklah. Aku tidak akan bilang asal kau meminum tehnya."
Pada akhirnya sama saja. Atsumu mendengkus jengkel dan menempati area kosong di sebelah Sakusa. Dengan bergaya ia meraih pegangan cangkir untuk menyeruput teh seperti seorang bangsawan. Hanya sedikit.
"Sudah. Sudah kuminum. Jangan ungkit hal itu lagi," tegas Atsumu.
Sakusa meletakkan cangkirnya di meja dan menoleh ke arah si pirang, menatap teduh. "Apa ada lagi yang kau inginkan?"
"Ada," cetus Atsumu dengan cepat. Ia tidak perlu berpikir panjang untuk mengangkat telunjuk dan mengucap satu permintaan lagi, "Aku ingin kita tidak usah saling bertemu."
Dan lelaki ikal hanya bisa terngaga dengan ucapan Atsumu. Ia tidak salah dengar. Miya Atsumu benar-benar mengucapkannya.
"Kau bekerja di apartemenku. Kita pasti akan saling bertemu," sebut Sakusa heran.
"Bisa. Aku hanya akan bekerja saat kau pergi. Kau bisa memberiku upah per jam. Hitung saja berapa jam kau akan berada di luar rumah. Itu akan menjadi upahku."
Sakusa hanya bisa mengelus dada. Jauh di dalam hati, alasan menyeret Atsumu untuk bekerja di tempat pribadinya adalah supaya mereka bisa lebih sering bertemu—walaupun tidak sesering intensitas ketika masa pelatihan agensi.
"Kabulkan permintaanku! Kau sendiri yang menawariku untuk bicara," desak Atsumu sembari melayangkan tatapan tajam.
Lelaki ikal menarik napas panjang sebelum menyahut, "Kukabulkan." Dan jawaban itu mengundang sebuah senyum senang dari wajah Atsumu. Sakusa juga senang melihatnya—meski lengkung bibir itu akan jadi yang terakhir yang ia lihat sebelum permintaan Atsumu berlaku.
"Nah, sekarang akan kuhabiskan teh ini," ujar si pirang sembari menenggak seluruh isi cangkir—tidak lagi dengan gaya bangsawannya.
"Terima kasih, Omi Omi."
. . .
To be continued
Yeah, setelah sekian purnama akhirnya berhasil updet!
*untung kamu ingetin, feb, feby fumei, seriusan, kalo enggak aku ga bakal sadar udah nulis "the end" di atas
