Apakah kau memahami sesuatu tentang pengulangan?

Apa itu? Dan bagaimana kau keluar dari sana?

Kau hanya harus melakukan hal yang tidak pernah ingin kau lakukan

Bagaimana jika terus berulang?

Maka, kau hanya harus menghentikannya

Bagaimana jika pengulangan masih saja terjadi untuk mencegahku melakukannya?

Itu akan menjadi sebuah mimpi buruk..

Lakukan sesuatu!

Deg!

Nafas seorang bocah berambut pirang terlihat terengah-engah. Bulir-bulir keringat dingin mengucur deras dari kepalanya. Entah apa yang ia mimpikan tapi sepertinya itu sesuatu mimpi yang buruk. Setelah beberapa saat, ia mulai bangkit perlahan dan membasuh wajahnya agar segar kembali.

Dilihatnya kembali pantulan wajahnya dari cermin. Nampak lusuh dan tidak sedang baik-baik saja. Ia mengeluarkan desahan nafas yang panjang dan kembali membasuh wajahnya lagi.

'Mimpi apa? Seperti aku terjebak dalam time-looping,' desahnya dalam hati.

Melihat jam weker, ia terkejut dan sedikit berteriak, "APA?! JAM 8? AKU TERLAMBAT!"


Akademi Ninja, tak berapa lama kemudian

"Permisi, Sensei.."

Sensei dengan bekas luka melintang di wajahnya itu menatap seorang bocah berambut pirang yang berdiri terengah-engah di depan pintu. Ia hanya tersenyum kecil dan menyuruh bocah tersebut untuk masuk.

"Masuklah, Naruto. Ini hari pertama bulan Oktober, jadi kelas dimulai jam 10." ujar Iruka dengan senyum mengembang di wajahnya.

Naruto berjalan oelan menuju tempat duduknya. Mengingat belum ada yang datang, ia memutuskan mengeluarkan buku dari tasnya dan mulai membacanya.

"Apa yang kau baca?"

"Ah!" Dirinya dikejutkan dengan suara yang berseru padanya. Seorang bocah gembul dengan tanda melingkar di kedua pipinya, Akimichi Chouji.

"Oh, Akimichi-san. Ini, aku membaca buku ini, yang menurutku sangat menarik." Ujar Naruto sambil memperlihatkan sampul buku tersebut kepada Chouji.

Chouji merasa familier dengan sampul buku tersebut. "Bukankah itu buku milik Renai-sensei? Darimana kau mendapatkannya?" tanyanya penasaran.

'Renai-sensei? Siapa dia?'

"Ah, maksudku, Kurenai-sensei! Itu 'loh yang bermata merah dan berambut hitam! Kau bertemu ... dengannya, bukan?" ujar Chouji memelan di akhir kalimat.

Naruto paham akan makna dari intonasi tersebut. "Meskipun aku monster, aku tidak akan mencuri barang yang bukan milikku." Ketusnya.

"Ah, oke! Oke! Aku mengerti! Maafkan aku!" Chouji menyatukan kedua telapak tangan nya dan sedikit membungkuk meminta maaf. "Omong-omong, kenapa kau tidak bermain dengan kami?" tanyanya kepada Naruto.

Naruto mengangkat sebelah alisnya. "Aku tidak ingin bermain dengan manusia. Meski aku tidak melakukan apa-apa, mereka tetap memanggilku monster." ujar Naruto sedikit menundukkan kepalanya.

Chouji memasang pose berpikir. "Kalau begitu, kau bermain saja denganku! Aku tidak menganggapmu monster kok!" ujar Chouji seraya tersenyum lebar.

Naruto menoleh sedikit ke arah Chouji. "Bukankah kau juga melihatnya?" yang ia maksud adalah tentang bagaimana jari nya tumbuh dalam sekejap mata.

"Aku memang melihatnya," Chouji mengambil duduk di sebelah Naruto. "Tapi, aku justru kagum dengan itu. Dengan begitu, kau bisa melindungiku, teman pertamamu!" Ujar Chouji lagi-lagi dengan senyum polosnya.

"Teman pertama.." Naruto memegangi dadanya serasa nyeri sekaligus bahagia, walaupun tidak ia ungkapkan melalui ekspresi wajahnya. Tapi ia sungguh bahagia mendengar hal itu, ia tidak merasa Chouji membohonginya.

Chouji mengulurkan tangannya. "Benar 'kan?"

Slap! Naruto menampar uluran tangan itu. Tidak hanya Chouji, ia pun terkejut setengah mati atas apa yang ia lakukan. Ia tahu siapa yang melakukannya, dengan wajah menyesal ia meminta maaf kepada Chouji.

"Maaf, aku masih belum bisa menerima mu. Menma berkata, kau hanya akan membuatku merasakan sakit." ujar Naruto dengan penuh pandangan sesal.

"Tidak apa-apa, aku memahaminya!" Chouji masih memasang senyum lebarnya.

Rise of Uzumaki: The Special One

Disclaimer © M.K Sensei

Warning(s): Typo, OOC, Canon, belibet

Genre: Adventure, Fantasy, Action, etc.

Rating: Teenagers or mature


Chapter 3: Resonance (共振 / Kyōshin)

Hari berganti, sudah berjalan hampir 2 minggu Chouji mendekati Naruto namun masih nihil hasil. Chouji pun hampir menyerah mendekati Naruto, tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk tetap tidak menyerah.

"Tatapan matanya menyiratkan kesepian dan kegelapan. Tidak memancarkan semangat juang untuk hidup. Jika saja kita mampu meraihnya.." ujar Chouji kepada teman-temannya yang sering bermain bersama, seperti: Shikamaru, Ino, Kiba, Shino dan lain-lain.

"Tapi, yah.." Ino menimpali, "Sedikit informasi yang kita dapat dalam 2 minggu ini. Contohnya: dia seringkali berbicara kepada Menma atau siapa lah itu. Selain itu, tidak ada informasi yang bisa kita peroleh."

Shikamaru mendenguskan nafas kasar. "Huftt.. Teman-teman yang lain justru semakin menjaga jarak mereka. Ini tidak bagus." dengusnya. "Ino, bisakah kau menanyai beberapa kenalanmu tentang Naruto? Bagaimana tanggapan mereka?"

"Aku sudah menanyakannya, yah kau tahu.."

Sakura mengatakan "Aku tidak mau tahu dan peduli tentang monster itu! Tapi jika kau mau menanyaiku tentang Sasuke-kun, aku akan menjawabnya! Kyaaa!"

Tenten mengatakan "Aku tidak begitu mengenalnya. Tapi aku tidak yakin aku bisa berteman dengannya. Kau tahu, yah, dia sedikit berbeda."

Orang dengan tanpa pupil mengatakan "Takdirnya telah digariskan dan dia menjadi lemah. Tapi dengan kemampuan itu mungkin dia akan sedikit lebih kuat "

Lee mengatakan "Sejauh ini, tidak ada dorongan kuat yang membuatku yakin harus berteman dengannya. Jujur saja, aku sedikit takut dengan dirinya."

Dan orang paling populer—Sasuke— mengatakan "Hn."

Menghela nafas bersamaan. Tapi, mereka kemudian dikejutkan oleh suara di belakang mereka.

"Dia bisa saja membenci semua di desa ini."

"Sasuke-kun?"

Shikamaru menatap Sasuke intens. "Apa maksudnya itu?"

"Uchiha adalah kepolisian Konoha. Jadi, kami mengetahui bagaimana kehidupannya. Dan, aku tidak bisa menggolongkannya sebagai hidup yang bahagia. Bahkan sejak ia kecil sekali." ujarnya datar.

"Lalu, dimana orangtuanya?" Tanya Kiba.

Sasuke tersenyum miring, "Dia adalah jelmaan Kyuubi. Itulah mengapa semua orang membenci nya."

Srakk! Chouji menarik kerah Sasuke dan menggenggamnya erat-erat.

"Jangan bercanda, kau! Tidak mungkin—"

"Lalu beri aku alasan lain, mengapa ia bisa melakukan hal itu. Hal menjijikkan itu."

Semuanya terdiam. Sasuke kembali merapikan pakaiannya dan berjalan pelan menjauhi mereka. "Tapi, kita tidak bisa menilai buku hanya dari sampulnya saja. Temui aku lagi jika menyangkut Naruto."

"Hah?"

"Dia benar. Kita tidak boleh menilai buku dari sampulnya, itu juga berlaku untuk Uchiha Sasuke."

.

.

Sasuke berjalan pelan menuju ke kediamannya. Di perjalanan, banyak ia temui orang-orang berbisik-bisik mengenai dirinya. Kesal memang, tapi ini masih belum seberapa dengan penderitaan seseorang yang ia kenal sedari kecil. Orang yang sering mengajaknya bermain, orang yang menghiasi hari-hari nya.

"Cih! Jika saja aku punya kekuatan, aku sudah membungkam mulut-mulut kotor mereka untukmu!"

Dia kesal. Sepanjang perjalanan pulangnya, ia menyadari beberapa hal. Pertama; ia menggerutu sepanjang jalan. Kedua; ia banyak dibicarakan karena gerutuannya. Ketiga; ia tidak mengetahui hal ketiga. Padahal ia tadi sudah awas akan hal ketiga.

Kembali ke topik, dia kesal sebenarnya bukan karena tiga hal tersebut. Dia kesal karena kini ia tahu bagaimana kondisi mental Naruto—temannya sedari kecil. Terus-terusan dipandangi seakan sampah masyarakat. Anak kecil mana yang tahan? Yah, jika Naruto adalah reinkarnasi dan masih membawa ingatan pada kehidupan sebelumnya, ia mungkin akan percaya jika Naruto mampu menahannya. Tapi ini jelas-jelas tidak berhubungan.

Hal yang menjadi perhatiannya kini adalah kondisi mental Naruto. Apalagi menurut rumor yang ia dengar, Naruto semakin dijauhi karena kemampuan uniknya itu. Sungguh, ia tidak habis pikir dengan hal itu. Bagaimana jadinya jika seseorang dengan bakat/kemampuan alami justru disia-siakan? Mungkin, itu adalah tindakan yang bodoh.

Tak lama kemudian, ia telah sampai di kediaman Uchiha. Oh, sebelum bertanya lebih lanjut, Naruto dan Sasuke tinggal terpisah. Sasuke di kediaman Uchiha nya dan Naruto di apartemen pemberian kakeknya.

Sasuke menghela nafas dan menatap datar kedepan. "Jangan paksa aku untuk mencintai desa ini, Itachi. Kau membuatku membencimu dan desa ini. Terlebih lagi dengan kekolotan Hokage Ketiga." Ujar Sasuke-entah kepada siapa-dengan penuh amarah.

.

.

Naruto berjalan pulang ke rumahnya seraya membuka lembaran-lembaran buku yang ia peroleh dari seorang wanita dewasa tempo hari. Ia lama-kelamaan menyukai sudut pandang sang karakter utama. Dimana sang MC akan melakukan apapun demi terciptanya kedamaian dunianya, meskipun usahanya diabaikan oleh lingkungan sekitar. Meskipun akhirnya sang MC mati karena keegoisannya, Naruto tetap mengagumi penggambaran sudut pandang sang MC. Dan jujur saja ... ia ingin menjadi seperti itu. Bukan dalam hal buruk, tentunya.

Jrash!

"Mati kau, Kyuubi sialan!"

Naruto merasakan tebasan dari samping kepada tangan kanannya. Buku yang ia baca terlempar sedikit jauh. Tangan kanannya terluka ringan, namun ia tidak begitu mempermasalahkannya. Yang paling penting: Buku!

Dengan cepat ia mengambil buku itu dan membersihkannya dari debu dan kotoran. "Kalian tahu," Naruto menatap pelaku penyerangan terhadapnya melalui ekor matanya, "Membunuhku saja tidak bisa kalian lakukan, apalagi jika Kyuubi keluar dari tubuhku." Setelah mengatakan itu, Naruto pergi menjauh dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa.

"Sial!"

Naruto tidak mengetahui jika sepasang mata aquamarine memandangi nya dengan cemas. Kemudian setelah itu, pemilik mata aquamarine tersebut berjalan mengikuti Naruto dari belakang.


Naruto menghentikan langkahnya saat ia mulai menyadari ada gerak-gerik di belakang. Membalikkan badannya, ia mendapati seorang gadis muda berambut pirang berdiri menatap cemas ke arahnya. Ia menaikkan sebelah alisnya melihat gadis itu.

"Apa kau punya urusan denganku, Yamanaka-san?" Tanyanya kepada gadis tersebut.

Gadis itu—Yamanaka Ino—mematung terkejut, ia bahkan tidak tahu jika Naruto tahu namanya. "Anu, itu, kau tahu namaku?" tanyanya heran.

Naruto memiringkan kepalanya heran. "Tentu tahu 'lah, kau dan Haruno-san selalu berebut tempat duduk 'kan? Agar berdekatan dengan Sasuke?" Pernyataan Naruto sangat tepat, bahkan tak ada kesalahan informasi.

Ino menunduk, "Mengetahui hal remeh sedetail itu, bagaimana caramu mengumpulkan informasi?" Tanya Ino, kini ia sudah berangsur mendekati Naruto.

Naruto berbalik dan mulai berjalan lagi saat Ino telah berada di sampingnya. Mereka berjalan berdampingan, dengan langkah kaki yang berbeda. Naruto tidak terlalu memerhatikan langkah kaki itu, yang menjadi pusat perhatiannya saat ini adalah gadis di sampingnya itu. Mengapa seorang Yamanaka Ino yang notabene nya gadis tercantik nomor 2 di Akademi—nomor 1 ialah Hyuuga Hinata—mau berbicara dengannya? Mungkin, hal itu akan ia ketahui seiring dengan percakapan yang mereka lakukan.

"Informasi, ya? Aku tidak tahu apa yang ingin kau coba tanyakan. Terlebih lagi, kenapa kau bicara denganku?" Naruto, dengan nada penasaran, kembali mengajukan pertanyaan kepada Ino.

Ino menghela nafas sejenak, "Mengingat kita tidak pernah saling sapa, aku heran mengapa kau bisa tahu namaku dan apa yang aku lakukan tiap pagi dengan Sakura. Aku rasa, itu hal yang menarik perhatianku." Ujar Ino.

Naruto menggaruk belakang kepalanya. "Hmm, begitu. Tapi kau salah sangka kepadaku," Naruto menggosok ujung hidungnya yang gatal, yang menurut Ino, lucu. "Aku bukannya mencari informasi tentangmu. Aku bukan juga melakukan observasi terhadapmu. Aku hanya memposisikan diri sebagai penonton. Seperti membaca buku cerita, semakin lama kau membaca, kau sudah pasti akan mendapatkan kesimpulan dari buku itu. Aku juga sama seperti itu." Naruto menjeda ucapannya sejenak, "Semakin lama aku melihat suatu kejadian, aku sudah pasti akan menyimpulkan sesuatu. Itu adalah hal yang absolut." Ungkap Naruto.

Ino memiringkan kepalanya. "Jadi, artinya?"

Naruto menghela nafas. "Sederhananya, semakin banyak kau membaca buku pengetahuan, pengetahuanmu juga akan bertambah. Itu adalah hal yang sudah ditentukan." Jelas Naruto, lagi, kepada Ino.

"Maaf, aku bukanlah seorang yang pintar." Ujar Ino seraya menyatukan kedua telapak tangannya didepan dadanya, Naruto membuang muka. Bukannya ia tidak suka orang yang tidak pintar, ia hanya membenci orang yang terlihat pintar dan tahu segalanya.

"Mungkin, kau akan menjadi ninja yang hebat suatu hari nanti."

Perkataan Ino membuat Naruto terkejut dan menghentikan langkahnya. "Apa kau bilang tadi?" Tanya Naruto memastikan. Ino mengucapkannya lagi dan Naruto mulai menundukkan kepalanya.

"Ada apa, Naruto? Bukankah itu impianmu?" Tanya Ino.

"Tidak! Kau salah! Salah besar!" Ujar Naruto dengan sedikit emosi. "Sekalipun aku ditakdirkan menjadi ninja, itu bukan impianku! Itu hanyalah alur dari hidupku! Meskipun aku tidak mau, aku pasti akan menjalankan profesi Ninja itu, karena itu adalah hal yang absolut. Tapi, tapi.." Tiba-tiba saja, air mata sudah terjun deras dari kedua mata Naruto, membuat Ino panik dan merasa ini semua salahnya.

"M-Maaf-kan aku jika aku mem-membuatmu s-sedih.. To-Tolong jangan menangis, y-ya?" Ujar Ino seraya menyentuh punggung Naruto dan mengusap-usapnya.

"A-Aku.. Tidak berarti membencimu atau apa. Hanya saja, aku adalah ninja yang tak berbakat. Apakah aku bisa melakukannya hingga aku mati?"

Yamanaka Ino, seorang gadis berusia kurang lebih 13 tahun, saat itu mulai memahami seorang bernama Uzumaki Naruto.

"Apakah kau kurang percaya diri? Jika itu tentang bakat, aku bisa membawamu ke orang yang tepat."

Naruto mengusap kasar air matanya dan menatap Ino. "Apa maksudmu?"

Ino hanya tersenyum lembut.

.

.

"Jad, begitu."

Naruto menganggukkan kepalanya pelan. Sosok di depannya, entah kenapa, ia merasa sosok di depannya sangatlah kuat. Maito Gai, seorang guru berbasis taijutsu yang sering ia dengar namanya dari Kakashi.

"Jika kau mau, aku bisa mengajarimu taijutsu. Kau juga bisa berteman dengan muridku."

Naruto mengucapkan terima kasih dengan dogeza. Hal yang sangat jarang—tidak pernah ia lakukan. Hanya kepada Maito Gai lah dirinya mau membuang harga dirinya dan memohon dengan serius. Ino dan Gai-sensei pun dibuat terkejut dengan tindakan yang dilakukan Naruto.

Di sisi Gai, ia bukannya tidak tahu siapa Naruto. Ia mengetahui semuanya. Termasuk kemampuan aneh yang Naruto miliki. Ia pernah mendengar muridnya membicarakan kemampuan aneh milik Naruto. Kemampuan beregenerasi yang sangat hebat, menurutnya. Dan jika Naruto menguasai beberapa taijutsu hebat, bukan tidak mungkin ia akan menjadi ninja terhebat di angkatannya. Ditambah lagi dari cerita Kakashi, kemampuan observasi Naruto bisa saja melebihi orang-orang pada umumnya.

Saat itu, Maito Gai, telah memutuskan untuk tidak menjadi musuh Naruto kedepannya jika Naruto nantinya memilih jalan sendiri. Untuk saat ini, ia merasa telah melakukan hal yang benar.


To be Continued