A ROSE ON ME (CHANBAEK)

BOYSLOVE/YAOI

Main Cast :

Byun Baekhyun

Park Chanyeol

Summary :

Baekhyun kira pertemuannya dengan Chanyeol sudah berakhir setelah ia mengembalikan bantuan yang pernah pria itu beri, namun satu tawaran tak terduga berhasil menyeretnya ke sebuah penthouse dengan fakta mengejutkan tentang seorang Park Chanyeol.

~Keseluruhan cerita berasal dari imajinasiku sendiri~

.

.

BB922020


A ROSE ON ME : Chapter 3

"Ternyata itu kau. Mengesankan."

Baekhyun meremas jemarinya sendiri saat suara bariton yang khas mengudara sampai ke telinga.

Kini ruangan hanya diisi oleh dirinya dan Chanyeol yang duduk berhadapan dengan hidangan yang telah tersaji, juga ditemani suara dari detik jarum jam yang berbisik samar.

Masih menjadi momen mengejutkan bagi keduanya bahwa mereka kembali dipertemukan, terlebih lagi ditambah satu kejutan untuk Baekhyun bahwa Chanyeol bukanlah pria berstatus lajang.

"Anak buahmu menemuiku beberapa hari yang lalu." ucap Baekhyun tiba-tiba.

Tentu saja Baekhyun tak mungkin melupakan hari di mana Daniel mendatanginya. Ia mengingat jelas setiap perlakuan tidak pantas yang ia terima.

Chanyeol menyesap wine dengan mata menatap lurus ke arah Baekhyun. Sorot tajam matanya yang mengintimidasi memperhatikan tiap luka di wajah si mungil.

"Sepertinya mereka terlalu kasar padamu." balasnya datar.

Kerutan tercetak di dahi Baekhyun. "Kenapa kau melakukan semua ini? Kita bisa membicarakannya baik-baik tanpa kekerasan. Kau bahkan mengeluarkanku begitu saja dari pekerjaanku."

Pikir Baekhyun sikap tak sopan yang Chanyeol maksud mungkin tentang dirinya yang sembarangan menyentuh pria tersebut malam itu. Namun, seharusnya Chanyeol tak perlu sampai menyuruh orang untuk menyiksa dan membuatnya kehilangan pekerjaan. Itu sangat berlebihan. Niat Chanyeol yang ingin menidurinya bahkan jauh lebih tidak sopan.

Chanyeol menaruh gelasnya. Garis rahang pria itu terlihat tegas dan tajam. Alis yang tebal membuatnya nampak lebih menyeramkan dengan cara yang misterius.

"Maka seharusnya kau tidak menolakku, Byun Baekhyun. Aku bukan orang yang bisa kau remehkan. Aku benci penolakan."

Baekhyun mengernyit terkejut. "Apa..? Jadi kau membuatku sekacau ini karena aku menolakmu?"

"Sekarang aku memberimu pekerjaan." sahut Chanyeol. Ia menaruh map cokelat tepat di depan meja Baekhyun.

Seolah telah tahu isi dari map tersebut, Baekhyun memilih tak bergerak dan hanya menatap ke arah sang pria. "Setelah apa yang kau perbuat padaku, kau ingin mempekerjakanku?"

"Kau membutuhkanku."

Chanyeol memusatkan atensi pada lembaran kertas yang Dohwan tinggalkan untuknya. Ia membaca semua informasi tentang Baekhyun yang tertera di sana tanpa terlewat.

Gelengan pelan Baekhyun berikan. "Maaf, tapi aku membatalkan niatku. Aku menolak ini." ucap Baekhyun dengan suara tegas. "Aku tidak bisa bekerja untukmu. Aku tidak mau terlibat apapun lagi yang berhubungan denganmu, Tuan Chanyeol yang terhormat."

Demi seluruh nyawanya, Baekhyun sungguh tak ingin melibatkan diri lebih jauh dengan pria menyeramkan tersebut. Setelah apa yang ia alami, Baekhyun sudah paham jika Chanyeol berbahaya.

Ia bangkit berdiri. "Maaf, aku harus pergi."

Respons tersebut membuat Chanyeol mengencangkan otot leher saat merasakan aliran darah berdesir cepat. Giginya terkatup rapat atas penolakan yang Baekhyun berikan sekali lagi.

Pria itu sungguh bukanlah penyabar. Jemarinya mengambil pisau makan di meja lalu berjalan menyusul Baekhyun yang melangkah pergi.

"Sikapmu benar-benar menggangguku, Byun Baekhyun."

BRAKK..

Baekhyun yang tengah membuka pintu mendadak tersentak ketika dari arah belakang tangan Chanyeol terulur menutup kembali pintu tersebut dengan kencang.

Baekhyun membalik tubuh. "Apa yang kau laku—"

Bilah pisau itu menyentuh leher putih milik Baekhyun. Satu gerakan saja, kulitnya akan tergores. Sedekat itu Baekhyun pada kematian.

"Aku benar-benar harus mengajarimu cara bersikap sopan. Haruskah aku memotong lidahmu?" Chanyeol menggeram dengan raut menyeramkan. Tiap garis tegas di wajahnya menunjukan tinggi derajatnya. Belum pernah ia diabaikan seperti saat ini.

Bola mata Baekhyun membelalak ketakutan. Ia tak bisa berbicara dalam posisinya sekarang. Bibirnya kelu. Yang dapat dilakukan olehnya hanya meremas jemarinya sendiri dan menahan napas.

"Aku bisa membunuhmu, Baekhyun."

Tubuh Baekhyun menegang. Mengingat bagaimana bawahan Chanyeol memperlakukannya beberapa hari lalu, bisa dipastikan tak sulit untuk menghilangkan satu nyawa saja.

"Tapi aku tidak akan melakukannya. Setidaknya untuk sekarang." bisik Chanyeol, seraya menjauhkan pisau dari leher Baekhyun. Ia beralih mengurung Baekhyun di antara kedua lengannya.

Bagaimanapun juga, jawaban pastinya karena Chanyeol membutuhkan lelaki tersebut. Karena Jackson Park, anaknya.

"Hahh..." Baekhyun sibuk menarik napas dengan tubuh gemetar. Ia merasakan detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang. Ia kira ia akan mati.

"Apa k-kau sedang mengancamku?!" tanya Baekhyun panik. Mata indahnya mengerjap cepat.

"Aku akan melunasi semua hutangmu."

Mereka saling menatap satu sama lain.

"Kau hanya perlu membuat Jackson bicara, maka aku akan memberimu fasilitas sesuai perjanjian yang tertulis di kontrak."

Baekhyun sepenuhnya terdiam. Ia baru mengingat kembali niatnya menyetujui pekerjaan ini. Ia perlu melunasi hutang. Situasi memaksanya harus mencari uang sebanyak mungkin. Ia terdesak.

"Kesempatan tidak akan datang dua kali, Baekhyun. Kau membutuhkanku. Kau tidak boleh menyia-nyiakan apa yang ada di depan matamu."

Kali ini lebih daripada yang pernah terjadi, mereka bertatapan cukup lama. Detik-detik terlalui tanpa terasa. Seperti lautan dalam yang mampu menenggelamkan, Chanyeol kembali hilang dalam iris tersebut.

Ia tak bisa mengeluarkan Baekhyun dari netranya. Bola mata yang polos menatapnya dengan pancaran yang berbeda. Begitu indah ingin ia miliki, meski hanya untuk satu malam yang singkat.

"Aku sempat mengira kau orang baik." ucap Baekhyun tiba-tiba.

Wajah datar Chanyeol membalas teramat dingin dan kaku. "Sayangnya, aku tidak pernah menjadi orang baik." Ia masih setia menatap bola mata si mungil. "Tapi aku bisa bekerja sama."

Baekhyun sungguh membenci ini. Pilihan yang sulit. Tak mungkin ia melupakan semua perlakuan pria itu terhadapnya seolah ia begitu rendah, namun ia juga tak mungkin mengabaikan fakta bahwa hanya Chanyeol yang mampu menolongnya sekarang.

Baekhyun mengalihkan mata. "Tolong beri sedikit jarak."

Chanyeol menjatuhkan pisau di tangan. Tetapi alih-alih menjauh, ia justru menarik pinggang Baekhyun mendekat pada tubuhnya.

"Hei!" Bola mata Baekhyun membelalak. Kedua pipinya merona oleh jarak wajah mereka yang terlalu dekat. Lagi-lagi mereka berada dalam posisi yang cukup intim.

Sungguh, apa seperti ini sikap seorang pria yang telah beranak?

Dengan gugup ia mencoba mendorong tubuh Chanyeol. Begitu polos ketika ia semakin panik kala Chanyeol semakin merapatkan tubuh mereka.

"P-Park Chanyeol!"

"Byun Baekhyun."

Deru napas itu menerpa lembut wajah Baekhyun ketika bisikannya yang berat mengudara. Wajah Chanyeol terlihat datar dan tenang, namun ia jelas menikmati pemandangan di hadapannya.

Ia menatap bibir merah itu.

"Aku tidak suka menemuimu dalam keadaan ini."

Chanyeol membenci sikap Baekhyun, tentu saja, namun gairah tak juga bisa berbohong. Karena satu yang Chanyeol inginkan adalah membawa lelaki itu ke ranjang, bukan justru menjadikan Baekhyun seorang pengasuh anak.

Ia ingin meniduri Baekhyun dan menghilangkan rasa penasaran yang anehnya menggebu di dada sejak malam itu. Belum pernah ada yang menolak kehadirannya.

Baekhyun mengerjap bingung. "U-Uh..?"

Chanyeol menjauh dan memutus kontak mata. "Kita akan membahas kontraknya."

ㅡ《•••》ㅡ

"Silakan masuk."

Lantai itu sangatlah dingin. Rasa sejuk dan menyenangkan menjalari telapak kaki Baekhyun di setiap langkahnya.

Mulut menganga, Baekhyun terkagum-kagum dibutakan oleh keindahan interior di dalam ruangan. Ia tergelitik oleh rasa gembira untuk pertama kalinya memasuki tempat tinggal yang luar biasa mewah. Sebuah penthouse.

"Wuah.." Ia berlari kecil menghampiri dinding kaca yang menampilkan kota Seoul dari atas. Jemari lentiknya menunjuk ke luar kaca pada hamparan gedung tinggi dan bangunan lain.

"Oh, di sana! Apa itu Namsan Tower?!" tanyanya antusias pada Dohwan yang berdiri di sebelahnya.

"Benar. Indah, bukan?" Dohwan terkekeh pelan. Baekhyun memandangi wajah tampan itu beberapa saat sebelum melebarkan senyuman dan mengangguk cepat.

"Selamat datang, Baekhyun. Mulai hari ini kau resmi menjadi anggota di rumah ini." sambut Dohwan.

"Ada lima orang pelayan yang bisa kau temui dan dua koki handal. Total dari pengawal yang berjaga ada enam. Kau bisa berkenalan dengan mereka semua nanti. Sekarang kita akan melihat kamarmu lebih dulu."

Baekhyun mengangguk kecil lalu mengekori langkah Dohwan sembari menyeret koper dan tas jinjing.

Kepalanya tak henti menoleh ke kanan dan kiri memperhatikan setiap sudut ruangan dengan kagum. Jika seperti ini, Baekhyun sungguh tak akan menyesali keputusannya menyetujui pekerjaan menjadi seorang pengasuh anak.

"Ini kamarmu." ucap Dohwan.

Bola mata Baekhyun membulat lucu. Kamar yang akan ia tempati terlihat begitu luas dibanding kamar sempit di flat kecilnya. Luar biasa bagaimana barang-barang mahal dan bernilai menghiasi ruangan tersebut.

"B-Besar sekali.. Kamar ini lebih dari cukup bagiku. Aku.. bahkan tidak pernah membayangkannya."

Binar di mata Baekhyun menghantarkan tawa Dohwan. Tanpa diduga, Dohwan mengusak pelan rambut Baekhyun hingga lelaki itu tersentak. Menurut Dohwan reaksi Baekhyun sangatlah manis.

"Kau bisa menaruh barangmu, dan kita akan mengunjungi kamar Tuan Jackson."

"Baik."

"Tidak perlu kaku padaku, Baek. Kau bisa bicara santai karena kita akan lebih sering bersama mulai sekarang."

Baekhyun sungguh tersanjung bahwa Dohwan sangatlah baik dan ramah. Mereka saling melempar senyum manis sebelum berjalan bersama-sama menuju kamar Jackson.

Hanya satu yang sedikit mengusik Baekhyun. Sepanjang ia melangkah, ia tak menemui satupun foto terpajang di sekeliling rumah. Tak ada foto keluarga atau bahkan foto Chanyeol maupun Jackson. Begitu sepi dan sunyi. Ia seperti berada di rumah asing tanpa pemilik.

Dohwan mengetuk sebuah pintu putih beberapa kali. "Tuan Muda, saya akan masuk."

Bersama dengan itu, Dohwan membuka pintu dan membawa Baekhyun masuk ke dalam. Seperti yang telah diperkirakan, kamar sang pangeran kecil jauh lebih besar dua kali lipat dari kamar yang diberikan untuk Baekhyun.

Di dalam sana, Jackson tengah duduk di meja belajarnya dengan buku gambar dan krayon. Anak kecil itu tak terganggu sedikitpun pada suara langkah kaki yang mendekat.

"Tuan Muda, anda kedatangan seseorang."

Dohwan memberi kode pada Baekhyun untuk menyapa.

"Hai, Jackson."

Suara lembut itu membuat Jackson terdiam sejenak dan lantas menoleh. Bola matanya yang bulat terlihat terkejut mendapati kehadiran Baekhyun.

Senyuman manis yang Jackson ingat terakhir kali kini kembali terpatri di wajah cantik lelaki dewasa tersebut.

Baekhyun mendekat ke samping Jackson, lalu merendahkan tubuhnya hingga wajah mereka sejajar. Aura Baekhyun masih terasa menyenangkan sekaligus menenangkan seperti di halte saat itu.

"Aku dengar Jackson adalah nama pemberian dari Daddy. Wuah, nama Jackson sangat keren! Sepertinya nama apapun selalu cocok denganmu, ya?" pujinya seraya menyengir lucu.

Tanpa diduga, mendengar itu justru membuat raut wajah Jackson mendadak berubah murung. Anak laki-laki itu kembali pada kegiatannya menorehkan warna di buku gambar. Ia mengabaikan Baekhyun dan Dohwan yang kini saling berkomunikasi melalui tatapan.

Baekhyun yang sempat bingung segera berdeham kecil. "Ah, waktu itu Kakak belum sempat memberitahu nama Kakak, bukan? Nama Kakak Byun Baekhyun."

"Apa Jackson tahu kenapa Kakak datang ke sini?" tanyanya mencoba menarik perhatian, tetapi lagi-lagi Jackson bungkam.

Baekhyun tetap mengulas senyum manis hingga bulan sabit tercipta di matanya. "Mulai sekarang Kakak akan menemani Jackson bermain. Kita jadi teman baik, ya?"

Gerak tangan anak kecil itu berhenti untuk beberapa saat sebelum kembali menggambar dengan kepala yang semakin tertunduk. Baekhyun sungguh tak bisa membaca ekspresinya. Apakah itu senang atau justru tak peduli?

"Tak apa. Kau bisa mencoba lagi nanti." bisik Dohwan menyemangati Baekhyun. Si mungil hanya dapat menghela napas dengan bibir yang digigit gugup.

Masih banyak cara-cara pendekatan yang harus Baekhyun lakukan untuk membuat Jackson terbuka padanya. Ia tidak boleh menyerah begitu saja.

Ini baru permulaan.

ㅡ《•••》ㅡ

Mungkinkah Baekhyun saja yang terlalu percaya diri?

Terhitung hampir satu minggu Baekhyun bekerja, namun ia masih tak mampu membuat Jackson berbicara satu katapun. Meski Jackson tak pernah menolak kehadirannya, anak laki-laki itu masih tetap bungkam.

Baekhyun sedikit gelisah pada kemungkinan bila di halte pertama kali mereka bertemu merupakan sebuah kebetulan semata. Dirinya tak memiliki keistimewaan apapun untuk membuat lelaki kecil itu bicara.

"Bagaimana jika malam ini Kakak membacakan dongeng untuk Jack, hm?"

Jackson yang berbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi setengah badan hanya terdiam. Manik matanya selalu mengikuti ke mana Baekhyun melangkah.

"Kali ini kita akan membaca cerita 'Gadis Penjual Korek Api'."

Baekhyun membaringkan tubuhnya di samping Jackson. Tangannya membuka lembar demi lembar halaman dan mulai menceritakan salah satu dongeng yang cukup terkenal itu.

Dongeng tersebut mengisahkan seorang gadis kecil penjual korek api yang berkeliling di jalanan di tengah musim dingin.

"Malam itu semua orang sedang sibuk merayakan natal. Tidak ada seorangpun yang mau membeli korek api miliknya. Ia menggigil. Udara semakin dingin karena lebatnya salju yang turun."

Jackson setia mendengarkan dengan retina yang memperhatikan ilustrasi menarik di buku dongeng.

"Gadis itu takut. Ayah pasti akan marah jika ia pulang tanpa bisa menjual habis semua korek api itu." lanjut Baekhyun dengan nada suara yang sedih. Lelaki itu menahan napas sejenak.

Tiba-tiba jari telunjuk Jackson perlahan terangkat menyentuh gambar seorang pria tua. Ayah dari gadis itu.

Baekhyun sedikit tersentak, tanpa mengetahui bahwa Jackson juga tengah memikirkan sosok ayah di dalam kepala mungilnya.

Baekhyun tersenyum tipis dan melanjutkan cerita, mengira jika Jackson menyukai dongeng tersebut.

"Karena semakin tak tahan dingin, gadis itu menggunakan salah satu korek dan menyalakan api. Hh, apa yang terjadi? Tiba-tiba keajaiban datang! Dia melihat tungku api yang hangat. Kemudian, gadis itu menyalakan korek apinya sekali lagi dan makanan lezat keluar dari cahaya."

Tak hanya makanan saja, pohon natal yang indah serta nenek yang gadis itu rindukan dapat hadir ketika korek api mengeluarkan cahayanya.

"Kali ini sosok sang nenek muncul dari cahaya. Gadis itu memeluknya penuh rindu."

"Apa aku juga bisa bertemu Daddy?" suara lirih Jackson terdengar untuk pertama kalinya.

Baekhyun terperangah sesaat dengan hati gembira, namun ketika netranya berpusat pada si kecil ia merasa ada sesuatu yang salah.

"Korek api itu.. aku juga ingin menyalakannya. Apa Daddy akan datang..?"

Jackson iri mendengar cerita tersebut. Ia juga ingin permintaannya terkabul. Ia ingin menyalakan korek api sehingga ayahnya dapat muncul di sini.

"Jack—"

"Aku rindu Daddy.." Cicitan suara Jackson membuat Baekhyun khawatir.

Benar saja, setelah itu Jackson menangis kecil. Kedua kepalan tangan mungilnya menutupi mata. Ia terlihat sangat sedih.

Baekhyun segera mendekap tubuh mungil itu. Usapan lembut ia beri di pucuk kepala Jackson, mencoba menenangkan tangisnya.

Baekhyun baru menyadari jika ia tak pernah melihat kehadiran Chanyeol di rumah, bahkan istri atau pasangan pria itu, yang dapat ia simpulkan jika Chanyeol adalah orang tua tunggal.

"Sepertinya Daddy sedang sibuk bekerja jadi tidak bisa menemui Jack saat ini. Daddy juga pasti rindu ingin bermain dengan Jack."

Si kecil menggeleng cepat, masih menangis sesegukan. "Daddy tidak pernah datang.. hiks.. D-Daddy membenciku.." tangisan itu semakin mengeras.

Jackson berbicara lebih banyak dari dugaan, tetapi kata-kata sedih yang terucap dari anak umur lima tahun itu terdengar memilukan seolah itulah yang paling diresahkan hatinya.

Apa yang membuat Jackson bisa berpikir begitu?

"Hei, tidak, Sayang. Daddy tidak membenci Jack. Justru Daddy sangat sayang padamu. Kakak bisa ada di sini karena Daddy meminta Kakak untuk menemanimu bermain."

Bola mata yang merah dan penuh air mata kini menatap Baekhyun. Hati Baekhyun teriris melihat kesedihan di wajah Jackson.

"Kakak akan coba menemui Daddy besok, hm? Kakak akan minta Daddy cepat pulang ke rumah."

"S-Sungguh..?"

Baekhyun tersenyum manis seraya mengusap air mata di pipi Jackson. "Hm, Kakak janji! Bagaimana kalau besok kita membuat bekal makan siang untuk Daddy?" Ajakannya membuat wajah si kecil tak lagi murung. Bola mata itu menunjukan sebuah antusias.

"Mau.."

"Jangan menangis lagi ya." Baekhyun mengusap rambut Jackson penuh kasih sayang. "Mulai sekarang Kakak akan menjadi korek api untuk Jackson. Apapun yang Jackson inginkan, jangan ragu untuk memberitahu Kakak, hm?"

Lelaki kecil itu mengangguk pelan, lalu membenamkan kembali wajahnya di dada Baekhyun. Pelukan itu terasa hangat hingga membuat perasaannya perlahan-lahan membaik.

Jackson rindu. Ia tak ingat pernah mendapat pelukan dari seseorang. Mungkin sejak awal memang tidak pernah ia rasakan.

ㅡ《•••》ㅡ

Helaan napas mengudara.

Baekhyun sungguh tak tahu jika akan serumit ini. Ia perlu menemui Chanyeol kembali di saat ia telah bersyukur tak harus melihat wujud pria tersebut.

Namun tak bisa mengeluh, Baekhyun tersenyum teringat kembali pada Jackson yang bersemangat menghias kotak bekal. Seluruh penghuni rumah bahkan terkejut melihat keantusiasan si pangeran kecil.

Jadi sementara Jackson pergi ke sekolah, di sinilah Baekhyun berada. Perusahaan milik Chanyeol.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Daniel mengerutkan dahi melihat Baekhyun datang ke lantai ruangan Chanyeol berada ditemani seorang pengawal yang mengantarnya.

Baekhyun sedikit tak nyaman melihat Daniel. Bukan tanpa alasan, ia tak bisa melupakan perlakuan kejam pria itu. Terlebih lagi kata maaf tak pernah terucap.

"Aku ada keperluan dengan Tuan Chanyeol."

Daniel terdiam beberapa saat, lalu mengijinkan Baekhyun meski waspada di raut wajahnya terlihat jelas. Seperti Baekhyun akan berbuat aneh saja.

"Tuan, Baekhyun ada di sini."

Daniel menyapa Chanyeol di ruangan dengan bungkukan hormat. Mau tak mau Baekhyun yang berada di sebelah Daniel ikut membungkukan badannya. Setelah itu, Daniel pergi berlalu keluar.

Sebelah alis Chanyeol terangkat.

Pria itu tak menduga akan kehadiran Baekhyun. Ia akui ia masih terganggu pada penolakan Baekhyun. Seumur hidupnya Chanyeol selalu mendapat apa yang ia inginkan, terkecuali lelaki itu. Sangat konyol.

"Apa yang membawamu ke sini?"

Baekhyun berjalan mendekat dengan gugup. Cukup canggung harus bicara berdua dengan pria itu lagi.

"Saya datang membawakan anda bekal makan siang." jawab Baekhyun seraya menunjukan tas kecil di tangan.

Oh, cukup terasa asing ketika lidahnya berucap formal, namun pria itu memang memaksa Baekhyun bersikap sopan. Tipikal pria yang gila hormat.

Chanyeol mengerutkan dahi. "Apa?"

"Saya membuatnya bersama Tuan Muda." Baekhyun mengeluarkan kotak bekal. Senyum tipis terpatri di wajah. "Tuan Muda membantu menghiasnya menjadi sangat cantik. Lihatlah."

Tutup bekal dibuka dan menampilkan nasi serta lauk pauk yang dihias sedemikian rupa menjadi terlihat menarik. Mereka berbentuk bunga, bintang, dan hati. Sangat menggemaskan.

Rahang Chanyeol mengeras. Tangannya mengepal di atas meja. Tanpa Baekhyun sadari, Chanyeol justru memberi reaksi tak suka. Suaranya berubah lebih rendah dari biasanya.

"Apa yang sedang coba kau lakukan?"

"Tuan Jackson berbicara kemarin."

Chanyeol mendadak bungkam. Sorot matanya tertuju pada Baekhyun. Tak bisa dijelaskan bagaimana perasaan Chanyeol saat mendengarnya.

"Tuan Jackson menangis. Dia bilang dia sangat merindukan anda. Dia ingin anda pulang ke rumah."

Chanyeol cukup terkejut mengetahui anaknya menangis, tetapi Chanyeol selalu pandai menyembunyikan ekspresi. Segala keangkuhan membuat Chanyeol mengalihkan mata untuk fokus pada layar komputer. Bersikap tak acuh.

"Aku sibuk."

Baekhyun mengernyit samar. "Saya tahu anda sibuk, tapi saya harap anda bisa mencari waktu luang untuk menemani Tuan Muda bermain. Dia pasti akan sangat senang."

Decihan mengejek terlontar dari bibir Chanyeol. Bola mata tajamnya memancarkan kemarahan. "Jangan lupa posisimu, Baekhyun. Kau tidak perlu ikut campur urusanku. Tugasmu hanya mengasuh dan membuatnya bicara."

Ia melirik sekilas pada kotak bekal. "Singkirkan itu."

Baekhyun menganga kecil. "Y-Ya?" Ia mencoba memastikan pendengarannya tak salah. "Bagaimana bisa? Tuan Jackson sendiri yang menghiasnya untuk anda. Dia sangat bahagia ketika tahu anda akan menerima ini."

Chanyeol muak mendengar nama Jackson terus terucap. Baekhyun tak tahu seberapa kesalnya Chanyeol pada situasi ini. Karena jika Baekhyun berpikir bahwa hubungan Chanyeol dan Jackson baik-baik saja, lelaki itu salah besar.

Chanyeol meraih kasar kotak makan di meja dan membuangnya tepat ke dalam tempat sampah tanpa perasaan. Tak menyisakan apapun.

"Hei!" Bola mata Baekhyun sontak membelalak. Jemarinya terulur mencoba mencegah namun sia-sia.

"Apa yang kau lakukan?!" Ia bahkan lupa tentang menjaga bicaranya karena tak habis pikir dengan sikap Chanyeol.

"Aku tahu kita memiliki hubungan yang tidak baik, tapi kau tak perlu membuang makanan yang kubuat seperti itu. Ada hati anakmu yang kau kecewakan di sana. Apa kau tahu sesenang apa ia pagi ini?"

Chanyeol menggebrak meja seraya berdiri. Aura menyeramkan keluar dari tubuh pria itu. "Kau sudah lupa di mana sopan santunmu?!" desis Chanyeol seraya mencondongkan tubuhnya.

Namun Baekhyun setia memandangnya dengan hati terluka. Nyalinya tak menciut. "Apa kau tidak punya hati?"

Chanyeol seketika mencengkeram rahang Baekhyun dengan emosi. Telinganya menuli akan suara si mungil yang meringis kesakitan.

"Seharusnya kau bersujud di bawah kakiku karena aku tidak menjadikanmu budak seks. Aku bersikap cukup baik mempekerjakanmu layak jadi cukup urus pekerjaanmu dengan benar." Kata-kata yang tajam.

Chanyeol melepas kasar rahang itu membuat Baekhyun merasakan lagi pengalaman yang sama. Chanyeol tak lebih dari sekadar bajingan. Inilah risiko yang harus ia terima karena menjadi bawahan Chanyeol.

Baekhyun meremas jemarinya. Pandangannya bergetar. Usaha untuk membuat Chanyeol menemui Jackson berakhir kacau.

"Kau yang terburuk." gumamnya hampir tak terdengar.

Baekhyun memutar tubuh, secepat mungkin keluar dari ruangan Chanyeol dengan hati yang berat. Dengan cara apapun ia tak bisa menghadapi pria tersebut. Sikapnya selalu melebihi batas.

Kini tak ada yang bisa diperbuat. Sepertinya Baekhyun harus berbohong pada Jackson tentang reaksi Chanyeol. Ini terlalu menyakitkan.

ㅡ《•••》ㅡ

"Aku sudah melunasi semuanya, jadi tolong berhenti menghindar dan temui aku. Kita perlu bicara, Kak."

Baekhyun mengakhiri pesan suara yang ia kirimkan kepada Heechul. Lelaki itu menghela napas kasar menatap layar ponselnya. Cukup lelah terus mengirimi pesan suara yang berakhir tanpa balasan.

"Baek, apa kau mau ikut?"

Pria manis berjas hitam menghampiri Baekhyun yang tengah duduk di ruang makan.

Wajah cerah terpancar. "Kau ingin ke mana?" tanya Baekhyun pada Lee Jaewook, salah satu pengawal yang sering kali terlihat berkeliling di setiap sudut penthouse.

Jaewook menunjukan lembar kertas di tangan. "Membeli persediaan makanan. Hana sudah membuatkan daftar belanjaan untukku."

Nama Hana yang disebut-sebut merupakan seorang kepala koki di rumah. Wanita itu cukup perfeksionis dan terkadang menjadi pesuruh yang mengambil kendali sebagai ketua di rumah.

Baekhyun terkekeh lalu bangkit berdiri. "Aku ikut." sahutnya.

Mengingat bahwa rumah cukup sepi karena sekarang masih jam Jackson sekolah, Baekhyun memutuskan untuk keluar bersama Jaewook demi menghibur hati dari rasa bosan.

Mereka keluar dari gedung menuju parkiran di mana mobil hitam Jaewook berada. Mobil itu melaju membelah jalanan.

"Tapi kita akan pergi menemui Tuan Chanyeol lebih dulu. Ada hal penting yang harus aku laporkan pada beliau."

Baekhyun yang duduk di samping kursi kemudi terlihat sedikit tak senang. Bibirnya mengerucut kecil. Jika saja ia tak mengingat bagaimana perlakuan Chanyeol kemarin, mungkin ia tak akan semalas ini bertemu dengannya lagi.

"Menurutmu, Tuan Chanyeol itu orang yang seperti apa?" tanya Baekhyun tiba-tiba.

Jaewook melirik sekilas. "Ada apa? Kau ada masalah dengan beliau?"

Gelengan pelan diberikan. Pandangan Baekhyun menerawang ke jalan raya, berpikir tentang beberapa hal. "Tidak. Hanya saja.. sifatnya.."

Ia menggantungkan kalimat mencoba menemukan kata yang tepat namun tak bisa. Chanyeol adalah segala sifat buruk yang bercampur menjadi satu.

Suara tawa kecil lolos dari bibir Jaewook. Pria itu seolah mengerti maksud dari Baekhyun yang masih terbilang cukup baru bekerja untuk Chanyeol.

"Memang begitulah sifat beliau. Yang kudengar dari para pengawal senior, beliau dididik menjadi seperti itu sejak kecil. Sudah menjadi sebuah keharusan untuk keluarga Park bersikap seperti orang yang tak punya hati."

Baekhyun meringis kecil. "Keluarga menyeramkan macam apa.."

"Mereka sangat keras." sahut Jaewook.

"Apa keluarganya juga pebisnis seperti Tuan Chanyeol?"

Pertanyaan mendadak itu membuat Jaewook terdiam cukup lama, membuat Baekhyun menoleh kepadanya. Jari telunjuk pria itu mengetuk di stir mobil seakan tengah menghitung waktu yang terbuang atau mungkin ia memang tak berniat untuk memberi jawaban.

Jaewook melirik pada Baekhyun. "Terkadang, dalam beberapa situasi, tidak tahu itu lebih baik, bukan?" Jaewook tersenyum tipis. Senyuman yang memiliki banyak arti tersembunyi.

Baekhyun mengerutkan dahi dengan bingung. "Ya?"

Namun Jaewook memilih bungkam dan fokus pada jalanan. Membiarkan keheningan mengambil alih percakapan. Entah karena alasan apa, tubuh Baekhyun meremang seolah ia bisa merasakan sesuatu yang tak wajar.

ㅡ《•••》ㅡ

Sebuah flash disk hitam ditaruh di meja.

"Kami menangkapnya sedang berkeliaran di sekitar sekolah Tuan Muda Jackson. Dia mengambil banyak foto Tuan Jackson sejak lima hari lalu."

Wajah Chanyeol tak terlihat memberi ekspresi apapun. Pria itu hanya duduk dengan tenang seraya menatap datar Jaewook di hadapannya.

"Di mana dia sekarang?"

"Di tempat biasa, Tuan. Jauh dari perkotaan. Kami sudah menyita semua barang-barangnya." jawab Jaewook.

Atmosfer di ruangan terasa semakin mencekam di antara pembicaraan kedua pria itu. Bukan kali pertama seorang mata-mata tertangkap, namun hal tersebut masih menjadi sebuah kewaspadaan bagi Chanyeol.

"Dia anggota Buckmoth."

Mendengar ucapan Jaewook tak memberi kejutan sama sekali untuk Chanyeol. Pria itu mengambil flash disk di meja dan mengepalnya dengan erat. Tatapan matanya sangat tajam.

"Kami sudah menyiksanya."

"Aku akan mengurusnya sendiri." sahut Chanyeol dengan suara rendah. "Aku akan mengembalikan langsung anak buahnya."

Jaewook membungkuk hormat. "Baik, Tuan."

"Apa yang Baekhyun lakukan di depan?"

Wajah Jaewook terlihat terkejut untuk beberapa saat mendengar pertanyaan Chanyeol yang tak terduga.

Sebelum Chanyeol masuk ke dalam ruangannya sehabis meeting, ia sempat melihat tubuh mungil Baekhyun berdiri di antara pengawal lain yang berjaga di depan ruangan. Perbedaan itu begitu kontras hingga Chanyeol menyadarinya, bahkan pada raut tak bersahabat yang Baekhyun berikan.

"Ah, dia menemani saya, Tuan. Kami akan pergi membeli persediaan makanan di rumah."

"Suruh dia masuk." titah Chanyeol.

"Baik, Tuan."

ㅡ《•••》ㅡ

Ketukan pintu terdengar. Baekhyun masuk dan menatap sosok Chanyeol yang tengah berdiri begitu agung di depan dinding kaca ruangannya yang megah.

Pria itu tengah menatap pemandangan di luar.

"Ada apa memanggilku?" Baekhyun bersuara di depan pintu. Tak berniat mendekati pria tersebut.

Chanyeol menoleh. Raut itu selalu terlihat dingin. "Kau berada di perusahaanku. Apa ada hal yang ingin kau bicarakan?"

Suara Chanyeol terdengar jauh lebih tenang dibandingkan hari kemarin. Akan tetapi hal itu tak membuat Baekhyun melupakan rasa kesalnya.

"Tidak ada. Aku datang ke sini hanya untuk mengantar Jaewook. Kalau begitu aku permisi." Baekhyun membungkuk dengan cepat dan hendak pergi keluar andai suara Chanyeol tak kembali terdengar.

"Apa seperti itu caramu menghormati majikanmu?"

Baekhyun mengutuk di dalam hati, memberi sumpah serapah atas nama pria itu. Tak ingin memperpanjang masalah, Baekhyun segera berjalan mendekati Chanyeol dengan tubuh tegap.

"Apa ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Baekhyun seramah mungkin.

Chanyeol melipat kedua tangan di depan dada dengan gaya paling angkuh yang pernah Baekhyun saksikan seumur hidup. "Kau sudah melupakan sopan santun sejak awal." Tentang cara Baekhyun bicara.

Baekhyun memejamkan mata sesaat. Ia membuang napas lelah. Cukup merasa frustrasi.

"Aku sudah berusaha bersikap profesional padamu, bisakah kau hargai usahaku sedikit saja? Aku harap kau bisa bekerja sama seperti yang pernah kau katakan." Baekhyun mengeluarkan isi pikirannya.

"Aku akan melakukan apapun untuk Jackson jika itu bisa membantunya bicara, jadi kuharap kau tidak akan membuang bekal yang kubuat lagi. Jackson memiliki andil di dalamnya."

Chanyeol tak menyahut. Seharusnya Baekkhyun tahu jika penolakan Chanyeol kemarin sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan hubungannya dan Chanyeol. Chanyeol memang menolak bekal tersebut karena Jackson. Chanyeol tak ingin menerima apapun dari anak laki-lakinya.

Baekhyum mengeluarkan ponsel dan berdiri lebih dekat dengan Chanyeol hingga bahu mereka bersentuhan. Ia menunjukan sesuatu dari layar ponselnya.

"Lihat. Dia menggambar banyak sekali. Ini kau dan ini Jackson." Wajah lelaki itu seketika berubah cerah saat jari telunjuknya menggeser layar. Menunjukan banyak sekali gambar yang dibuat oleh Jackson.

"Lucu sekali, bukan?"

Chanyeol kehilangan kata. Tak tahu apakah itu disebabkan oleh gambar keluarga harmonis yang putranya buat atau pada keantusiasan nada suara Baekhyun.

"Aku terkejut Jackson sangat pintar berhitung, tapi dia masih kesulitan membedakan warna kuning dan merah. Kami masih harus belajar bersama lagi." Baekhyun terkekeh dengan gemas.

Ia mendongak mencoba melihat reaksi Chanyeol, namun bungkam ketika mendapati Chanyeol hanya diam menatapnya tanpa suara.

Jemari Chanyeol terulur menyentuh dagu Baekhyun. Bola matanya meneliti rahang lelaki itu seraya mengingat kembali hari kemarin di mana ia mencengkeram kasar rahang Baekhyun. Tak ada luka di sana.

Sikap Chanyeol selalu semembingungkan ini di mata Baekhyun. Beberapa saat lalu pria itu terlihat bak musuh, namun kemudian menyentuhnya seperti seorang maniak.

"Stroberi."

Baekhyun berkedip. "Huh?"

"Aromamu." bisik Chanyeol.

Mata Baekhyun seketika membulat terkejut. "Ap-Apa? T-Tidak! Kau salah!" Ia segera menjauh dengan wajah merona. "Aromaku tidak berbau s-stroberi."

Chanyeol memiringkan kepala. Terhibur oleh sikap gugup yang Baekhyun tunjukan saat ini. Terlihat jelas jika lelaki itu menyembunyikan sesuatu.

"Kau memakai plester stroberi di hari kita membahas kontrak."

"I-Itu hanya kebetulan. A-Aku tidak suka stroberi!"

Chanyeol mengangkat sebelah alis. Bukankah justru terlihat sangat jelas jika Baekhyun berbohong? Lelaki itu jelas menyukai stroberi.

Baekhyun berdeham pelan. "Berikan aku ponselmu."

Chanyeol mengangkat sebelah alis. "Apa?"

Tanpa membalas, Baekhyun meraba jas pria itu dan menemukan ponsel mahal di dalam jas tersebut. Ia mengambil dan melakukan sesuatu dengan ponsel itu.

Mungkin Baekhyun lupa bila Chanyeol pemarah. Tanduk imajinasi seolah keluar dari kedua sisi kepala Chanyeol saat pria itu mengaum penuh emosi.

"Apa yang kau lakukan?!" Ia meraih pergelangan tangan Baekhyun dengan kasar.

Si lelaki cantik meringis pelan ketika Chanyeol merebut kembali ponsel dan menatapnya seperti ingin menguliti tiap lapisan kulit di tubuhnya.

"Aku hanya meminta nomormu. Mulai sekarang kau bisa mempercayaiku, Chanyeol. Aku akan memperlakukan Jackson dengan baik." ujar Baekhyun menjelaskan.

"Mari lupakan kenangan buruk di antara kita dan mulai lagi dari awal. Kau sungguh bisa mempercayaiku. Aku akan berusaha keras." Ketulusan terlihat jelas di mata Baekhyun hingga membuat Chanyeol terdiam beberapa saat.

"Kau bahkan berbicara santai padaku sejak tadi. Di mana sopan santunmu?" sindir Chanyeol dengan raut tak menyenangkan setelahnya. Pria itu sungguh jauh dari kata ramah.

Seolah tersadar, Baekhyun meringis kecil. "Mulai sekarang saya akan selalu mengabari anda tentang perkembangan Tuan Muda." Ia membungkuk hormat disertai bulan sabit yang muncul di kedua mata. Baekhyun tersenyum sangat manis hingga begitu menyilaukan.

Chanyeol tak menjawab. Ia tak mengerti mengapa semua perasaan kesalnya langsung lenyap begitu saja seperti bukan dirinya yang biasa. Ia bahkan membiarkan Baekhyun keluar dari ruangan dengan selamat setelah semua sikap tidak sopan yang ia terima.

Untuk pertama kalinya pemikiran tentang waktu muncul di kepala Chanyeol. Seharusnya setiap detik tak berjalan secepat itu.

Chanyeol beralih menatap layar ponselnya saat sebuah nada notifikasi terdengar. Foto-foto dari gambar Jackson yang Baekhyun kirimkan memenuhi galeri. Chanyeol bisa merasakan kerinduan sang putra hanya dengan melihat gambar-gambar tersebut. Tetapi, sesuatu tak mungkin bisa diubah di antara dirinya dan Jackson.

Wajah Chanyeol mengeras kala ia menghapus semua foto itu.

ㅡ《•••》ㅡ

Ketukan langkah sepatu Chanyeol menghantarkan bungkukan hormat dari setiap orang yang berlalu melewatinya.

Chanyeol berjalan tegap memasuki lorong panjang di mansion yang megah. Kali ini aura pria itu terlihat lebih dingin dan mencekam. Bersama kehadiran Daniel dan para pengawal di belakangnya, ia berbelok menuju ruangan dengan pintu besar yang menghalangi.

"Tunggu di sini." Perintah Chanyeol ditanggapi dengan bungkukan patuh dari semua bawahannya.

Tanpa ketukan, Chanyeol membuka pintu di hadapannya dengan kasar hingga membuat seseorang di dalam ruangan itu sedikit terkejut oleh kehadirannya.

"Kau datang." Suara berat yang lemah keluar dari bibir pria tua yang duduk di kursi roda. Meski dalam kondisinya saat ini, sesungguhnya pria itu jauh lebih kuat dari yang terlihat.

Chanyeol menatap dengan tajam. "Apa yang kau pikir sedang kau lakukan?" Ia menaruh kasar flash disk ke meja di depan pria tua itu. Memperjelas maksud kedatangannya hari ini.

Park Jaemyung menatap datar flash disk tersebut. Raut wajahnya yang tenang terlihat serupa dengan milik Chanyeol.

"Alih-alih menanyakan kabar, seperti ini caramu menghormati Ayah?" Bahkan caranya berucap menandakan bahwa mereka memiliki darah yang sama.

"Sudah cukup kau mengirim mata-mata selama ini."

"Aku hanya ingin tahu kabar cucuku."

"Kau pikir aku percaya?" Chanyeol mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras menahan marah. Chanyeol tak bodoh tentang niat sesungguhnya sang ayah memerintahkan orang untuk mengawasi Jackson. Ia tahu betul apa yang sang ayah inginkan darinya.

"Tiga tahun bukankah sudah cukup? Sekarang saatnya kau kembali ke rumah." ujar pria tua yang selalu dipanggil Tuan Besar oleh para bawahannya itu.

Chanyeol terlihat marah. Ia menggeram. "Aku sudah mengatakannya padamu tiga tahun yang lalu bahwa aku bukan lagi bagian dari organisasi."

"Kau anakku, Chanyeol. Kau pikir kau bisa terlepas dari menjadi pewarisku?"

Organisasi yang memuakan. Chanyeol harap ia bisa menghapus dirinya dari garis keturunan keluarga Park. Ia tak ingin menjadi bagian dari keluarga mafioso. Tiga tahun yang lalu Chanyeol telah melepas diri dan pergi dari mansion sebagai tanda bahwa ia tak ingin terlibat lagi dalam organisasi.

Namun Tuan Park tentu tak bisa melepas Chanyeol begitu saja.

"Aku mendidikmu untuk menjadi penerusku. Semua waktu yang terbuang untuk melatihmu dan membentuk dirimu sejak kecil, kau ingin aku melepaskanmu begitu saja?" Tuan Park menyeruput cangkir teh dengan tenang. Meski begitu semua orang tahu bahwa Tuan Park tak pernah bermain dalam berkata-kata. Sikap tenangnya terlihat berbahaya.

Pria tua itu melirik sejenak. "Haruskah aku menyakiti Haru? Ah tidak, maksudku Jackson Park."

Chanyeol menggebrak meja pria itu sebagai balasan. "Jangan sentuh dia."

"Kau lemah, Park Chanyeol."

"Di mana kewarasanmu?! Kau tetap ingin membuatku menjadi penerusmu setelah kejadian itu?!"

Chanyeol hampir tak bisa menahan diri. Kepalanya terasa pening mengingat kembali kenangan buruk tiga tahun lalu. Semua itu masih menggantung di dalam kepalanya seolah tak pernah mungkin bisa ia musnahkan.

Tuan Park menatap dingin. "Bisnis harus tetap berjalan. Aku tidak bisa mempercayakan Buckmoth pada adikmu. Orang itu harus kau."

Chanyeol mendengus, bahwa ucapannya tak berarti apapun di mata pria tersebut. Tubuhnya berdiri tegap dengan mata yang menatap rendah pada sang ayah. Ucapannya adalah mutlak. Ia tak akan kembali menjejakan kakinya untuk memimpin para mafia.

"Aku bukan bagian dari Buckmoth. Aku tidak akan pernah kembali. Jadi hentikan semua rencanamu karena itu sia-sia."

Chanyeol mengakhiri pembicaraan sepihak dan berlalu pergi dengan perasaan yang bercampur aduk.

.

.

.

.


{ To Be Continued }


Byasalah. Pengenalan situasi dulu jadi part chanbaeknya masih dikit hehe

2 tahun ini bakal kangen banget sama chanbaek... huhuhuu