Doumo, minna! Akhirnya saya berhasil mengumpulkan niat dan melanjutkan cerita ini. Well, sebelum dimulai saya akan mengumumkan bahwa chapter ini adalah babak terakhir dari fanfic Juu Nen Go. So, semoga tidak mengecewakan dan bisa menghibur pembaca ya. Oke, mari kita mulai ceritanya.

Disclamer : Meitantei Conan is belong to Aoyama Gosho-sensei.

Summary : Sepuluh tahun berlalu tanpa perubahan. Semua orang sudah berjuang dengan caranya sendiri. Edogawa Conan, terus berada di jalan yang ia percayai, menjadi seorang detektif. Begitu juga dengan Haibara Ai, seorang ilmuwan itu juga terus berusaha untuk membuat obat penawar APTX-4869. Semua berjalan normal, sampai pada akhirnya perubahan terjadi ketika Haibara berhasil membuat penawar permanen dari obat itu.

Rating : T

Genre : Adventure, Suspense, Action, Friendship, (little) Romance

Pairing : Haibara Ai/Miyano Shiho & Edogawa Conan/Kudo Shinichi

Warning : OOC, Imajinasi liar, Typo, Re-Write Story

Juu Nen Go : Final

Hari sudah senja ketika dua sejoli—Conan dan Haibara—itu berhenti melangkah. Conan memutuskan untuk mengambil jatah istirahat karena mereka berdua sudah berjalan cukup lama di dalam hutan.

Haibara sendiri langsung mencari tempat yang sekiranya aman untuk diduduki. Ia tidak menolak rencana Conan. Meski wajahnya terlihat tenang, ada kilatan lelah di dalam mata gadis itu.

Conan sendiri masih sibuk memperhatikan ponsel, lebih tepatnya memperhatikan peta digital yang terlihat di layar ponsel yang ia bawa. Ia menggerak-gerakkan peta ke beberapa arah, sesekali ia besarkan gambar peta tersebut.

Merasa sudah puas melakukan itu, baru setelahnya Conan beralih menatap Haibara sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana.

"Aku tahu ini perjalanan yang melelahkan, tapi waktu istirahat kita tidak akan lama," ucap Conan dengan suara pelan.

Haibara yang semula sedang bersandar di salah satu pohon sambil memejamkan mata segera beralih menatap Conan, "Tidak masalah, aku tahu perjalanan kita masih jauh."

Ekspresi lega segera terpasang di wajah Conan. Seakan sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, pemuda itu berjalan mencari tempat yang sekiranya bisa dijadikan tempat istirahat. Ia pun memilih duduk tak jauh dari Haibara.

"Bagimana selanjutnya?" tanya Haibara setelah ada jeda keheningan.

Conan memulai penjelasannya dengan menghela nafas berat, "Aku masih belum yakin 100%, tapi aku punya rencana yang presentase keberhasilannya cukup tinggi."

Dahi Haibara terlihat berkerut setelah mendengar jawaban Conan. Seakan ia tidak menyangka bahwa pemuda yang selama ini selalu memiliki segudang ide untuk menyelesaikan masalah malah terlihat sedang menghadapi jalan buntu.

"Kita sedang menghadapi mafia yang memiliki rekan di banyak tempat. Untuk bisa menjatuhkan mereka pastinya kita harus menyingkirkan para petinggi mafia itu—yang sekiranya memiliki kemungkinan untuk jadi bos selanjutnya. Kita tidak mungkin bisa tenang hanya dengan menangkap bos organisasi hitam saja."

Haibara kembali menyandarkan kepalanya di pohon. Ia sedikit mendongkak, memperhatikan daun-daun pohon yang memantulkan cahaya kuning dari mentari senja. Puas melakukan itu, kembali ia pejamkan matanya.

"Kamu sudah tahu siapa bos organisasi hitam?" tanya Haibara dengan suara tenang.

Pandangan Conan langsung tertuju pada rekannya itu. Ia terdiam sambil terus memperhatikan si gadis berambut coklat, menekuni ekspresi tenang yang terpasang di wajah gadis itu.

"Tidak perlu mencari tahu jawabannya sekarang," ucap Conan sambil mengalihkan pandangan dari Haibara, "kita akan tahu itu nanti setelah rencana ini berhasil."

Senyum kecil terukir di bibir Haibara. Gadis itu pun mendengus geli seakan ia tidak menyangka bahwa Conan akan memberinya jawaban itu. Jawaban yang tidak ilmiah sama sekali, seakan tidak pantas untuk diucapkan oleh pemuda yang dikenal sebagai detektif SMA itu.

"Kamu pasti sudah lelah, Kudo-kun," gumam Haibara dengan suara menggoda, "sepertinya kamu butuh liburan. Ke Amerika pasti menyenangkan."

Ekspresi bosan segera terpasang di wajah Conan, "Bukan waktunya untuk bercanda, Haibara. Kita harus fokus mulai sekarang."

Kelopak mata Haibara perlahan terbuka. Ia beralih menatap Conan yang sedang menatapnya dengan pandangan bosan. Gadis berambut coklat itu kembali mendengus geli sembari beranjak berdiri.

"Ku pikir kamu sudah paham dengan diriku, Kudo-kun. Aku ini tipe orang yang sangat serius kapanpun dimanapun," Haibara berjalan mendekati Conan, "sudah cukup bukan istirahatnya? Kita harus segera bergerak."

Conan merubah ekspresinya jadi serius, "Kita bisa istirahat lebih lama lagi, karena setelah ini kita akan perang besar-besaran dan kemungkinan kita tidak akan mendapat jatah istirahat lagi."

Mendengar itu, Haibara pun menaikkan kedua bahunya secara bersamaan. Ia menempatkan diri di samping Conan dan duduk di sana. Conan sendiri sempat melirik Haibara, namun cepat-cepat ia menghadap depan lagi.

"Aku ingin menanyakan satu hal penting padamu, Haibara," gumam Conan, seakan dia ragu antara ingin bertanya atau tidak.

Orang yang bersangkutan hanya menggumam kecil, memberi si detektif SMA kode bahwa dia mempersilahkan Conan untuk bertanya.

"Aku memang sudah berjanji padamu akan melindungimu sekuat yang ku bisa, tapi aku tidak bisa menjamin keselamatanmu seutuhnya," kali ini Conan berani menatap Haibara secara langsung, ekspresinya jadi makin serius, "kita akan menghadapi organisasi hitam secara terang-terangan kali ini. Jadi..."

Kedua alis Haibara terangkat, "Kamu khawatir aku tidak bisa mengendalikan rasa takutku?"

Mata Conan terlihat menajam sejenak sebelum ia mengangguk dengan yakin. Pemuda itu terus memperhatikan Haibara seakan sedang membaca isi pikiran gadis berambut coklat tersebut.

Haibara tersenyum kecil, "Semua orang sedang berusaha dengan keras untuk jadi berani. Jadi, mengapa aku tidak bisa melakukan itu?"

Sekilas Conan terlihat lega mendengar jawaban Haibara, namun ada sesuatu hal yang masih mengganjal pikirannya. Terlihat jelas dari ekspresi yang kini terpasang di wajahnya. Meski demikian, pemuda itu tidak berniat untuk membagikan kegundahannya pada gadis yang sedang duduk di sampingnya itu.

Punggung Conan tiba-tiba menegak, satu tangannya langsung merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel yang ia taruh di sana sebelumnya. Ia melihat layar ponsel sejenak sebelum menerima panggilan yang masuk ke ponsel tersebut.

"Okaa-san, ada apa?" tanya Conan dengan suara yang agak berbisik.

"Cepat sembunyi dan matikan ponselmu, buang seluruh perangkat elektronik yang bisa membuat kalian terlacak keberadaannya," suara dari seberang sana terdengar cukup keras sampai-sampai Haibara bisa mendengarnya, "mereka sudah mengunci posisi kalian, sekarang mereka sudah menyebar di dalam hutan untuk mengepung kalian."

Sontak Conan langsung berdiri dan menggandeng tangan Haibara. Gadis itu pun pasrah mengikuti tarikan dari Conan.

"Bagaimana bisa?" seru Conan tertahan sembari memulai langkah dengan hati-hati.

"Mereka sadar bahwa sekarang kalian tidak bersama Heiji-kun," jelas Yukiko, "sepertinya mereka memutuskan untuk melacak sinyal yang ada di tempat terakhir kalian berhadapan dengan mereka. Karena sekarang posisi kalian tidak biasa, mereka pasti akan curiga ketika melihat ada sinyal dari dalam hutan."

Conan berdecak tidak suka, "Sejak kapan mereka tahu posisi kami?"

"Mata-mata kita melihat ada orang mencurigakan mulai bermunculan di beberapa tempat. Salah satunya mereka mengarah ke tempat kalian saat ini," jawab Yukiko.

Tanpa memberi tanggapan, Conan langsung membuang ponsel yang ia genggam dan berlari masuk ke dalam hutan yang sudah mulai gelap. Tangannya terus menggenggam pergelangan tangan Haibara, dengan erat, seakan tidak akan membiarkan gadis itu terlepas darinya.

Haibara sendiri memilih untuk diam dan tidak banyak bertanya. Yang pasti, dari ekspresi yang terpasang di wajah gadis berambut coklat itu, ia bisa paham bahwa keadaan saat ini sedang mendesak. Dia tahu dia sedang dalam bahaya.

Langkah Conan tiba-tiba terhenti. Pemuda itu kini sedang menempel ke pohon—berusaha berkamuflase—sambil menggiring Haibara untuk bersembunyi di belakangnya. Ia melihat keadaan di sekeliling dengan seksama sebelum melirik ke arah gadis yang ada di belakangnya.

"Pilihan baju yang bagus," gumam Conan setelah melihat Haibara, "sekarang aku harus membuat kemeja putih ini menjadi baju kamuflaseku."

Conan melepas genggaman tangannya pada Haibara sembari menjatuhkan diri di atas tanah. Pemuda itu berguling-guling—bolak-balik—sampai bajunya kotor penuh dengan noda tanah. Haibara sendiri sempat terkejut dengan perbuatan Conan, meski tak lama kemudian ia memasang ekspresi paham tanpa perlu bertanya tujuan pemuda itu mengotori dirinya sendiri.

Merasa sudah cukup, Conan bangkit dan kembali menggenggam pergelangan tangan Haibara. Ia menarik gadis itu sembari memulai langkah lagi.

"Kudo-kun," panggil Haibara sedikit bergumam, "apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Conan terus menarik pergelangan tangan Haibara tanpa menoleh sedikitpun ke arah gadis itu. Bahkan setelah Haibara memanggil namanya berkali-kali, Conan tetap kukuh menghadap depan.

"Kita harus berpisah," ucap Conan pada akhirnya, "sekarang aku akan mencarikan tempat yang aman untukmu sebelum meninggalkanmu sendiri."

Nafas Haibara tercekat, "Tidak ada tempat aman di hutan ini, apalagi jika kita terpisah."

Langkah kedua sejoli itu tiba-tiba terhenti, lebih tepatnya Conan yang berhenti terlebih dahulu sebelum akhirnya Haibara mengikuti. Nafas keduanya terlihat memburu sebentar. Keduanya seakan tahu mereka harus bisa menenangkan diri masing-masing sehingga deruan nafas itu segera hilang.

Kepala Conan terus berputar ke segala arah, mencoba untuk mencari cela di dalam hutan yang sekiranya bisa menjadi tempat persembunyian.

"Memang area hutan akan dikepung oleh anggota organisasi hitam, tapi setidaknya masih ada 1% kemungkinan terdapat tempat yang aman untuk dijadikan tempat persembunyian," ucap Conan setelah lama hening.

Tiba-tiba saja pemuda itu mendongkak. Matanya terus menatap lurus dedaunan yang menghijau di atasnya. Begitu rimbun dan hijau.

"Di atas pohon," ucap Conan masih menatap dedaunan dari pohon di atasnya, "meski akan susah melarikan diri saat ketahuan, tapi aku yakin tempat paling aman untuk bersembunyi saat ini adalah di atas pohon,"

Conan menoleh ke arah Haibara, "kita harus ambil resiko, jika tidak kita berdua akan tamat sebelum teman-teman kita datang membantu."

Dengan cepat Haibara langsung menggeleng, "Itu bukan ide terbaikmu, Kudo-kun. Pikirkan lagi dengan kepala dingin."

Sontak Conan langsung mencengkram kedua bahu Haibara sembari memanggil nama gadis itu dengan nada sedikit tertahan. Tanpa ragu, si gadis berambut coklat mencengkram tangan Conan yang mencengkram dirinya. Dengan berani Haibara menatap bola mata pemuda di hadapannya.

"Kamu akan menyuruhku untuk naik ke pohon sementara dirimu jadi umpan untuk mengalihkan perhatian mereka, kan?" seru Haibara tertahan.

Tubuh Conan menegang seakan kalimat yang diucapkan oleh gadis di hadapannya mengenainya telak.

"Aku tidak mau jika seperti itu rencananya," lanjut Haibara sembari perlahan menurunkan tangan Conan dari bahunya.

Pemuda itu menurut sambil terus membalas tatapan Haibara. Seakan dia sedang mencari keberanian dari dalam mata gadis berambut coklat yang ada di hadapannya. Setelah beberapa detik dalam keheningan, Conan akhirnya menghela nafas.

Ia genggam pergelangan tangan Haibara sambil menggaruk belakang kepalanya, seakan dia frustasi—tidak tahu harus membujuk Haibara dengan cara apa lagi. Dia paham, bahkan semua paham bahwa gadis berambut coklat yang memiliki kode nama Sherry itu merupakan gadis yang amat sangat keras kepala.

"Kalau begitu aku punya satu permintaan untukmu," ucap Conan dengan nada serius, "kau boleh tidak menurutiku sekarang. Tapi, karena setelah ini kau akan mengikutiku, sampai misi ini selesai kau harus mau menuruti semua arahanku."

Bibir Haibara membentuk garis lurus. Kali ini gadis itu yang menatap pemuda di hadapannya dengan pandangan menyelidik.

"Selama tidak ada permintaan untuk berpisah, aku akan menurut padamu," tanggap Haibara dengan suara yakin.

Bahu Conan merosot. Ada senyum kecil yang terukir di bibir detektif SMA itu. Perlahan ia mengangguk sembari menyetujui permintaan Haibara.

Setelah itu Conan memimpin. Pemuda itu berjalan terlebih dahulu sambil terus menggenggam tangan Haibara. Sedangkan Haibara sendiri membuntut di belakang Conan sambil waspada menatap ke samping kanan dan kirinya secara bergantian.

Seakan dua sejoli itu sudah membagi tugas masing-masing. Conan yang waspada dengan arah depan sedangkan Haibara waspada dengan daerah sekeliling mereka. Padahal dua remaja itu tidak pernah membagi tugas tersebut sebelumnya.

Malam perlahan mulai datang menggantikan senja. Langit perlahan berubah jadi gelap seiring hilangnya sinar mentari dari ufuk barat. Langkah Conan dan Haibara semakin memelan seiring berkurangnya sinar yang masuk ke mata mereka. Tidak ada penerangan sama sekali, jadi dua sejoli itu lebih berhati-hati lagi saat melangkah.

Bukan hanya menghindari benda-benda tajam yang bisa melukai tubuh mereka, Conan dan Haibara juga harus berhati-hati agar tidak membuat suara saat melangkah. Sampai detik ini pun tidak ada yang tahu dimana posisi teman ataupun lawan mereka. Begitu juga sebaliknya. Orang-orang yang masuk ke dalam hutan pasti sama-sama waspadanya.

Conan tiba-tiba mengangkat satu tangannya yang bebas sambil menghentikan langkah. Haibara langsung ikut berhenti dan menatap wajah pemuda di hadapannya. Sang detektif SMA sedang melihat ke arah sekitar pada saat itu. Sampai pada akhirnya ia menoleh ke belakang untuk menatap Haibara.

"Istirahat dulu, kita harus atur strategi lagi," bisik Conan dengan suara lirih. Haibara membalasnya dengan anggukan kepala saja.

Kedua remaja itu kompak berjalan ke arah pohon berukuran besar yang ada di dekat mereka. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Conan dan Haibara duduk bersandar pohon besar yang mereka dekati.

Haibara segera menyeka keringat yang bermunculan di dahinya. Ia memang tidak sedang berlari kejar-kejaran seperti sebelumnya. Namun, karena suasananya tegang membuat keringat bermunculan di badannya.

Conan kembali menghela nafas sembari menatap langit. Dari matanya bisa ditebak bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. Mungkin saja cara paling tepat untuk menghindar dari sergapan para anggota organisasi hitam.

Cukup rumit tentunya. Dengan keadaannya sekarang yang tidak memiliki satu alat komunikasi, ia tidak akan bisa bertukar kabar dengan teman dan orang tuanya. Tidak ada satu orang pun yang tahu dengan posisinya dan Haibara. Begitu juga sebaliknya. Entah teman-teman Conan ataupun anggota organisasi hitam, pemuda itu tidak tahu dimana posisi pasti orang-orang itu.

"Kamu punya ide?" tanya Haibara dengan suara yang dijaga.

Pertanyaan itu berhasil membuyarkan pikiran Conan. Ia mengerjap beberapa kali sebelum menoleh ke arah Haibara.

"Aku masih memikirkannya, jalan keluar terbaik yang tidak terlalu beresiko," jawab Conan dengan suara yang dijaga pula.

Haibara mengangguk, pahan dengan jawaban Conan. Kemudian gadis itu mengelus saku bagian kiri jaketnya, "Satu hal yang ingin ku katakan padamu, Kudo-kun," suaranya begitu serius, "aku baru ingat ini, tapi... kamu perlu tahu bahwa benda yang paling ingin kita lindungi sekarang sedang berada di tempat paling aman."

Selama beberapa saat Conan terfokus pada saku bagian kiri jaket yang dikenakan oleh Haibara. Pemuda itu langsung terbelalak setelah paham arah pembicaraan gadis berambut coklat itu. Dengan suara tertahan ia menggumam 'APTX-4869 dan penawarnya'.

Detektif SMA itu langsung mencengkram kedua lengan Haibara, "Jangan-jangan..." ia tercekat sebentar sembari melanjutkan kalimatnya, "di mobil Hattori," suara Conan begitu lirih saat mengucapkan itu.

Lagi-lagi Haibara mengangguk, "Jadi, kalaupun kita ditangkap oleh organisasi hitam, kita tidak akan rugi banyak. Mereka tidak akan mendapatkan hal yang paling ingin mereka dapatkan."

Pandangan Conan jadi kosong, cengkramannya pada lengan Haibara perlahan melonggar. Punggung pemuda itu kembali bersandar pada pohon besar, kepalanya mendongkak ke atas dengan sendirinya. Seakan tubuhnya sedang bergerak secara otomatis.

"Meski demikian, pihak kita tidak bisa dikatakan menang jika kita berdua tertangkap," ucap Conan dengan suara lirih, "tujuanmu dan tujuanku memang untuk melindungi data APTX-4869 dan penawarnya. Sedangkan tujuan orang tuaku dan teman-teman lainnya adalah untuk melindungiku dan dirimu."

Jeda sejenak, Conan beralih menatap Haibara lagi dengan kesadaran penuh dalam dirinya, "Misi kita berdua memang sudah bisa dikatakan berhasil. Tapi, tidak untuk teman-teman kita," ia bicara dengan nada yakin, "apapun yang terjadi, kita harus berjuang agar tidak tertangkap."

Senyum kecil terukir di bibir Haibara, "Baiklah, ku pikir kamu sudah putus asa dengan keadaan kita yang seperti ini," gadis itu menghela nafas, "aku tahu kamu sedang bingung, jadi..." ekspresi Haibara berubah jadi serius, "aku punya ide yang presentase keberhasilannya cukup tinggi."

Kelopak mata Conan terbuka lebih lebar. Seakan ia tidak percaya bahwa gadis yang ingin ia lindungi selama ini bisa berpikir jernih di saat keadaan sedang tidak kondusif. Cukup lama sang detektif SMA terdiam, akhirnya ia merubah ekspresinya jadi serius dan mengangguk.

Dengan begitu, Haibara mulai menyampainya idenya pada Conan.

...

Deru nafas dari Conan dan Haibara menggema di dalam hutan yang sunyi. Kedua remaja itu kini sedang berlari sekuat tenaga membelah hutan yang suasananya makin gelap. Terlihat samar-samar wajah Conan yang sedang menunjukkan ekspresi tegang. Namun, terlihat jelas pula bahwa pemuda itu berusaha untuk bersikap tenang.

Di belakang Conan, Haibara sedang berlari membuntut. Ekspresinya tidak kalah tegangnya dari pemuda di depannya. Satu tangannya digenggam oleh Conan. Sedangkan tangannya yang bebas mencengkram secara spontan kaosnya di bagian dada.

"Kudo-kun," panggil Haibara dengan suara lirih.

Mendengar itu, Conan melirik gadis yang sedang ia gandeng sembari cepat-cepat melihat depan lagi, "Jangan menyerah, Haibara. Kita pasti bisa melewati ini dalam keadaan selamat," ucapnya meyakinkan.

Tidak jauh dari kedua remaja itu terlihat ada bayang-bayang orang berlari. Tidak berbeda jauh dengan Haibara, orang yang sedang mengejar dua remaja itu pun memakai pakaian serba hitam. Tidak diragukan lagi, dia pasti salah satu anggota organisasi hitam.

Suasana jadi semakin mencengkam ketika orang berbaju hitam itu berhenti melangkah sembari mengambil pistol yang tersembunyi di saku bagian dalam jaketnya. Dia mengarahkan pistol itu ke arah depan, berusaha untuk membidik dua orang yang sedang ia kejar.

Seakan sadar orang yang tadi mengejarnya tiba-tiba berhenti, Conan melirik ke arah belakangnya. Kelopak mata dari pemuda itu langsung terbuka lebar. Spontan ia tarik Haibara ke arah samping kiri untuk bersembunyi di balik pohon yang berada di dekatnya.

"Menunduk!" seru Conan, suaranya sampai menggema di dalam hutan.

Bersamaan dengan itu terdengar suara dentuman pistol. Peluru perak terlihat melaju dengan kencang dan mengenai pinggiran pohon yang sedang dibuat tameng oleh Conan dan Haibara. Pemuda itu langsung meringkuk sambil memeluk Haibara.

Tak berselang lama, Conan melepaskan pelukannya dan berusaha untuk melihat keadaan sekitar. Mencoba mencari orang berbaju hitam yang tadi mengejarnya.

Conan berdecak kesal ketika ia tidak menemukan sosok tersebut. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sembari berdiri. Sambil terus melihat keadaan sekeliling, Conan menarik Haibara, menuntun gadis itu agar segera berdiri.

"Cepat, kita kehilangan jejaknya. Bisa bahaya jika kita terus diam di tempat ini," gumam Conan dengan nada serius.

Haibara terlihat masih terguncang, namun ia berusaha untuk terlihat tegar, "Lalu, bagaimana sekarang?"

Conan mencengkram kedua lengan Haibara sembari menatap mata gadis itu dari arah dekat, "Apapun yang terjadi kita harus bisa keluar dari hutan ini," ucapnya dengan tegas, seakan dia sedang memerintah Haibara untuk melakukan hal itu bagaimanapun caranya.

Kedua remaja itu kompak mengangguk, meyakinkan diri masing-masing supaya bisa bertahan dan bisa menyelesaikan misi dalam keadaan hidup. Tanpa memberi aba-aba, Conan dan Haibara berdiri secara bersamaan dan berlari lebih masuk ke dalam hutan.

Bayangan hitam—orang yang mengejar Conan dan Haibara—kini terlihat lagi. Melihat dua orang targetnya sedang berusaha untuk kabur, orang itu sontak ikut berdiri dan berlari mengejar. Ia simpan pistol yang ada di tangannya kembali ke dalam saku jaket.

Seakan sadar orang yang mengejarnya kembali bergerak, Haibara terlihat berjingkat sedikit. Ia memanggil nama Conan dengan suara lirih seakan memberi peringatan bahwa mereka sedang dikejar lagi.

"Dari arah mana?" tanya Conan dengan suara lirih pula.

Kepala Haibara bergerak sedikit, gadis itu menatap bayangan hitam yang mengejarnya melalui ujung matanya. Tak lama berselang ia kembali menghadap depan lagi sambil berbisik, "Arah jam 5."

Mendengar informasi itu, Conan pun mengangguk, "Dalam hitungan kelima, segera berlindung ke pohon terdekat dan bersiaga untuk menarikku."

"Sepakat," jawab Haibara cekatan, tentunya dengan suara yang pelan.

Terlebih dahulu Conan melihat keadaan sekitar, memilih pohon yang sekiranya bisa dijadikan tempat persembunyian paling aman. Tak lama waktu berselang pemuda itu mulai menghitung mulai dari satu.

Haibara terlihat bersiap setelah mendengar Conan menghitung dengan suara lirih. Saat hitungan ketiga, gadis itu ikut menghitung pula sampai pada akhirnya hitungan berhenti di angka lima.

Sama seperti rencana yang sudah mereka buat tadi, Conan menarik Haibara—membantunya untuk bersembunyi di balik pohon. Satu tangannya yang bebas bergerak mengambil pistol yang terselip di saku celananya di bagian belakang. Ia segera menarik pistolnya dan mengarahkan pistol tersebut ke arah jam 5. Tanpa ragu, ia melepas tembakan. Suaranya langsung menggema di dalam hutan.

Haibara yang tadinya ditarik oleh Conan segera menempatkan diri di belakang pohon sambil fokus memperhatikan posisi bayangan hitam yang mengejarnya. Setelah mendengar suara tembakan, gadis itu langsung mengulurkan tangan ke arah Conan—ia masih fokus menatap orang yang mengejarnya.

Berhasil melepaskan tembakan, Conan bergegas menerima uluran tangan Haibara. Saat tangan mereka sudah bertautan, Haibara menarik kuat-kuat Conan dan segera memposisikan diri untuk menunduk.

Pistol masih berada di genggaman tangan Conan, posisinya sekarang ia sedang terduduk di samping Haibara. Dengan ekspresi serius, pemuda itu menatap gadis berambut coklat itu, "Bagaimana? Apa aku berhasil mengenainya?"

Haibara mengangguk, "Meski aku yakin tembakan itu tidak mengenai titik vitalnya. Tapi, kamu berhasil melukainya."

Conan menghela nafas lega dan menyimpan pistolnya lagi, "Dengan begini kita berhasil mempersulit pergerakannya. Kita harus mengambil kesempatan ini untuk bisa berlari sejauh mungkin."

Dengan hati-hati, detektif SMA itu berdiri sembari mengulurkan tangan, berniat untuk membantu Haibara berdiri. Melihat uluran tangan itu, Haibara segera menerimanya. Conan pun menarik Haibara.

Terlebih dahulu Conan melihat ke arah posisi terakhir orang yang mengikutinya. Ia bisa melihat ada bayangan hitam sedang bersembunyi di balik salah satu pohon. Kira-kira jaraknya sepuluh meter.

Puas melihat keadaan orang yang mengejarnya, Conan kembali menatap Haibara, "Ayo kita pergi. Kali ini harus hati-hati. Kalau kita beruntung orang itu tidak akan bisa mengejar kita lagi."

Haibara mengangguk mengerti. Keduanya pun segera melangkah pergi. Ke arah depan, berusaha untuk menyembunyikan pergerakan agar orang yang mengikuti mereka tidak sadar mereka telah pergi.

Setelah melangkah cukup jauh. Conan dan Haibara kompak menoleh ke belakang untuk melihat keadaan di sekitar mereka. Suasananya begitu sunyi dan keadaan terbilang gelap. Meski saat ini bulan sedang bersinar dengan terangnya di langit malam, cahaya putih itu tidak tembus di dalam hutan. Alasannya karena daun-daun di hutan begitu lebat.

Wajah kedua remaja itu terlihat cukup tegang. Tidak menutup kemungkinan ada orang yang sedang mengikuti mereka meski keduanya sudah berusaha untuk hati-hati saat melangkah.

Tiba-tiba saja wajah Conan menegang. Pemuda itu langsung menarik Haibara mendekati pohon. Ia menempelkan punggungnya ke pohon seakan-akan ingin berkamuflase ke pohon tersebut.

Conan menggerakkan tangannya untuk memberi isyarat pada Haibara agar gadis itu mengikuti dirinya. Tanpa bertanya pun Haibara langsung paham dan ikut menempelkan punggung ke pohon.

Ekspresi Haibara sama tegangnya dengan ekspresi Conan. Ia bahkan menggigit bibir bawahnya seakan ingin mengurangi rasa tegang yang ia rasakan.

Nafas kedua sejoli itu pun sedikit memburu. Semakin hening keadaan, semakin terasa tegang pula suasananya. Perlahan tangan Haibara bergerak dan berakhir mencengkram kemeja yang dipakai oleh Conan. Membuat orang yang bersangkutan menoleh ke arah gadis berambut coklat itu.

Walau kini tangan Haibara sedang mencengkram kemeja Conan, pandangan gadis itu tidak terarah ke rekannya. Ia menatap jauh ke dalam hutan yang makin lama terlihat makin gelap.

Tiba-tiba saja mata Haibara terbelalak lebar. Keringat dingin jatuh dari pelipisnya, "Ada yang sedang mengintai kita," bisik Haibara, suaranya bergetar.

Sontak Conan langsung mengalihkan wajah ke arah yang sama dengan Haibara. Detik berikutnya, Conan berseru memanggil nama Haibara sembari menempatkan diri di depan gadis tersebut.

Semua terjadi begitu cepat. Hal berikutnya yang terjadi adalah adanya noda gelap yang merembes di bagian bahu kiri kemeja putih yang dipakai oleh Conan. Pemuda itu pun merintih tertahan.

Nafas Haibara tercekat. Ia sempat terpaku sebentar, namun cepat-cepat ia berusaha menyadarkan diri lagi.

"Jangan bergerak," ucap Conan susah payah. Ia berinisiatif membalikkan badan sendiri sembari memeluk Haibara erat-erat.

Detektif SMA itu menekankan bahunya yang bernoda ke bagian dada kiri Haibara, "Setelah itu kita harus terjatuh," ringisan pelan kembali keluar dari mulut Conan. Walau demikian ia terlihat susah payah untuk tetap bisa tenang.

Conan mendorong pelan tubuh Haibara dan keduanya pun terjatuh ke tanah dengan posisi Conan berada di atas.

"Dengarkan aku," bisik Conan dengan suara terbata-bata, "jika orang yang menembak kita mendekat, segera pelankan deru nafasmu. Jika dia terus menunggu kita, berusahalah untuk bernafas seakan-akan nafas kita akan habis."

Perlahan dan hati-hati, Haibara mencengkram kemeja Conan di bagian perut, "Bagaimana jika orang itu akan menembak kepala kita untuk memastikan kita akan mati di tempat."

"Jangan khawatirkan itu, sekarang pejamkan matamu. Buat senatural mungkin," bisik Conan.

Setelahnya kedua remaja itu kompak memejamkan mata. Sama seperti instruksi Conan sebelumnya, dua sejoli itu sama-sama memelankan deru nafasnya. Bahkan Haibara mengimprovisasi dirinya sendiri.

Karena wajah gadis itu yang terlihat, ia sengaja merubah ekspresinya seperti orang yang sedang kesakitan.

Tak lama waktu berselang, orang yang menjadi tersangka penembakan Conan benar-benar keluar dari persembunyiannya. Orang berbaju serba hitam itu mendekati posisi dua targetnya dengan langkah waspada. Di tangannya tergenggam pistol.

Semakin dekat posisinya dengan Conan dan Haibara, semakin terlihat bahwa penembak itu menyembunyikan rambut pirangnya di balik topi berwarna hitam yang ia pakai. Matanya yang berwarna biru itu menatap tajam dua tubuh yang kini berjarak dua meter darinya.

Wanita itu—yang tak lain adalah Vermouth—mengarahkan pistolnya ke arah punggung Conan sebelum pada akhirnya memulai langkah lagi. Perlahan dan hati-hati, ia terus mendekat dengan langkah tanpa suara.

Langkah Vermouth terhenti ketika ia sudah sampai di samping tubuh Conan dan Haibara. Ia berjongkok sembari memeriksa keadaan Conan terlebih dahulu dengan membalikkan tubuh pemuda itu secara perlahan.

Kini posisi Conan tidur terlentang di samping Haibara. Pemuda itu pun sudah merubah ekspresinya sedemikian rupa seakan-akan dia sedang sekarat. Melihat itu, Vermouth memejamkan mata sejenak sembari menggumam pelan.

"Maafkan aku, silver bullet-kun. Aku tidak bermaksud melukaimu. Tapi, karena kamu berusaha melindungi gadis ini, maka ini yang kau dapatkan."

Mata Vermouth kembali terbuka. Pandangannya kini tertuju pada Haibara. Sejenak ekspresi tidak suka terpancar dari wajah wanita pirang itu. Namun, cepat-cepat ia membuang emosinya dan segera bergerak.

Tangannya mulai memeriksa saku jaket Haibara. Setelah tidak menemukan apapun, ia beralih memeriksa saku celana Haibara. Tidak ada hasil lagi.

Vermouth berdecak kesal dan segera berdiri. Ekspresi tidak suka kembali terpasang di wajahnya. Jelas-jelas terlihat bahwa ia sedang marah. Setelah berhasil berdiri dengan tegak, wanita itu pun mengarahkan pistol di tangannya ke arah kepala Haibara.

Perlahan jari telunjuk Vermouth mulai bergerak, berniat menekan pelatuk agar peluru keluar dari moncong pistol dan melubangi kepala gadis berambut coklat itu.

Baik Haibara maupun Conan tetap terdiam. Entah mereka sadar atau tidak, saat ini nyawa Haibara sedang terancam.

Suasana jadi makin tegang ketika mimik wajah Vermouth makin mengeras. Wanita itu menarik nafasnya dalam-dalam, seakan ingin meyakinkan diri bahwa yang akan ia lakukan itu adalah sesuatu yang bersifat benar.

Tiba-tiba saja Vermouth membuat gerakan aneh, tubuhnya menegang dan ia memekik tertahan. Di saat yang bersamaan, wanita berambut pirang itu menjatuhkan pistol dari tangannya.

Vermouth mencengkram bahunya keras-keras, dari wajahnya terlihat bahwa dia sedang menahan sakit. Tak ingin berlama-lama sibuk dengan rasa sakitnya, ia menoleh ke arah belakang punggungnya, ke arah hamparan hutan yang terlihat gelap.

Dengan ekspresi waspada, Vermouth mulai mengendap-endap pergi menjauh dari dekat Conan dan Haibara. Matanya terus menatap ke arah gelapnya hutan tempat datangnya peluru yang kini menancap di bahu kanannya.

Tak berselang lama setelah Vermouth pergi dari posisi Conan dan Haibara, sekumpulan orang mulai berdatangan masing-masing membawa pistol. Tanpa mempedulikan kedua remaja yang sedang terkapar di tanah, orang-orang itu berlalu begitu saja.

"Kejar dia, tetap waspada karena dia tidak sendirian di hutan ini," suara Shuichi terdengar, "aku akan urus dua anak ini," tambahnya.

Mendengar itu, baik Conan maupun Haibara sama-sama membuka mata. Sontak Haibara langsung bangkit untuk duduk dan beralih memperhatikan Conan. Wajah paniknya langsung terlihat.

Conan sendiri nafasnya langsung tak beraturan ketika dia melihat sosok Haibara dan Shuichi. Sekilas ada kilatan lega di mata pemuda itu.

"Edogawa-kun," seru Haibara tertahan, "bertahanlah," setelah itu ia beralih menatap Shuichi yang sekarang sedang berdiri di sampingnya. Awalnya Haibara terlihat kaget, namun ekspresinya langsung berubah dan pandangannya kembali terarah pada Conan.

Anggota FBI itu kini terpaku di tempat, matanya terbelalak lebar. Butuh beberapa detik sebelum kesadarannya kembali dan membuatnya bereaksi atas apa yang terjadi.

"Tertembak?!" seru Shuichi sambil fokus menatap noda di kemeja bagian bahu Conan.

Lelaki itu cepat-cepat menyimpan pistolnya dan segera bergegas membuka kancing kemeja Conan. Nafasnya tercekat ketika ia melihat banyak darah di bahu detektif SMA itu.

"Dia kena berapa tembakan?" tanya Shuichi masih terlihat kaget.

"Sekali," jawab Haibara sambil melepas jaketnya, "darahnya keluar banyak karena tadi ia sempat menekan lukanya. Sengaja agar darahnya tertempel di jaketku supaya orang yang menembak kami berpikir bahwa kami berdua sama-sama terlukanya."

Umpatan keluar dari mulut Shuichi, tak ketinggalan ia menyebut Conan 'bodoh' karena telah melakukan perbuatan yang sembrono. Anggota FBI itu kini bangkit sembari merogoh saku celananya.

Di genggamannya kini ada sebuah ponsel. Shuichi menyalakan ponsel itu terlebih dahulu, menunggu sebentar, lalu ia langsung membuat panggilan ketika ponsel itu sudah siap. Ia memberitahu rekannya bahwa dia membutuhkan bantuan medis.

Setelah berhasil melakukan panggilan, Shuichi kembali berjongkok dan mulai memeriksa sekujur tubuh Conan. Ketika Shuichi memeriksa kaki Conan, detektif SMA itu langsung meringis kesakitan.

Melihat reaksi itu, Shuichi berinisiatif merobek celana yang dipakai oleh Conan. Samar-samar terlihat ada noda di perban yang membalut kaki pemuda itu.

"Kakinya terluka juga?" tanya Shuichi lagi-lagi memasang wajah kaget.

Pandangan mata Haibara pun langsung tertuju ke arah kaki Conan. Matanya terbelalak, "Luka itu didapat Edogawa-kun saat kami ada di Tokyo," gadis itu terduduk lemas, "maaf, aku baru ingat kalau dia juga memiliki luka tembak yang masih belum sembuh di bagian kakinya."

Shuichi tak kalah terguncangnya. Di wajahnya tergambar jelas bahwa dia terlihat kesal. Umpatan kembali keluar dari mulutnya.

Keadaan menjadi hening karena tidak ada satupun dari tiga orang itu yang bicara. Hanya terdengar suara Conan yang merintih pelan menahan sakit yang ia rasakan. Keheningan itu bertahan cukup lama sampai tim penyelamat yang dipanggil Shuichi sampai di tempat ketiga orang itu berada.

...

Suara ketukan sendok yang sedang bersinggungan dengan gelas menggema di dalam ruangan serba putih. Di tengah ruangan itu berdirilah seorang gadis berambut coklat yang sedang sibuk mengaduk isi cangkir di hadapannya. Gadis itu tak lain adalah Haibara Ai.

Berhasil mengaduk isi kelima cangkir, Haibara mengangkat nampan tempat cangkir-cangkir itu berada. Ia berjalan perlahan menuju ruangan yang berhadapan langsung dengan dapur yang ia tempati. Pintu ruangan itu sudah terbuka, jadi Haibara bisa langsung masuk ke dalam ruangan tanpa mendapat kesulitan berarti.

Dua langkah ia ambil setelah masuk ke dalam ruangan, gadis berambut coklat itu memutuskan untuk berhenti dan mulai memperhatikan orang-orang yang ada di dalam ruangan.

Tepat di samping pintu ruangan, seorang lelaki berambut hitam bermata tajam bersandar di dinding dengan posisi tangan tersilang di depan dada. Orang itu tak lain adalah salah satu angota FBI yang juga menyamar menjadi Okiya Subaru, Akai Shuichi.

Pandangan Shuichi tertuju ke arah televisi yang ada di sisi ruangan yang berhadapan langsung dengan posisi berdiri Haibara saat ini.

Berseberangan dengan Shuichi, tepat di samping kanan satu-satunya tempat tidur yang ada di ruangan itu berdirilah Kudo Yusaku bersama dengan istrinya Yukiko yang sedang duduk di kursi samping tempat tidur. Kedua orang itu juga memperhatikan televisi.

Ekspresi ketiga orang yang sedang memperhatikan televisi itu begitu serius. Walau agak berbeda untuk kasusnya Yukiko, karena ekspresi ibu dari Kudo Shinichi itu terlihat campur aduk. Antara serius dan sedih. Terlihat jelas bahwa dia berusaha menahan air matanya agar tidak menetes.

Haibara menghela nafas pelan dan ikut mengarahkan pandangannya ke arah televisi. Ekspresi gadis berambut coklat itu pun langsung berubah jadi sedih ketika ia membaca headline berita yang sedang tersiar di televisi itu.

Detektif SMA terkenal, Kudo Shinichi, meninggal

Dengan keterangan di bawahnya , 'Kudo Shinichi mati tertembak saat berusaha mengungkap sebuah kasus besar'.

Di layar televisi itu pun diperlihatkan keadaan di rumah keluarga Kudo. Di ruang tamunya terdapat puluhan orang yang sedang duduk di kursi yang sudah disiapkan. Semua orang di situ memakai pakaian serba hitam.

Tepat di hadapan puluhan orang itu terdapat sebuah peti mati dengan background bunga mawar putih. Kamera pun beralih memperlihatkan keadaan peti mati dari dekat. Telihat dari kotak kecil yang ada di atas peti mati, wajah Kudo Shinichi. Ekspresinya begitu tenang, matanya terpejam seakan ia sedang tertidur lelap.

Setelah memperlihatkan gambar itu, kamera beralih menyorot sisi kanan peti mati. Memperlihatkan kedua orang tua Shinichi yang sedang duduk menghadap ke arah tamu-tamu yang datang.

Di dalam tayangan itu terlihat Yukiko sedang tertunduk sambil menangis tersedu-sedu. Yusaku yang duduk di sampingnya mengelus punggung Yukiko sambil terus berusaha menenangkannya.

Tak lama waktu berselang, kamera kembali beralih ke arah pintu masuk. Di sana terlihat ada dua orang wanita berjalan masuk. Satunya berambut panjang, satunya berambut pendek. Mereka berdua tak lain adalah Mouri Ran dan Suzuki Sonoko.

Ekspresi kedua wanita itu tak jauh berbeda dengan ekspresi tamu-tamu yang sudah datang. Bedanya hanya ekspresi Ran terlihat lebih kacau. Dengan mata bengkak dan memerah, hidungnya pun terlihat berair.

Sonoko merangkul bahu Ran karena sahabatnya tiba-tiba berhenti melangkah. Anak dari keluarga Suzuki itu sedikit mendorong punggung sahabatnya agar mereka kembali melangkah. Walau terlihat linglung, namun Ran tetap melangkah juga setelah mendapat dorongan kecil.

Sampai pada akhirnya kedua wanita itu kini berada di depan peti mati Kudo Shinichi. Baru setelah itu Ran berteriak histeris sambil terus memanggil nama Shinichi. Sonoko pun langsung memeluk sahabatnya itu dengan erat, berusaha menenangkan Ran yang terus berusaha mendekati peti mati Shinichi.

Melihat Sonoko yang kewalahan menahan Ran, Yukiko pun langsung berdiri dan ikut berusaha menahan Ran. Tak lama kemudian dari arah pintu masuk Eri Kisaki cepat-cepat mendekati putrinya dan segera menenangkan anaknya.

Ran pun langsung memeluk ibunya erat sambil menangis dalam pelukan itu. Eri langsung menggiring Ran ke ruangan lain untuk menenangkan anaknya.

Kamera pun kembali menyorot peti mati dan memperlihatkan wajah Shinichi.

Genggaman tangan Haibara pada nampan yang ia bawa mengeras. Ada gejolak emosi yang berputar-putar dalam mata gadis berambut coklat itu. Antara marah, sedih, bingung dan iba.

"Sudahlah, kenapa kita harus menonton siaran ulang itu terus menerus. Aku sudah bosan melihatnya."

Kalimat itu berhasil membuat keempat orang yang sedaritadi fokus melihat tv berjingkat kecil. Semuanya pun langsung kompak menatap ke satu arah, tempat suara itu berasal.

"Shin-chan," gumam Yukiko dengan wajah khawatir, lantas ia menggenggam jemari orang yang sedang berada di atas tempat tidur, "apa kamu tidak ingin tahu tentang keadaan teman-teman kita yang ada di Jepang?"

Di atas kasur terduduklah seorang pemuda yang sedang memakai baju serba putih. Pandangan pemuda itu terarah ke jendela kaca besar yang ada di sisi kanan ruangan. Tidak ada semangat yang biasa terlihat di dalam mata pemuda itu.

"Mereka sudah aman dengan adanya berita kematianku, kan?" ucap Conan dingin, "daripada melihat berita yang terus diulang-ulang, lebih baik sekarang kita fokus mencari keberadaan orang-orang dari organisasi hitam."

Mendengar itu, wajah Yukiko terlihat makin suram lagi. Begitu juga dengan Haibara, gadis itu sedikit tentunduk. Ekspresi bersalah terpasang di wajahnya.

Conan beralih menatap Shuichi, "Bagaimana dengan perkembangannya, Shuichi-san?" tanya pemuda itu layaknya robot.

Mata tajam Shuichi terlihat berkilat. Ia menatap Conan lekat-lekat, beralih menatap Haibara sebentar dan menatap Conan lagi. Shuichi menghela nafas panjang dan menegakkan punggung sambil melepas silangan tangannya.

"Tidak perlu khawatirkan itu, lebih baik sekarang kau fokus pada penyembuhanmu. Lukamu bukan luka yang bisa diremehkan," ucap Shuichi sambil berjalan keluar dari ruangan. Melihat itu, Yusaku langsung mengikuti langkah anggota FBI itu.

"Memang benar, sekarang kau boleh istirahat dulu, Shinichi. Sisanya serahkan saja pada ayah dan yang lainnya," ucap Yusaku sambil berlalu juga.

Tinggallah Haibara yang masih berdiri sambil membawa nampan, Yukiko yang duduk menemani Conan dan Conan sendiri yang terduduk lemah di atas kasur.

Dari kasus yang mereka hadapi, memang hanya Conan saja yang mendapat luka paling parah. Luka tembak yang ia dapat ada di bagian kaki dan bahu. Sedangkan untuk luka di bagian bahu, ternyata peluru yang dipakai Vermouth sengaja dibumbui racun yang bisa membunuh orang secara perlahan.

Itu sebabnya tak berapa lama setelah tertembak, Conan mengerang kesakitan. Karena saat itu racun mulai menyebar ke seluruh tubuhnya. Untung saja ia berhasil mendapatkan pertolongan pertama di waktu yang tepat sehingga kerusakan dalam tubuhnya tidak terlalu parah.

Namun, karena racun itu sudah mulai menyebar di tubuhnya, alhasil sekarang Conan harus menerima kenyataan bahwa tubuhnya mengalami kelumpuhan. Walau kelumpuhan itu tidak permanen, tetap saja sekarang ia tidak bisa melakukan apapun selain berdiam diri di atas kasur.

Haibara kembali menghela nafas dan berjalan mendekati kasur. Terlebih dahulu ia taruh nampan yang ia bawa di atas meja di samping kasur sebelum duduk di kursi yang ada di sisi kiri kasur.

Di saat yang bersamaan, di layar televisi memperlihatkan berita lain. Kali ini headline berita bertuliskan :

Partner kerja Kudo Shinichi, Miyano Shiho, meninggal

Dengan keterangan di bawahnya, 'Wanita yang diyakini mantan anggota mafia itu ditemukan meninggal di samping Kudo Shinichi'.

Beda halnya dengan berita kematian Kudo Shinichi, untuk berita kematian Miyano Shiho tidak diperlihatkan rumah duka maupun tamu-tamu yang datang melayat. Di layar televisi itu terlihat seorang reporter wanita berdiri di depan rumah keluarga Kudo sambil menjelaskan.

'Miyano Shiho, partner kerja Kudo Shinichi yang ikut andil dalam usaha pembubaran mafia ditemukan meninggal di samping Kudo Shinichi. Diketahui keduanya meninggal karena luka tembak di bagian dada kiri. Sampai detik ini pihak kepolisian masih belum memberikan keterangan dimana rumah duka Miyano Shiho, sehingga kami masih belum mendapat banyak informasi tentang latar belakang korban. Polisi hanya menjelaskan bahwa Miyano Shiho dulunya menjadi anggota mafia yang ingin dibubarkan oleh Kudo Shinichi. Ia ikut terbunuh karena telah menghianati mafia itu. Kami pun masih belum tahu mafia seperti apa yang ingin dibubarkan oleh Kudo Shinichi. Hanya itu yang bisa kami sampaikan untuk masyarakat'.

"Haibara, tolong matikan televisinya," ucap Conan terdengar hampa.

Gadis berambut coklat itu sempat terdiam sejenak sebelum mengambil remot dan menekan tombol merah yang ada di remot tersebut. Dengan matinya televisi, keadaan di dalam ruangan itu kini jadi hening.

Di seberang tempat Haibara, Yukiko terlihat makin khawatir lagi. Ia terus memperhatikan wajah Conan dan Haibara secara bergantian. Dari kilatan matanya ia terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun ia terlihat bingung ingin memulai pembicaraan darimana.

Sambil memasang wajah tanpa ekspresi, Haibara memperhatikan nampan yang tadi ia bawa, "Mau minum susu? Tadi kamu tidak memakan sarapanmu kan?" tawarnya.

"Aku tidak lapar," jawab Conan cekatan, masih dengan suara yang hampa.

Untuk kesekian kalinya Haibara menghela nafas, kali ini bahkan ia menghela nafas panjang. Tak mengindahkan ucapan Conan, gadis itu segera mengambil gelas berisi susu dari atas nampan dan memasukkan sedotan ke dalam gelas itu.

"Kalaupun kamu tidak peduli dengan dirimu sendiri, cobalah peduli pada orang-orang di sekelilingmu yang menghawatirkan keadaanmu," ucap Haibara dengan santai, ia ulurkan tangannya untuk mendekatkan gelas ke wajah Conan.

Mendengar itu, mata Conan langsung beralih ke arah Yukiko. Dari pantulan matanya terlihat jelas bahwa wanita itu kini benar-benar terlihat khawatir. Ia sudah tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya lagi. Bahkan kini terlihat jelas ada air yang menggenang di dalam mata Yukiko.

Baru setelah itu Conan terlihat sedikit hidup. Cukup lama ia bertukar pandang dengan ibunya dalam keheningan, akhirnya ia mengalihkan pandangan ke arah gelas yang ada di depan wajahnya.

Perlahan Conan berusaha untuk mendekati gelas itu dan mendekatkan mulutnya ke sedotan. Sekitar tiga tegukan, pemuda itu meminum susu yang dibawakan oleh Haibara.

Baik Haibara maupun Yukiko langsung bernafas lega. Bahu mereka pun langsung melemas ketika melihat langsung Conan sedang meminum susu, walau tidak banyak. Keduanya pun tersenyum kecil.

"Yukiko, bisa ikut aku sebentar?" ucap Yusaku yang tiba-tiba muncul di pintu kamar.

Ekspresi khawatir kembali terpasang di wajah Yukiko. Ia memperhatikan Conan seakan tidak tega jika ia meninggalkan sisi anaknya itu. Namun, ketika melihat ada sedikit senyum di bibir Conan, Yukiko terlihat lega kembali.

Meski awalnya terlihat tak tega, pada akhirnya Yukiko berdiri dan memutuskan untuk menerima panggilan suaminya, "Ada apa, Yu-chan?" tanya Yukiko sambil berjalan ke arah pintu.

Yusaku tidak menjawab, ia malah beralih menatap Haibara dan memberikan gadis itu senyuman, "Tolong jaga Shinichi dulu ya. Kami tidak akan lama."

Haibara yang sudah menatap Yusaku sejak awal langsung menyanggupi permintaan itu. Tentu saja, lagipula semenjak mereka sampai di Amerika, orang yang bertanggung jawab menjaga Conan adalah Haibara.

Benar, kedua remaja itu kini sedang berada di Amerika. Keduanya sudah menyetujui untuk mengikuti program perlindungan saksi dari FBI. Keadaan memaksa dua remaja itu untuk menyetujui tawaran itu.

Alasan utamanya adalah untuk melindungi orang-orang yang berhubungan dengan keduanya. Karena setelah peperangan itu, tidak ada satupun anggota organisasi hitam yang berhasil ditangkap. Itu sebabnya akan berbahaya jika mereka tidak menghilangkan jejak mereka.

Sudah jelas-jelas bahwa orang yang meminum APTX-4869 masih berhasil hidup. Organisasi hitam telah mengetahui hal itu. Karenanya keberadaan Kudo Shinichi dan Miyano Shiho—maupun Edogawa Conan dan Haibara Ai—harus segera dihilangkan.

Jika tidak, akan berakibat fatal dan kerugian yang ditanggung akan semakin besar.

Alasan kedua Conan dan Haibara mau menyetujui program perlindungan saksi dari FBI adalah karena...

"Andai saja saat itu ku bawa flashdisk-nya, semua data tentang obat penawar itu pasti bisa diselamatkan dan aku bisa membuatnya ulang sehingga kamu tidak perlu mengambil jalan ini, Kudo-kun," gumam Haibara terdengar sedih.

Begitulah adanya. Haibara telah meninggalkan APTX-4869 bersama penawarnya di mobil yang ditumpangi Heiji ketika mereka melarikan diri dari Tokyo ke Osaka. Nyatanya, Haibara juga meninggalkan flashdisk berisi data pembuatan APTX-4869 dan penawarnya di dalam kotak obat tersebut.

Sayangnya, karena orang-orang dari organisasi hitam mengejar mobil Heiji, mobil itu ditembak dan menyebabkan mobilnya meledak. Alhasil, seluruh data beserta APTX-4869 dan penawarnya hangus tak bersisa.

Keadaan Heiji pun cukup memprihatinkan. Ia berhasil selamat dengan melompat keluar dari mobil sebelum mobil meledak dan terbakar. Namun, karena dia melompat di saat mobil melaju dengan kecepatan penuh, sekarang polisi Osaka itu mengalami patah tulang lengkap dengan luka disekujur tubuhnya.

Itu sebabnya Heiji tidak ikut andil dalam proses penyelamatan Haibara dan Conan di hutan di daerah Nagoya.

Dengan hilangnya APTX-4869, penawarnya dan data tentang obat-obat itu, kesempatan Conan untuk kembali jadi Shinichi pun pupus. Karena hal itu pula, Conan lebih memilih memalsukan kematian Shinichi demi kebaikan Ran.

"Butuh waktu sepuluh tahun bagiku untuk membuat penawar APTX-4869, kalau kamu mau menunggu lebih lama lagi, mungkin..."

"Haibara," potong Conan sebelum gadis berambut coklat itu menyelesaikan kalimatnya, "aku tahu kau ingin membantuku, tapi keputusanku sudah bulat. Bagiku ini adalah jalan terbaik untukku... juga untuk Ran. Terlalu egois jika aku memintanya untuk menungguku sepuluh tahun lagi."

Pandangan Haibara langsung turun ke lantai. Dilihat darimanapun gadis itu merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Conan. Andai saja ia tidak meninggalkan kotak obat bersama flasdisk-nya, Conan tidak mungkin mengambil jalan ini.

Harusnya pemuda itu masih memiliki harapan untuk tetap maju kalau saja ia menggenggam penawar permanen dari APTX-4869.

"Ini bukan salahmu," ucap Conan kalem, suaranya lebih hidup jika dibandingkan sebelumnya, "memang sudah takdirnya seperti ini."

Haibara tersentak kecil. Ia terlihat kaget dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Conan. Selama beberapa saat gadis itu terpaku sampai pada akhirnya ekspresi bersalah itu kembali terpasang di wajahnya. Bahkan sekarang makin bertambah parah.

Air mulai menggenang di dalam mata Haibara. Ketika gadis itu memejamkan mata, setetes air jatuh masing-masing dari ujung matanya. Bersamaan dengan itu, ia makin tertunduk.

"Sekarang kau tidak perlu bingung membuat penawarnya. Biarlah semua berjalan seperti ini," lanjut Conan, "karena memang sudah semestinya seperti ini, tidak ada yang perlu diubah lagi."

Lama-kelamaan tangis Haibara makin parah. Ia tidak bisa menahan rengekannya lagi sehingga kini gadis itu memilih untuk membenamkan wajahnya di kasur samping Conan. Samar-samar tendengar suara serak Haibara yang terus mengucap kata maaf.

Ekspresi Conan benar-benar melunak, pemuda itu kini memperhatikan kepala Haibara. Dengan susah payah ia gerakkan tangannya menuju kepala gadis berambut coklat itu. Walau gerakannya kaku, Conan tetap berusaha untuk mengelus kepala Haibara. Berusaha untuk menenangkan rekannya itu agar tidak menangis lagi.

~ Owari ~

Akhirnya selesai juga, saya benar-benar terharu karena bisa menyelesaikan cerita ini. Sebelumnya saya memohon maaf karena baru bisa up setelah dua tahun saya tinggalkan fanfic ini. Sebenarnya saya sudah mengetik ceritanya setengah jalan di tahun lalu, tapi karena alasan kesehatan saya jadi tidak bisa melanjutkannya. Semoga dengan update chapter terakhir ini para pembaca tidak kecewa. Saya juga berharap semoga endingnya tidak mengecewakan. Ngomong-ngomong, kabar gembira karena saya berencana membuat sekuel dari cerita ini dengan genre romance. Tolong nantikan ya!

Sekarang waktunya balas review!

uyab4869-san : Terima kasih atas reviewnya. Terima kasih juga sudah mau mengikuti jalan cerita dari fanfic ini. Semoga akhirnya tidak mengecewakan. Jangan lupa untuk review chapter ini, juga mohon untuk menantikan sekuel dari fanfic ini. Sekali lagi terima kasih.

bebby as-san : Terima kasih atas pujiannya. Sudah saya update, semoga akhirnya tidak mengecewakan. Jangan lupa untuk review chapter ini dan mohon untuk menantikan sekuel dari fanfic ini.

SherryHaibara4869-san : Sudah saya lanjutkan. Semoga chapter terakhir ini tidak mengecewakan. Jangan lupa untuk review chapter ini dan mohon untuk menantikan sekuel dari fanfic ini. Terima kasih!

Saya merasa lega ketika melihat masih ada yang membaca dan mereview Juu Nen Go di tahun ini. Sungguh menggembirakan bagi seorang penulis ketika ada yang membaca dan mereview tulisannya. Sekali lagi terima kasih untuk para pembaca dan pe-review fanfic ini. See you next time!