Kecanggungan tak bisa dielakkan. Sesuai dengan rencana yang Akutagawa kemukakan, mereka benar-benar menemui Henri secara langsung dan mengajak pemuda itu pergi ke sebuah kafe berjarak sepuluh langkah.

"Bagaimana kabar Anda, Henri-san?" Akutagawa mengawali pembicaraan. "Sudah lama kita tidak ketemu."

"Saya baik-baik saja, Yanagawa-san."

"Benarkah?" kelinglungan tergambar di wajah Henri. Akutagawa menjelaskan, "Dari yang kulihat, sepertinya Henri-san sedang dilanda suatu pikiran."

"Ahaha ... kelihatan sekali, ya?" Henri terkekeh. "Anda benar, Yanagawa-san. Saya sedang memikirkan sesuatu."

"Mungkin kedengarannya aneh, tapi kalau bisa, saya ingin membantu Anda meski hanya sebatas menjadi pendengar."

Henri tidak begitu yakin dengan apa yang hendak ia ucapkan, tapi ia perlu mengungkapkannya. "Maaf jika menyinggung, tapi kenapa Yanagawa-san mau menolong saya? Padahal kita baru ketemu sekali."

"Saya tak tahan jika melihat ada yang kesulitan," jawab Akutagawa. "Dan saya ingat waktu itu Anda pernah bilang 'Entah kenapa saya nyaman bersama kalian', itu membuat saya sangat menghormati kebaikan hati Henri-san."

Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh detik untuk luluh pada ucapan Akutagawa. Akhirnya Henri memberanikan diri menceritakan kegelisahan hatinya.

"Saya sangat menyayangi Hosoki-san dan Kinuko-chan." Henri memulai. "Saat Kuki-sensei meninggal, saya selalu merasa tidak bisa meninggalkan mereka. Hosoki-san sangat sangat mencintai Kuki-sensei. Saya bisa merasakannya.

"Dan perasaan ingin melindungi kerapuhan hati mereka ini tiba-tiba saja berubah. Saya tahu, tahu sekali hal ini hanya akan menyakiti mereka." Henri menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Tapi, saat Hosoki-san dan Kinuko-chan bilang mereka sudah pulih, saya mulai berpikir kalau mungkin, mungkin saja masih ada harapan bagi saya.

"Jika saya bisa memulai lembaran baru bersama mereka dan di waktu bersamaan mengubur luka yang ditorehkan Kuki-sensei, mungkin anggapan saya hanya menyakiti mereka akan lenyap dengan sendirinya, mungkin dengan begitu saya bisa bahagia."

Akutagawa memberi tanggapan. "Anda bimbang?"

"Begitulah." Henri mulai mengurangi keceriaan wajahnya. "Masih ada sedikit bagian diri saya yang takut akan prospek menyengsarakan mereka. Saya takut, saya tidak tahu harus memilih apa ..."

"Boleh saya bertanya?"

"Apa?"

"Seperti apa Kuki-san di bayangan Henri-san?"

Kini Akutagawa paham sesuatu yang ia rasakan saat Henri membuka kumpulan foto milik Kuki itu. Akutagawa yang dulu mungkin tak berbeda jauh dengannya yang sekarang. Asap rokok mengebul di sekitar dan baunya menyebar di beberapa benda. Ia tak tahu kebenaran dibalik adegan tersebut, tapi ia ingin meyakini bahwa di setiap bagiannya Hori Tatsuo memikirkan Akutagawa Ryuunosuke.

"Kuki-sensei orang yang hebat. Beliau sangat berkharisma. Saya tak bisa menghitung berapa hal berguna yang telah diajarkan beliau." Wajah Henri berbinar-binar saat menceritakan. "Dia sosok yang tak tergantikan."

"Lalu, apa Anda pikir sosok Anda dapat menggantikan Kuki-sensei di hati keluarga Hosoki?"

"Itu ..."

"Bukan maksud saya meragukannya, tapi saya harap Anda berpikir realistis." Akutagawa merasa tidak enak mengatakannya. "Jika hidup Anda hanya berpusat pada membahagiakan mereka, apa Anda tidak terpikirkan akan ada saatnya Anda kelelahan karena energi Anda tercurahkan hanya pada mereka?"

Henri belum terikat dengan saran darinya. Akutagawa melanjutkan, "Manusia tidak bisa hidup sendiri, itu benar, tapi manusia juga harus memprioritaskan hidupnya terlebih dahu—"

"Saya tidak peduli hal seperti itu." Pernyataan Henri menghentikan Akutagawa. "Selama mereka bahagia, sudah cukup. Saya ingin hidup di mana orang-orang di sekitar bahagia meski itu sedikit menyulitkan saya."

"Henri-san—"

"Terima kasih atas sarannya, Yanagawa-san." Henri meletakkan selembar uang di meja dan bangkit. Ia membungkuk. "Pada akhirnya saya memutuskan untuk melindungi mereka."

Pintu yang ditutup dan langkah kaki terburu-buru meninggalkan Akutagawa, mengisyaratkan kegagalan dalam menghentikan si protagonis ke jalan cerita yang sebenarnya.

.

.

.

Rust-colored Gear

Ch 3: The Holy Family Part 2

Disclaimer: Bungou to Alchemist belongs to DMM

Warning(s): suck at fighting scene

.

.

.

"Maaf, Saisei, Sakutarou-kun." Akutagawa terkulai lemas di meja. "Aku nggak bisa mengubah pendiriannya."

"Kamu udah berjuang, kok." Saisei mengelus kepala Akutagawa. "Berarti Henri itu sosok yang rela mengorbankan diri demi orang lain. Taktik kita gagal total karena prinsip kita jauh berbeda dengannya."

"Sai hebat." Saku terkagum-kagum atas analisis temannya. "Jadi, cara apalagi yang mau kita coba?"

Sekali lagi Akutagawa larut dalam pikirannya. Perbedaan prinsip akan menyulitkan mereka dalam meyakinkan Henri. Dibalik sikap murah hatinya, ada keras kepala yang berusaha disembunyikan dibalik senyum. Jika Akutagawa menekannya lebih jauh lagi, bisa jadi ia akan meninggikan suaranya. Bagai balon yang ditusuk jarum, ia akan meledak.

Lalu bagaimana, bagaimana caranya membawanya ke alur cerita yang benar? Kinuko mencurigakan. Berdasarkan pengalamannya di delving sebelumnya, sosok anak keluarga Hosoki tersebut kemungkinan adalah Shinshokusha. Mereka tidak bisa menyerangnya dengan ceroboh, karena hal itu akan membuat Henri putus asa sehingga ceritanya semakin keluar jalur.

"Apa ada lagi yang terlibat dengan Henri?"

"Hmm ... pacarnya?"

"Pacar?"

"Oh, si penari, ya." Tebakan Saisei benar. "Dia baru muncul nanti, kalau alurnya sesuai."

"Sakutarou-kun, bukannya kamu pernah bilang ada bagian Kinuko cemburu pada penari itu?"

"Iya." Saku mengangguk. "Memangnya kenapa?"

"Itu dia." Akutagawa menemukan secercah ide dari sana. "Kita bisa membuat Henri dan penari itu lebih dekat dari apa yang cerita ini berikan. Dengan menyadari betapa posesifnya Kinuko, keraguan Henri pasti bisa beralih ke arah mereka."

"Wah, benar juga." Saisei tidak berpikir sampai ke sana. "Kau hebat, Akutagawa."

"Kalau soal sifat jelek manusia, serahkan saja padaku."

Rencana Akutagawa dimulai dengan mengirimkan hadiah atas nama Henri ke alamat si penari. Mereka mendapatkannya dari kamar Henri yang dipenuhi kegiatan surat-menyurat dua orang tersebut. Membutuhkan waktu sekitar dua hari untuk membuat sepasang kekasih itu bertemu dan si penari berterima kasih atas kebaikan pasangannya. Meski tak mengerti apa yang terjadi, Henri ikut senang atas kebahagiaannya.

Benar saja, Kinuko yang tak sengaja berpapasan dengan mereka berdua di jalan terbakar oleh api cemburu. Hosoki yang menerima respon negatif menjadi kurang yakin dengan pilihannya. Jika hanya dengan diperlihatkan seperti ini saja ia begitu, bagaimana ke depannya? Bukankah itu hanya akan menyengsarakan mereka?

Mendadak rasa lelah mendera Henri. Ia tak bisa begini. Pada akhirnya semua akan terulang kembali, pada akhirnya yang menang dalam lomba siapa yang bisa menyengsarakan orang lebih banyak akan jatuh kepadanya. Jika begitu, bayang-bayang Kuki akan semakin tidak pudar, dan dengan sendirinya, Henri akan—

"Aku akan melakukan perjalanan dalam waktu setahun." Sekali lagi Henri berkunjung ke kediaman Hosoki. Namun, kali ini ia berniat untuk tidak datang lagi. "Saya turut bahagia dengan pencapaian kalian, tapi—"

"Kamu mau pergi?" Kinuko meraih tangan Henri. Air mata menganak di ujung matanya. "Meninggalkanku dan Ibu?"

"Maafkan saya." Henri tidak kuat menatap wajah yang ingin menangis itu. "Saya—"

"Awas!"

Henri nyaris dihajar, Saisei mendorongnya ke samping agar bisa terhindar. Tak membuang waktu, ia membawanya menjauh dari Kinuko yang sudah menjadi Shinshokusha.

Wajah Kinuko menyimpang hingga terlihat bengis. Api berwarna cokelat mengelilingi tubuhnya. Gadis itu berdiri. Hanya dengan mengarahkan tangannya ke Ibunya, sosok Hosoki langsung lenyap bagai debu.

"Kalian mengganggu saja!" Shinshokusha itu telah meninggalkan cangkang berbentuk Kinuko. Kini ia berwujud ular. Api-api cokelat semakin menguat.

Saisei dan Henri kabur keluar melewati jendela. Shinshokusha mengejarnya dengan cepat. Ketika setengah tubuhnya keluar dari sana, dua tembakan mengarah padanya. Ia mencari sumber datangnya dan menemukan Saku berdiri di kejauhan, berniat mengalihkan perhatiannya. "Cepat lari, Sai!"

"Makasih, Saku." Saisei menarik Henri mencapai jarak yang jauh dari jangkauan Shinshokusha. "Maaf sudah menarikmu, Hen—bukan, Hori."

"Hori?"

Shinshokusha hendak menyerang Saku dengan api di mulutnya, tapi usaha itu digagalkan oleh Akutagawa yang melompat dari atas dan menusukkan pedangnya di tubuh si ular. Konsentrasinya yang semakin tak menentu membuat Saku sekali lagi menembakkan pistolnya.

"Ryuu-kun! Cepat kabur!"

"Tenang." Akutagawa mencabut pedangnya dan kabur dari sana sebelum ekor ular dapat menebasnya. Ia berdiri di depan Saku. "Kamu terus tembak. Aku akan melindungimu dari depan. Kita harus menahannya tidak pergi mendekati mereka berdua."

"Iya, nama kamu Hori. Hori Tatsuo." Saisei melepaskan pegangannya dari Hori. "Sekarang kita ada di dalam bukumu, Sei Kazoku. Apa kamu ingat?"

"Sei ... Kazoku?" Hori memegangi kepalanya. "Uh ... nama itu ..."

"Kamu nggak apa-apa?"

Saisei memegang kedua pundaknya sembari mengawasi medan pertarungan. Saku dan Akutagawa membutuhkan bantuannya. Namun, jika ia ikut bertarung, Hori akan mudah dijadikan sasaran.

Sebenarnya masalahnya bukan pada ketakutan akan Hori mati. Berdasarkan pengamatan Neko, penulis tidak bisa terbunuh di bukunya sendiri. Yang berbahaya justru kemungkinan Shinshokusha mempengaruhinya hingga mereka menyatu. Akan sulit mengalahkannya jika itu terjadi.


"Waaaaah!"

Saku lari terbirit-birit, hampir saja api mengenainya. Sejauh ini, Akutagawa dapat melindunginya. Namun, di waktu Akutagawa hendak maju melawan ular, ia dikerumuni Shinshokusha kecil yang membuatnya sulit bergerak maju atau melindungi temannya.

Mendengar jeritan Saku, Akutagawa menggerakkan pedangnya menyamping dari kiri ke kanan, melenyapkan Shinshokusha di depannya, kemudian menusuk yang tersisa di belakangnya. Ia segera lari mendekati Saku. Menyadari dua penyerangnya sibuk melindungi satu sama lain, ular itu bergerak cepat ke arah Hori. Saisei menembakinya dua kali, tapi tak ada satupun yang kena.

"Hori—"

Sepersekian detik sebelum Shinshokusha berhasil mencapai mereka, tembakan telak ke belakang kepala mengenainya. Ular itu mengerang. Badannya sulit bergerak lantaran tembakan selanjutnya melumpuhkan tubuhnya di beberapa bagian.

"Berani selangkah lagi mendekati mereka, kubunuh kau." Saku tidak seperti biasanya. Tatapan matanya mengerikan, suaranya sungguh serius seakan-akan ancamannya telah menjadi kenyataan.

Belum sempat mengumpat, Akutagawa memotong ekornya. Napasnya terengah. "Saisei, bawa dia!"

"Baik." Sekali lagi Saisei membawa Hori menjauh dari sana. "Aku akan menyusul kalian nanti. Bertahanlah sebelum itu, Akutagawa, Sa—"

Keadaan di belakang tiba-tiba saja berubah drastis. Bagian ekor yang dibelah Akutagawa memunculkan kepala ular. Akutagawa yang kelelahan tak bisa menghindar, taring di dalam mulut ular menggigit bahunya.

"Akutagawa!"

"Kabur!" meski bahunya sakit sekali, Akutagawa tak boleh membiarkan ular itu kembali mengejar mereka. Jadi ia menahan ular tersebut dengan menusukkan kembali pedang pada matanya sembari memberi waktu Saku untuk menembak dan Saisei membawa Hori pergi. "Cepat!"

Saisei meyakini ucapannya dan mulai berlari. Hori yang tak tahu apa-apa hanya bisa termenenung, mempertanyakan kenapa orang-orang ini bertarung dengan monster mengerikan itu dan berusaha menyelamatkannya.

Lagipula, aku sendiri ... siapa?


Hori terus menundukkan kepalanya. Ia ingin menatap orang di depannya, tapi sulit sekali baginya. Senyumnya tak sampai pada si pemilik rumah, jadi wanita di sebelahnya lah yang menggantikannya.

"Tatsuo memang sedikit pemalu."

"Nggak usah sungkan!" suara riang terdengar dari depan. Hori sedikit menengadah, matanya menemukan orang yang begitu bersinar dengan senyum yang amat meneduhkan. "Aku senang kedatangan tamu yang mampir ke sini."

"Sa-salam kenal." Akhirnya Hori memberanikan diri. "Nama saya Hori Tatsuo."

Pria itu bangga dengan keberanian Hori. Ia mulai bertanya, "Kudengar dari Ibumu, kamu suka baca buku?"

"I-iya!" seketika Hori jadi semangat. Buku yang ia pegang ia perlihatkan padanya. "Saya tertarik dunia sastra semenjak teman saya membacakan karya Hagiwara Sakutarou-sensei."

"Oh." Terdapat ketertarikan pada responnya. "Aku bisa mengerti. Puisi buatannya benar-benar indah, ya."

"Betul!" Hori bersyukur orang yang ia datangi sepemikiran dengannya. "Saya sangat menyukai karyanya sampai-sampai semua kritikan yang diberikan padanya membuat saya tidak tahan."

"Rasanya sedikit banyak aku mengerti perasaanmu," balasnya. "Jadi, apa yang mau kita lakukan mulai hari ini?"


Akutagawa melompat ke belakang. Tembakan yang dilancarkan Saku pada kepala sisi lain memberinya waktu untuk menghindar. Pundak kirinya sedikit mati rasa, tapi itu tidak menyulitkan tangan kanannya memegang pedang.

"Manusia bodoh." Ular itu bersuara. "Apa yang mau kalian capai dengan melawan kami?"

"Kamu masih bertanya meski kita sudah bertarung beberapa kali?" Akutagawa berusaha berdiri. "Yang kalian lakukan itu hal yang tak termaafkan."

Langit di atas menggelap sejak pertarungan mereka dimulai. Akutagawa memandanginya sejenak dengan gemuruh di hatinya. "Seenaknya mengontrol pikiran seseorang, seenaknya mengubah cerita yang sudah dibuat sepenuh hati oleh penulisnya ... kalian benar-benar sosok yang harus dilenyapkan."

"Hm, lucu sekali." Tak ada dari ketiganya yang melakukan perlawanan. Ucapan Shinshokusha seperti hendak mengejek Akutagawa. "Kau pikir melenyapkan kami bisa membuat dunia jadi lebih baik?"

"Tentu saja." Akutagawa bersiaga. Ia siap menyerangnya kembali setelah ini. "Selama semua penulis dan karyanya kami selamatkan, dunia akan terjaga."

Tawa keras menjadi penanda bagi Akutagawa untuk berlari dan Saku untuk menembak.


"Eh, ke Karuizawa?"

Hori sedang merapihkan buku-buku yang berantakan di atas meja. Ajakan seseorang mengangetkannya hingga bukunya hampir kembali ke keadaan semula.

"Iya, ada orang yang mau kukenalkan padamu." Orang itu menghampiri Hori. "Dia orang yang menarik. Kuharap dengan bertemu dengannya, kamu bisa mempelajari hal baru lagi. Bagaimana?"

"Terima kasih atas ajakannya." Hori menyelesaikan tugasnya. Ia tersenyum sembari menatapnya. "Jika tidak merepotkan, dengan senang hati saya menerimanya."


"Uh ... sampai kapan ... kita mau berlari?" Hori sedikit mencemaskan dua orang di belakang. "Dan sebenarnya makhluk apa ta—"

Belum sempat berteriak, dua Shinshokusha berbentuk domba besar menghentikan langkah mereka. Hori berada di belakang Saisei, sekujur tubuhnya gemetar.

"Tetap di belakangku." Saisei memerintahkannya. Hori menurut.

Sebuah buku dari dalam kantong hakama-nya mendadak berubah menjadi sebuah pistol. Tak membuang waktu, ia menembak dua monster tersebut tepat seperti temannya barusan. Hori pikir akan keluar tetesan darah dari mereka, namun sosok mereka justru menjadi abu dan lenyap begitu saja.

"Mereka ..."

"Shinshokusha," jawab Saisei sebelum Hori menyelesaikan kalimatnya. "Mereka makhluk yang berusaha mengubah cerita yang kamu buat."

"Cerita ..." Sakit di kepala Hori semakin menjadi-jadi. "Apa itu ... yang tadi ... Sei ... Kazoku?"


"Namaku Akutagawa Ryuunosuke." Seseorang memperkenalkan diri saat ia tiba di Karuizawa. "Jadi, dia Hori Tatsuo yang kamu ceritakan, Saisei?"

"Iya!" Saisei menjawabnya dengan penuh semangat. "Aku sudah mengajarkannya apa saja yang kuketahui. Setelah kuperhatikan, aku merasa dia akan berkembang lebih hebat lagi jika berada di bawah bimbinganmu."

"Aku?" Akutagawa melirik Hori sebentar kemudian beralih entah pada apa. Tatapannya seperti sedang menerawang sesuatu. "Aku ragu aku bisa mengajarkan orang."

"Aku yakin kalau kamu pasti bisa." Saisei menepuk-nepuk punggungnya, berusaha memberinya dorongan kepercayaan diri. "Bagaimana?"

"Baik, kucoba, deh." Sesekali mencoba hal baru sepertinya tidak terlalu buruk, pikir Akutagawa. Sekali lagi ia menatap Hori, kali ini tidak beralih saat mata mereka bertemu. "Kamu tidak masalah, 'kan?"

"Te-tentu saja tidak!" Hori menundukkan kepalanya. "Mohon bantuannya!"


Meski pandangan Hori mengabur, setidaknya ia masih merasakan keberadaan Saisei di sekitarnya. Beberapa kali Saisei memanggilnya, bertanya keadaannya, tapi Hori kesulitan menjawabnya.

"Anda ... Muroo ... Saisei-san?"

"Kamu ingat?!" kelegaan Saisei tak berlangsung lama saat musuh menyadari keberadaan mereka dan mengelilingi keduanya. "Seharusnya kita lari lagi, ya."

"Maaf ..."

"Berusahalah mengingat semuanya." Saisei mulai menembaki salah satu Shinshokusha. "Sebisa mungkin aku bakal lindungin kamu sambil mengalahkan mereka semua."

Menolak dan bersikap naif pada situasi ini hanya akan menyulitkan orang tersebut, jadi Hori menuruti perkataannya dan memejamkan mata, berharap ingatan itu berlanjut kembali.

"Aku Hori Tatsuo, dan Anda Muroo Saisei, lalu orang itu—"


Hori tak bisa mendeskripsikan seberapa beruntungnya ia bisa dipertemukan dengan Akutagawa Ryuunosuke. Apa yang diciptakannya di antara lembaran naskah selalu membuat Hori dipenuhi oleh imajinasi yang begitu beragam. Hal ini sama seperti saat ia membaca kumpulan puisi Hagiwara Sakutarou ataupun saat ia berkunjung ke kediaman Muroo Saisei.

Namun ... ada perbedaan yang tak berhasil ia jelaskan. Keindahan, kesempurnaan, Hori rasa menyebut bakatnya setinggi itu tidak terlalu berlebihan. Tanpa sadar, karena keajaiban yang dibuat Akutagawa, Hori juga ingin menciptakan sesuatu.

Benar, ini adalah saat di mana Hori Tatsuo mulai tenggelam pada dunia literatur sebagai penulis.

Tapi ...

Di tengah antusiasme pada sisi baru dunia literatur itu, Hori baru menyadari sesuatu. Setelah ia mengetahui Ayah kandungnya telah lama meninggal, saat Ibunya meninggal, kemudian dengan kematian seorang Akutagawa Ryuunosuke, rupanya manusia begitu rapuh.

Jika diberi sedikit getaran, mereka akan dengan mudahnya lenyap dari dunia ini. Hori sadar, bahwa dirinya begitu dekat dengan kematian, bahkan lewat penyakitnya sekalipun, ia yakin kematian akan datang pula padanya cepat atau lambat.

Rasa sedih dan sepi seolah menjadi rutinitas yang harus ia biasakan. Dan dari emosi itulah, Sei Kazoku—


"Aku membuatnya untuk Akutagawa-san." Sakit di kepalanya mulai berangsur hilang. "Sei Kazoku adalah karya untuknya."

(Jika itu untuknya, kenapa akhir dari ceritanya justru meninggalkannya?)

"Eh?"

(Meninggalkan berarti melupakan. Henri yang pergi menjauhi keluarga Hosoki menandakan kau ingin pergi dan melupakannya.)

"Bukan, bukan begitu," sanggah Hori lemah. "Yang mau kubuat—"

(Kami memberikanmu dunia alternatif di mana kau tidak melupakannya. Kenapa kau menolaknya? Apa mungkin kau memang ingin orang itu tidak diingat siapa-siapa lagi?)

"Tidak ..."

(Berarti kau menyadari kesalahanmu, 'kan? Membuat cerita seperti ini sama saja melenyapkan Akutagawa Ryuunosuke dari dirimu sendiri.)

Hori tak menjawabnya. Apa yang suara itu bilang ada benarnya. Mengapa ia membuat akhir yang seperti itu? Padahal ia sedih atas kepergiaan sosok mentornya, padahal ia selalu berusaha mempertahankan legasi yang ia tinggalkan, lantas—

"Meskipun jiwa binasa, perasaan tidak akan pudar." Hori membuka matanya. "Akutagawa-san mengajarkan itu padaku dari karyanya."

Sebuah pedang tiba-tiba ada di tangannya. "Aku yang membuat Sei Kazoku adalah bukti aku akan selalu mengingat kenangan bersamanya."

Hori tak lagi mendengar suara misterius itu. Melihat Saisei yang masih disibukkan dengan musuh, ia menghampirinya. Tanpa memastikan, Saisei fokus pada lawannya di depan, mempersilakan Hori bertarung bersamanya.

"Aku nggak perlu bicara panjang soal apa yang harus kamu lakukan, 'kan?"


Entah apa yang terjadi pada Saisei dan Hori. Di tengah pertarungan, ular itu mengamuk. Tubuhnya membesar, kulitnya mengeras, bahkan gerakannya semakin lincah sehingga menyulitkan keduanya untuk melawan balik.

Akutagawa bisa saja maju ke depan dan membelah salah satu kepalanya, tapi berdasarkan pengalamannya tadi, cara tersebut bukanlah pilihan bijak. Bagaimana jika kepalanya bertambah lagi menjadi tiga? Kesempatan mereka mengalahkannya bakal menurun drastis.

"Sisa berapa pelurumu?"

Mereka sedang bersembunyi dibalik semak. Cepat atau lambat keberadaan mereka akan ditemukan, jadi Akutagawa harus memaksimalkan strategi saat ini juga. Pertama ia harus mengetahui kondisi senjata Saku.

"Tiga," jawab Saku. "Banyak yang mele—"

"AWAS!"

Akutagawa refleks menjauh. Tak disangka akan secepat ini diketahui. Saku hanya bisa bergeser sedikit lantaran terkejut, tapi beruntungnya api tersebut hanya menjalar di semak.

Atau itulah yang ada di bayangan Akutagawa sebelum ia memerhatikan temannya dan berkata, "Saku—"

"Aku nggak apa-apa." Saku bangkit. Bagian kaki kiri hakama-nya terkena sedikit api barusan, itu meninggalkan bagian yang bolong dan lutut yang memerah. Pegangannya pada pistol sedikit bergetar. "Cuma segini aja."

Tidak ada waktu untuk menyesal. Tempat persembunyian mereka sudah tak aman, jadi mereka kembali berlari, berusaha menghindar dari api yang dikeluarkan ular itu. Di waktu bersamaan, Akutagawa harus memikirkan apa yang harus mereka lakukan.

Dikala berlari, ia memerhatikan ular tersebut. Sejak berpisah dengan Saisei dan Hori, tidak sedikit pun darinya punya niatan mengejar mereka dengan tubuhnya sendiri. Ia hanya bergantung pada api dari kedua mulutnya seakan mempertahankan sesuatu agar mereka tidak bisa mendekat.

Mungkinkah ... mungkinkah ia ingin melindungi kepalanya? Mendekati Hori mempunyai maksud untuk merasukinya. Tak ada arti baginya mengorbankan seluruh tubuhnya dengan melawan musuh yang membawa senjata dan siap membunuhnya.

Berarti, jika benar begitu, sebuah permasalah muncul. Bagaimana caranya mereka menyerang kepalanya tanpa membuatnya kembali menambah kepala baru? Apakah mereka harus melakukannya di waktu bersamaan?

"Saku, tolong tahan sisa pelurumu." Akutagawa membesarkan suaranya agar ucapannya terdengar di saat mereka berlari. "Aku punya rencana."

Namun, jika memang itu jawabannya, maka mereka mendapati masalah baru; di sini hanya Akutagawa yang menggunakan pedang, peluru Saku hanya sisa dua, dan Saisei belum juga berkumpul dengan mereka. Mampukah Akutagawa dan Saku mengalahkannya dengan persiapan seadanya ini?

Andai saja—

"Akutagawa! Saku!" ada teriakan kencang dari arah mereka berlari. Sosok Saisei dan Hori menyambut mereka. "Ke sini!"

Kebetulan yang sangat menguntungkan, pikir Akutagawa. Dengan penuh hati-hati agar tak menarik perhatian Shinshokusha, Akutagawa dan Saku menghampiri keduanya.

"Kamu sudah sadar?" tanya Akutagawa.

Hori mengangguk. Pedang miliknya menjadi tujuan pandangan Akutagawa. Dengan begini, keadaan mereka jadi dua pistol dan dua pedang melawan dua kepala ular.

Tunggu—

"Aku punya rencana." Akutagawa bicara duluan sebelum Sai hendak bertanya soal keadaan dan cara mengalahkan musuh. "Dari pengamatanku, kita perlu menyerang dua kepalanya di waktu bersamaan.

"Awalnya aku sempat cemas bagaimana bisa melakukannya hanya dengan satu pedangku, tapi ..." Sai dan Saku mengerti apa maksudnya. Akutagawa melanjutkan. "Karena kita ketambahan satu pedang lagi, kurasa semuanya jadi memungkinkan."

"Hmm ... menyerang dua kepala di waktu bersamaan." Saisei mengamati ular yang masih mencari keberadaan mereka. "Berarti untuk memuluskan kalian berdua, aku dan Saku harus melumpuhkannya dulu, ya?"

"Benar." Akutagawa ikut memerhatikan. "Sia-sia menyerang kulitnya, jadi serang matanya."

"Oh, jadi itu alasan Ryuu-kun menyuruhku menyimpan sisa peluru," gumam Saku. Ia lega telah mengikuti perintah Akutagawa hingga suatu prospek menakutinya. "Be-berarti aku harus tepat sasaran, dong ... gimana kalau aku meleset dan gagalin usaha kalian?"

"Saku, kamu pasti bisa, kok!"

"Sai, kita nggak pernah tahu apa yang bakal terjadi ..."

"Aku percaya kamu, Sakutarou-kun." Akutagawa menyentuh pundaknya dengan niatan memberi ketenangan lebih padanya. "Ingat seranganmu pas mereka hampir diserang? Kamu bisa menembak dengan sangat tepat."

"Itu ... cuma kebetulan ..."

"Kalau kamu ngerasa itu cuma kebetulan, tembak semampumu saja." Merasa tidak sukses, Akutagawa memakai pendekatan lain. "Akan kubuat, biar itu tembakan meleset, jadi bantuan yang memudahkanku mengalahkannya."

Saku menahan mulutnya untuk terus membuat alasan. Ia menatap tiga orang dihadapannya. Tidak ada satupun dari mereka yang meragukan kemampuannya. Akhirnya ia membalas, "Baik, kucoba, deh."

"Nah, gitu, dong!" Saisei memberinya jempol dan senyuman penyemangat. "Jadi, Saku sama kamu, aku dan Hori, ya?"

Akutagawa mengangguk, kemudian ia melirik Hori. "Kamu nggak keberatan?"

"Ti-tidak!" Hori gugup. Sejak tadi ia belum mengeluarkan sama sekali. "Aku siap kapan saja ..."

Ucapannya berbanding terbalik dengan wajahnya yang sedikit takut pada sesuatu di luar tempat persembunyian mereka.

"Ah." Saisei menyadarinya. "Hori, kamu 'kan—"

"Tidak. Tidak masalah." Hori berusaha menghilangkan rasa gugup dan takutnya. "Demi mensucikan buku ini, aku harus berani melawannya bersama kalian."

"Berarti semua sudah siap, ya." Suasana jadi lebih serius. Akutagawa tersenyum. "Ayo, kita mulai rencana ini."


Kehilangan petunjuk keberadaan para pengganggu membuat Shinshokusha ular itu marah. Bagaimana tidak, penulis cerita ini berhasil mendapatkan kembali ingatannya sehingga pengaruh noda tidak lagi bisa mencapainya.

Bisa dibilang, peluang kemenangannya semakin menipis.

Entah sudah berapa sudut yang terbakar dan tidak memunculkan mereka semua. Ia harus segera mengalahkan mereka, mengusir sastrawan-sastrawan itu dari buku ini agar proses penodaan bisa dilanjutkan kembali.

Suara injakan daun membuat ular itu memfokuskan salah satu kepalanya ke suatu sudut, sedangkan kepala yang satunya lagi melihat arah sebaliknya. Dengan begini, meski itu hanya tipuan mereka, ia dapat menyerang mereka dengan pijar apinya.

Namun, tebakannya salah; rupanya itu benar-benar mereka, atau lebih tepatnya, salah satu dari mereka. Orang yang paling kikuk—yang menembaknya tepat di belakang kepala—terlihat baru saja terjatuh karena kakinya tersangkut ranting kecil.

"Bodoh." Ular itu bersiap-siap mengeluarkan api ke arahnya. "Salahkan kecerobohanmu sebagai kegagalan—AGH!"

Kepalanya yang satu lagi meringis kesakitan lantaran ditembak di kedua matanya. Fokusnya yang hendak menyerang lawannya pun terhenti, dan betapa menyesalnya ia saat orang itu, dengan posisi masih terbaring, menembaknya di kedua mata meskipun dari wajahnya terlihat jelas keraguan.

"Kalian—"

"Sekarang!" Akutagawa berteriak sekeras-kerasnya, memberi tanda bagi Hori untuk memulai rencana selanjutnya.

Mereka berlari dengan cepat. Tubuh ular yang bergerak tak tentu arah sempat menyulitkan mereka, tapi mereka tak bisa berhenti, jadi Akutagawa mengangkat pedangnya, hampir mengayunkannya sembari memastikan Hori melakukan hal yang sama.

"Ayo, Tacchanko!"

"Baik, Akutagawa-san!"


Tebasan keduanya berhasil mengalahkan Shinshokusha tersebut. Langit yang semula gelap telah berubah menjadi terang kembali seperti sedia kala.

"Kita berhasil." Hori tidak menyangka ia baru saja mengalahkan Shinshokusha berbentuk ular. "Te-terima kasih sudah menyelamatkan—"

Mendadak Hori limbung. Akutagawa segera menangkapnya sebelum pemuda itu terjatuh. Akutagawa bernapas lega. "Untung sempat."

"Ma-maaf ..."

"Akutagawa! Hori! Kalian tidak apa-apa?!" dari kejauhan, Saisei berlari sembari memanggil keduanya. Dari arah berlawanan, Saku juga ikut berlari.

"Kita sukses, Saisei, Sakutarou-kun." Akutagawa membantu Hori agar ia bisa berdiri lagi. "Semuanya berkat kerja sama kita semua, terutama Tacchanko."

"Eh?" "Kamu manggil dia ... Tacchanko?"

"Lho, bukannya ..." kebingungan tergambar di wajah Akutagawa. "Aku juga nggak ngerti, tapi entah kenapa aku rasa aku sering memanggilnya pakai nama itu. Apa salah?"

"Nggak salah, kok." Kali ini Hori yang menanggapi. "Aku tahu keadaan Akutagawa-san dari Saisei-san. Aku harap Akutagawa-san bisa mengingat semuanya ... seperti Akutagawa-san yang menyelamatkan dan menyadarkanku."

"Terima kasih, Tacchanko." Akutagawa senang dapat dukungan darinya. "Aku akan dengan senang hati mendengarkan cerita tentang Akutagawa di masa lalu darimu setelah kita kembali."

"Baik!"


Cahaya yang menuntunnya keluar dari Sei Kazoku sekali lagi memburamkan pandangannya. Saat sinarnya hilang, Akutagawa disambut seseorang yang tertidur dan Neko yang memukulnya agar terbangun.

"A-apaan, sih, Neko—Akutagawa-sensei udah balik?!"

"Aku pulang, Dazai-kun." Akutagawa memerhatikan sosok yang baru terbangun itu. "Kamu ... nungguin daritadi?"

"Dia ngedumel sepanjang kalian masuk ke Sei Kazoku." Neko menjelaskan kronologisnya. "Jadi, dia nemenin aku di sini buat mastiin proses penodaan tidak memburuk dan kalau pun memburuk, dia bisa langsung masuk secara paksa dengan cepat."

"Kok kesannya berlebihan banget, ya." Semua yang ada di sana diam-diam mengiyakan ucapan Neko dibanding sanggahan Dazai. "Yah, biarlah. Yang penting, apa Akutagawa-sensei dapat sesuatu dari delving ini?"

"Begitulah. Aku nemu sisi Akutagawa yang baru lagi."

"Syukurlah."

Neko menoleh pada pendatang baru di belakang Akutagawa. "Kamu Hori Tatsuo?"

"Iya." Hori mengangguk. "Mohon bantuannya mulai hari ini."

"Terima kasih sudah banyak menolong dan mendukungku, Dazai-kun."

"E-eh ... aduh, aku jadi malu hehehe ..." Dazai seperti ada di langit ke tujuh. Senyumannya begitu menggelikan di mata yang lain.

Situasi mengharukan itu tak berlangsung lama, setidaknya sampai Neko menyadari mereka yang 'berantakan'. "Kalian semua, cepat obati luka kalian sana."

"Oh, iya, Ryuu-kun, lukamu ..."

"Dipuji sama Akutagawa-sensei rasanya gimana gitu—EH?! AKUTAGAWA-SENSEI LUKA?! DI MANA?!"

"Luka bakar di kakimu juga, Sakutarou-kun." Akutagawa ingin sekali menutup telinganya. "Nggak terlalu bahaya, kok. Dazai-kun nggak perlu khawatir."

Tentu saja hal tersebut tidak diterima Dazai. Pemuda berambut merah itu segera membawa Akutagawa ke ruang pengobatan sembari mengusir siapapun yang menghalangi. Kesunyian penuh kedamaian beberapa waktu sebelumnya seketika musnah karena perbuatan Dazai.

Akutagawa sudah memperkirakan adanya kemungkinan ia berhasil ingat sesuatu dari perjalanan menyelamatkan karya Hori, tapi ada bagian dirinya yang masih tidak menyangka dengan kemajuan tersebut. Rasanya semakin lama tujuannya semakin mendekati ujungnya.

Memang belum terlihat secara penuh, tapi ingatannya sebagai teman Saisei dan Saku serta ingatannya sebagai guru sekaligus mentor bagi Hori adalah awal mula. Ia yakin, yakin sekali akan ada hal baru lagi yang ia temukan tentang Akutagawa Ryuunosuke tak lama lagi.

Dan jika saat itu tiba—

Akutagawa berbaring di kasur. Dazai memaksa Shuusei mencari cara untuk mengobatinya. Debat antara Dazai yang super panik dan Shuusei yang protes lantaran ia bukan dokter terlihat lucu di matanya.

Yah, biarlah kelanjutannya ia simpan sendiri dulu. Sekarang ia cukup bersyukur karena ada buku yang berhasil disucikan dan seorang sastrawan diselamatkan. Sisanya ... mari pikirkan setelah Shuusei bersedia jadi dokter dadakan.

To Be Continued


Author's Note: Ternyata bisa sampe ch 3. Sebenernya agak stuck di bagian gelutnya, tapi syukur bisa kepikiran sambil cocoklogi di tengah2.

Sebenernya mau bikin adegan hori sadar lebi dramatis & lebih libatin aktgw yg skrng, tp kayaknya bakal panjang lagi jadi kemungkinan dilempar ke ch selanjutnya aja.

Makasih udah baca fic ini, sampai ketemu di ch selanjutnya.

(Mungkin banyak blunder di sini, tp susah editnya soalnya mouse laptop lg rusak jadi edit file full ch dijadiin ch 3 doang di sini)

Vira: aku jg tertarik sama karya2 hori, tp yg dikenal orang luar soal karya dia ... paling anime The Wind Rises dr Ghibli. Udah mentok banget karya Hori itu. Oiya, kenapa aktgw pake nama samaran, sebenernya itu referensi nama penanya pas di ssc.