Pangeran Gagak
Haikyuu FurudateHaruichi, aku menulis cerita ini hanya karena aku mencintai Libero Mungil yang bernama Nishinoya Yuu.
Warning : OOC AF, POV 1, ini cerita manis-manis doang, Kerajaan karena aku lagi seobses itu sama cerita kerjaan, jadi kemungkinan banyak yang salah, karena aku nggak pernah bikin cerita nobleman. Cerita ini bisa membuat norang sakit mata, jadi mohon siapin lem G, eh bukan obat mata di sebelah anda.
Pairing : Atsumu x Nishinoya (Thanks requestnya dari Indonesian Otaku. Aku nyediain request nggak, ya, enaknya.)
Summary
Nishinoya adalah satu-satunya gagak yang tersisa. Semua orang menganggap keberadaannya merupakan pembawa sial dan mulai mengucilkannya. Namun dia bukan Gagak lemah yang menyedihkan. Bila mereka menganggap dia adalah pembawa sial, maka dia tak segan membagikan kesialan itu. Hingga akhirnya dia tidak sengaja membawa kesialan itu pada Miya Atsumu. Rubah mengerikan yang tidak segan membunuh orang yang tak disukainya.
Happy Reading
Kediaman para rubah berada di sisi barat, sedikit jauh dari desanya sendiri. Akan tetapi, desa Rubah memiliki kehidupan yang lebih baik daripada wilayah Gagak. Aku telah berkelana di tempat ini berkali-kali dengan menggunakan topeng tanpa benar-benar mengetahui kehidupan mereka di siang hari, tetapi sekarang aku melihat mereka secara langsung.
Sebagian besar dari mereka adalah manusia. Sekalipun ini disebut sebagai wiayah rubah, para rubah sendiri adalah keberadaan yang langka. Selain keluarga Miya, mereka yang memiliki jiwa rubah sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka mengabdikan diri sebagai kesatria bagi keluarga Miya, atau menjadi kesatria kerajaan. Lagi pula, Para Rubah adalah spesies petarung yang unggul.
"Jadi, Yu-kun, apa saja yang kau lakukan selama ini?"
Aku menatap Atsumu tajam. Satu-satunya pengganggu perjalanan ini adalah fakta bahwa Atsumu berada dalam satu kereta kuda denganku, sementara dia menendang Sugawara untuk menggunakan kereta kudanya sendiri. Atsumu datang begitu saja tadi pagi, dan menyeretku serta Sugawara—karena dia bersikeras menemaniku—dan membuatku tinggal di kediaman Rubah sampai upacara kedewasaanku dengan iming-iming perlindungan serta membantuku mencari siapa dan kenapa mereka menyerang keluarga rubah.
Itu adalah tawaran yang sangat bagus. Sayangnya, sesuatu yang terlalu bagus selalu mencurigakan. Atsumu tahu benar apa arti tatapanku, dan dia mendesah lelah.
"Kubilang ..."
"Untuk melindungi kerajaan, ya, aku mendengarnya dengan sangat baik."
"Dan kau tidak percaya," ketusnya kesal. "Samu akan menjelaskannya padamu okay? Dia yang mengusulkannya. Dia dan Kita-san, aku hanya diminta menjemputmu."
Hanya itu jawaban paling memuaskan yang bisa kuterima sekarang, selain Atsumu yang bersungut-sungut. Sehingga aku memilih untuk mencari tahu langsung pada Miya Osamu begitu sampai di kediaman Miya. Akan tetapi, aku dikejutkan dengan Osamu yang memukul kepala Atsumu begitu aku menodongnya pertanyaan dengan ketus setelah menunduk sopan untuk saling menyapa.
Osamu menuduk malu. "Maaf tenang saudaraku. Dia bersikeras akan menjemputmu karena ingin meminta maaf."
"Karena dia terus mencurigaiku," bentak Atsumu tidak terima disalahkan. "Dan, ya, tentang kemarin, aku minta maaf."
"Diamlah, Tsumu!" kata Osamu ketus. Dia menatapku dengan tatapan yang teduh. Sangat berbeda dengan saudaranya. "Mari! Aku akan menunjukkan kamarmu."
"Aku ingin penjelasan!"
Osamu menghela napas. "Pertama, mari pergi ke ruangan yang lebih nyaman untuk bicara. Sugawara kau bisa mengikuti Kita-san ke kamar tidur yang sudah kami siapkan untuk Nishinoya. Kita-san tolong beritahu jalannya! Nishinoya, ayo ikut denganku!"
Sugawara masih tampak gelisah. Dia menatapku sejenak meminta persetujuan. Sejujurnya, aku masih tidak percaya dengan mereka, tetapi membuat Sugawara mendengar penjelasan ini bukanlah pilihan yang lebih baik. Aku mengangguk padanya, dengan enggan dia mengikuti Kita-san yang ramah dan penuh perhitungan, lantas menghilang ke balik pintu ganda yang besar.
Aku mengikuti Miya bersaudara. Tidak ada kesatria yang mengawal pertemuan ini, dan pada akhirnya, tidak ada pengawal yang menemani Atsumu kecuali kusir kereta kuda. Mereka membimbingku ke ruang duduk dengan sofa dari sutra dan karpet tebal yang lembut. Taman penuh bunga mawar terlihat dari jendela yang tertutup kain sutra transparan. Ada air mancur di tengah taman itu, rerumputan di potong rapi, dan tempat duduk dari besi bersepuh emas tampak begtu nyaman.
Mereka memintaku duduk. Ruangan itu begitu nyaman, sehingga rasanya mudah untuk melupakan kemarahanku sebelumnya. Lukisan-lukisan dari bahan cat yang bagus berjejer, dan dilukis dengan tangan-tangan ahli. Lebih banyak lagi lukisan bunga dan rubah. Sebagian yang lain adalah potret keluarga. Osamu duduk di depanku dan menegur Atsumu yang menyilangkan kaki tak sopan.
"Pasti kau bertanya-tanya kenapa kami membawamu kemari tiba-tiba," kata Osamu. Aku hanya menatapnya tepat di mata. Tidak merasa perlu menjawab. "Kami, aku dan kakekmu, maksudku, sudah membicarakan ini sejak tahun lalu. Sejak kami tahu apa yang mereka cari di kediaman rubah."
Aku menatap keseriusan di matanya. Tatapannya seolah mengatakan dia tidak berbohong.
"Batu Malam," kataku hati-hati. Osamu mengangguk. "Apa itu Batu Malam? Dan kenapa mereka menginginkannya?"
"Lebih tepatnya siapa," jelasnya sembari menghela napas lelah. "Batu Malam adalah sihir yang diturunkan oleh leluhurmu, Nishinoya. Hanya ada satu Penyihir Gagak yang bisa menggunakannya di setiap generasi. Generasimu sekarang belum muncul, tetapi mereka menginginkannya."
"Mereka siapa?"
Osamu menatap Atsumu, tampak meminta bantuan. Lelaki itu memandangku sungguh-sungguh. "Apa kau yakin ini mengetahuinya? Aku sudah memintamu untuk berhenti mencari tahu, dan kami membawamu kemari untuk melindungimu."
"Aku yakin," tukasku. "Aku tidak tahu kenapa kalian menyembunyikannya, tetapi aku ingin tahu siapa orang-orang ini."
"Sebelum kita sampai di sana," kata Osamu menyerah. "Kamu harus tahu Batu Malam ini, Nishinoya."
"Kudengarkan."
"Seperti yang kukatakan tadi, Batu Malam adalah sebutan untuk sihir yang diturunkan oleh leluruh para Gagak. Kakekmu, sekaligus Raja, meminta kami secara khusus untuk mencari tahu apa penyebab mereka menyerang keluarga Gagak dan hanya menyisakan satu pewaris."
Atsumu menambahkan tidak sabar. "Mereka berharap penderitaan Gagak Terakhir ini akan cukup kuat untuk menggunakan sihir Batu Malam."
"Mereka apa?"
"Mereka menginginkan kesedihan dan penderitaanmu. Mereka ingin hati dan jiwamu cukup rusak untuk menggunakan sihir itu."
Sinting. Orang-orang itu membunuh seluruh keluarga, membunuh anak-anak kecil, dan semua orang yang tak bersalah, hanya untuk membuat 'anak menderita' yang cukup kuat untuk menggunakan sihir bodoh dari Batu Malam. Orang-orang tanpa perasaan yang dipenuhi ambisi, yang tega melakukan hal itu. Dan yang paling mengerikan, kenapa harus aku?
Seluruh darahku terasa seperti jatuh hingga ke perut. Kepalaku pusing ketika mereka semua dibunuh hanya untuk mencapai tujuan konyol mereka. Aku mengingat kembali senyum mungil Hinata yang mulai memudar, dan tingkah kaku Kageyama, atau kegugupan Yachi, atau ... astaga ... mereka tidak bersalah. Mereka hanyalah pion untuk membuat seseorang menderita.
Miya bersaudara menatapku. Mereka bersikap bijak dengan menungguku siap menerima informasi baru. Rasa ingin menangis serasa menghentak-hentak di dada, tetapi aku menarik napas panjang.
"Sebenarnya," aku berdehan, "sebenarnya apa yang mereka inginkan dari sihir itu?"
"Batu Malam adalah sihir untuk melewati lembah kematian. Mereka ingin membangkitkan Penyihir Gelap yang terbunuh lima puluh tahun yang lalu. Atau setidaknya mencobanya."
"Mereka ingin aku ... menyebrangi lembah kematian?" Osamu mengangguk perlahan. "Kenapa? Kenapa aku?" Osamu berhenti berbicara sekilas. Dia tidak yakin harus menjawab pertanyaanku atau tidak, sehingga aku mendesak, "Katakan, Tuan Miya."
Alih-alih Osamu, Atsumulah yang menjawab dengan ketegangan yang membuatku terkejut. "Awalnya mereka berpikir Hinaya Shouyo lah yang memiliki sihir itu, tetapi kemudian pada akhirnya kau menunjukkan sihir itu pada mereka."
"Aku?"
"Kau mungkin tidak mengingatnya, Nishinoya," kata Osamu sembari mengangkat tangannya untuk menghentikan saudaranya. "Kau ada di sana malam itu. Kau tidak berada di kediaman Oikawa seperti yang mereka katakan padamu. Kau menggunakan sihirmu untuk membunuh salah satu dari mereka, dan jatuh tidak sadarkan diri setelahnya. Kami tidak bisa memastikan sihir apa yang kau gunakan, tetapi saat kami sampai, kami melihat jejak-jejak sihir dari dirimu. Setelah itu kamu tidak sadarkan diri selama seminggu, dan Oikawa menawarkan tempat tinggal untukmu."
"Saat terbangun kau tidak mengingat apa-apa tentang malam itu," lanjut Atsumu tidak sabar. "Kami tidak tahu apakah itu keberuntungan atau kemalangan. Akan tetapi, dengan itu, kau tidak mengingat malam itu sehingga tidak cukup menderita karenanya. Sehingga mereka menunggu."
Aku tertawa muram, lantas menunduk, dan menatap tangan-tangan yang—kata mereka—menyerang dengan sihir gelap. Tetes-tetes air mata memalukan mulai mengalir tanpa bisa kuhentikan. Dengan suara serak, "Apa menurutmu aku tidak cukup menderita karena malam itu?"
Atsumu tersentak. Dia segera berdiri untuk meraihku, tetapi dia berhenti.
"Aku," dia terdiam sebentar. Suaranya sarat akan rasa bersalah saat dia berkata, "Aku tidak bermaksud begitu."
Dengan suara yang lebih tenang Osamu berkata, "Tidak ada satu pun dari kami yang menganggap malam itu tidak membuatmu menderita, Nishinoya. Akan tetapi, kami tidak bisa melakukan apa pun dengan itu. Setidaknya, yang bisa kami lakukan adalah melindungimu dari serangan mereka selanjutnya."
Aku menggigit bibir. "Mereka bahkan tidak menyerangku selama ini."
"Karena mereka menunggu saat yang tepat," jawab Osamu tenang. "Mereka akan menyerang di malam kedewasaanmu. Ketika banyak orang berdiri di depanmu, dan menggunakan mereka setelah mereka sadar malam itu tidak membuatmu cukup menderita untuk mampu melewati lembah kematian."
Tidak cukup menderita. Aku mengusap wajahku kasar. Seolah kehidupanku selama ini tidak ada apa-apanya. Seolah mereka belum membuatku cukup menderita. Seolah malam-malam yang dipenuhi mimpi buruk itu belum cukup mengerikan. Sekarang, mereka ingin membuatku menderita? Mereka ingin membuatku lebih rusak lagi?
Aku tertawa muram.
"Apa aku belum cukup rusak di mata mereka?"
Tangan Atsumu terangkat ragu. Dia menarik napasnya, lantas memelukku dengan hati-hati.
"Nishinoya," ucapnya. "Tenanglah!"
Rasa tenang seolah terdorong paksa ke benakku. Rasa sedih itu mulai berangsur menghilang, digantikan oleh gelenyar hangat asing. Aku tahu Atsumu menggunakan sihirnya, dan bila dalam keadaan normal, aku pasti akan sangat marah. Tetapi sekarang, aku sangat membutuhkan sihir itu.
"Tenangkan dirimu! Tenangkan sihirmu!"
Aku membeku. Kemudian mencoba menahan gejolak yang rupanya meluber bersama sihir gelapku yang meluap-luap. Saat mendongak, aku bisa melihat Osamu menunduk dengan penuh rasa bersalah, seolah terpengaruh dengan sihirku. Sementara itu, Atsumu menatapnya dengan mata merah seolah hampir menangis. Aku membeku. Atsumu? Menangis? Kenapa?
Terpengaruh dengan sihirku adalah hal lain, sihirku memang memiliki efek seperti itu terhadap orang lain, tetapi dia tampaknya memang merasa sedih karena diriku. Pelukannya mengerat.
"Semua akan baik-baik saja, Yu-kun," katanya yakin. "Aku tidak bermain-main saat mengatakan akan membantumu."
Aku menatap matanya yang keemasan dalam-dalam. Kejahilan yang sedari tadi terpasang di sana tampak menghilang, dan hanya digantikan oleh kesungguhan yang sulit dibantah. Miya Atsumu adalah rubah yang tidak segan membunuh orang yang tidak disukainya, tetapi Miya Atsumu yang ada di depanku, jangankan membunuh, tangan-tangan itu terasa begitu lembut dan kokoh disaat yang sama. Kekokohan yang menjanjikan perlindungan.
Dalam jarak sedekat ini, aku bisa mencium bau tubuhnya yang maskulin. Bisa menatap perpotongan lehernya yang kuat. Bisa merasakan dadanya yang bidang. Dan yang paling penting, bisa merasakan debar jantungnya di telapak tanganku.
"Kenapa?" tanyaku sembari terisak. "Kenapa kau mau melakukannya untukku?"
"Untuk melin—"
"Aku tidak menerima jawaban itu, Tuan Miya."
Atsumu tertawa pelan. "Pertama, panggil aku Atsumu," katanya. Sebelah tangannya mengangkat daguku perlahan. Tanpa disangka-sangka, dia mendaratkan kecupan lembut di bibirku. Akan tetapi, aku bisa merasakan pertahananya. Sehingga aku menariknya dalam kecupan yang lebih dalam. Lumatan yang intens. Aku melupakan dunia, dan membiarkannya menghilang bersama kegelapan ketika aku menutup mata. Ciuman balasanku membuat Atsumu membeku sekilas, sebelum membiarkan lidah-lidah kami berdansa. Aku menyukai bibirnya. Kecupannya seperti gula termanis yang membuat siapa pun terbuai. Siapa pun, termasuk aku. Namun, ketika akhirnya bibir itu menjauh bersama lenguhan kekecewaanku, Atsumu yang jahil kembali bersama cekikikannya yang menggoda. "Kedua, sudah kukatakan, kau itu sungguh menggoda, Yu-kun."
Osamu berdeham dari tempatnya, tetapi Atsumu tampak tidak peduli. Aku menatap lelaki itu yang tersenyum malu, sembari membuang mukanya.
"Get a room, you two."
Wajahku merona. Akan tetapi, Atsumu hanya mendengus. "Kau melakukan semua hal dengan Suna sesuka hatimu. Jangan menganggu kami!"
"Kalau kau lupa, Tsumu! Nishinoya belum mencapai usia kedewasaannya."
Atsumu membeku, lantas dia menjauh kikuk.
"Aku akan menganggapnya tidak terjadi apa-apa," kata Osamu tetapi ada kejahilan samar yang tertangkap telingaku. "Asal Nishinoya tidak masalah dengan itu."
Wajahku semakin merona. Dasar rubah-rubah sialan.
"Jadi, Nishinoya, bagaimana menurutmu?" tambah Osamu jahil. Aku tidak yakin harus menjawab apa, jadi aku hanya mengangguk pelan. Akan tetapi, hal itu malah membuat Osamu tertawa. "Kalau kau ingin tahu, Nishinoya."
"Diam, Samu!"
"Tsumu sudah menyukaimu sejak tiga tahun lalu," jelas Osamu tidak peduli pada protes keras saudaranya. "Aku bertanya-tanya sampai kapan dia akan bertahan dan tidak membuat masalah dengan menyerang bangsawan di bawah umur. Nah, ternyata waktu itu akhirnya datang juga."
Aku menatap Atsumu tertegun. "Tiga tahun?"
Atsumu tidak menjawab, tetapi wajahnya ditumbuhi semburat merah.
"Sebaiknya kau istirahat," tukas Atsumu. "Aku akan menjelaskan hal lain saat makan malam. Lagipula, kau akan tinggal di sini. Entah kau suka atau tidak. Jadi, kita punya banyak waktu."
Sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang dimaksud Osamu sejak tiga tahun lalu. Aku tidak ingat pernah bertemu Atsumu, apalagi mengenalnya hingga membuat dia menyukaiku. Aku tidak yakin seluruh kelakuanku yang tidak menggambarkan bangsawan yang pantas dihormati akan menarik ketertarikannya. Sebaliknya, sifatku hanya akan membuat orang mengolok dan mencibirku di belakang. Membuat mereka dengan seenaknya menyebar desas-desus. Akan tetapi, pada akhirnya, aku dan Atsumu adalah orang yang sama-sama menjadi korban desas-desus para penggosip.
Aku mendesah lelah. "Kurasa kalian benar."
"Kita-san akan mengantarmu ke kamar."
Aku berdiri, dan berjalan ke pintu, di mana Kita-san—seseorang yang pada akhirnyakuketahui sebagai kepala pelayan serta seperti orang tua kedua bagi Miya bersaudara—membukakan pintu, tetapi saat hendak pergi Atsumu berkata, "Sampai bertemu lagi."
Suaranya begitu lembut, sehingga aku membalas, "Iya. Sampai jumpa lagi." Sebelum suara mereka tertelan oleh pintu yang tertutup.
"Saya akan menunjukkan jalan ke kamarmu, Tuan Nishinoya."
Aku mengangguk. Kemudian menatap pintu coklat yang memisahkanku dengan mereka. Kemudian bertanya-tanya pada diriku sendiri, kapan terakhir kali aku begitu menunggu jamuan makan malam?
To Be Continued
Haloha ... yuhuuu ... Kok panjang ya? Kenapa? /Nangis
Nggak papa kali ya. Ya udahlah, terima kasih sudah membaca dan ...
(Aku lagi nyoba baca Historical Romance biar nggak malu-maluin amat, tapi aku bahkan belum menyelesaikan satu novel pun buat dibaca. Wkwk )
Sampai jumpa di chapter depan
